Disclaimer
Naruto milik Masashi Kishimoto
Warning : AU, Gaje, datar, typo, OOC, dll
Nta presents..
"COURAGE"
Gaara x Hinata pertama saya.
Because Love is all about courage
"Kau pikir Gaara menyukaimu?"
Hinata tahu ini situasi yang sama sekali tidak dia kuasai. Digiring ke lapangan belakang kampus yang sepi dengan tiga orang cewek yang haus akan kelemahannya. Menatap dengan ejekan dan berkata penuh dengan cemo'oh. Hinata hanya bergeming.
"Sombong sekali!" kali ini dua orang yang Hinata tidak tahu namanya memegang kedua lengannya dengan erat, salah satunya lalu menjambak rambut Hinata dari belakang sehingga dengan terpaksa Hinata mendongak. Bersiborok dengan mata Karin yang memancarkan amarah yang siap tumpah.
"Kau!" Karin berteriak tepat di wajah Hinata, tapi tak ada tubuh yang gemetar atau mata yang memelas. Hinata tetap diam tapi tatapannya tajam.
"Sial! Mau melawanku hah?" Lihat, tanpa kata-kata pun Karin tahu Hinata sedang mengintimidasinya.
BRAKK!
Tangan Hinata dibanting secara paksa di atas batu, tetap dengan cengkraman yang semakin erat dan menyakitkan di kedua lengannya. Posisinya yang terduduk mebuatnya bertambah sulit untuk bergerak.
" Apa setelah aku menghancurkan tanganmu kau masih bisa melukis?" Kali ini mata Hinata sukses terbelalak, Karin dengan angkuhnya sedang menyulut rokok. Kemudian dia mendekati Hinata, membungkuk untuk melihat Hinata lebih jelas seraya memamerkan seringai liciknya.
"Kau tak bisa apa-apa kan selain melukis? Tapi-" Karin menggantungkan kata-katanya, dengan segera dia melebarkan telapak tangan Hinata dan mengacungkan rokok yang menyala tepat di atasnya."-kalau kau berjanji tidak akan mendekatinya lagi, aku bisa berbaik hati padamu."
Sedikit lagi, Karin mendapat kesenangannya.
"Ti-dak, a-ku ti-dak akan menjauhinya." Ucapan Hinata cukup lirih tapi telinga Karin yang memang sedang waspada mendengarkannya dengan baik. Nafas Karin memburu, Hinata yang melawan sama sekali di luar dugaan. Mendapatkan ide gila Karin membuang sembarang rokoknya lalu memungut kasar sebongkah batu sebesar kepala, siap jatuh kapan saja mengenai telapak tangan Hinata yang terbuka.
"Karin, jangan keterlaluan." Cewek yang memegang tangan kiri Hinata gemetar ketakutan, wajahnya pucat. Mungkin tidak bisa membayangkan tangan Hinata yang sebentar lagi hancur berdarah-darah.
"Kalau tangan kananku hancur,a-aku masih bi-sa melukis dengan tangan kiri," Hinata mengumpulkan keberanian.
Kali ini saja dia tak akan kalah dengan keadaan.
Kali ini Hinata ingin mempertahankan.
"Kalau tangan kiriku hancur, aku masih bisa melukis dengan kaki-" Hinata mendongak dan mendapati Karin yang semakin bernafsu menghancurkannya,"-kalau kau juga mematahkan kakiku aku masih bisa memegang kuas dengan mulutku. Apa pun itu tak akan bisa menghalangiku untuk berhenti melukis, termasuk...tak ada yang bisa menghalangiku untuk menyukai Gaara." Hinata mengucapkannya dengan mantap, di matanya ada kesungguhan. Karin yang kaget sudah tidak bisa menahannya lagi.
BRAKKKK.!
Dan batu yang di pegangnya sukses jatuh ke tanah.
..
...
Sore saat musim semi, langit sedang bertransformasi warna. Cahaya keperakan masuk lewat celah jendela yang tak tertutup, angin menyapa dengan lembut korden abu-abu yang berkibar perlahan. Suasana yang tenang, Hinata ingin segera menyelesaikan lukisannya di ruang seni dan beranjak pulang. Menikmati senja dari luar ruangan.
"Aku kalah, belum bisa membayar uangmu." Hinata menoleh ke arah suara. Di sana seratus meter dari tempatnya duduk berdiri sosok Gaara dengan wajah angkuhnya yang khas.
"Tidak apa-apa."
Dua jam yang lalu Gaara bertemu Hinata di pinggir lapangan. Terkesan memerintah dari pada meminta Gaara mengulurkan tangan kanannya.
"Aku pinjam uang." Hinata mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia tahu Gaara, sangat tahu. Tapi Hinata yakin Gaara bahkan tak mengenalnya lalu tadi dia minta apa?
"Aku perlu untuk taruhan, kalau aku menang ku kembalikan dua kali lipat." Gaara mulai kesal, gadis di depannya ini hanya menunduk. Dari atasnya Gaara tidak dapat melihat wajah Hinata dengan jelas karena tertutup poni. Hinata sekali mendongak lalu dengan terburu-buru mengeluarkan semua uang dari sakunya. Setelah itu Hinata langsung berlari menuju ruang seni, menutup pintunya dengan cukup keras.
Ada Gaara yang bingung tapi tak peduli, sementara Hinata sednag berusaha merapihkan degup jantungnya yang seakan-akan sedang karnaval.
Hinata tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, berbicara dengan orang yang kau sukai sangat menyenangkan bukan? Terutama jika kau menyukainya selama satu tahun dalam diam.
"Kau sedang melukis apa?" Hinata hampir saja menumpahkan cat yang dipegangnya, dia kira Gaara sudah pergi.
"Um, ibu." Hari ini mungkin adalah keberuntungan Hinata, takdir sedang berada di pihaknya. Gaara kini di samping Hinata meneliti dengan seksama gambar setengah jadi yang sedang di lukis Hinata.
Hinata tidak pernah melihat Gaara tertarik terhadap sesuatu kecuali balap.
" Rasanya bagaimana?" Hinata mengernyitkan alisnya. Sketsa di depannya kan hanya seorang ibu yang sedang memeluk anaknya yang masih bayi?
"Hangat." Untungnya Hinata cepat tanggap, Gaara yang dia tahu sudah tidak mempunyai seorang ibu.
"Apa menyenangkan?" Gaara menyentuh kanvas di depannya dengan gerakan pelan, takut-takut menghancurkannya.
"I-iya." Hinata merinding, Gaara yang di depannya sekarang tampak begitu rapuh. Dia tidak mengira Gaara bisa semelankolis ini.
"Aku tak pernah merasakannya."
Hening, Hinata tak mau mengganggu Gaara. Ada gelombang tidak nyata yang juga menusuk hati Hinata, sesak. Hinata juga sudah kehilangan ibunya.
"Jadi, dengan apa aku bisa mengganti uangmu?" Setelah hening yang cukup lama Gaara memecah kesunyian. Menyesali dirinya yang terlalu larut. Di hadapan orang lain dia tak pernah seperti ini. Tak pernah merasa senyaman ini walau hanya dengan diam.
"Tubuhmu." Gaara menajamkan pendengarannya, lalu menatap wajah Hinata tajam. Gadis di hadapannya tampak baik-baik tidak seperti gadis-gadis lain yang sering ditidurinya.
"Untuk model lukisanku." Ah...seharusnya Gaara harus segera mereparasi otaknya.
"Aku mau." Entah apa yang mendorong Gaara untuk menyetujuinya. Menjadi model lukisan sepertinya tidak cukup buruk, terlebih lagi di lukis oleh seseorang yang dari dulu ingin Gaara ketahui jauh lebih dalam.
"Oh ya, namamu Hinata kan?"
Mungkin cupid sudah jengah melihat perkembangan hubungan Hinata dengan Gaara yang lambat. Mungkin juga takdir sudah lelah mempermainkan hidup dua orang yang sebenarnya saling tertarik itu. Yang pasti sedikit lagi dengan usaha mereka dapat menyadari perasaan masing-masing.
..
...
"Hinata!"
Gelap, samar lalu semakin terlihat. Hinata mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang diterima. Ada wajah cemas Ino -teman satu-satunya- yang dia tangkap pertama kali, disampingnya ada Sasori-kekasih Ino yang tampak lega.
"Kau tidak apa-apa Hinata? Kau ditemukan pingsan! Gaara yang membawamu ke sini. Tuhan...Kau harus mengutuk siapa pun yang berani menyakiti Hinata!" Ino memang drama queen tapi rasa cemasnya sekarang sepertinya berlebihan.
Hinata mulai mengingat-ingat, ada sekelebat wajah Karin , dua orang yang tidak Hinata kenal, rokok, sebongkah batu..Hinata tersentak, reflek dia meraba-raba tangan kanannya. Tak ada rasa nyeri. Menyingkap selimut Hinata merasa lega ketika menemukan tangan kanannya yang utuh.
"Kenapa Hinata? Mereka melakukan apa padamu?" Kali ini Sasori yang angkat bicara,
"Ada yang melihat kau bersama Karin." Ino terkejut, mungkin Sasori baru mengatakannya.
"Karin? Keterlaluan!" Melihat Ino yang kalap, Sasori segera memegang kedua bahu Ino. Memaksa untuk menatap matanya.
"Dengar, yang penting Hinata tidak apa-apa! Kau jangan membuat ulah!" Sasori tahu tipikal Ino, dia akan melakukan apa saja jika sedang marah terhadap seseorang.
"Aku, baik-baik saja Ino," akhirnya Hinata buka suara, Ino dan Sasori langsung menghampirinya. Ino menggenggam sebelah tangan Hinata dengan erat.
"Kata dokter kau syok Hinata, pasti mereka melakukan sesuatu. Apa ini ada hubungannya dengan Gaara?" Hinata menggeleng cepat, kalau Ino tahu dia pasti akan marah besar.
"Jangan membohongiku Hinata, kau tak pernah berurusan dengan Karin. Satu-satunya benang merah yang menghubungkan kalian hanyalah Gaara. Karin salah satu mantan pacar Gaara kan?" analisis Sasori tepat tapi saat ini yang terpenting dia baik-baik saja.
"Gaara hanya mendatangkan masalah, jauhi dia Hinata." Hinata menggeleng pelan.
"Tidak bisa," ucapnya kemudian, Ino dan Sasori hanya saling pandang. Ino menghela nafas, jemarinya yang lentik membelai puncak kepala Hinata dengan lembut.
"Aku tahu, kalau kau memutuskan ingin berusaha. Aku akan mendukungmu." Ada senyum di wajah Ino dan Hinata, sahabat bisa saling mengerti tanpa kata bukan?
..
...
Karin menenggak vodkanya, ini sudah gelas kelima. Penampilannya kacau, hingar bingar diskotik tak di pedulikannya. Entah kenapa dia menyesal tidak membunuh Hinata saja tadi. Hatinya sakit, dia patah hati. Gaara tidak pernah tertarik terhadap seseorang, oke pacarnya memang banyak tapi Gaara hanya menjadikannya pemuas nafsu. Karin tahu itu, dia juga salah satu di antaranya. Tapi saat melihat Gaara yang biasa dingin menatap Hinata dengan cara yang berbeda, Karin seakan tersentak dari tidur panjangnya. Dia tidak terima kalau Gaara jatuh cinta terhadap Hinata. Kenapa harus Hinata?
"Kau-" Karin kaget ketika tiba-tiba ada seseorang di sampingnya, dengan sisa-sisa kesadarannya dia masih bisa mengenal kalau itu Gaara.
"Mau apa kau ke sini?" Karin belum mabuk sepenuhnya, dia bisa melihat ujung bibir Gaara yang tertarik membentuk sebuah seringai. Gaara menoleh, Karin merasa seluruh tubuhnya tegang. Tatapan mata Gaara, sangat menakutkan. Tatapan itu adalah tatapan yang biasanya Gaara perlihatkan pada lawan-lawannya, tatapan membunuh yang cukup membuat Karin bergidik.
"Kau, tidak akan membunuhku kan?" Karin reflek memundurkan wajahnya ketika Gaara mulai mendekat, tepat beberapa senti jarak di antara mereka Gaara membuka suara.
"Tidak sekarang, tapi kalau kau melakukan sesuatu lagi terhadap Hinata aku tidak segan-segan membunuhmu." Tak ada nada tinggi, tapi dengan penekanan di setiap kata-katanya nyali Karin semakin menciut, wajahnya sudah pucat.
Gaara berdiri, hendak meninggalkan karin yang sudah kalah telak. Bagaimana pun dia laki-laki, pengecut namanya kalau menghajar perempuan. Walaupun hatinya toh mengijinkan jika Karin melakukan hal yang lebih terhadap Hinata.
"Akui saja Gaara kau mencintainya!" Karin berteriak kencang, badannya yang limbung berusaha ditegakkan untuk menyentuh pundak Gaara.
"Kau tidak bisa menyangkal lagi, kau mencintainya." Karin mulai meracau tidak jelas, sesaat kemudian Gaara meninggalkannya terjatuh setelah tangannya di tepis oleh Gaara.
Apa benar yang di rasakannya terhadap Hinata itu cinta? Gaara tak pernah merasakannya, dia hanya menjalin hubungan dengan perempuan untuk bercinta. Berusaha mendapatkan kehangatan yang tidak pernah di dapatnya dari seorang wanita. Tapi bersama Hinata, cukup berada di sampingnya saja Gaara bisa merasa nyaman. Apa itu yang namanya cinta?
Berusaha menghapus kegalauannya Gaara menghidupkan motornya dan menjalankannya dengan kencang. Menembus keramaian tengah malam kota Konoha. Hatinya bimbang tapi dia akan segera mencari tahu jawabannya.
Tbc
Author's note :
Ada yang familiar dengan adegan-adegan di atas? Yep anda benar, saya tidak dapat menahan diri untuk menulisnya. Ini adalah cerita yang terinspirasi dari serial Mars yang dibintangi Vic Zhou dan Barbie Shu. Saya memang amatiran, kalau kayak gini boleh gak si? Saya pengen nyantumin di disclaimer karena katanya ada komiknya, tapi saya tidak tahu siapa pengarangnya. Ini tidak akn menjadi panjang dan serumit Mars, ini hanya berkutat di masalah Gaara dan Hinata aja ko..maaf kalau lebih jelek dari aslinya. Terakhir kali makasih dah membaca fic saya.*bungkuk
