1.
Tidak ada yang berubah dari Cheong Wa Dae semenjak dua ratus tahun yang lalu. Bangunan itu masih sama, menyaingi samudera dengan warna biru yang hampir mirip, dan juga ukuran bangunan yang tak juga melebar, maupun menyempit. Bagi ayahnya, Cheong Wa Dae merupakan harga diri. Ayahnya sungguh rela melakukan apapun asalkan ia bisa tetap membuka mata di bawah atapnya pada setiap pagi. Terlebih wanita itu- istri ayahnya, seluruh dunia mengetahui bahwa perempuan itu merupakan wanita Cheong Wa Dae yang tak bisa diganggu gugat, serta anak perempuan mereka yang anggun dan cantik- Lee Saeun (dengan embel-embel putri Cheong Wa Dae). Perempuan itu tentu akan sangat gampang mendapatkan pria manapun yang ia inginkan semudah ia membuang napasnya.
Seharusnya Sungmin tidak iri pada Lee Saeun. Dan untungnya, ia tidak akan pernah sudi untuk iri.
Sungmin hampir lupa bagaimana bentuk bangunan beratap biru itu kalau saja ia tidak membuka buku sejarah miliknya empat puluh menit yang lalu. Mobil kepresidenan milik ayahnya berada tepat di depan mobil yang ia tumpangi, dan di belakangnya pula terdapat iring-iringan beberapa mobil yang terkesan mengepung dirinya- hal yang paling tidak pernah ia sukai mulai terulang lagi, padahal ia sudah sangat yakin kali pertama dan terakhir adalah enam tahun lalu saat ia berada dalam iring-iringan seperti ini. Sungmin tidak pernah menyukai keramaian, apalagi jika ia tengah menjadi pusat perhatian. Setidaknya, ia bisa bernapas lega karena hal itu tidak akan terjadi semenjak masih ada Lee Saeun di sebelahnya. Gadis itu yang akan menyedot semua tatapan untuk Sungmin.
Sejak tadi wajah mungil Saeun pucat. Napasnya memburu tak beraturan. Jemari lentik gadis itu tengah menggenggam erat ponsel keluaran terbaru dengan harga yang luar biasa mahal, namun dengan keadaan layar ponselnya yang hancur lebur.
Benar-benar tidak bisa menghargai barang, pikir Sungmin. Ia bahkan sudah puas dengan ponsel keluaran empat tahun lalu. Toh dirinya juga jarang menggunakan ponsel. Ia lebih memilih membaca buku-buku tua bersejarah di perpustakaan milik Tuan Shin dan selalu berdoa jika suasana hati pria tua itu jadi baik. Sungmin akan mendapatkan buku secara cuma-cuma!
Saeun kemudian melemparkan ponsel yang hancur itu mendekati ujung kakinya yang tertutup sepatu hak tinggi merah marunnya. Entah, Sungmin tidak tahu apakah ponsel itu akan membuat hiasan permata mengkilap di sekeliling sepatu akan copot, namun kemudian gadis itu meraung. Ia terbiasa mendengar suara raungan Saeun, namun gadis itu tidak pernah bertingkah di dalam iring-iringan seperti ini. Tentu saja, jika ini urusan hati, gadis seperti Saeun pun tentu akan memberontak.
"Aku tidak akan melepaskan Choi Minho!" Saeun kemudian beralih untuk menggigiti beberapa kuku jarinya yang berwarna merah muda. "Dia yang seharusnya menikah denganku, bukan tua bangka yang menjijikan itu!"
"Hati-hati yang kau sebut tua bangka." Sungmin menghela napas dengan sedikit tertahan. Jemari tangan kirinya masih menggenggam buku sejarah hasil penjaman dari perpustakaan Tuan Shin sejak ia masuk ke dalam mobil. Telapak tangannya sedikit basah, mungkin terlalu lama menggenggam buku itu. "Ia penguasa New Korea!"
"Aku gadis cantik putri penguasa Seoul!" Saeun kemudian berteriak, menatap ke arah Sungmin dengan linangan air mata sambil menjunjuk ke arah dirinya sendiri. "Aku seharusnya mendapatkan yang terbaik, pria yang tak hanya dengan status sosial yang tinggi, serta dengan wajah dan fisik yang sempurna! Kau kira aku akan bahagia jika dinikahkan dengan seorang raja tua yang buruk rupa? Seoul akan baik-baik saja walaupun tidak bergabung dengan New Korea!"
"Kau sendiri yang bilang, kalau kau adalah putri dari penguasa Seoul." Sungmin tahu, supir dan pengawal keamanan yang duduk di kursi depan mobil sedari tadi menguping, namun sepertinya Sungmin tidak keberatan untuk melanjutkan perbincangan ini lebih jauh. "Ayah dipilih untuk melindungi rakyat, membuat rakyat selalu berada dalam rasa aman dan damai. Kau pikir dengan perang, ledakan, dan pertumpahan darah, apakah rakyat akan sejahtera?"
"Tapi ini tidak adil! Mengapa harus aku? Aku juga memiliki kehidupan! Aku akan menikah dengan laki-laki yang aku cintai!"
"Siapa lagi yang bisa ayah mintai tolong selain kau?" Sungmin beralih untuk balas menatap kedua bola mata bulat Saeun yang makin berair. "Mengorbankan putrinya sendiri juga merupakan sebuah konsekuensi bagi ayah untuk menyelamatkan negara dan rakyatnya!"
"Harusnya ayah mengorbankan kau!" Saeun menjerit, lalu kemudian ia makin histeris saat mobil yang mereka tumpangi dan iring-iringan mereka sudah memasuki gerbang Cheong Wa Dae. "Kau tidak berkontribusi apapun bagi keluarga ini, Lee Sungmin! Kau tidak pernah membuat ayah bangga akan dirimu, bahkan ayah sendiri malu untuk mengakuimu sebagai anaknya di hadapan publik! Kau yang seharusnya berkorban bagi keluarga ini dengan inisiatifmu sendiri!"
"Aku harap kau paham tentang apa yang kau katakan."
Sungmin baru saja menyadari jika jemarinya yang mengepal meninggalkan bekas kuku yang menancap di telapak tangannya. Saeun melebarkan senyumnya bertepatan dengan laju mobil mereka yang berhenti tepat di depan pintu masuk Cheong Wa Dae. Meskipun kedua pipinya masih meninggalkan beberapa tetes air mata dan sempat membuat pewarna pipi merah mudanya sedikit luntur, hal tersebut sama sekali tidak membuat penampilan cantiknya menjadi cacat.
"Ya, aku sangat paham." Setelah membuka sedikit kaca jendela mobil yang berada di sisinya, Saeun menjulurkan telapak tangan kanannya ke arah beberapa pengawal keamanan yang berjejer tegap di depan pintu keluar mobil, berniat untuk menghentikan aksi salah serang pengawal yang akan membukakan pintu untuk kedua gadis Lee tersebut. "Ayah ternyata lebih menyayangi aku daripada kau, karena pernikahan dengan tua bangka ini akan membuat aku menjadi ratu penguasa dua negara sekaligus. Aku akan mendapatkan semua yang aku inginkan." Saeun melirik sedikit ke arah kaca lipat yang tersimpan di dalam tas tangan mahalnya, meneliti apakah penampilannya berubah buruk selepas ia meraung dan menangis barusan. "Tetapi aku tidak keberatan kalau kau yang menggantikan aku menikahi tua bangka itu. Bagaimanapun juga jika kau menjadi ratu nanti, keluarga Lee yang akan mengambil peran untuk pemerintahan bukan?"
"Kau yang sudah terpilih." Sungmin sedari tadi berusaha keras untuk menata hatinya untuk tetap tenang, tanpa dikuasai amarah maupun perasaan sedih yang berkecamuk. Walaupun kedua perasaan itu datang secara beriringan tanpa bisa Sungmin cegah, ia sudah terlatih untuk mengendalikannya semenjak Saeun dan ibunya datang ke dalam kehidupannya yang sempat sempurna. "Mereka menginginkan seorang gadis yang terpelajar dan cantik, dan juga yang diakui ayahnya dengan sepenuh hati. Berbanding terbalik denganku."
.
.
.
Saat Sungmin memasuki Cheong Wa Dae, bangunan itu terasa seperti panggung boneka raksasa yang mengubahnya menjadi sebuah boneka kayu, lalu semua orang yang berada di sini seperti penontonnya. Terkecuali ayahnya. Pria itu terbayang sebagai pemilik panggung dan boneka kayunya sekaligus. Sungmin tidak boleh bersuara sekecil apapun, bahkan merintihpun ia tidak boleh. Bersin pun tidak. Itu yang ayahnya katakan sejak tiga hari yang lalu melalui sambungan telepon, dan Sungmin harus menuruti semua yang pria itu perintahkan tanpa bantahan secuilpun. Demi reputasi ayahnya, dan demi usahanya untuk kembali diakui sebagai anak.
Kalau kau bersuara, aku tidak akan punya muka lagi! Itulah yang pria itu katakan, Sungmin masih ingat jelas. Kau tiak tahu apa-apa tentang tata karma politik, kau hanya perlu membungkuk jika yang lain membungkuk, duduk jika yang lain duduk, dan berdiri jika yang lain masih berdiri!
Ya, ucapan ayahnya tidak salah. Sepenuhnya benar. Dirinya tidak tahu apa-apa tentang politik dan tetek bengeknya. Yang dirinya tahu hanyalah skripsi akhir untuk kuliahnya, cepat-cepat lulus dan mencari kerja yang pantas sesuai minatnya, dan kalau bisa melepaskan diri sepenuhnya dari keluarga brengsek ini. Ia hanya perlu bertahan sedikit agar pria itu mengakuinya sebagai anak, walau tanpa kasih sayang seorang ayah. Uang kuliahnya hanya perlu dibayar sekali lagi, lalu setelahnya, ia mungkin tidak peduli lagi akan hidup dan mati pria itu beserta istri dan anaknya (yang satunya). Sungmin sudah cukup lelah merasakan bagaimana mencari uang sendiri untuk membayar uang semesternya dengan mengurusi berkas-berkas peminjaman dana bank. Seoul sendiri tidak memperbolehkan penduduk yang belum menamatkan pendidikan sarjana untuk bekerja, termasuk sambilan sekalipun. Mereka meminta bukti kelulusan, dan satu-satunya cara adalah meminjam dana pada Bank Seoul yang pengurusannya sangat menyusahkan. Untung saja pria itu tiba-tiba datang mengakuinya sebagai anak kembali, walaupun ia melepas tanggung jawab sebagai ayah selama hampir tiga tahun. Pria itu melunasi hutang Sungmin di bank dan mulai membiayai uang kuliahnya.
Lalu sekarang sebagai gantinya, ia harus tampil sebagai putri pertama Presiden Seoul yang sempat tidak diakui dan buruk rupa. Andai Seoul seperti dua ratus tahun yang lalu, ia pasti sedang membanting tulang untuk bekerja sambilan sekarang, dan juga tidak akan sudi mengakui pria ini sebagai ayahnya. Tertulis dibuku sejarahnya bahwa penduduk yang masih berada di sekolah menengah pun boleh bekerja sambilan.
Sungmin menahan napasnya. Jika saja ia tidak terlahir di Seoul zaman ini.
Keadaan yang sempat sepi kini tiba-tiba menjadi ricuh. Pasukan pengawal keamanan melapor bahwa rombongan Kerajaan New Korea telah datang menuju gerbang Cheong Wa Dae, dan beberapa menit kemudian sudah memasuki ruang pertemuan untuk kunjungan tamu negara.
"Tuan Presiden." Pria yang berhiaskan rambut di sekeliling bibir dan dagunya membungkuk dalam. Hebatnya, pria itu bahkan tidak pernah melepaskan senyum semenjak kedatangannya. Sungmin bertanya-tanya apakah otot wajah pria itu bermasalah? "Saya Kim Yesung, orang kepercayaan raja." Lanjutnya. "Atas nama Baginda Raja sendiri, kami memohon maaf karena paduka raja berhalangan hadir karena masalah kesehatan. Kami harap Tuan Presiden bisa memakluminya. Sebagai permintaan maaf, baginda raja mengirimkan beberapa hadiah untuk Nona Lee Saeun."
Semuanya ada tiga peti besar, seukuran peti mayat, tetapi bedanya ketiga peti itu terbuat dari emas asli. Dengan melupakan tata krama dan status sebagai calon ratu New Korea, Saeun memekik cukup kegirangan ketika orang-orang suruhan New Korea membuka peti yang masing-masing berisi gaun-gaun indah dari sutera, perhiasan-perhiasan yang terbuat dari batu rubi dan berlian, serta satu peti yang berisi sepatu-sepatu indah—tiga kali lipat dari sepatu merah marun yang berhiaskan permata milik Saeun. Tiba-tiba saja, pikiran untuk memaksa Sungmin menggantikan posisinya menikahi raja tua itu sirna. Jika ia dilimpahi hadiah-hadiah yang diluar nalar seperti ini, apa salahnya memandangi wajah pria keriput yang berbaring di sampingnya setiap malam?
"Maaf saya tidak sopan." Saeun kini berubah menjadi gadis anggun yang terpelajar, membungkuk hormat di hadapan Kim Yesung beserta anak buahnya. "Sampaikan rasa terima kasih saya untuk paduka raja, serta harapan agar raja cepat sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala."
"Akan saya sampaikan, Nona Lee." Kim Yesung lagi-lagi tersenyum, kali ini lebih lebar. "Paduka raja berjanji untuk mengunjungi Seoul satu minggu lagi demi membahas pertunangan dan beberapa perjanjian antar dua negara. Saya harap Tuan Presiden, Nyonya Lee beserta Nona Lee Saeun bersiap-siap untuk itu."
"Tentu saja tuan Kim." Park Jungsoo, isteri ayahnya itu tersenyum sangat lebar menyaingi senyuman Kim Yesung hingga menampilkan gusinya. "Kami sangat menantikan kedatangan Baginda Raja dan rombongan New Korea minggu depan."
Sungmin sudah sangat tahu jika setelahnya kembali dilanjutkan dengan perbincangan basa-basi antara ayahnya dengan pria utusan New Korea itu, lalu keinginannya untuk buang air kecil tiba-tiba saja muncul. Kalau ia menghilang dari sana, sepertinya tidak apa-apa. Toh sepertinya rombongan kerajaan New Korea, bahkan raja sendiri tidak pernah mengetahui jika Lee Kangin yang terhormat, presiden Seoul itu mempunyai putri satu lagi yang bernama Lee Sungmin. Sejak awal, dirinya juga hanyalah sebagai alat jaga-jaga, jikalau utusan New Korea menanyakan perihal putri Lee yang satu lagi. Tetapi kenyataannya, Sungmin bahkan tidak dianggap ada sejak tadi! Jadi, dirinya berusaha meninggalkan tempat itu tanpa dilihat oleh siapapun, tanpa ada suara derap kaki, dan dengan langkah yang cukup cepat.
Sialnya, Sungmin tidak tahu di mana letak kamar kecil sialan itu.
Dan juga sepertinya, letak kamar kecil tidak berdekatan dengan pekarangan samping yang sepi tanpa adanya batang hidung satupun. Kemana perginya para pengawal keamanan yang jumlahnya puluhan itu?
"Kau terlihat bingung, nona?"
Oh, nampaknya ada satu batang hidung yang terlihat. Hanya seorang pria bertubuh tinggi yang tegap, namun tidak terlihat seperti pengawal keamanan, maupun rombongan New Korea. Orang itu mengenakan topeng pahlawan anak-anak yang cukup terkenal akhir-akhir ini untuk menutupi sebagian wajah dan rambutnya, namun berpakaian agak sedikit berantakan dengan balutan kemeja biru gelap. Tidak menutup kemungkinan jika pria itu adalah teroris dengan tampang konyol, namun Sungmin tidak peduli sama sekali. Yang ia butuhkan hanya kamar kecil, dan pria sinting ini mungkin tahu di mana letaknya.
"Ka…..mar…. kecil." Ucap Sungmin, tersedat-sedat. "Tahu di mana tempatnya?"
"Tidak." Ucapnya cepat, kelewat singkat. "Kalau ingin buang air kecil, bisa di balik pohon. Aku bantu kau berjaga."
"Kau gila?" Sungmin menarik kembali pemikiran jika pria ini teroris. Tidak ada teroris berotak dungu yang pernah ia ketahui sebelumnya, termasuk dalam sejarah sekalipun. "Aku ini perempuan dan ini tempat terbuka!"
"Terserah kau." Pria itu mengangkat kedua bahunya. "Silakan cari kamar kecil terdekat. Semoga beruntung."
Brengsek. Saluran kencingnya tidak dapat menahan urin lebih lama. Sungmin akan mengompol saat ini juga!
"Sial!" Sungmin mengumpat dengan panik, menarik tangan pria bertopeng pahlawan anak-anak itu dengan cepat menuju batang pohon mana saja yang terlihat. "Pegang ucapanmu untuk berjaga! Jangan mengintip!"
Pria itu tidak bersuara, namun tengah memberikan Sungmin tatapan mata yang tajam dari kedua celah lubang untuk mata pada topeng. Kemudian Sungmin benar-benar berjongkok dengan tolol, mengeluarkan urinnya dari balik batang pohon, memunggungi pria aneh bertopeng pahlawan anak-anak sambil berdoa agar pria itu benar tidak mengintip dan merutuki betapa sial nasibnya hari ini. Ini akan menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupnya untuk buang air kecil dari balik pohon, Sungmin bersumpah.
"Hei!" Sungmin berteriak dari balik pohon. Masih dalam posisi berjongkok walaupun pengeluaran urinnya akan habis sebentar lagi. Oh Tuhan, ia merasa seperti seekor anjing sekarang! Apa yang akan ayahnya katakan kalau ia melihat Sungmin dalam posisi seperti ini? Apalagi jika orang-orang New Korea melihat dan tahu bahwa Sungmin merupakan putri yang satunya lagi! Badebah! Sungmin mungkin akan dihukum mati dengan tuduhan sebagai penghalang pernikahan raja New Korea dan Lee Saeun! Gila!
Namun tidak ada tanggapan. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh Sungmin. Kurang ajar! Pria aneh itu pasti meninggalkannya, atau bahkan merekam aksinya! Bodoh! Mengapa Sungmin tidak memikirkan hal ini sebelumnya? Kalau pria itu menyebar rekaman Sungmin yang buang air kecil bak anjing dari balik pohon, maka ayahnya akan…
"Apakah kau tidur sambil buang air kecil?" Suara milik pria aneh itu terdengar. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menungguimu, nona."
Syukurlah. Sungmin masih bisa sedikit tenang.
"Aku sudah selesai!" balas Sungmin, lekas menaikkan kembali celana dalam dan membenahi ujung gaunnya yang sedikit berantakan. Setelah ini, ia harus bersikap tidak terjadi apa-apa dan menebalkan wajahnya. Ia berharap, aroma kencingnya tidak tercium oleh pria aneh itu. Untung pria itu mengenakan topeng.
Saat Sungmin cepat-cepat keluar dari balik batang pohon, pria aneh itu menyambutnya dengan kedua tangan yang dilipat di dada.
"Kau menjatuhkan bukumu." Pria itu menggerakan ujung dagunya ke arah buku sejarah hasil pinjaman perpustakaan Tuan Shin yang ia bawa sedari tadi. "Bahan bacaan yang menarik."
"Tidak perlu repot-repot untuk mengomentariku, tuan." Sungmin membalas dengan sedikit bersungut. Lekas memungut buku itu. "Kau pasti menganggap aku adalah perempuan yang membosankan di dalam hati."
"Aku mengapresiasi orang-orang yang membaca dalam konteks apapun." Si pria aneh mengalihkan kedua tangannya menuju arah saku celana. "Tetapi kalau kau ingin mendalami sejarah Seoul dan New Korea dari dua ratus tahun yang lalu, kurasa buku yang itu bukan merupakan referensi yang memuaskan."
"Aku sudah membaca tujuh puluh tiga buku tentang hal ini, terima kasih sebelumnya."
"Aku merekomendasikan buku bacaanku yang ketiga ratus empat puluh delapan, karya Jung Yunho." Pria itu membalas lagi. "Informasi yang disajikan sangat mendetail dan lengkap, serta mengajak para pembacanya untuk berpikir kritis."
"Aku sudah membacanya, pada bukuku yang ke empat puluh satu." Sungmin menaikkan sebelah alisnya, menatap ke arah si pria aneh lekat-lekat. "Aku cukup senang karena menemukan teman dengan hobi yang sama."
"Aku tidak menjamin jika kita bisa berteman." Si pria aneh menjawab dengan datar. "Kita harus berjumpa lagi."
"Perjumpaan selanjutnya, kau adalah temanku!" Sungimin kali ini yang melipat kedua tangannya di dada. "Itu syarat dariku."
"Siapa namamu?" Sungmin cukup terkejut ketika ajakan pertemanannya malah dibalas dengan sebuah pertanyaan.
"Nama tidak penting."
"Bagaimana kau bisa berteman jika tidak tahu nama?"
"Sungmin." Sungmin berucap malas. "Puas?"
"Belum. Sampai aku mengetahui nama depanmu."
"Penuntut sialan." Sungmin tertawa. "Lee. Aku Lee Sungmin."
Kemudian, gelagat si pria aneh nampak terkejut.
"Apakah kau salah satu putri presiden, nona?"
"Ya, namun jangan terlalu dipikirkan! Aku tidak terlalu dianggap!" Sungmin membalas dengan raut wajah yang panik. Apakah setelah pria aneh ini mengetahui jika Sungmin merupakan salah satu putri presiden, orang ini akan sungkan untuk berteman dengannya? Toh, penduduk Seoul bahkan hampir tidak mengenali dirinya. Mereka hanya mengenal sosok Lee Saeun.
Tetapi untuk orang yang membaca buku sejarah lebih dari tiga ratus buku seperti pria ini, tidak heran jika ia mengenali siapa itu Lee Sungmin walaupun hanya dari nama. Sungmin merasa cukup dikenali. Sedikit.
"Sampai bertemu, nona Lee."
"Siapa namamu?" Si Pria aneh menghentikan langkahnya sejenak, padahal sudah jelas ia mengambil langkah untuk lekas pergi dari sana dengan tergesa-gesa.
"Panggil saja aku si Pria Sinting seperti yang kau pikirkan, sampai kita bertemu lagi nanti."
Si Pria Aneh menghilang dengan terburu-buru. Dan Sungmin melepaskan kepergiannya dengan harapan jika pria itu benar-benar tidak merekam dirinya buang air kecil di balik batang pohon.
.
.
.
Kunjungan Kerajaan New Korea sepekan lalu menjadi topik utama dalam pemberitaan di televisi maupun surat kabar Seoul, apalagi dengan penjelasan bahwa raja New Korea dan putri presiden Seoul, Lee Saeun akan melangsungkan pertunangan demi perdamaian dua negara. Dan seperti yang diduga pula, Lee Sungmin tidak masuk liputan ataupun pemberitaan apapun. Tentu saja.
Selepas dari kunjungan pertama Kerajaan New Korea minggu lalu tanpa dihadiri raja mereka, Sungmin sudah memulai aktivitasnya yang biasa. Fokus pada skripsi, menambah daftar buku yang ingin ia baca, serta merindukan Si Pria Aneh yang mungkin saja mengintip (atau bahkan merekam) dirinya saat buang air kecil di balik pohon. Walaupun yang terbayang di dalam benaknya, pria itu bertingkah dungu dengan topeng pahlawan anak-anak murahan yang biasa ia temukan di kedai-kedai mainan pinggir jalan. Sungmin bahkan baru terpikir bagaimana seorang aneh dengan topeng pahlawan anak-anak bisa menjejakan kaki ke dalam Cheong Wa Dae.
Namun saat perjalanannya untuk keluar dari perpustakaan milik Tuan Shin dengan bawaan tiga tumpuk buku baru, Seoul dihebohkan dengan pemberitaan raja New Korea yang telah wafat beberapa jam yang lalu.
Raja itu wafat di usia yang ke enam puluh tiga tahun.
Itu berarti, tidak ada perdamaian dua negara yang saat ini tengah berperang. Dan tidak ada pernikahan untuk Saeun.
Seoul akan tetap menjadi musuh bebuyutan New Korea, dan lagi-lagi akan ada pertumpahan darah.
Kali ini, tumpukan buku yang Sungmin bawa terasa berat.
.
.
.
Belum habis masa berkabung sekaligus gembiranya Lee Saeun karena batal menikah dengan raja New Korea, keesokan harinya, secara mendadak, rombongan Kerajaan New Korea memutuskan untuk berkunjung siang harinya ke Seoul, dan Sungmin dengan terpaksa kembali ke Cheong Wa Dae dengan balutan gaun yang kalah telak indahnya dari milik Saeun.
Seluruh isi Cheong Wa Dae dan pejabat-pejabat Seoul dibuat kelimpungan, termasuk ayahnya yang tengah cemas apakah New Korea ingin melancarkan gencatan senjata seperti bom nuklir? Karena perihal pernikahan politik antara Seoul dan New Korea tidak akan terjadi semenjak wafatnya raja mereka kemarin.
Jejeran limusin hitam yang mewah berdatangan di depan pintu masuk Cheong Wa Dae, dan kali ini sosok Kim Yesung yang berhasil Sungmin ingat dengan senyuman yang lebar tengah membungkuk di hadapan sosok pria bertubuh tinggi tegap dengan balutan jas hitam. Pria itu tengah menatap ke arah keluarga Lee dengan tatapan mencekik.
Saeun sendiri sedari tadi, tidak pernah berhenti untuk memuji betapa tampannya pria berjas hitam itu dalam hati, dan bertanya-tanya apakah ia merupakan pejabat kerajan dari New Korea setelah melihat Kim Yesung—si kaki tangan raja begitu menyembahnya. Sungmin sudah paham betul gelagat gadis itu ketika tengah jatuh pada pandangan pertama dan tidak begitu menghiraukan rombongan Kerajaan New Korea yang mulai berjalan masuk karena pemikirannya saat itu ialah kapan hal ini lekas berakhir dan kapan ia akan berbaring di atas ranjang apartemennya yang nyaman.
Namun pemikirannya buyar saat Kim Yesung mulai memperkenalkan siapa pria itu di hadapan ayahnya, istri ayahnya dan Lee Saeun.
"Tuan Presiden, Nyonya Lee beserta Nona Lee Saeun, izinkan saya memperkenalkan, Yang Mulia Raja Cho Kyuhyun, raja New Korea yang baru saja naik takhta."
Brengsek. Pekik Sungmin dalam hati. Mengapa ia bisa lupa jika raja New Korea memiliki seorang pewaris yang jarang muncul di hadapan publik.
"Tuan Presiden." Cho Kyuhyun, raja New Korea yang baru itu- menjabat erat tangan Lee Kangin sembari tak luput untuk menatap tajam. Kemudian secara bergantian pula menjabat Park Jungsoo dan tentu saja Lee Saeun- yang menatapnya dengan tatapan penuh pemujaan. Sungmin membuang wajah. Tentu saja, ia tidak perlu menyiapkan tangan untuk menjabat sang raja. Bahkan, ia sendiri berdiri di tengah kerumunan para pengawal keamanan dan beberapa pejabat yang tidak diperhatikan.
Tetapi tak lama berselang, saat pandangan wajah Sungmin masih memandangi ujung sepatu hak tinggi berwarna kuning lemon miliknya, ia mendapati sepatu pantofel hitam mengkilap tepat di depan sepatunya.
"Apa kabar, nona Lee Sungmin?"
Lalu saat Sungmin mendongak, sang raja menatapnya dengan lekat, begitu intens. Hampir membuat jantung gadis itu berhenti berdetak sesaat.
Bodohnya lagi, Sungmin tak kunjung membalas jabatan tangan sang raja.
Mereka sama-sama menunggu. Sang raja yang menunggu Sungmin membalas uluran tangannya, dan Sungmin yang menunggu jika bayangan raja itu hanya ilusi kemudian menghilang.
"Nona Lee Sungmin?" ulang Kyuhyun- sang raja, yang nampaknya mulai geram karena terlalu lama menunggu hingga gadis itu menutup mulutnya yang menganga sedikit.
"Ma…. maafkan saya." Sungmin balas menjawab dengan terbata-bata, kemudian ia merasakan jabat tangan Kyuhyun pada tangannya begitu hangat dan erat, menyapu sedikit keringat di telapak tangannya yang dingin.
"Anda memiliki putri yang sangat unik, Presiden." Kyuhyun membalikkan tubuhnya, namun masih menjabat jemari Sungmin yang mungkin tengah beku sekarang. "Dia meminta maaf saat saya menanyakan kabar."
"Maafkan kebodohan anak saya, Yang Mulia" Kangin lekas menundukkan badannya dalam. "Sepertinya saya telah gagal mendidiknya tentang tata krama."
"Tidak masalah." Kyuhyun beralih lagi untuk menatap ke arah Sungmin yang hampir bersuara. "Saya sangat yakin jika anda baik-baik saja, bukankah begitu, nona Lee?"
"Ya. Terima kasih, Yang Mulia." Sungmin menahan napasnya sejenak. Berharap agar raja ini lekas melamar Saeun, mungkin kalau bisa menikah ditempat ini sekarang juga. Ia sungguh ingin terbebas dari tetek bengek politik yang memuakkan seperti ini. Lalu jabat tangan mereka terlepas.
"Saya ingin membahas perjanjian perdamaian antara New Korea dan Seoul, beberapa syarat, kompensasi, serta pertukaran hal-hal yang diperlukan."
Pria itu terlalu tepat sasaran dan tidak suka bertele-tele, pikir Sungmin. Setelahnya pula, raja itu menolak kala Kangin menawarkan diskusi yang nyaman di dalam ruang pertemuan tamu negara.
"Tetapi sebelum itu, Tuan Presiden, saya juga ingin membahas perihal pernikahan antara saya dengan putri anda."
Sungmin tidak sengaja menatap ke arah Saeun. Seketika saja kedua pipi gadis itu memerah.
"Jadi, pernikahan itu tetap dilaksanakan, walaupun Raja New Korea sebelumnya wafat?"
"Keluarga Kerajaan New Korea tidak pernah mengingkari janji, Tuan Presiden." Suara Kyuhyun berubah menjadi lebih berat dan tajam. "Seperti tawaran kami sebelumnya, adanya pernikahan politik antara putri dari Presiden Seoul dan raja New Korea. Maka saya yang akan menggantikan raja sebelumnya untuk menikahi putri anda."
Lee Kangin dan Park Jungsoo menampilkan raut wajah yang terlihat sumringah. Tentu saja, hal ini merupakan sebuah keberuntungan. Rencana pernikahan yang tetap ingin dilaksanakan dengan raja yang begitu berkuasa dan kaya raya (ditambah raja ini berusia muda dan memiliki fisik yang sempurna), apalagi dengan putri kesayangan mereka! Lagipula, Saeun sepertinya begitu bersemangat saat menyimak perihal pernikahan yang akan dilaksanakan ini lagi. Sudah jelas jika Choi Minho, putra dari salah satu mentrinya yang pernah menjalin kasih dengan Saeun, sudah kalah telak dari segi status sosial dan tampang.
"Tentu saja, Yang Mulia." Kangin membalas dengan berseri. "Mari kita bahas persoalan ini lebih lanjut di ruang pertemuan."
"Sepertinya, Nona Lee tidak begitu menyukai perbincangan di ruang tertutup, Tuan Presiden."
Saeun menaikkan sebelah alisnya, namun setelahnya menatapi Kyuhyun dengan senyuman seindah mawar merah yang baru saja mekar. "Saya tidak keberatan akan hal itu, Yang Mulia…."
"Nona Lee Sungmin." Suara berat sang raja memotong suara lembut Saeun yang belum selesai memberi penutup pada kata-katanya. "Apakah anda tidak keberatan? Atau adakah tempat lain untuk membincangkan hal ini, sesuai dengan kemauan anda? Mengingat pembicaraan ini dilakukan empat mata antara anda dan saya."
Saeun bersumpah jika sang raja menatap ke arah Sungmin, dan pria itu tengah menawarkan perbincangan pernikahan bukan dengan dirinya, melainkan dengan kakak tirinya yang buruk rupa serta menyedihkan itu.
Ini tidaklah benar!
Catatan:
Cheong Wa Dae: Istana kepresidenan Korea Selatan yang terletak di Seoul (sejak dua ratus tahun lalu: 2018; sekarang Seoul merupakan negara sendiri yang berpisah dari Korea Selatan (New Korea) tahun 2218)
