You're Not Alone
Summary:
Bagi Rukia hidup adalah perjuangan. Tak ada yang dimiliknya di dunia ini selain dirinya sendiri-atau begitulah yang ia pikir. Sudah pasti Byakuya akan selalu ada untuknya meski mungkin Rukia tak mengetahuinya. AU.
Disclaimer: Bleach hanya milik Kubo Tite-sensei.
- -
Rukia merapatkan jaket ungunya. Udara semakin dingin menusuk tulang. Bagi kebanyakan orang, saat seperti itu paling tepat dihabiskan di dalam rumah, dengan baju hangat dan tebal, berkaos kaki dan menghirup secangkir kopi panas dengan uap masih mengepul. Jika diberi pilihan, tentu gadis bertubuh mungil itu akan mengambil kesempatan itu.
Masih dengan seragam sekolah menempel di tubuh, seperti biasa sebelum pulang ke rumah, Rukia belanja dulu di convenient store. Sudah lumrah baginya pulang sekolah di sore hari sambil menenteng kantong belanjaan berisi sayur dan bahan makanan untuk besok. Normalnya remaja seusianya hampir tak ada yang belanja sendiri. Hanya saja hal itu sudah lama tak berlaku untuknya.
Langkah-langkah kakinya terayun teratur di pavement sepanjang jalan. Rukia merasa tak perlu pulang terburu-buru, toh tak ada orang yang menunggu kedatangannya di rumah. Kira-kira setahun yang lalu dia masih mempunyai alasan untuk pulang cepat, tapi sejak Hisana -kakak perempuan dan satu-satunya orang yang membesarkannya sejak kepergian orang tua mereka- juga turut menyusul ke alam sana, alasan itu sirna.
Hidup adalah perjuangan. Sejak kecil motto itu telah terpateri dalam-dalam di kepalanya. Rukia tidak begitu ingat kapan persisnya Hisana menjadi kakak sekaligus kepala keluarga baginya. Sekarang dia hanya punya dirinya sendiri. Uang asuransi dan tabungan almarhum orang tuanyalah yang menopang kehidupannya belakangan. Rukia menunggu sampai kira-kira dua atau tiga bulan kedepan untuk mencari kerja sambilan, sampai akhir tahun ia bersekolah di Seireitei High. Gadis berusia delapan belas tahun itu ingin berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan SMU-nya dengan baik.
"Uhuk...uhuk…"
Rukia cepat-cepat menutup mulut dengan tangannya yang bebas. Ia memejamkan mata sampai batuknya mereda. Entah sudah berapa minggu berlalu tapi si batuk tak juga berhenti. Pertama ia mengira itu batuk flu. Mungkin karena kecapekan, batinnya. Menjelang ujian akhir, Rukia memang semakin sibuk. Ujian try out dan ujian praktik menyita perhatiannya. Dia tak pernah tidur sebelum tengah malam. Dia berpikir stress yang menumpuk dan kondisi fisik yang menurun berkontribusi besar terhadap batuk berkepanjangannya. Baru dia sadar, batuk itu bukan batuk flu.
Dadanya terasa sesak jika Rukia berusaha menahan si batuk. Teman-temannya bahkan berkomentar suara yang ditimbulkan terdengar sangat mengkhawatirkan. Bila malam, kondisinya semakin buruk. Batuknya semakin menghebat. Sering dia membayangkan, alangkah menyenangkannya jika ada yang akan mengusap punggung kurusnya. Tapi yang ada hanya dingin menempel di punggung. Jika itu terjadi, Rukia tak akan sanggup menahan air matanya. Saat itulah dia sepenuhnya sadar, bahwa dia sendirian.
Gadis itu baru mulai melangkah ketika klakson terdengar. Sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Mobil abu-abu mahal yang sudah familiar, mobil Byakuya.
Kaca penumpang di sebelah kiri terbuka. "Masuklah, Rukia," kata Byakuya menawarkan. "Ku antar pulang."
"Terima kasih, Byakuya-san, tapi tak usah repot," buru-buru Rukia mengelak.
"Tidak repot, kok. Aku mau ke rumah Unohana-san."
Sejenak Rukia ragu meski itu bukan pertama kalinya ia berpapasan dengan Byakuya dan diantar pulang. Byakuya tidak membiarkan gadis itu berkubang lebih lama dalam keraguan. Dengan cepat ia membuka pintu penumpang.
Wangi sakura menyambut hidung Rukia. Ia meletakkan tas sekolah dan belanjaan di pangkuan. Kursi yang didudukinya adalah, sejauh ini, kursi paling empuk yang pernah dirasakannya.
"Kau selalu pulang sesore ini?" tanya Byakuya. Jika jalanan lurus dan sepi, ia menoleh ke penumpang di sampingnya.
"Hanya mulai kelas tiga semester dua," jawab Rukia. "Waktu semester pertama dulu tidak kok, pulangnya bersamaan dengan kelas satu dan dua."
"Hmm," Byakuya bergumam. "Hari ini belanja apa?"
Dibalik penampilannya yang cool, Byakuya cukup perhatian -setidaknya menurut Rukia. Banyak yang segan padanya, entah terintimidasi oleh penampilannya yang luar biasa cool (dingin) dan tampan (menurut polling yang diadakan para gossipers di kota mereka) , atau kata-katanya yang pelan namun menohok.
Yang paling diingat Rukia, ketika dia masih kanak-kanak Byakuya dan beberapa anak lain gemar bermain di taman bermain dekat SD Seireitei. Rukia akan berayun di salah satu ayunan dan Byakuya mendorongnya dari belakang. Byakuya yang diingatnya masih penuh tawa dan ceria, kebalikan dari Byakuya yang sekarang.
"Belanja...mie, telur dan kangkung. Byakuya-san pasti tidak pernah belanja ya?" Rukia nyengir sebelum menyadari betapa bodohnya pertanyaan barusan.
"Tidak," tukas Byakuya singkat. Sekilas dia melirik Rolex di pergelangan tangannya. "Kau sudah makan?"
"Sudah, tadi di sekolah."
"Sudah beberapa jam lalu, kalau begitu. Dulu waktu masih sekolah, aku juga membawa bekal."
Rukia menggaruk dagunya. "Aku beli di kantin kok. Tadi aku bangun kesiangan, tidak sempat membuat bekal."
Setelah itu Byakuya tidak berkata apa-apa. Dia membelokkan mobil di sebuah restoran. "Temani aku makan, Rukia."
"Eh?" Rukia merasa tak enak. "Aku tak lapar." Malangnya saat itu perutnya berkeruyuk. "Ahaha," Rukia nyengir lemah.
Byakuya tidak tertawa. Dia hanya tersenyum simpul. Tentu saja yang dimaksud senyum di sini hanyalah tarikan bibir ke atas sejauh dua millimeter. Yang mendapat kehormatan mendapatkannya hanya gadis di sampingnya. Tak ada yang bisa membayangkan Byakuya akan tersenyum lebar seperti bintang iklan pasta gigi. Para gadis di Seireitei bisa kena serangan jantung mendadak seandainya itu terjadi.
- -
Retsu Unohana sedang menyiram bunga ketika mobil yang ditumpangi Byakuya dan Rukia masuk ke kompleks apartemennya. Dia mencuci tangan sebelum menyambut mereka di beranda.
"Retsu-san," sapa Rukia pada landlady-nya.
Retsu pemilik apartemen yang ditempatinya. Sejak kematian Hisana, wanita berambut hitam itu tak mau lagi menerima uang sewa dari Rukia, yang dibalas protes oleh Rukia. Bagaimana mungkin dia bisa tetap tinggal di sana jika sang landlady cantik itu tak mau menerima uang darinya? Setelah melewati argument panjang dan berbelit-belit, akhirnya Rukia pasrah, tetapi sebagai gantinya Retsu harus bersedia menerima hutang sewa Rukia yang akan diterimanya begitu Rukia tamat SMU dan mandiri.
"Untung kau sudah pulang," wanita baik hati itu menghembuskan napas lega. "Aku sampai khawatir. Tidak biasanya kau pulang sesore ini."
"Maaf," tukas Rukia cepat-cepat. "Saya ada tambahan belajar, terus belajar sebentar dengan teman-teman di sekolah."
"Aku berusaha menelponmu tapi tidak kau angkat," lanjut Retsu.
"Eh? Ponsel saya ketinggalan."
"Lain kali jangan sampai lupa, Rukia," Retsu mengingatkan. Dia kemudian mengalihkan mata pada sang pria muda. "Anda mengantarnya lagi rupanya, Byakuya-san."
Byakuya mengangguk sedikit. "Kebetulan saya bertemu Rukia di jalan. Saya juga ada perlu dengan Anda, jadi sekalian."
"Uhuk…uhuk…" tanpa tertahan lagi, Rukia terbatuk, mengagetkan dua orang di depannya. Retsu segera mengusap punggung Rukia.
"Ya ampun, Rukia," seru Retsu prihatin. Dia sudah menganggap Rukia seperti anaknya sendiri. Melihat ekspresi kesakitan gadis itu membuatnya sedih. "Batukmu tetap saja parah. Kau sudah berobat kan?"
"Sudah," jawab Rukia. Dadanya naik turun dan terasa sesak namun dia tak suka melihat kekhawatiran terpancar di wajah Retsu.
"Kenapa belum sembuh juga?" Byakuya bertanya. Kalau Rukia lebih memperhatikan, dia akan mendapati kecemasan mewarnai nada monoton Byakuya. Tak ada yang melihat mata abu-abu kehitamannya yang diliputi kegundahan.
"Besok saya libur, saya akan ke spesialis," ujar Rukia meyakinkan mereka.
"Kau semakin kurus," tunjuk Byakuya. "Kau kurang makan atau apa?"
Entah Rukia mesti tertawa atau tersinggung mendengarnya. Terlebih ia memakai jaket. Dia yakin pakaian itu membuatnya tampak berisi.
Seakan bisa membaca pikiran gadis itu, Byakuya berkata, "Pakai jaket pun tak bisa menyembunyikan fakta itu. Makan yang banyak, Rukia!" Sekilas selama sepersekian detik pria itu menepuk bahu Rukia.
Rukia tak yakin apakah tangan lebar Byakuya sempat mendarat di bahu kecilnya. Hanya rasa hangat yang menjalar yang akhirnya meyakinkannya itu tak hanya sekedar bayangannya.
"Apa sebaiknya aku menginap di tempatmu?" usul Retsu. "Jadi aku bisa mengurusmu. Terus terang, batukmu menimbulkan rasa gelisah bagi yang mendengarnya."
Rukia terkejut. "Wah, saya sudah terlalu merepotkan Anda."
"Kau sudah seperti anakku sendiri."
"Bagaimana kalau di tempatku?"
Sebelum Byakuya sempat mengerem lidahnya, kalimat itu sudah meluncur. Tak hanya dua wanita itu, dia tak kalah tercengang dengan kata-katanya sendiri. Nalar paling waras pun tak akan sanggup mencerna bagaimana pria tanpa ekspresi dan sehangat iceberg itu mampu mengutarakan ajakan untuk merawat seorang gadis yang bukan siapa-siapanya di istananya.
Wajah Rukia memerah. Entah debar jantung yang memukul keras dadanya juga berpengaruh pada rasa sesak, dia tak paham. Batuknya yang jauh dari elegan memilih mengisi kesunyian yang menulikan pendengaran mereka. Segera dia mohon diri, meninggalkan Byakuya yang mematung dan Retsu yang tersenyum dipaksakan.
TBC
A/N: Sehat itu mahal, lho, teman-teman. Jangan sampai sakit seperti Rukia. Tidak semua orang seberuntung dirinya atau sebaik Byakuya. Duit sejuta bisa amblas untuk mengobati penyakit seperti itu. One last chapter to go soon.
