Requiem for Our Sin: Lacrymosa
Based on Eyes Wide Shut
Taekook; Minyoon; Namjin
BTS and maybe some characters belong to God, their parents, and their agency.
Rated M!
Warn: BxB! M-preg! Typo(s)! Boring, etc
Enjoy yash!
Jungkook tertegun. Lagi. Dadanya menghangat lagi. Kehangatan yang menguar, seperti di balik rusuknya ada sebuah perapian kecil dan nyaman. Jungkook tahu. Kehangatan yang dirasakannya kini bukan suatu gejolak perasaan yang biasa. Memang ini lumrah bagi manusia yang diciptakan berpasang-pasangan, tapi tetap saja terasa istimewa. Rasanya unik dan mendebarkan.
Ia membawa telapak tangannya pada dada kiri yang berdetak. Sesuatu memompa darah hingga terasa ke segala sudut nadi-nadi dalam tubuhnya. Terasa sekali hingga ke permukaan kulit lalu mengudara. Pelan tangannya menyapu tulang selangka sebelah kiri yang berada di balik kemeja kainnya. Ia bisa merasakan ukiran itu terasa nyata di kulit arinya. Hidup dan berdenyut.
Sejak satu bulan yang lalu, sulur-sulur ukiran di selangkanya mendekati tiga perempat bagian hampir penuh. Dua puluh tahun usia Jungkook cukup membuatnya paham dan tahu, bahwa 'si takdir ilahi' dan ia akan segera bertemu. Cukup sabar ia menunggu momen-momen itu datang. Ia tidak buru-buru, tapi desiran halus ini membuatnya senang sekaligus haru.
Seperti yang ibunya tuturkan tiga belas tahun yang lalu, di antara dua puluh jemari yang menari di atas mata piano, "cinta adalah perasaan senang yang menyusup di sela-sela kukumu dan mendebarkan seperti getaran senar karena dentuman palu."
Jungkook masih ingat saat itu, sebuah cantata yang ia mainkan dengan ibunya sepanjang sore sudah melukiskan sebuah pengertian cinta yang sederhana bagi Jungkook, bahwa cinta itu seperti perasaannya kepada tuts-tuts hitam putih yang sudah akrab dengannya sejak kecil. Hitam putih dan sederhana. Tapi bisa membunyikan sesuatu yang berwarna dan bertenaga.
Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuruh ruangan. Jungkook sedang berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit saat ini. Ia duduk menghadap meja administrasi dengan sebuah televisi besar di atasnya, dengan para pegawai yang sibuk dengan beberapa komputer dan kertas-kertas yang menumpuk di meja, serta dokter, perawat, dan orang-orang yang mempunyai keperluan berlalu lalang di depannya. Hingga beberapa saat yang lalu, cahaya dari sulur-sulur tanda di selangkanya hidup.
Aku sedang dekat dengan takdirku.
Tidak tahu seberapa jaraknya, tapi Jungkook yakin, ia tengah berada di tempat yang sama, bangunan yang sama, atau mungkin lantai yang sama dengannya. Antusiasmenya bangun tiba-tiba. Ia tahu ini masih bukan waktunya, tapi ia selalu senang saat perasaan itu datang seperti air yang membuncah.
Dengan deru yang berdentum di dadanya, ia meneliti ruangan yang ia tempati, tidak begitu luas untuk ukuran rumah sakit kaum atas. Keadaan di rumah sakit sekarang tidak cukup ramai mengingat jam digital di atas pintu masuk menunjukkan angka 21:16. Ia mengamati semua bagian dan ruangan yang dapat dijangkau matanya. Ia mulai menerka-nerka.
Memulai dari sebelah kanan, sebuah instalasi farmasi yang memakan tempat hampir seperempat luas ruangan itu. Beberapa petugas farmasi terlihat di sana, tiga perempuan dan dua orang laki-laki empat puluh tahunan serta sepasang kakek nenek dengan setelan formal, sepasang lelaki dan wanita dengan emblem kejaksaan Korea, masing-masing di kemeja kiri, dan seorang pria paruh baya yang sedang menebus obat. Di depan instalasi farmasi terdapat meja administrasi dari marmer hitam yang dibaliknya beberapa pegawai wanita usia tiga puluh tahun ke atas. Kerutan samar terlihat di ujung mata mereka karena terlalu sering berkutat dengan berkas-berkas yang menjemukan itu.
Jungkook menggeleng. Ia sudah menimbang beberapa kali, tidak ada kemungkinan dari beberapa orang yang baru saja ia teliti di instalasi farmasi dan meja administrasi. Katakanlah Jungkook sedang tidak ada pekerjaan karena matanya sekarang sudah menggeliat menyusuri bangku ruang tunggu yang juga ia tempati. Di barisan bangku pertama ada sepasang ibu-anak usia sekitar lima belas tahun dan seorang wanita berambut pirang yang duduk di ujung bangku paling kiri. Jungkook menggeser duduknya ke kanan agar dapat melihat tepian wajah wanita itu. Jungkook mengetuk dagunya beberapa kali, berpikir.
Apa dia orangnya? Sepertinya dia beberapa tahun lebih tua dariku.
Ia manggut-manggut pelan. Tidak ada salahnya, kan, kalau lebih tua beberapa tahun?
Di bangku deret kedua hanya beberapa lelaki enam puluh tahunan. Tidak mungkin, kan, Jungkook berharap ahjussi-ahjussi itu? Ia menggeleng pelan.
Lalu di deret ketiga, tempatnya duduk. Tidak ada siapa-siapa kecuali ibu dengan bayi di gendongannya dan… seorang wanita? Tepatnya gadis, memakai seragam SMA yang sedang menggigiti kukunya. Gadis itu seumuran dengan sepupunya. Tanpa sepengetahan siapa pun Jungkook mulai mengamati gadis itu dan beberapa orang-orang yang berlalu lalang demi melihat kemungkinan siapakah jodohnya hingga tiba-tiba dadanya berkedut sangat kuat. Dan tanda di selangkanya perlahan hidup dan berwarna biru.
"Aw!" Jungkook memekik kecil, entah kenapa kedutan itu sangat kuat dan nyeri.
Dalam waktu yang bersamaan pintu masuk rumah sakit yang terletak di antara meja administrasi dan instalasi farmasi terbuka dengan kasar. Empat orang menyembul di baliknya, mendorong sebuah brankar dengan seseorang di atasnya. Ukiran di dada Jungkook semakin berkedut sangat kuat. Ia mendesis sakit, padahal sebelumnya ia tak pernah merasa seperti ini. Ekor matanya menangkap brankar yang baru saja lewat selagi gelenyar nyeri menjalari seluruh tubuhnya.
Jungkook terkesiap. Perlahan ia berdiri menuju sebuah koridor pendek. Napasnya tertahan. Seseorang seumuran ibunya menangis saat ujung brankar itu lenyap di balik pintu di ujung lorong. Sebuah running text bertengger di atas kusen pintu, LED merahnya menyala menunjukkan sebuah akronim dari nama ruangan itu, IGD, Instalasi Gawat Darurat.
Bersamaan dengan itu, Jungkook menyadari tanda di selangkanya itu sekarang berwarna kelabu pudar dan sayu.
Halo, suka tida?
Kalo suka aku terusin, kalo tida ya tetep aku terusin wkwk.
Semoga suka.
ED.
