THIS IS A FAN FICTION ABOUT SEVENTEEN PAIRING : HANSOL VERNON CHOI & LEE CHAN
AGAPE
Cast : Lee Chan.
Hansol Vernon Choi.
Length: Chaptered.
Genre: Hurt Comfort, Family, BL.
Rating:Teen. PG12
Author: Alham Baskoro
Word: TBA words
Page: TBA pages
Writed since : OCTOBER 26TH 2016
Disclaimer: this is just a fiction story about SEVENTEEN pairing HANSOL VERNON CHOI & LEE CHAN. The real characters is belong to the greatest God, ©PLEDISENTERTAINMENT, SEVENTEEN, and their Parents. I just borrow their name. of course the storyline is mine . DO NOT COPY MY STORY.
.
.
.
.
.
ALHAM BASKORO PROUDLY PRESENT
.
.
.
.
.
Agape adalah istilah Yunani yang berarti 'cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, atau cinta tanpa batas, atau cinta tanpa syarat (Inggris: unconditional love)
.
.
.
.
Pertama kali seorang Lee Chan jatuh cinta itu ketika sekolah menengah pertama, tepat saat musim semi menyemarakkan bau petrichor. Seperti kebanyakan orang bilang, musim semi adalah musimnya cinta datang pada pandangan pertama. Dan Chan membenarkannya.
Jujur saja, itu membuatnya sedikit lelah karena sudah dua hari dia tidak pergi tidur. Kupu-kupu di dalam perutnya selalu menggelitik kala Chan selalu memikirkannya. Waktu itu, ia bersekolah dengan sistem asrama khusus laki-laki. Jadilah cinta pertama Chan adalah teman sekamarnya yang—secara harfiah— juga seorang laki-laki. Chan pikir itu tidak terlalu buruk selama ibunya tidak tahu dan ia masih muda, masih banyak waktu untuk bersenang-senang. Lagi pula, bukankah seorang laki-laki tidak bisa hamil?
Musim semi di bulan Maret, sekolah Chan mengumumkan jika program student exchange akan segara dibuka. Itu artinya, akan ada beberapa siswa beruntung yang bisa sekamar dengan produk impor dan belajar berinteraksi dengan bahasa asing. Awalnya, Chan tidak begitu peduli karena Chan pikir bukan dia yang akan 'kebagian' tamu internasional itu dan dia bukanlah tipikal orang yang terlalu ingin membagi kamarnya dengan orang asing, entah itu lokal ataupun interlokal. Chan tidak begitu peduli hingga seorang anak laki-laki asing mengetuk pintu kamarnya di tengah malam dan memberikan senyuman ramah. Hansol Vernon Chwe namanya, lebih tua satu tahun dari Chan, dan dia student exchange dari New York. Bule itu yang membuat Chan jatuh pada pesonanya untuk pertama kali. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang di ujung tanduk, Chan mencoba untuk berkenalan padanya.
"Aaah! You are my new roommate, aren't you?"
"Uhm, aku pernah tinggal di Seoul ketika umur 5 tahun. Lagi pula, aku blasteran dan nama Koreaku Choi Hansol," pemuda asing itu melayangkan cengiran ramah. "Jadi, kurasa kita seharusnya memakai bahasa ibu yang berlaku disini, bukan begitu?" Tidak ada aksen barat saat ia berbicara dengan bahasa Korea, membuat Chan sangat malu. Tolong kubur Chan sekarang juga. Untungnya, Hansol meninggalkan kesan pertama yang baik dan seketika itu juga Chan merasa ada yang menggelitik ulu hatinya ketika ia dan Hansol saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri.
Atau ketika semuanya telah berjalan, bahkan Chan masih belum menyadari sesuatu yang aneh tengah terjadi pada dirinya; ia jatuh cinta.
.
.
.
.
.
Chan itu hanya seorang anak baru gede yang masih polos, masih belum paham apa bedanya rasa cinta dan suka. Saat itu Chan yang masih belum berpengalaman soal cinta, hanya bisa menunjukkannya dengan perhatian-tidak-biasa pada Hansol. Dan parahnya, cinta monyet itu seolah membuat pikiran Chan selalu penuh dengan Hansol, Hansol, dan Hansol. Chan selalu khawatir pada teman sekamarnya itu dibandingkan dengan dirinya sendiri.
"Hyung, bukankah besok ada tanding futsal? Ini sudah tengah malam dan harusnya kau menjaga tubuhmu tetap prima."
"Sebentar lagi, Chan-ah. Makalah biologi ini harus ada di meja guru Shim besok pagi."
"Aku tidak terlalu sibuk besok, aku pikir aku bisa membantumu menyelesaikannya sekarang."
"Kau yakin? Aku akan sangat berterima kasih jika kau bisa membuat bab terakhir tentang fungi lalu mencetaknya. Besok aku hanya tinggal menjilidnya."
"Serahkan padaku, hyung. Kau bisa pergi tidur sekarang."
Cinta memang membuat segalanya tidak masuk akal bagi Chan. Bahkan dia masih ada kertas aljabar yang harus dikerjakan hingga besok pagi. Secara harfiah, dia harus bisa multi tasking untuk malam itu.
Hansol itu baik, secara umum. Itu yang membuat Chan selalu nyaman bila dekat dengannya. Pada prinsipnya, Chan tidak akan segan memberi lebih jika itu untuk orang yang selalu peduli padanya. Tak terkecuali pada Hansol. Pagi itu, Chan terbangun karena suara percikan air di kamar mandi. Mendapati dirinya tengah terbalut selimut merah tebal di atas meja belajarnya Hansol, buru-buru dia mengecek hasil pekerjaannya semalam. Chan panik setengah mati ketika meja belajar Hansol ternyata bersih dari segala macam kertas, di mana seharusnya kertas aljabar dan lima puluh lima lembar makalah biologi milik Hansol berada? Chan tidak mungkin datang ke kantor guru Kang tanpa hasil kerja-keras-semalam-suntuknya itu.
"Mencari sesuatu Chan-ah?" Itu suara Hansol yang baru keluar dari kamar mandi. Ia hanya membalut tubuh bagian bawahnya dan bertelanjang dada dengan otot abdomen yang mulai terbentuk. Chan tidak bisa untuk tidak merona karenanya.
"K-kau melihat makalah d-dan kertas aljabarku, hyung?"
"Ada di ranselku. Aku tidak bisa membiarkan penelitianku dan hasil kerja kerasmu itu hancur karena air liurmu."
"A-apa aku semalam ngences?"
"Hehe, aku bercanda. Aku memindahkannya karena kupikir itu akan mengganggu kenyamanan tidurmu. Ngomong-ngomong, kau tidur dengan bibir yang mengerucut Chan-ah, itu lucu sekali," ujar Hansol, wajah Chan semakin memerah mendengarnya. "Oh ya aku juga sudah menyiapkan cookies dan roti isi untuk sarapan. Lebih baik kau mandi sekarang."
Dan Chan semakin jatuh pada pesona Hansol.
.
.
.
.
.
Chan itu tidak populer, hanya anak laki-laki biasa—kelewat biasa malah. Rutinitas kegiatannya hanya itu-itu saja dari hari ke hari. Berulang, membosankan, dan monoton. Yah, namanya juga anak sekolahan dengan seabrek tugas yang harus diselesaikan, hari Minggu merupakan surga dunia dan harinya untuk beristirahat di dalam kamar. Chan tentu tidak akan mau membuang kesempatan berharga itu hanya untuk sekadar menikmati udara di luar. Baginya, udara di sekitar sekolah itu masih mengandung unsur mata pelajaran dan itu membuatnya mual; abaikan, ia mulai hiperbola.
Awalnya, Chan hobi menggulung diri dengan selimut bak sepotong burito sepanjang hari sampai pagi menjelang. Akan tetapi, itu semua berubah semenjak Hansol datang. Untuk informasi saja, Hansol itu ikut ekstrakulikuler futsal dan Chan beserta semangatnya selalu menggebu kala menonton Hansol sparring futsal. Satu kewajiban Chan jika ia datang ke lapangan sekolah; memberi Hansol semangat dengan berteriak seheboh mungkin dari bangku penonton. Akhir-akhir ini, Chan selalu ingin Hansol yang berkecimpung dalam ekskulnya itu menjadi pengisi hari Minggunya yang kosong. Seolah hari Minggunya yang suram dan kelabu berubah menjadi penuh confetti warna-warni dengan melihat baju Hansol basah karena peluh ditemani dengan sorak-sorai siswa lainnya.
"Hansol hyung memang yang terhebat! Tidak salah jika Hansol hyung menjadi penyerang utama."
"Ah, itu biasa. Kau sendiri, tidak punya kegiatan setiap minggu? Kau selalu datang memberiku semangat dan membawakanku minuman dingin."
"Apa hyung tidak suka jika aku datang?"
"Bukan begitu. Aku justru sangat berterima kasih. Tapi, ada banyak klub di sekolah ini yang bisa dicoba. Apa tidak ada satupun yang cocok denganmu?"
Pertanyaan sederhana dari Hansol sedikit menggugah hatinya. Dari hari itu juga, Chan berniat untuk mencoba satu per satu klub di sekolahnya itu. Tidak secara harfiah, sih. Dia hanya mencari-cari referensi bagus dengan bertanya kesana-kemari kepada beberapa senior di sekolahnya. Ia tidak mau salah pilih hanya karena ingin dilihat oleh Hansol, tetapi hati kecilnya juga tidak bisa menampik bahwa keinginan terbesarnya untuk bisa act out di klubnya suatu saat nanti agar teman sekamarnya itu bisa bangga padanya.
Hansol memang tidak pernah bisa enyah dari pikiran Chan. Semua yang ia katakan seolah menjadi referensi utama bagi dirinya. Terlebih ketika Hansol menyarankan satu klub yang mungkin cocok untuk dirinya.
"Jika kau masih bingung dengan pilihanmu, mungkin kau bisa mencoba klub modern dance untuk pengalaman pertamanya. Kudengar dari Soonyoung hyung klub itu akan membuka audisinya bulan Juni nanti," Hansol melayangkan senyum menawannya ke Chan, membuat yang lebih muda termangu. "Bukankah kau menyukai Michael Jackson? Kau bisa mencoba tariannya bersama anggota klub tersebut."
"Modern dance ya?"
.
.
.
.
.
Bagi Chan, mempunyai pengalaman menggerakan badan untuk pertama kalinya itu terasa seperti mimpi buruk. Bahkan Chan tidak tau apa apa tentang dasar-dasar menari, termasuk pemanasan. Kaki Chan sempat terkilir hingga rasanya ingin mati di tempat, untung ada Hansol yang cepat tanggap membantunya. Oke, Chan memang hiperbolis.
"Jangan lupa lakukan pemanasan atau kau bisa menghancurkan tulang keringmu, Chan-ah." Tutur Hansol lembut ketika membantu Chan untuk melenturkan kembali otot betisnya dengan salep khusus yang panasnya bukan main. Jangan tanyakan kenapa Hansol terlalu berpengalaman untuk urusan itu—ingat jika dia anak futsal kan?
"A-aku hanya terlalu bersemangat, hyung."
"Yah, seharusnya kau bisa menunjukkan kebolehanmu bukan malah menghancurkannya. Berjanjilah padaku untuk tidak mengulanginya.
Berkat referensi Hansol tempo hari, akhirnya Chan bisa merasakan bagaimana rasa hormon adrenalinnya terpacu ketika harus menunjukkan kebolehan di depan seseorang. Terlebih, ada Hansol di bangku penonton ruang auditorium untuk meyaksikannya. Hansol ada untuk melihatnya! Catat itu!
Chan sangat mengidolakan Michael Jackson dan Super Junior. Jadilah ia menggabungkan break dance ala Super Junior dan gerakan moon walk khas sang Raja Pop itu ketika audisi. Entahlah, Chan juga tidak yakin dengan gerakan-mix-amatiran miliknya itu. Dag dig dug terus menghantui perasannya dan Hansol terus ada untuk meyakinkan jika gerakan itu sangat keren.
Hari pengumuman pun tiba esok harinya. Sebenarnya, Chan tidak mau melihatnya lagipula ia sudah lepas tangan dengan itu. Tapi, rasa penasarannya lebih besar daripada isi hatinya. Hasilnya? Tidak terlalu buruk juga, tentu dengan nama Lee Chan terpampang jelas dalam urutan 20 besar di majalah dinding sebagai anggota resmi dari klub modern dance di sekolahnya. Chan tidak bisa lebih bangga dari itu dan ia langsung menubruk Hansol dengan pelukan kuat, yang membuat pemuda blasteran itu terkekeh dan membalas pelukannya. Dalam diam, Chan sangat menikmati saat Hansol mengusak pucuk kepalanya dan melayangkan pujian untuknya.
.
.
.
.
.
Chan bukan sehari-dua hari dekat dengan hansol, dalam konteks sebagai teman asrama dan diam-diam menyukainya. Ia juga tidak pernah mengharapkan apapun dari Hansol atas semua perbuatan baiknya. Namun, ada kala hatinya menjerit sakit ketika melihat bule New York dan sang diva sekolah—namanya Boo Seungkwan— itu kerap terlihat bersama di ruang musik. Chan berusaha mengenyampingkan egonya dan terus bepikir jernih bahwa Hansol baik-baik saja—entah apa maksudnya. Chan terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak perlu mendapat predikat resmi dari Hansol ketika ia butuh perhatian lebih.
Apalah arti sebuah predikat? Hubungan mereka yang seperti ini saja sudah sangat berarti bagi Chan.
"Hyung, kenapa kau sering pulang malam akhir-akhir ini? Bukankah kepala asrama mengontrol jam malam di depan gerbang?"
"Ini untuk keperluan festival pelepasan alumni sekolah. Aku dan Seungkwan diutus untuk mengisi acara itu minggu depan."
"Benarkah?" tentu Chan antusias, meskipun sedikit bercampur dengan rasa kecewa. Hanya sedikit, kok.
"Ya, dan kami akan berduet. Semua yang punya kesempatan untuk mengurus acara itu diperbolehkan pulang larut. Bahkan, para anggota klub band sampai menginap di sekolah."
"Aku harap kau menjaga staminamu hingga festival tiba. Aku tidak mau melihatmu letih di atas panggung, Hansol hyung."
"Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku, Chan-ah." Dan senyuman hangat Hansol malam itu tidak akan pernah terlupakan untuk Chan. Senyum yang selalu menyiratkan kenyamanan baginya.
.
.
.
.
.
Masa ujian akhir semester telah berakhir, dan itu artinya festival sekolah menunggu di depan mata. Sisa tiga hari sebelum festival sekolah dilaksanakan. Seharusnya Chan bisa berleha-leha menikmati waktu bebasnya setelah seminggu yang kejam bersama kertas ujian akhir. Namun faktanya, bahkan hingga pukul 1 pagi ini, Chan masih harus melatih gerakan kakinya dengan tempo musik di ruang auditorium.
"Chan-ah, kami butuh bantuanmu. Jungkook pergi ke Swiss untuk mengurus kepindahan sekolahnya dan kami membutuhkan satu orang lagi penggantinya. Jangan tanya kenapa, tapi yang jelas, kami mengandalkan bakatmu dibandingkan dengan anggota lain."
Itu permintaan Soonyoung kemarin. Permintaan yang sifatnya mutlak dan tidak bisa ditolak. Bahkan kakak kelas kelebihan energi itu tidak membiarkan Chan bicara sedikitpun. Pada akhirnya, Chan harus berlapang dada karena kehilangan waktu tidurnya demi menepati permintaan Soonyoung. Untung masih ada sisa tiga hari sebelum festival sekolah.
"Bakatmu luar biasa, Chan-ah. Apa semua bagian tubuhmu memang lentur seperti itu? Kau bahkan bisa mengejar materi gerakan ini lebih cepat dari siapapun." Puji Soonyoung ketika tempo ketukan musik berakhir. Chan pikir ia sudah menemukan jalan untuk menari dan menggerakan tubuhnya, dan berkat bantuan siapa lagi kalau bukan karena Hansol yang merekomendasi.
"Terima kasih. Soonyoung hyung tetap yang terhebat! Oh iya, Aku tidak melihat Hansol hyung seharian ini. Apa Soonyoung hyung melihatnya?"
"Ruang musik bersama Seungkwan tentu saja."
"Benarkah? Terima kasih kalau begitu. Aku harus bertemu dengannya—"
"Dan bilang padanya untuk gladi bersih jam enam pagi besok."
Kening Chan mengerut bingung." Tunggu, apa urusannya klub kita dengan duet mereka?"
"Kita akan menjadi penari latar untuk mereka. Kau tidak tau itu? Apa Hansol belum memberitahumu?" Soonyoung mengangkat alisnya, membuat Chan tercenung—dan pada akhirnya kembali pada kesadaran.
"A-Aaah baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu, hyung!"
Menjadi penari latar untuk duet Hansol dengan sang diva, itu artinya ia akan terus melihat chemistry antara Hansol dan Seungkwan selama di atas panggung. Siapkah dirinya untuk itu?
.
.
.
.
.
Ada kalanya, Chan ingin menyerah pada Hansol. Ia sangat ingin mengungkapkan segalanya pada pemuda kelahiran New York itu. Ia sangat ingin menceritakan bagaimana kupu-kupu di dalam ulu hatinya yang selalu terbang kesana-kemari ketika melihat Hansol tertawa. Ia sangat ingin menceritakan bagaimana perasaannya ketika Hansol datang dan tersenyum ramah padanya. Ingin menggambarkan efek apa yang dirasakannya begitu Hansol mulai berbicara nyaman dengannya dan menatapnya dengan lebih afeksi. Juga, perasaan perih ketika harus melihat Hansol sibuk berdua dengan Seungkwan.
Jujur saja, Chan selalu ingin melakukannya. Akan tetapi, mulut dan otaknya selalu mempunyai persepsi sendiri ketimbang hati kecilnya—tidak singkron antar satu sama lain. Bahkan, ketika ia menggigit bibir kuat-kuat karena terus memikirkan tentang betapa payah dirinya di depan Hansol, Mulutnya akan selalu berkata,
"Aku tidak apa-apa, hyung. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Bahkan ketika jeritan hati kecilnya meminta untuk jujur pada dirinya sendiri, dusta itu masih terucap dari mulutnya. Chan beruntung ia sempat mencuci mukanya untuk menghapus jejak air mata yang sempat berlinang di pipinya .
"Tapi kau kelihatan tidak baik-baik saja. Apa aku harus minta penggantimu pada Soonyoung? Kau—"
"TIDAK! A-ah maksudku, tidak perlu serius seperti itu. Aku akan mengecewakan banyak orang apalagi Soonyoung hyung jika tiba-tiba saja aku membatalkannya. Ini hanya lelah biasa karena aku belum terbiasa dengan waktu tidurku yang berantakan, mungkin."
"Kalau kau butuh apa-apa, kau tau harus menghubungi siapa, Chan-ah." Hansol tersenyum lagi dan itu membuat Chan jatuh pada pesonanya, entah untuk yang ke berapa kali. "Jangan berusaha terlalu keras jika memang batu itu terlalu sukar untuk dipecahkan." Sederhana, namun kata kata Hansol itu mengandung banyak arti bagi Chan.
"Hansol hyung..."
"Ya?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Uhmm?"
"Semoga sukses dengan duetmu besok. Buat aku bangga." Jujur saja, itu adalah pertama kalinya Chan berbicara dengan nada serius dan langsung mempertemukan pandangannya dengan Hansol. Chan tahu harusnya ia lebih sering berinteraksi pada pujaan hatinya seperti ini, karena sorot iris kecoklatan Hansol telah menjadi candu baginya; tatapannya fokus, namun menenangkan.
Bibir Hansol perlahan membentuk kurva yang berhasil membuat dada Chan berdesir lembut.
"Terima kasih. Kau juga semoga sukses."
.
.
.
.
.
.
Awal Juli bertepatan dengan musim panas, kebetulan dengan mekarnya bunga canola kuning di pekarangan yang ada di belakang sekolah. Dan sehubungan dengan berakhirnya pelepasan alumni secara simbolis oleh kepala sekolah, acara festival pun dimulai. Bangku penonton penuh terisi dengan berbagai tamu penting ataupun para orang tua murid dan para panitia acara sibuk hilir-mudik mengatur jalannya acara agar sesuai dengan rundown.
"Hansol, Seungkwan dan Manse crew harap bersiap setelah sesi stand up comedy selesai. Itu artinya sepuluh menit lagi."
"Dimengerti!"
Chan agak tidak fokus dengan gerakannya. Bahkan hingga detik-detik akhir sebelum tampil, ia terlihat seperti bukan dirinya. Chan juga tidak mengerti kenapa ia bisa begitu. Namun, satu yang pasti, bukan Hansol yang menyebabkannya. Dia hanya merasa ada yang aneh dengan dirinya.
Ketika musik mulai berdentum, Manse Crew dan duo Hansol-Seungkwan naik ke atas panggung. Kalau boleh jujur, ada rasa sedikit perih di hati dan juga pening di kepalanya. Akan tetapi, Chan tahu, sebagai seorang pelaku seni ia harus tetap profesional—walaupun pada kenyataannya ia masih seorang amatiran. Tidak ada salahnya untuk memberikan yang terbaik.
Untuk Chan, tampil perdana di depan banyak orang itu merupakan hal yang menegangkan sekaligus menakjubkan, namun berbeda ketika itu harus ditambah dengan berbagai perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Pertunjukkan selesai dengan gemuruh tepuk tangan dari seisi sekolah yang menyaksikannya, tetapi keadaan Chan tidak semakin baik ketika ia harus mengeluarkan kembali menu sarapannya di toilet sekolah. Hansol yang melihat itu segera berinisiatif untuk memijat lehernya dengan minyak aroma terapi.
"Chan-ah, kau terlihat pucat. Apa benar kau baik baik saja?" Air muka Hansol terlihat cemas, dan Chan tidak suka melihat ekspresi itu melekat di wajah orang yang ia sukai.
Jadilah Chan hanya tersenyum lebar, mengusap mulutnya dengan punggung tangan lalu berkata, "Aku baik. Aku makan terlalu banyak tadi pagi," sebenarnya, ini tidak sepenuhnya benar. Chan hanya makan satu roti lapis dan susu.
"Kau tahu, hyung? mungkin ketika liburan nanti aku perlu pulang ke Jeolla."
Sorot di mata Hansol berubah menjadi sorot mata tertarik. "Benarkah?" tanya Hansol memastikan, Chan mengangguk. Pemuda beriris cokelat itu meletakan botol minyak aroma terapinya ke lantai setelah membalurkannya ke telapak tangannya sendiri. Ia meraih kedua tangan Chan lalu menggosok-gosokkan telapak tangannya ke telapak tangan Chan—memberikan kehangatan dari minyak aroma terapi dan suhu tubuh Hansol. Chan memerah padam.
"Aku pernah melihat seseorang melakukan ini, dulu sekali saat aku masih kecil," jelas Hansol. "Kau merasa baikan sekarang?"
Chan hampir tidak pernah merasa lebih baik dari pada ini. Ia dan Hansol, hanya ia dan Hansol berdua di dalam satu ruangan. Sekalipun ruangan itu adalah bilik paling ujung di toilet, Chan sama sekali tidak memiliki masalah. Mata Hansol menyorot lembut ke arahnya dan otomatis lidah Chan terasa kelu, ia bahkan tidak bisa membalas pertanyaan Hansol dengan jawaban—ia hanya mengangguk pelan.
Hansol menghela nafas lega, sebelum ia bangkit dari posisi berjongkoknya. "Baguslah. Ayo kita keluar dari sini, Seungkwan pasti menungguku untuk mengevaluasi ulang penampilan kami," tangan Hansol terjulur ke Chan, bantuan untuk berdiri. "Kau tidak perlu kugendong, kan?" senyum usil sekilas sempat tercetak di bibir Hansol.
Chan menggeleng, merasakan bahwa ujung telinganya memanas lagi. Ia menerima uluran tangan Hansol, beranjak berdiri dan mengekor teman sekamarnya keluar dari bilik kamar mandi. Oh ayolah, kenapa chan seolah berubah menjadi gadis feminim seketika jika itu hansol bersamanya?
"Kau boleh menyimpan roll on itu. Siapa tahu kau mabuk di perjalanan nanti, kau bisa memakainya. Benda itu sepertinya cocok denganmu."
Dan Chan memandangi botol minyak aroma terapi di tangannya seiring kepergian Hansol yang hendak menemui pasangan duetnya tersebut. Ia tersenyum senang, menggenggam erat botol berukuran kecil tersebut di tangannya dan bersumpah untuk tidak akan menghilangkan pemberian kecil dari Hansol ini.
.
.
.
.
.
.
.
TO BE CONTINUE
.
.
.
.
.
.
A/N; YOW, FF INI MEMULAI AWALNYA. REVIEW DONG BIAR TETEP LANJUT FFNYA :) EHEHEHEHEHEH. BTW, SEVENTEEN MAU KONSER KE SINI LOH?! MEET UP LAH SAMA GUA AHAHAHAHAHAHA
