Hai, Senpai!
.
.
.
Mochin, 2018
.
.
.
Naruto tentulah bukan punyaku. Ia mutlak milik Masashi Kishimoto-sensei, diriku hanya pinjam.
.
.
.
Sakura telah terjebak di momen ini.
Di jam pulang, lorong-lorong kesepian, kegiatan ekskul yang mulai melemah, dan seniornya yang membaca buku. Nampak kesepian, padahal dia orang yang ramai.
Sakura tidak begitu paham buku yang senpai (senior dalam bahasa Jepang) nya baca, karena hampir tiap harinya berganti-ganti, kadang bertema berat seperti filsafat, atau malah seringnya tema receh seperti majalah dan komik mingguan.
Dan hampir setiap hari, seperti itu. Ia kadang duduk diatasnya meja, dilantai koridor, dan dijendela, seringnya. Dengan dasi yang tidak terikat dengan benar dan baju yang sudah dikeluarkan. Tipikal cowok jarang mengerjakan tugas namun tetap pintar.
"Naruto-senpai."
Ia menoleh kearahku, "hei anak kelas satu. Kenapa belum pulang?"
"Naruto-senpai juga kenapa belum pulang?" Sakura mendekat kearahnya untuk tau buku apa yang kini ia baca.
"Aku ini anak kelas tiga yang sebentar lagi akan ujian. Penentuan masa depan. Anak kelas satu seperti dirimu mana tau sih."
Benar, setelah Sakura menoleh kecil, buku itu memang buku pelajaran untuk kelulusan. Tapi dibanding itu, ia lebih sering memperhatikan luar langit dibalik jendela alih-alih buku sejarah ditangannya.
Ia pasti memikirkan orang lain.
Dengan sangat dalam.
"Hei anak kelas satu,"
"Iya?"
Sakura dan Naruto bertatapan. Namun Naruto memutus koneksi itu sambil menggaruk tengkuknya. "Sakura, pernahkan kamu berfikir tentang..." Cowok itu memberikan jeda yang lama. Terlalu lama sehingga mungkin ramen instan mu sudah masak sekarang.
"Tentang?" Ulang Sakura minta dilanjutkan.
Naruto tampak bingung, "tentang..."
Detik berlalu begitu saja.
"Ah lupakan saja." Naruto menyerah, ia menatap lagi buku pelajarannya lekat-lekat.
Sakura menarik nafas, ia tau apa yang coba diucapkan Naruto. Ia mengerti sekali.
"Kamu berrpikiran untuk tetap tinggal dan tidak ingin menghilangkan semua kenagannya kan?" Sakura berujar.
Naruto menatap bingung, "eh??"
"Tapi disisi lain kau ingin pergi dan mengejarnya kan?"
Anak lelaki itu tampak terperangah, "Hei Marika, apa kamu pembaca pikiran? "
Pemuda didepannya ini tidak pernah tau, bahwa cinta bertepuk sebelah tangannya pada seseorang yang sudah lulus terlebih dahulu itu terlihat jelas? Bagaimanapun dengan wajahnya yang selalu sok cuek akan hal sekitar, tapi Sakura selalu tau.
Ya, dia selalu tau.
"Menurutmu kenapa aku bisa tau, senpai?"
Di sana, Sakura juga menahan nya. Gadis itu tau betul bagaimana rasatidak enaknya mengetahui seseorang yang kita suka tidak bisa bersama orang yang ia suka. Seperti Naruto yang harus mengubur perasaannya pada kakak kelas yang sudah punya pacar, Sakura pun harus menahan perasaannya pada Naruto yang menyukai orang lain.
Memperhatikannya selalu selama detik detik berharga setelah bel pulang berbunyi, dan menyaksikan Naruto begitu salah tingkah ketika senior yang sudah lulus itu datang kembali ke kesini untuk melihat keadaan ekskul nya. Marika sudah hafal betul. Ia mengerti bagaimana bentuk sakitnya itu.
Tapi kali ini, Sakura ingin berani. Boleh?
"Senpai, aku suka."
Maksudnya?
"Aku suka senpai."
Naruto membulatkan matanya, "Eehhh?"
Sekali lagi, gadis itu telah terjebak di momen ini.
Di jam pulang, lorong-lorong kesepian, kegiatan ekskul yang mulai melemah, dan seniornya yang membaca buku. Nampak kesepian.
.
.
.
Perlu chapter 2?
.
.
.
note :
halooo hehhehe, kepikiran bikin sesuatu tentang kakak kelas, jadilah ini. sempet galau sih antara mau pakai Naruto apa Sasori, tapi ya sekarang juga masih galau wkwkwk. Maap. oh iya, terima kasih sudah membaca :)
