HAI SEMUA! LIGHT KEMBALI DENGAN FANDOM TERBARU CONAN NIH!

SEBENARNYA CERITANYA LANJUTAN DARI "BE PATIENT FOR ME, PLEASE? episode 1".

Sekarang adalah BE PATIENT FOR ME, PLEASE? EPISODE 2! (Naskah pernah kehapus gara-gara virus sialan!)

ENTAR DIBAWAH REVIEW YA! REVIEW!


RATE : T+

SHINICHI KUDO & RAN MOURI

"Kebahagiaan"


Seorang pria dengan paras tampan menyandarkan dirinya ke sebuah jendela di ruang kerjanya. Matanya memandang ke arah lngit yang cerah berawan. Senyum tersungging di wajahnya yang terlihat kalem dan cool. Pandangannya tak tentu arah. Tentu saja, karena memang langit itu luas! Tapi, bukan karena itu. Dia hanya sedang menerawang hidupnya. Hidup yang telah lama dibinanya. Bersama Istrinya, kekasihnya, sahabatnya, keluarganya, temannya... Ran.

'Kini, aku dan Ran telah menikah selama dua tahun dan kami belum dikaruniai seorang anak pun... Wajar sih, karena setiap aku melakukannya bersama Ran, aku selalu mengeluarkan 'itu' di luar atau memakai pengaman... Menurut Shiho, itu harus aku lakukan sampai vonis tentang pengendapan APTX 4869 dalam hormonku benar-benar bersih. Hilang. Itu karena spermaku mengandung hormon yang didalamnya mengendap racun APTX 4869. Jika kami sampai memiliki anak, vonis terbesar adalah anak kami akan mengalami cacat. Maka, kami pun tetap bertahan... Kini, vonisku telah selesai. Dan tubuhku telah terbebas dari semua hal berbau APTX 4869...' batin Shinichi.

"Ennggh..", erang seorang wanita di ranjangnya. Ya... wanita yang amat sangat dicintainya. Lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Dialah istrinya. Ran Mouri. Tidak... tetapi, Ran Kudo. Shinichi mendekati ranjang tersebut. Menatap wanita yang dicintainya dengan lembut. Membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Lalu, mengecup dahinya dengan disertai cinta terbesar dalam hidupnya.

"Selamat pagi, Istriku...", sahut Shinichi dengan senyum menawan yang menghiasi parasnya yang tampan.

"Selamat pagi suamiku...", jawab Ran dengan senyum hangat dan indahnya. Mereka saling menatap dengan rasa cinta yang tersirat. Mereka pun mendekatkan wajah mereka. Nafas mereka menyatu, irama nafasnya benar-benar syahdu. Hidung mereka bersentuhan, merasakan suatu sentuhan hangat yang menghanyutkan. Tidak lama, akhirnya bibir mereka bersentuhan. Saling mencurahkan cinta dan kasih sayang di dalamnya. Nafsu sudah dapat mereka kendalikan. Mereka berciuman bukan atas dasar nafsu. Tapi, atas dasar cinta. Mereka berciuman bukan untuk menikmati, melainkan, memberi kebahagiaan. Lama mereka berciuman, sentuhan hangat kembali dilancarkan. Sampai pada saatnya nafas mereka sesak dan mereka pun melepaskan ciuman yang lama, lembut, dalam, dan syahdu itu.

"Hmm.. Kenapa bangunnya telat, sayang?", tanya Shinichi menggoda.

"Huh! Bukankah kamu sendiri yang membuatku kelelahan? Harusnya kamu yang tahu itu...",jawab Ran.

"Maaf, Ran... Bukannya aku ingin membuatmu kelelahan... Tapi, saat itu... aku senang karena terbebas dari vonis terkutuk itu... Lagipula, kau juga menikmatinya kan?", tanya Shinichi menggoda.

"Shi...Shinichi... Ka, kamu... KAMU KETERLALUAN!", seru Ran dengan wajah blushing nya. Dia melemparkan bantalnya tepat mengenai wajah Shinichi. Shinichi hanya tertawa. Setelah itu, Shinichi pun berlari ke balik pintu kamar mereka dan berlari keluar kamar.

"Shinichi!", seru Ran yang berusaha mengejar. "A, ahh... sakitt..", sahut Ran. Pinggangnya sakit sekali. Membuat dia tak bisa berjalan. Kalaupun berjalan, dia harus mengangkangkan kakinya. Aaaw... perih...batin Ran. Walaupun Ran adalah atlet Karate, tapi, siapa coba yang tahan kalau menjadi dirinya? Maksudnya, siapa coba WANITA yang akan tahan kalau menjadi dirinya saat ini? Ya... tak akan ada.

Apa yang terjadi pada Ran dan Shinichi?

FLASHBACK : ON

"Ran! Ran!", seru Shinichi sambil berlari menuju rumahnya. BRAKK! Pintu rumah dia buka dengan keras. Membuat orang yang namanya dipanggil menjadi terkejut dan menghampiri Shinichi.

"Ran! Lihat! Lihat ini! Aku sudah terbebas dari vonisnya!", seru Shinichi senang.

"Benarkah?", tanya Ran dengan wajah bahagia. Matanya berbinar.

"Benar! Lihat ini hasil tesnya!", seru Shinichi dan segera menyerahkan surat keterangan bahwa dia terbebas dari vonis APTX 4869 yang diteliti di laboratorium lengkap milik Shiho yang telah dibiayai oleh FBI dan CIA.

"Shinichi... Kau benar...", sahut Ran dengan nada yang bergetar. Air mata mengalir di pipinya yang bersih dan cantik.

"Benar, Ran! Aku sangat senang!", seru Shinichi yang langsung memeluk Ran dengan erat. Sedikit mengangkatnya dan mengayunkannya di pangkuannya. Mereka berputar-putar. Senyum bahagia menghiasi wajah mereka. Lalu, mereka hentikan kegiatan itu. Dan kembali saling memeluk untuk memberi kehangatan.

"Ran... kau tahu? Apa yang aku pikirkan pertama kali saat mendapat kabar ini?", tanya Shinichi menatap mata Ran dengan lembut. Membuat Ran menjadi seolah ditatap seluruh tubuhnya oleh Shinichi. Ran pun menggeleng menanggapi pertanyaan Shinichi.

"Aku ingin meramaikan rumah ini... agar kamu tak selalu sendirian selama aku pergi bekerja...", sahut Shinichi.

"Apa maksudmu?", tanya Ran heran.

"Kamu juga tahu apa maksudku... Karena kamu sendiri yang memintanya padaku saat itu!", seru Shinichi yang segera mengangkatnya dan menggendongnya ala bridal style..

"KYAA!", seru Ran dengan blushing. Mereka pun sampai di kamar mereka. Pintu tak lupa dikunci. Dan desahan juga erangan tak henti-hentinya terdengar dari kamar mereka.

FLASHBACK : OFF

'Shinichi... dia... dia memasukan spermanya sebanyak 9 kali... ah, tidak... 11 kali... benar-benar membuatku lelah... Aku tak menyangka, dia tidak merasa lelah. Tapi, aku senang... akhirnya...'batin Ran dengan blushing yang selalu menghiasi wajahnya. Setelah itu, Ran pun pergi menuju dapur tempat suami tercintanya menunggu. Dari arah dapur, terdengar suara peralatan dapur yang saling beradu. Berisik sekali. Ran menebak, suaminya itu sedang memasak untuknya. Shinichi bisa memasak? Ya... tentu saja dia bisa. Karena, selama ini, Ran mengajarinya dengan sabar dan sepenuh hati. Walaupun terkadang masakan Shinichi terasa sangat asin, terlalu manis, atau bahkan tak berasa. Pernah Shinichi menggoreng makan malam, dan membuat makan malam tersebut hangus dalam sekejap. Tapi, kali ini, Shinichi sudah sedikit mahir. Walau cara membuatnya terkadang selalu membuat dapur mereka berantakan.

Ran memperhatikan Shinichi yang sepertinya sangat teliti memasak. Dan cara memasaknya masih berantakan. Tak bisa dibilang rapi. Ran hanya tertawa geli melihat tingkah suaminya. Shinichi yang menyadarinya segera berpaling menatap Ran. Wajahnya ditekuk.

"Ran... aku kan baru belajar... hehe... jadi... ya... berantakan dan merepotkan. Tapi, aku jamin, kali ini... pasti akan terasa enak! Aku yakin...! sekarang, kamu silahkan menunggu di ruang makan ya... nanti aku siapkan untukmu...", sahut Shinichi. Dirinya masih malu karena merasa ditatap geli oleh Ran. Namun, sikapnya itu justru semakin membuat Ran tertawa.

"Hihihi... Shinichi! Kamu lucu sekali...", ujar Ran. Ran pun akhirnya meninggalkan Shinichi dan dengan manis, dia duduk di kursi meja makan. Shinichi melanjutkan kegiatannya di dapur. Senyum hangat menghiasi bibirnya. 'Hah... Ran...' batin Shinichi.

Kau begitu sempurna
Dimataku kau begitu indah
Kau membuat diriku akan slalu memujamu

Beberapa hari kemudian…

"Ran… Aku berangkat dulu ya… Hati-hati jangan mempersilahkan orang yang tidak kamu kenal untuk masuk…", sahut Shinichi pada suatu pagi.

"Shinichi… Kamu ada pertemuan dengan klien? Apa segitu pentingnya sampai kamu melupakan sarapanmu? Bagaimana kalau kamu sakit?", tanya Ran dengan nada yang cemas.

"Benar juga… Tapi, aku tak akan pernah melupakan sarapan terbaik yang diberikan oleh istriku tercinta deh… sebentar ya… Aku akan memberitahukan klien bahwa aku datang telat…", jawab Shinichi sambil tersenyum. Senyum yang menawan.

"Ta, tapi… bagaimana kalau ternyata itu sangat penting?", tanya Ran.

"Em? Tidak… Aku rasa ini tidak penting… hanya kasus penguntit saja…", jawab Shinichi. Dia pun merogoh sakunya dan meraih Hpnya. Menekan tombol di Hpnya. Lalu, mulai menelepon seseorang.

"Halo… maaf pak… sepertinya saya tidak bisa datang tepat waktu. Saya ada urusan penting… Bolehkah saya sedikit mengulur waktu? Ooh… ya… terimakasih pak… Iya, baik… selamat siang…", sahut Shinichi pada 'klien'nya.

"Klien mu tidak marah?", tanya Ran cemas.

"Tentu tidak… baiklah… Apa yang istriku buat untuk sarapan kali ini?", tanya Shinichi manja sambil merangkul Ran dari belakang. Memeluk pinggangnya. Menciumi tengkuknya. Dan menghirup aroma menenangkan dari dalam tubuh Ran. Ran hanya tersenyum geli melihat kemanjaan suaminya. Memejamkan mata, dan menikmati setiap sentuhan Shinichi di tubuhnya.

"Shinichi… sudah… Ayo, kita sarapan saja…", sahut Ran sambil berjalan menuju meja makan.

"RAN! JANGAN!", seru Shinichi saat melihat Ran yang akan duduk di kursi meja makan tersebut. Ran mengerutkan keningnya. 'Aneh…'pikirnya.

"Kenapa Shinichi?", tanya Ran.

"Ummh, tidak… maksudku…", Shinichi pun menghampiri Ran yang berkespresi heran menatapnya. Shinichi tak perdulikan tatapan heran dari istrinya itu. Dia berjalan ke arah kursi yang akan diduduki Ran. Lalu, memegang kursi tersebut dan menggesernya. "Silahkan duduk… Ny. Kudo…", lanjut Shinichi dengan senyuman terbaiknya. Ran membalas senyuman tersebut. Lalu, menarik kepala Shinichi dan mengecup pipinya dengan lembut. "Terimakasih… Suamiku…", jawab Ran. Shinichi tersenyum kembali. Menatap Ran dan mengecup keningnya pelan dan syahdu. "Sama-sama sayang…", sahut Shinichi. Stelah itu, dia kembali duduk di meja makan di sebrang Ran. Keduanya mulai mengambil roti bakar spesial buatan Ran yang kali ini menjadi menu sarapan mereka.

"Ran…", sahut Shinichi memulai pembicaraan.

"Ada apa Shin?", tanya Ran.

"Begini, sebenarnya… aku ingin mengajakmu ke suatu tempat…", jawab Shinichi sambil meneguk susunya.

"Kemana? Tidak biasanya kamu berbicara begitu serius denganku hanya untuk menemanimu ke suatu tempat…", sahut Ran.

"Ah… ya… memang… Begini, sebenarnya… Ada suatu pesta, aku pun diundang dalam pesta itu. Memang, ini sudah biasa. Dan mengajakmu pun sudah biasa… aku berbicara formal begini hanya ingin membicarakan yang lainnya…", jawab Shinichi sambil memasukan sepotong roti bakar ke dalam mulutnya.

"Apa?", tanya Ran sambil sedikit mengunyah rotinya.

"Itu… adalah… pesta pernikahan Shiratori dan Kobayashi… Inspektur dan guruku waktu SD saat menjadi Conan…", jawab Shinichi.

"Lalu? Apa mereka tahu kalau kamu dulunya Conan?", tanya Ran.

"Tidak… mereka tidak tahu, tentu saja… Yang tahu hanya keluarga kita, FBI dan CIA… mungkin organisasi jubah hitam juga?", sahut Shinichi.

"Lalu, kenapa kamu harus berbicara formal tentang itu? Ada sesuatu?", tanya Ran. Kini, raut wajahnya terlihat seperti orang yang penasaran.

"Ti, tidak… tidak ada apa-apa… Hanya saja… sepertinya aneh juga melihat mereka… Padahal Takagi dan Miwako yang lebih lama berpacaran dari mereka saja tidak secepat itu memutuskan untuk masuk ke jenjang pernikahan…", jawab Shinichi sambil mempercepat makannya.

"Shinichi… kamu… aneh?", reaksi Ran mendengar penuturan suaminya itu.

"Apanya yang aneh?", tanya Shinichi. Alisnya bertautan.

"Hanya saja, rasanya selama ini… Kamu paling anti bergossip deh… ada apa?", tanya Ran heran. Benar, Shinichi paling sebal dengan apa yang namanya gossip. Apalagi ikut bergossip. Tapi, kini, dialah yang memulai gossip tersebut.

"Ah, tidak… tidak apa.. hanya heran saja… sepertinya Shiratori sangat mencintai Kobayashi…", jawab Shinichi sedikit gugup.

"Hmm… Kau benar..", sahut Ran. Mereka pun melanjutkan sarapan mereka dengan keheningan. Tiba-tiba, Ran merasa mual. Dia segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh sarapan yang baru saja dia makan di wastafel tersebut. Kepalanya pusing, perutnya ngilu. Matanya sedikit berkunang-kunang. Merasa aneh dengan tingkah Ran, Shinichi segera menghampiri Ran ke dalam kamar mandinya.

"Ran! Kamu tidak apa-apa?", tanya Shinichi yang melihat Ran lemas di dekat wastafel.

"Tidak apa… mungkin aku hanya masuk angin…", jawab Ran.

"Ran… mukamu pucat sekali…", sahut Shinichi sambil menatap wajah Ran. Lalu, membelainya dan membelai rambutnya.

"Tidak apa, sayang…", jawab Ran. Namun, tidak lama, dia kembali mual dan muntah lagi di wastafel. Shinichi prihatin dengan keadaan Ran. Dia terlihat kesakitan dan tersiksa.

"Ran…", ucap Shinichi dan membantu Ran dalam proses muntahnya. Menggosok-gosokan telapak tangannya di punggung Ran. Terlihat oleh Shinichi keringat dingin mulai menjalar di tubuh Ran.

"Ran… kita ke rumah sakit ya? Kau harus segera diobati. Aku tak ingin melihatmu seperti ini…", sahut Shinichi.

"Tidak… aku tidak apa… sekarang kamu lebih baik pergi menemui klienmu… jangan kecewakan klienmu…", jawab Ran dengan senyum paksaan yang menghiasi wajah pucatnya.

"Ran… Aku tidak akan meninggalkanmu… Sudahlah… turuti saja apa kataku…", sahut Shinichi. Shinichi pun membopong tubuh Ran menuju keluar rumah dan memasuki garasi mobilnya. Lalu, memasuki mobilnya dan membawa Ran menuju rumah sakit. Selama dalam perjalanan, Ran terlihat sangat kelelahan. Wajahnya pucat. Membuat Shinichi semakin panik dan menyetir semakin cepat. Wajah Shinichi ikut memucat sesaat ketika meliha Ran menyandarkan tubuhnya pada kursinya. Jarang sekali Shinichi melihat Ran yang biasanya ceria menjadi seperti itu. Tiba-tiba dalam keheningan di mobil itu, Shinichi mendapatkan telepon dari klien yang seharusnya mereka bertemu lebih awal pagi ini.

"Halo… Iya, maaf… saya ada urusan keluarga. Jadi, saya tak bisa menemui anda hari ini, maaf… Iya… Baiklah… terimakasih…", jawab Shinichi dalam telepon. Tak lama, Shinichi pun sampai di rumah sakit Tokyo. Dia segera membawa Ran memasuki rumah sakit itu dan mendaftar untuk cek kesehatan dan berobat.

"Selama pagi… ada yang bisa saya bantu?", tanya seorang wanita di balik meja registrasi.

"Maaf, saya ingin memeriksakan keadaan istri saya… dia sedang sakit…", ujar Shinichi pada wanita itu.

"A, anda… Shinichi Kudo? Detektif muda terkenal itu?", tanya wanita itu dengan canggung dan kagum pada sosok tampan dan terkenal di depannya.

"Ya… anda benar… sekarang tolong istri saya…", jawab Shinichi. Wanita itu dengan sigap dan cepat mempersiapkan semuanya. Lalu, tidak lama kemudian dia memberikan selembar kertas yang terisi dengan berbagai tulisan. "Tanda tangan di sebelah sini…", sahut wanita itu pada Shinichi.

"Eh?", mata Shinichi membelalak. "Anda tahu identitas dan segalanya tentang saya? Kok tadi anda tak bertanya pada saya dan sudah mengisi formulir ini?", tanya Shinichi tak percaya.

"Aku fans mu… oh iya, ini tolong tanda tangani disini dan tuliskan 'untuk Shoda Ayame' ya? Nanti, biaya rumah sakitnya gratis deh…", bujuk wanita yang bernama Ayame tesebut.

"Umm, baiklah… tapi, bisa tolong cepat? Kasihan istri saya…", sahut Shinichi yang segera menandatangani kertas-kertas itu. Setelah itu, dia pun menunggu panggilannya bersama Ran di ruang tunggu. Tidak lama setelahnya, mereka pun dipanggil sebagai giliran yang akan diperiksa.

"Selamat pagi…", sahut Shinichi pada seorang dokter di ruangan itu.

"Oh… hai… pagi, Shinichi Kudo dan Ran Kudo… silahkan duduk!", jawab dokter wanita itu tersenyum. Shinichi dan Ran pun duduk di hadapan dokter tersebut. Di mejanya ada papan namanya. Subaru Imai, nama dokter ini.

"Bisakah dijelaskan gejalanya?", tanya dokter tersebut.

"Umm, istri saya mual… kepalanya pusing dan matanya berkunang….", jawab Shinichi sambil menatap sendu wajah Ran.

"Hmm, Ny. Kudo… bisakah anda ikut saya untuk pengecekan?", tanya dokter Imai. Ran mengangguk dan segera mengikuti dokter itu ke ranjang pasien tak jauh didekatnya. Setelah Ran berbaring di ranjang tersebut ditemani Shinichi yang berdiri di samping ranjang pasien tersebut. Dokter Imai segera memeriksa Ran dengan alat-alat dokternya.

"Emh, Ny. Kudo… bisa masukan air manimu ke dalam gelas ini?", tanya Doketer Imai sambil menyerahkan gelas berukuran kecil itu pada Ran. Ran mengangguk dan berjalan lemas ke arah toilet. Tidak lama, dia pun keluar dari toilet itu. Dr. Imai mendekati Ran dan membawa gelas kecil di tangan Ran. Tidak lama kemudian… Dia menghampiri Ran dan Shinichi. Wajahnya berbinar menampakan kebahagiaan disana.

"Selamat Tn. Kudo… anda akan menjadi ayah….", sahut dokter. Shinichi hanya melongo. Ran tertegun. Rasa sakit yang daritadi menghinggapinya, kini menguap entah kemana.

"…", Shinichi dan Ran tak berkata apa-apa.

"Selamat… Ny. Kudo… anda hamil…", lanjut dokter tersebut dengan senyum yang jelas di wajahnya.

"Ran… Kau…", Shinichi tak mampu melanjutkan kata-katanya melihat Ran yang menangis bahagia. Dia pun segera memeluk Ran dengan erat dan memberikan kenyamanan teramat sangat pada Ran. Ran terdiam tanpa berkata. Sedangkan Shinichi merasa nyaman di tubuh Ran. Sambil terus bergumam. "Ran… terimakasih… terimakasih…. Terimakasih…. Ran…", sahut Shinichi terus menerus sambil mengusap punggung Ran dan menjamah rambutnya. Lama mereka berpeluka sampai akhirnya mereka melepaskannya. Lalu, Shinichi pun menghapiri dokter yang sedari tadi tersenyum melihat kedua insan ini saling berbagi kehangatan dan kebahagiaan.

Keduanya pamit pada Dokter Imai, lalu pergi meninggalkan rumah sakit dengan hati yang senang. Shinichi merangkul mesra pinggang Ran. Ran pun mendekat pada Shinichi. Shinichi sangat bahagia hari ini. Hari yang telah dinantinya selama ini. Ran pun merasa begitu. Dia terus mengembangkan senyum bahagia.

"Ran… terimakasih ya…", sahut Shinichi setibanya mereka di dalam mobil Jaguar hitam nan elegan milik Shinichi.

"Iya…", jawab Ran dengan senyum yang manis. Begitulah terlihat oleh Shinichi. "Sekarang kamu bisa pergi menemui klien mu! hehe", lanjutnya.

"Hmm.. Tidak… aku saat ini hanya ingin bersama dengan istriku… dan calon bayi kami…", sahut Shinichi dengan senyuman nakalnya. Ran hanya bisa blushing dan memalingkan wajah dari Shinichi. Shinichi terkikik geli melihat tingkah Ran.

"Lalu, mau kemana kita sekarang? Untuk menghabiskan hari ini?", tanya Ran.

"Em… aku… tidak tahu…", jawab Shinichi sambil berpikir.

"Sayang… bagaimana kalau kita ke rumah Ayah? Aku ingin memberitahukannya pada Ayah… Kabar gembira ini…", sahut Ran.

"Yakin? Ayahmu tak akan marah atau melempariku dengan benda aneh lagi seperti terakhir kita mengunjungi mereka?", tanya Shinichi. Dia masih mengingat jelas penolakan mertuanya, Kogoro Mouri padanya. Yang membuat wajahnya luka memar.

"Hahaha… kau ada-ada saja… Tentu tidak… Kemarin itu kan tidak sengaja… Ayah dan Ibu bertengkar lagi… Maafkan Ayah ya!", seru Ran dengan kedua telapak tangannya yang bertautan seperti memohon ampun pada Shinichi dengan sebelah matanya yang mengedip nakal.

"Hah… Baiklah… Saat ini, Ayahmu adalah Ayahku juga, baik sayang… aku turuti keinginanmu…", jawab Shinichi sambil mengelus rambut Ran. Ran hanya terkikik geli melihat perlakuan suaminya. Mereka pun melaju menuju Kantor Detektif Kogoro Mouri. Sesampainya disana, Shinichi memarkirkan jaguarnya dengan hati-hati dan memasuki rumah yang sekaligus kantor itu bersama Ran.

"Ayah! Ibu!", seru Ran ketika melihat kedua orang tuanya sedang menonton acara televisi di rumah mereka. Sudah berbaikan lagi rupanya… batin Ran melihat keakraban kedua orang tuanya.

"Hai Ran! Ayo sini, kita duduk…", jawab Eri sambil mendekati dan memeluk Ran. Lalu, membawa Ran duduk bersamanya.

"Ran… Kemana bocah detektif itu?", tanya Kogoro.

"Ah, ada diluar… Shinichi! Ayo masuk!", seru Ran.

"Hai… Ayah… Ibu…", seru Shinichi yang memasuki rumah itu dan duduk bersama mereka.

"Bagaimana dengan hidup kalian? Tak ada masalah?", tanya Kogoro.

"Baik Ayah! Aku dan Shinichi baik-baik saja…", jawab Ran. "Kalau Ayah?", lanjut Ran.

"Kami baik… Oh ya, Ran… Kamu setuju tidak kalau kamu punya adik?", tanya Kogoro dengan wajahnya yang kini memerah namun, berusaha ia tutupi.

"Hah?", seru Ran dan Shinichi bersamaan. "Maksud Ayah? Ja, jadi…", lanjut Ran. Shinichi hanya diam dengan wajah shock nya.

"Begini Ran… sebenarnya… Dua bulan lalu… Eri dinyatakan hamil… Ya, kan?", tanya Kogoro pada Eri sambil merangkul erat pinggangnya.

"Ke, kenapa tak memberitahu?", tanya Ran dengan keadaan yang masih kaget.

"Maaf Ran… Ibu sebenarnya ingin memberitahukanmu… Namun, Ayahmu melarangnya. Malu katanya…", jawab Eri.

"Hah… wajar sepertinya kalian bisa mempunyai anak lagi… kalian sudah seromantis itu…", sahut Shinichi.

"Ya… dan maaf ya bocah! Waktu itu aku tidak sengaja membuat wajahmu lecet dan memar… saat itu Eri sedang naik pitam…", ujar Kogoro.

"Lalu, Ran… Shinichi… ada apa kalian mampir ke sini?", tanya Eri yang sekarang tengah menyediakan teh untuk Ran, Shinichi, Kogoro dan dirinya sendiri. "Terimakasih…", ucap Ran.

"Kami kesini ingin memberitahukan sesuatu…", jawab Shinichi. Kini, dia merasa dia akan gugup. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Dan nafasnya tercekat. Sulit rasanya membicarakannya. Tapi, kebahagiaan menjalar di seluruh tubuhnya. Ran yang menyadari gerak-gerik Shinichi segera menggantikannya untuk bicara.

"Ayah… Ibu… Sebenarnya… Aku… Hamil…", ucap Ran yang juga gugup. Beberapa detik dilalui dengan keheningan. Kogoro masih terus dalam posisinya yang hampir meminum air teh yang disajikan oleh Eri. Eri masih dengan posisinya yang memandang serius Ran. Shinichi dan Ran pun masih dalam posisi mereka yang kedua tangannya saling menggenggam erat, hangat.

"Apa?", seru Kogoro dan Eri bersamaan. Shinichi dan Ran hanya menyunggingkan senyuman kebahagiaan mereka.

"Hamil?", tanya Kogor o tak percaya.

"Ya..", jawab Ran.

"Oleh bocah ini?", tanya Kogoro lagi tak percaya.

"Selamat ya Ran!", seru Eri sambil berpelukan. Kogoro pun menghampiri mereka dan memeluk mereka. Lalu, dia berjalan menuju arah Shinichi. Mengulurkan tangannya.

"Bocah! Jaga anakku… dan anak kalian… awas saja kalau terjadi sesuatu pada mereka!", seru Kogoro sambil menjabat tangan Shinichi. Keduanya kini berpelukan.

"Ah…! Aku harus beritahukan ini pada Yukiko!", seru Eri yang segera mengambil teleponnya dan menekan-nekan tombolnya.

"Halo! Yukiko!", seru Eri. Sambil memencet tombol landscape.

"Ada apa Eri? Kau senang sekali? Apakah bayi dalam kandunganmu ada kemajuan yang menarik sehingga kau segera meneleponku?", tanya Yukiko di dalam telepon.

"Bukan! Bukan itu….!", seru Eri.

"Ah! Aku tahu! Kamu pasti ingin menanyakan kemajuanku bersama si bau itu kan? Ah… kamu ingin mengejekku yang sekarang ini kurang intim ya… huh…", jawab Yukiko dengan kesal.

"Bukan!", seru Eri yang mulai geram.

"Lalu, apa?", tanya Yukiko yang juga mulai geram.

"Ran hamil!", seru Eri senang.

1 detik….

2 detik…...

3 detik…...

4 detik…...

"BENARKAH? APA BENAR?", tanya Yukiko kegirangan.

"Tentu saja! tanyakan sendiri pada Shinichi!", seru Eri.

"Waaahhh! Aku akan segera pergi ke Jepang! Aku juga akan segera memberitahu Yusaku! Makasih Eri! Yaaay! Anakku punya anak!", seru Yukiko yang langsung menutup sambungan telepon tersebut.

"Hei! Aku belum selesai! Yukiko? Yukiko?", seru Eri. Eri pun menyimpan kembali teleponnya. Terlihat sekali dari wajahnya dia sedang kesal.

"Sudahlah Eri… kamu terlihat seperti saat dulu waktu kita masih SMA saja… hahaha…", ucap Kogoro.

"Ayah… Ibu… Kami pulang dulu ya… Ja ne!", seru Shinichi dan Ran. Mereka pun saling menggenggam tangan dan pergi menuju rumahnya.

Sesampainya mereka di halaman rumah mereka, Shinichi pun keluar lebih dulu dari mobil dan membukakan pintu untuk Ran. Ran membalasnya dengan senyuman.

"Shinichi… bagaimana kalau kita beritahukan hal ini pada Profesor Agasa dan Shiho? Mereka kan yang telah banyak berjasa sehingga kita bisa bahagia seperti ini…", sahut Ran sambil tersenyum.

"Kau benar Ran… baiklah… Ayo!", seru Shinichi dan merangkul pundaknya. Berjalan beriringan ke arah rumah Profesor Agasa. Begitu sampai di depan pintu rumahnya, mereka melepaskan rangkulan dan menggandeng tangan satu sama lain. Memencet bel sambil menunggu seseorang membukakan pintu.

"Hai Shinichi!", seru Prof. Agasa. "Silahkan masuk…", suruhnya. Shinichi dan Ran akhirnya memasuki rumah itu. Huh… percobaan aneh lagi… batin Shinichi ketika mendapati pakaian Prof. Agasa yang sudah menjadi aneh tak karuan.

"Ada apa Shinichi? Tumben?", tanya Agasa.

"Kami kesini ingin…", jawab Shinichi terputus saat mendengar ada yang berteriak.

"Profesor? Ada siapa disana?", tanya seorang wanita.

"Oh, Shiho! Kemarilah!", seru Agasa. Shiho pun mendekati Agasa.

"Oh… ternyata si bocah detektif ya… dan Ran…", sahut Shiho.

"Hai Shiho!", seru Shinichi.

"Ya… ada apa kau kesini Shin? Bukankah kau sudah tak butuh penawar racun APTX 4869 itu lagi?", tanya Shiho dengan aura mencekamnya.

"Bu, bukan… ada yang mau aku beritahukan…", jawab Shinichi gugup.

"Apa?", tanya Shiho.

"Jangan ketus gitu dong, Shiho…", jawab Shinichi.

"Huh… yasudah… apa?", tanya Shiho. Kini nadanya sedikit turun.

"Aku punya kabar gembira untuk kita semua…", sahut Shinichi. Agasa dan Shiho menunggu. "Ran hamil!", seru Shinichi.

DEGG! 'Perasaan apa ini? Sakit sekali…'batin Shiho.

"Wah! Selamat ya Ran!", seru Agasa.

"Makasih Profesor… Ini semua juga tidak lepas berkat bantuan dari profesor dan Shiho… Makasih Shiho!", seru Ran sambil merangkul Shiho. Shiho yang terkejut, kini balik merangkul Ran.

"Ya… selamat ya, Ran!", sahut Shiho. Ran mengangguk dalam pelukannya. Mereka pun melepaskan pelukan itu dan saling melempar senyum. Senyum Ran yang penuh kehangatan. Dan senyum Shiho yang penuh kebohongan dan kesakitan.

Yang kau lihat senyumku

Tak kau sadari pedihku

"Hei bocah detektif! Kau harus menjaga istri dan calon bayi kalian ini!", seru Shiho memandang Shinichi dengan pandangan yang sangat membunuh.

"Hahaha… tentu saja… ini anak pertama kami! Aku senang sekali! Oh ya, kau jangan memanggilku bocah lagi… aku ini sudah besar dan akan menjadi seorang Ayah! Walaupun kau lebih tua dariku…", seru Shinichi menatap Shiho dengan kesal. "Oh ya, Profesor dan Kau, Shiho… nanti malam ikut kan ke pestanya Shiratori?", tanya Shinichi.

"Ya… aku usahakan…", sahut Shiho yang segera pergi ke ruang penelitian bawah tanahnya. Lalu, mengunci pintunya.

"Kalau Profesor?", tanya Shinichi.

"Tentu aku datang!", jawab Profesor.

"Emh, Profesor… ada apa dengan Shiho? Belakangan ini aneh…", sahut Ran.

"Tidak… dia sekarang mungkin hanya sedang melakukan sebuah penemuan. Dia bahkan sering seperti itu padaku dari sejak awal aku menemukannya. Itu sudah biasa ran… Hanya kamu saja mungkin yang tidak terbiasa…", ujar Agasa.

"Baiklah, Prof! kami pergi dulu… salamku untuk Shiho ya…", ujar Ran dan Shinichi. Mereka pun pergi bergandengan menuju rumah mereka yang tepat disamping rumah Prof. Agasa. Mereka tidak sadar… sedari tadi ada yang memperhatikan mereka sampai bayangan mereka menghilang. Seorang wanita yang hatinya benar-benar telah terluka. Shiho Miyano.

Shiho pun kembali ke meja komputernya. Dia mendudukan dirinya dikursi komputernya dan kembali mengerjakan sesuatu di komputernya. Wajahnya serius menatap ke arah layar monitor dan tangannya menari-nari di atas keyboard. Suasana hening dan tenang. Tapi, sesungguhnya dia tidak merasa suasana itu hening. Melainkan, dia merasakan suasana yang begitu ramai. Detak jantungnya berdetak lebih kencang hingga terdengar. Hatinya menangis dan menjerit kesakitan. Kesakitan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat semua organ tubuhnya bergerak tak karuan. Membuat dirinya sendiri lelah.

'Aku telah merelakannya… Kau telah merelakannya Shiho! Berbahagialah Shiho… karena saat ini pria yang kau sukai telah berbahagia juga… malah amat sangat bahagia…'batin Shiho. Dia kembali mengerjakan sesuatu di komputernya. 'Tak ada yang perlu disesali Shiho! Ini jalan yang kau pilih… Malah kau yang membantu mereka mencapai kebahagiaan mereka! Shiho… lupakan pria itu!',seru batin Shiho.

'Ya… Aku telah melakukannya… Aku senang dia bahagia… Kenapa hati ini sakit ya? Hahaha… lucu… Aku bersedih karena hal ini? Dan hanya disebabkan oleh seorang bocah… Hah…'lirih batin Shiho. Lama dia memandangi layar monitornya yang diisi penuh oleh sederetan kata-kata dan angka. Tangannya terus menari tanpa henti. Sampai akhirnya, tangannya merasakan air yang terjatuh membasahi punggung tangannya. 'Apakah di luar sedang hujan? Dan saat ini, sedang bocor?'batin Shiho.

Tidak… pada kenyataannya… Air itu bukan air hujan. Melainkan Air mata seorang Shiho Miyano. 'Ah, airmataku ternyata… mungkin terasa pedih ya karena terus memandang monitor…'batin Shiho mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. Dia terus meneruskan pekerjaannya. Tangannya teteap menari di keyboard dengan lincahnya. Duduknya tenang seperti tak terjadi apapun. Wajahnya menatap monitor dengan serius. Dan matanya… mengalirkan air mata yang membuat rabun sekitarnya. Dia menangis dalam diam. Tertahan. 'Aku harap aku menangis karena mataku memang perih… tapi, nyatanya aku tetap menangisi bocah itu… ah tidak… pria itu… yang sudah menjadi milik orang lain…'batinnya. Dia pun tertawa dalam hatinya. Senyum miris kini menghiasi wajahnya. 'Padahal… aku tahu ini semua akan terjadi… Malam itu pun aku mendengar desahan dan erangan mereka… Hah…' batin Shiho yang semakin terluka mengingatnya.

Dia pun kini menghentikan pekerjaannya dan menuju tempat tidurnya. Dia baringkan tubuhnya disitu. Menghapus air matanya. Dia ingin sekali tertidur dengan tenang malam ini. Karena, akhir-akhir ini dia tak pernah bisa tidur nyenyak lagi. Mimpi buruk akan pria itu selalu mendatanginya. Dan kini, menghantuinya. Tapi, dia mencoba untuk menerimanya dan tegar menghadapinya. 'Cinta tak harus memiliki…'batinnya meringis.

Hatiku sakit

Bagai bulan temaram

Tertunduk Sunyi

Kau ada di sana

Di pelukannya

Dan kau genggam tangannya

Ingin ku tak melihatnya

Yang kau lihat senyumku

Tak kau sadari pedihku

Namun hancurnya hatiku

Kau tak perlu tahu

Kuharap engkau bahagia

Walau hatiku terluka

Akan ku simpan cerita

Kau tak perlu tahu

Hanya aku yang harus tahu

Hanya aku yang harus menghadapi semua

Menyimpan rasa kecewa…

'Kau harus tegar Shiho! Saat ini masih siang… belum malam! Belum terlambat Shiho… masih ada yang lebih baik darinya!'batin Shiho menyemangati dirinya sendiri.

"Tapi, aku tak bisa kalau bukan dia… Bisakah aku lupakannya? Hah… Shinichi…", lirih Shiho.

kau lihat senyumku
tak kau sadari pedihku
namun hancurnya hatiku
kau tak perlu tahu

~BERSAMBUNG~


GIMANA?

YAH... KALO NGEBOSENIN MAAF DEH... MAKLUM, BARU NIH!

OK THANKS YA... REVIEW YA! OKAY?