RENDEZVOUS
Disclaimer BLEACH © Tite kubo
RENDEZVOUS © ChapChappyChan
Genre : absolutly Romance, Drama
Rate : T
Pairing : Ichiruki
Warning : NO FLAME-Typo(s)-OOC-AU
Note : pingin bikin yang anget-anget aja..
Special Thanks from 'The Real Cinderella'
15 Hendrik Widyawati
Hehe...Orihime di sini emang aku bikin OC sih XD. Tapi it just for fun lho ya..hehe. arigatou reviewnya ^^
MR. KRabs
Hehe..aku sengaja sih nggak nonjolin si pangeran, soalnya kan emang saya mau fokus pada ketirian yang dirasain keluarga Kuchiki. Hehe..XD
yup! Betul banget, saya sempet bingung. Apa cinderella itu segitu baiknya? Sampe2 nggak melakukan perlawanan? Seenggaknya, sadarlah, kan dia yang punya harta kekayaan, tapi masa' malah tiri nya njadiin babu kok mau aja..hadedew XD
Iya dong, Mom Rangiku cucok kan...#plak. hehe, arigatou reviewnya ^^
Aii Sakuraii
Hehe, setelah anda review, langsung saya tambahi genre nya, hehe
Betul banget! Kaya nggak ada cerita lain aja. Kalo masalah cerita cinderella, baik hati sih emang harus, tapi nggak lemah juga kali ya, apalagi mau aja ditindas..haduduw =,=a
Pada awalnya sih saya mo bikin biasa aja(nggak humor), eh, tau2 muncul deh pikiran kotor saya #plak! aku juga nggak bisa bayangin kalo mereka punya industri hal tabu itu XD
Soal Charlotte, hehe..dia adalah cwe tercantik diantara saudaranya #plak! XD Saya masukin dia karena terinspirasi dari fic Woro Rukiandi, suer, humor abis tu fic #promo deh XD
Sebenernya epilog tsb ngasal sih, soalnya udah mentok. Klo dipikir2 saya kok juga pingin tau komennya Byakun ya, masa mau di jadiin peran gituan XD. Arigatou review panjangnya ^^
Jessi
Cinderella modern version XD
Haha, saya kebanyakan nonton drama emang, kan di rumah2 elit luar negeri, Maid dilatih kaya begituan, harus tau ini lah, itulah, apalah, pokoknya banyaklah XD
Itu inspirasi dari Bleach 289 XD. Arigatou reviewnya ya ^^
Darries
Haha, kan saya udah spoiler di summary XD
Saya sempet bingung dengan kematiannya Byakun, eh nongol tuh ide, ya udah, jantungan deh XD
Inoue OC XD
Arigatou revienya ya ^^
Lets Reading :3
"Eh? Benarkah? Kukira kau akan mau saja. Tapi memang benar, kulihat pada baris komentar, balasanmu sangat pedas." Gadis yang tengah berbaring tengkurap di kasur itu masih terlihat nyaman dengan komputer di sisinya dan earphone yang masih menempel di sekitar kepalanya walaupun ia tahu bahwa dentingan jam barusan sudah mencapai yang ke sebelas setelah senja.
"Sudah kubilang. Aku benci yang seperti itu!" jawab suara bass yang terdengar dari earphone tadi.
"Tapi menurutku dia manis juga, siapa tadi namanya? Emmm..Niel?"
"Neliel Tu Odelschwank."
"Nah, kau malah hafal nama lengkapnya. Hahahaha…" gelagak tawa dari si gadis tak bisa dipungkiri lagi. Ia terlihat benar-benar suka memojokkan lawan bicaranya.
"Ingat, Rukia Kuchiki. Dia teman sekelasku. Teman sekelas." Ada penekanan pada dua kata terakhir oleh si suara bass tadi.
"Oke, sekarang kau menyebut namaku." gadis yang dipanggil Rukia Kuchiki itu masih tetap tertawa. Ia sungguh tahu jika seseorang di seberang sedang salting sekarang.
"Memangnya kenapa? Kau masih mau ku panggil 'sayang'?" Deg! Seketika Rukia menghentikan tawanya. Namun ia berusaha tenang. Berusaha mengatur degup jantungnya.
"Dan kau ku panggil 'cinta' , hm?" sukses. Rukia berhasil tenang dan menyahutnya.
"Kukira setelah lulus SMA, lalu satu bulan lagi kita akan lost contact seperti kesepakatan." Suara lelaki di seberang sana melirih. Terdengar beberapa helaan nafas karena Rukia tak kunjung menjawab."Itsumo, itsumo, aishiteru." Lanjut suara yang semakin lirih itu.
"Sudah kubilang berapa kali. Jangan terlalu mudah mengatakan hal itu padaku. Kau tidak tahu siapa aku. Lihat sendiri, profile dan avatar-ku semuanya maya." Rukia dengan cepat menjawab. Hatinya sedikit geli saat mengatakan itu. Yang dia ucapkan barusan seratus persen benar. Namun faktanya, ia juga menyukai lelaki itu.
"Dan profile-ku pun tak asli. Ini adil kan?" Lagi-lagi suara bass itu. Dan kini suaranya meninggi."Bagaimanapun outter mu, aku tak peduli. Aku sudah cukup mengenalmu dua tahun ini, Rukia. Dan mengetahui nama asli serta hometown mu itu lebih dari cukup."
"…"
"..."
"I-Ichigo…" gadis itu agak ragu karena sebelumnya ia memang tak berani menyebut nama itu. Takut untuk semakin akrab dan lebih dalam mencintainya."…kita akan kuliah. Dan memang kita harus berpisah. Mungkin kita tak akan bisa bertemu lagi setelah ini."
"Jika kau memberiku nomor ponsel-"
"Aku tidak mau membuat harapan yang tidak pasti!" Rukia selalu memikirkan kemungkinan terburuk walau kenyataannya terdapat peluang untuk mewujudkan harapan mereka. Ichigo selalu mengalah menghadapi berdebatan seperti ini dengan Rukia. Rukia keras kepala dan ia tau jika harus menghadapinya dengan kepala dingin. Ichigo tetap diam. Menunggu barangkali Rukia mau melanjutkan perkataannya.
"…"
"Maaf."
"Tak apa."
"Aku akan ke Amerika. Sedangkan kau akan ke Tokyo."
"Terserah. Kau akan jadi mahasiswa tebodoh jika menganggap jarak sebagai penghalang. Tapi aku tetap menghargai alasanmu jika kau ingin fokus pada study mu. Empat tahun pun tak akan jadi masalah bagiku. Itu jika kau bisa mengalahkanku mencapai kelulusan tercepat." Nada gurau kembali diperdengarkan Ichigo. Dia selalu saja bisa membawa suasana menjadi nyaman kembali.
"Tentu saja aku bisa! Jumlah nilai kelulusanku hanya selisih 3 poin darimu tau!"
"Oh ya, aku lupa jika Rukia Kuchiki adalah lulusan terbaik se-Osaka."
"Jangan mengejekku! Dasar.." Rukia sudah mulai bisa mengembangkan senyumnya lagi.
"Haha..jangan buat aku tersedak lagi. Hmm… tidak ngantuk? Kau bilang Byakuya Nii-sama adalah orang yang gal- maksudku tegas."
"Umh, dia sedang dinas. Baru berangkat tadi sore. Jadi aku ingin bicara denganmu sampai pagi."
"Enak saja memutuskan sendiri. Memangnya kau ini siapa, ha?" giliran Ichigo yang memojokkan Rukia. Namun mereka tau itu hanya candaan."Aku mau tidur sekarang."
"Baiklah, tapi jangan matikan sambungannya."
"Dan membiarkanmu merekam dengkuranku lagi? Kurasa tidak, Nona."
"Kau tidak mendengkur. Itu hanya deru nafasmu saja tau! Kumohon, jangan matikan."
"Tidak, Nona. Oh ayolah, masih ada satu bulan lagi."
"Dua puluh delapan hari dua puluh tiga jam empat puluh satu menit tujuh- eh enam detik lagi!" Ichigo yakin Rukia tengah memandangi jamnya sekarang. Membuatnya ingin tertawa. Tapi memang benar. Dua puluh delapan hari bukan waktu yang lama. Ia akan begitu merindukan suara konyol gadisnya.
"Jam enam pagi aku hubungi lagi. Setuju?"
"Ayolaaaah.."
"Setuju?"
"Akh, baiklah."
"Baiklah. Oyasuminasai." Dan setelah itu sambungan benar-benar terputus. Membuat Rukia mengerucutkan bibirnya. Ia tak puas dengan pembicaraannya hari ini. Dengan segera ia melepas earphone dan menghantamkan tubuhnya ke kasur empuk di kamarnya.
Memikirkan perpisahan yang telah terencana ini, membuatnya mengingat pertemuan yang memang tak terencana. Pertemuannya dengan Ichigo Kurosaki.
.
.
Sweet
.
.
FLASH BACK RUKIA'S POV
PING!
Laptop yang sedari tadi memang sengaja ku buka, tiba-tiba saja berbunyi tepat ketika aku baru kembali dari kamar mandi. Sambil mengeringkan rambut, aku mencoba mencari tahu asal suara tersebut. Ternyata notification dari akun sosial ku. Dan itu membuatku mengernyit karena aku mendapat pesan dari orang yang takku kenal. Black Sun. Begitulah nama akunnya. Dan lebih hebatnya lagi, dia menghujatku.
[Murahan.]
Hey, dia pikir siapa dia?! Aku tak terima!
[Sebaiknya Anda bersekolah dulu sebelum berjejaring sosial.]
Sebenarnya apa maksud dari Si Black Sun ini?
[Justru aku yang seharusnya mengatakan hal itu padamu.]
Apa-apaan balasannya itu?! Hmmm..tenang, Rukia…tenang. Kau terpelajar. Dan kau tak boleh menanggapinya dengan emosi.
[Maaf sebelumnya. Aku ingin bertanya. Kenapa kau tiba-tiba mengirimiku pesan yang berbunyi 'murahan'? Apa sebelumnya kita saling mengenal? Setahuku, aku sama sekali tidak mengenalmu.]
[Baiklah, sekali lagi. Justru akulah yang seharusnya bertanya. Pukul 14.34 lalu kau mengirimiku pesan. Dan kau –maaf- menggodaku. Terus menggodaku hingga sebelum aku mengirimi pesan 'murahan' tadi. Atau mungkin kau telah dibajak? :/ ]
Ha? Benarkah? Aku buru-buru melihat PM list ku.
Astaga. Benar. Aku dibajak. Dan tunggu, kurasa Riruka perlu menjelaskan semua ini.
[Benar. Aku dibajak. Kalau begitu maaf telah mengataimu.]
[Tak apa. Jaga privasimu baik-baik.]
Kelihatannya ia orang yang cukup sopan juga. Hmm..tapi aku masih belum tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Riruka- sepupuku memang gadis yang err..manja dan juga suka bersolek. Jadi, menggoda pria di jejaring sosial? Mungkin itu hal yang logis. Akh, aku memang harus lebih berhati-hati menjaga barang-barangku.
.
.
Sweet
.
.
FLASHBACK END
NORMAL POV
Rukia tersenyum geli untuk kesekian kalinya karena teringat hal itu. Sebenarnya dia adalah orang yang cuek pada hal-hal asing dan mungkin tak ada urusan dengannya. Namun ia masih tak mengerti. Pria yang dulunya ia panggil Black Sun itu tiba-tiba mengomentari post yang ia kirim pada suatu fanpage dengan sangat positif. Dan akhirnya mereka saling mengenal. Saling bertukar informasi seputar fanpage yang mereka gandrungi. Walaupun keduanya sama-sama menggunakan informasi palsu dalam memampangkan profile nya, namun mereka tetap merasa nyaman saat berkomunikasi.
Via audio mungkin lebih membuat mereka puas dalam berinteraksi. Jadi sejak kurang lebih satu bulan mereka berkenalan, keduanya sepakat menggunakan via audio.
Baiklah, kecocokan yang mereka rasakan semakin hari semakin menguat. Mereka pun mulai bertukar informasi yang lebih intens mengenai pribadi masing-masing. Tapi keduanya berjanji untuk tidak menambah peluang untuk bersatu, seperti tidak memberikan nomor ponsel, memberikan foto atau alamat lengkap. Meski sebenarnya Ichigo benar-benar ingin menemui Rukia, tapi Rukia tetap tidak setuju.
Mereka ada di lain kehidupan, di lain sisi dari dunia yang terus berputar ini. Membuat pertemuan hanya akan menggoyahkan perputaran roda di sisi lain kehidupannya itu. Ini benar-benar sulit karena pada dasarnya mereka sungguh terpisah oleh ruang dan waktu.
Rukia selalu berpikir. Satu-satunya cara agar mereka bisa benar-benar bersatu adalah jika salah satu dari mereka mengorbankan kehidupannya dan masuk pada kehidupan salah satu yang lain. Dia akan meninggalkan semuanya. Meninggalkan impian yang susah payah dirajutnya, meninggalkan orang-orang yang biasa ada di sekelilingnya dan meninggalkan ruang waktu yang dia tempati.
Ichigo sanggup. Dia mau mengorbankan kehidupannya, karena seiring berjalannya waktu, Ichigo mendapat keteguhan hati untuk bersatu dengan Rukia. Tapi Rukia tidak mau! Rukia tidak mau mengorbankan Ichigo. Ia sungguh tak mau bila orang yang dia sayangi akhirnya menderita demi dirinya.
Dan benar saja, Ichigo bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke Tokyo. Sedangkan Rukia sudah berangan-angan dengan Amerika. Ichigo bisa saja menyusul Rukia ke Amerika. Namun, begitu tegakah ia merusak mimpi yang Ichigo miliki? Tentu tidak!
Jadi kini Rukia hanya bisa memandang langit-langit kamarnya dengan sendu. Perpisahan yang sebenarnya tinggal dua puluh delapan hari lagi. Bisakah mereka bersatu? Rukia selalu menolak, tapi sebenarnya dia selalu berharap. Mengharapkan takdir untuk pertemuan abadi mereka.
.
.
Sweet
.
.
Suara detik dari jam yang ada di kamar masih terdengar jelas oleh Ichigo. Ia tidak bisa tidur setelah memutar rekaman suara Rukia yang diam-diam dia ambil pada percakapan malam ini. Suara konyol itu selalu saja membuatnya tersenyum. Dan pemilik suara konyol itu telah membuat dirinya merasakan cinta. Menjadikannya kekasih selama dua tahun ini masih meninggalkan rasa tidak puas untuk benaknya. Ia sungguh ingin bertemu dan hidup bersama dengan Rukia.
"Arrgh!" geraman itu cukup membuktikan bahwa ia kecewa. Ditambah lagi pukulan hampa pada bantal di sampingnya. Dia hanya bisa berdoa dan berharap akan takdir.
.
.
Sweet
.
.
PING! PING! PING!
Suara itu terus saja terdengar disusul oleh pesan-pesan yang masuk ke komputer Rukia. Namun si pemilik komputer masih pulas walaupun posisinya sangat tidak enak dipandang. Setelah semalaman menangis, akhirnya ia tertidur. Dan rupanya kini ia mulai terganggu dengan suara notif pada barang elektroniknya. Lamat-lamat ia membuka mata, masih terdiam karena kesadarannya belum utuh kembali. Tapi untuk sepersekian detik kemudian, dia langsung meloncat dari tempat tidurnya dan dengan segera memasang earphone seraya kembali membuat jaringan pada dunia maya.
"Bagaimana tidurmu?"
"Hoahmm..nyenyak." tak sengaja Rukia menguap lebar sembari menjawab pertanyaan si pemilik suara bass. Siapa lagi kalau bukan Ichigo.
"Pembual. Dari sini aku bisa merasakan jika kantung matamu punya kantung mata." Setelah mendengar itu, lawan bicaranya pun spontan mengaca ke cermin. Dan sukses membuat Ichigo tertawa karena mendengar suara keributan Rukia.
"Selalu saja." Seperti biasa, Rukia sebal karena Ichigo selalu saja bisa menebak keadaan dirinya.
Ichigo sangat menyukai suasana seperti ini. Orang di seberang benar-benar hangat baginya. Ia sangat bersyukur akan dua tahun yang lalu. Takdir sungguh baik padanya. Mempertemukan dirinya dengan seseorang yang selalu saja bisa membuatnya tertawa geli, tersenyum manis dan mengenal cinta.
Tapi entah kenapa, ia juga merasa ditertawakan oleh takdir.
5th day
"Emm…Sushi?"
"Hey, Nona, kenapa tebakanmu benar ya?"
"Hahaha.. untuk itulah aku dipanggil Rukia."
"Kalau begitu kuberi satu pertanyaan lagi. Bersinar, bentuknya konyol dan berisik. Apa itu?"
"Emm.. lampu hallowen dengan klakson di dalamnya."
"Salah!"
"Lalu apa?"
"Rukia Kuchiki. Hahahaha.."
"Hey! Bentukku tidak konyol tau!"
11th day
"Seperti apa wajahmu?"
"Alisku tebal, mataku sangat sipit emm..kemudian bibirku juga tebal dan pipiku tembam. Pokoknya tidak tampan."
"Bohong! Lalu kenapa banyak wanita mendekatimu lewat jejaring sosial?"
"Emm..mungkin saja mereka sudah bosan pada orang tampan. Hahaha."
"Ugh, lalu tinggi dan berat badanmu berapa?"
"Jangan terkejut ya, tinggiku 160 cm dan beratku 86 kg."
"Benarkah? Berarti kau mirip guru fisika ku saat di SMP!"
"Ha? Hahaha.."
19th day
"Kemarin aku menonton film bersama teman-temanku. Lalu pada film itu terdapat cerita tentang first kiss dan entah kenapa aku teringat padamu."
"Ichigo! Kau hentai!"
"Ahaha, mungkin saja. Ngomong-ngomong, kau sudah mendapatkan first kiss mu?"
"Belum. Aku akan menjaganya sampai menikah."
"Kau anak yang baik ya. Hahaha.."
"Kau sendiri?"
"Emm..aku sudah pernah melakukannya dengan seorang gadis cantik."
"Oh,"
"Cemburu, hm?"
"Tidak."
"Kalau begitu, boleh aku bercerita tentang first kiss ku?"
"Terserah."
"Baiklah. Saat itu, aku merasa nyaman berada dipelukannya yang erat. Sangat erat sehingga tubuh kami merapat begitu intens. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan, sampai-sampai aku serasa berada di surga. Dengan perlahan tapi pasti, dia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Semakin dekat dan dekat. Sampai pada akhirnya kelembutan menerpa bibirku. Rasa manis sedikit kerkecap oleh indra perasaku. Ah, sungguh aku menginginkannya lagi. Tapi sayangnya sudah tidak bisa seiring berjalannya waktu. Dan wanita itu adal—"
"CUKUP!"
"—ibuku. Hahaha…Rukia tertipu!"
"Grr…KURANG AJAR! AWAS KAU!"
25th day
"Apa cita-citamu sebenarnya?"
"Dulu, aku ingin bisa menggantikan ayahku sebagai dokter di kota kecil ini. Tapi sekarang, impianku adalah mengalahkanmu dan bisa hidup bersamamu."
"…"
"Tapi aku mengerti. Jika kau merasa telah cukup siap, kau bisa memanggilku untuk datang padamu. Dan aku akan terus menunggu." Walau itu rasanya sangat sakit.
"Entahlah, Ichigo." Aku hanya bisa berdoa akan takdir.
"…"
"…"
"Biar ku ralat kata-kataku. Bagaimanapun dirimu, aku akan meraih impianku secepat mungkin. Aku akan menyelesaikan study dan mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Setelah itu, tak peduli kau siap atau tidak, aku akan datang padamu!" Kenapa air asin ini menetes?
"Jangan korbankan dirimu." Mataku terasa perih. Aku ingin kau memelukku.
"Kebahagiaan perlu pengorbanan!" Tidak, aku tak bermaksud membentakmu.
"…" Rasanya begitu sempit dan menyesakkan. Aku susah bernafas.
28th day
"Mulai besok, pasti akan sepi."
"Emh."
"Cepat capai impianmu ya." Karena aku juga ingin cepat bertemu denganmu.
"Tentu saja."
"Jangan lupakan aku."
"Pasti."
"…"
"…"
"Ich—"
"AKU MENCINTAIMU, RUKIA!" Hentikan waktu sekarang juga! Kumohon!
"Aku pun mencintaimu, Ichigo." Kenapa harus seperti ini? Ini tidak adil!
"Jang- an, tin- ggalkan a- ku." Berhenti menangis, Cengeng!
"A- hiks –ku, akan- selalu hiks, me- nunggu."
Sakit. Malam ini adalah malam terakhir yang bisa diperdengarkan. Terhanyut oleh derasnya air bisa. Sungguh tidak bisa dibayangkan rasa sakit yang terasa oleh keduanya. Ini akan sangat lama. Walaupun begitu, entah kenapa, ada rasa ragu di dalamnya. Ragu untuk terwujud.
.
.
Sweet
.
.
"Rukia? Semalam kenapa kau menangis?" Wanita setengah baya yang sedang mengiris bawang menengok pada insan yang baru saja datang untuk mengambil air minum.
"Akh, bukankah seminggu lagi aku akan berangkat ke Amerika." Gadis yang dipanggil Rukia itu tersenyum.
"Owh, kau takut nanti jika rindu pada ibu dan kakakmu? Ibu usahakan akan sering meneleponmu." Rukia tetap hanya tersenyum mendengar jawaban ibunya.
"Kuharap aku juga bisa mengangkat telepon darinya."
.
.
Sweet
.
.
Terik matahari yang sudah meninggi merambat lurus melalui jendela kaca kamar Ichigo. Remaja tersebut sengaja untuk terus meringkuk tidur hingga tengah hari. Ia masih lelah. Belum lagi matanya menjadi perih karena semalam. Namun pada akhirnya ia terpaksa bangun karena hawa panas yang menyengat.
Dengan gontai ia berjalan menuruni tangga menuju dapur. Seteguk air putih mungkin dapat menambah energinya. Sesampainya di dapur, ia sedikit terkejut karena ada Karin ; adik perempuannya. Ia pun memalingkan wajah. Takut-takut Karin mengetahui bengkak di matanya.
Dari ekspresi Karin, nampaknya ia sempat melihat dan ia terkejut dengan kondisi kakak sulungnya.
Ichigo pun melewati Karin dan segera mengambil gelas yang ada di rak, mengisinya dengan air putih. Cepat-cepat ia berjalan agar Karin tak bertanya yang aneh-aneh, tapi ia sejenak diam. Tangan Karin terulur padanya. Seketika ia berhenti dan memandangnya. Di ujung tangan adiknya sudah tergenggam sekantung kompres es batu. Namun pandangan Karin acuh pada kakaknya. Ichigo mengerti. Ia pun tersenyum lalu pergi setelah menerima pemberian Karin.
Ichigo sudah berlalu dan Karin menampakkan wajah sedihnya karena terakhir ia melihat kakaknya menangis hanya setelah pemakaman ibunya. Dan tidak lagi pernah setelah itu. Apapun yang membuat kakaknya menangis, ia sangat yakin bahwa itu begitu menyakitkan.
.
.
Sweet
.
.
"Akh, permisi." Gadis dengan rambut hitam kurang dari sebahu itu akhirnya mendapatkan kursi juga. Badannya yang mungil membuatnya bisa menang di dalam kereta. Namun di deret penumpang yang terdapat sepasang kursi itu, salah satunya telah diisi oleh seorang pria. Ia duduk dekat jendela. Pria itu menoleh tatkala gadis tadi menempati kursi di sampingnya.
"Kalau sudah siang memang begini. Lain kali berangkatlah lebih awal." Pria manis itu tersenyum lembut kepada si gadis.
"Sudah kuduga, aku terlalu lama menangis." Gadis itu tak bermaksud membicarakannya, suaranya amat lirih ketika mengucapkan itu.
"Ah, aku mengerti perasaanmu." Pria itu memasang wajah sendu.
"E-eh, kau mendengarnya ya?"
"Perpisahan memang hal yang sulit. Aku tau itu."
"E-eh."
"Mungkin lebih baik jika kau tidur saja dan menanti dengan tenang tujuanmu." Lelaki itu kembali tersenyum. Tak lama, ia mengarahkan pandangannya kembali ke luar jendela.
Gadis tadi terpaku mendengar kata-kata dari orang di sampingnya. Ia memperhatikan lelaki itu cukup lama dan ikut tersenyum. Kemudian dengan perlahan ia memejamkan mata untuk tidur sejenak. Menenangkan diri dari perpisahan.
.
.
Sweet
.
.
Duk..duk..
Gjes..gjes…
"I-ittai.." kepalanya berulangkali terantuk, merasa tak nyaman, gadis itu akhirnya bangun. Eh, ia tak ingat jika posisi tidurnya menyender pada jendela. Lalu dimana pria tadi?
Penasaran, ia mengarahkan pandangan ke sampingnya. Ia memang melihat sesosok pria. Tapi bukan yang tadi.
"Maaf, tadi aku menggesermu."
Hanya kalimat itu yang terucap dari pria yang baru ia lihat. Setelah itu si pria dengan cuek meneruskan bacaannya dan mempererat headset nya. Namun si gadis terus memperhatikannya. Hingga lelaki itu merasa jengah dan melepas headset yang ia pakai.
"Ada yang bisa ku bantu?" walau berkata begitu, tapi raut wajah si pria tidak bersahabat. Ada sedikit ekspresi 'kau menggangguku' pada wajahnya.
"Kau tau pria yang ada di sampingku sebelumya?" dengan polos si gadis bertanya.
"Kalau tidak salah dia turun di kota sebelum ini." Setelah mendengar jawaban 'owh' dari si gadis, pria itu kembali memasang headset nya. Kembali menikmati alunan lagu, atau mungkin kembali menyumbat telinganya dengan walkman yang mati.
Gadis yang duduk di dekat jendela tersebut kemudian tertunduk. Entah apa yang sedang ia lakukan, tapi terdengar samar-samar isakan tangis darinya.
Pria berheadset itu semakin tak nyaman dengan keadaannya. Kenapa gadis itu menangis? Apa pria yang ia tanyakan itu adalah pacarnya? Pikir nya sekilas.
"Kenapa kau menangis? Pria tadi menyakitimu?"
"Akh, tidak. Hanya saja..err perutku lapar." Gadis itu meringis. Alibi yang ia buat tak cukup bagus untuk didengar. Tapi pria itu tak mau ambil pusing. Itu bukan urusannya.
Sementara, gadis tadi mengobrak-abrik tas tangannya dan mengeluarkan dua kotak karee pedas. Seraya mengusap air mata, gadis itu menyodorkan salah satu kotaknya pada si pria. Entah kenapa ia melakukan itu tanpa berpikir panjang. Dengan cepat ia menyodorkan karee tanpa tau jika orang yang ada di sampingnya mau menerima tawarannya atau tidak.
"Kau baik hati sekali, tapi aku sudah makan." Jawab datar si pria.
"Kuharap kau mau menerima, karena sebenarnya aku tak suka makanan pedas." Gadis itu masih meringis.
"Lalu kenapa kau membawanya?"
"Karena ini kesukaan pacarku."
Cinta. Hal gila yang tak bisa dipungkiri. Walaupun kau melaju dengan kecepatan 200 km/jam meninggalkannya, tapi dia selalu terasa di sekitarmu. Walaupun suraimu telah memutih, pasti akan terlihat berkali-kali lebih muda. Ruang dan waktu bukanlah beban, hanya saja..jangan berlagak seperti orang gila. Aku pun berusaha untuk tetap waras.
"Kemarikan semua karee mu. Aku akan memakannya. Untung saja aku suka pedas." Pria itu meraih kotak-kotak karee yang di peluk oleh si gadis. Kotak yang sedikit basah oleh air mata itu terambil alih dan..
..bahagia.
"Sebenarnya ini sangat enak. Maaf telah menolak sebelumnya." Pria itu dengan lahap menyendok isi bekal si gadis.
"Syukurlah. Aku lega kau suka. Asal kau tau, aku membuatnya sendiri." Gadis itu mulai tersenyum. Sedikit geli juga melihat pria di sampingnya menyukai sesuatu yang juga disukai pacarnya.
"Tau begini, seharusnya kau buat yang lebih banyak."
"Haha, aku tidak tau jika ternyata kau suka karee nya, Ichi-" gadis itu sejenak berhenti. Membekap mulutnya sendiri dengan kasar. Sedangkan pria di sampingnya terlihat bingung."E-eto, maaf. Aku salah bicara."
"Emh, tak apa."
Sunyi. Karee yang di sodorkan tadi telah habis. Pembicaraan juga mulai tak nyaman karena si gadis memurung. Beberapa menit mengisi kekosongan di antara mereka, tapi..
"Mau main?" si pria ganti menyodorkan catur magnet yang ia bawa. Seketika si gadis menoleh dan mengangguk.
Entah kenapa, mereka berdua bisa tersenyum dan tertawa bersama. Sesekali mereka melakukan hal-hal jahil satu sama lain. Dan gadis itu mulai lupa akan kesedihannya.
Maaf, tapi aku jatuh cinta. Aku merasa bahwa itu kau. Maaf, aku memang jahat. Namun, biarkan dia menjadi dirimu. Dalam kecepatan 200 km/jam ini membuatku menjadi kejam. Maaf, aku sudah gila. Setidaknya, biarkan aku bertemu denganmu.
"20 kali seri."
"Hey, apa-apaan wajahmu itu, Nona." Gadis di sampingnya berwajah sarkastik. Tapi sekilas pria itu memperhatikan, bola mata ungu yang indah ; seperti menariknya untuk jatuh cinta. Tidak tau kenapa, tapi sepertinya itu sangat familiar.
"Jangan memaksaku untuk berkata bahwa wajahku cantik, Tuan." Gadis itu terkikik.
"Umh, entahlah, Nona GR."
"Aku tidak GR tau! Ah, tapi dari tadi kita belum berkenalan. Siapa namamu?"
"Panggil saja Juugo."
"Lima belas? Unik juga."
"Haha, memang. Kalau kau?"
"Lucia. Jangan membacanya dengan aksen Jepang."
"Kau sok luar negeri ya. Aku yakin kau orang Jepang asli." Pria itu juga memasang tampang sarkastik. Namun si gadis malah tertawa geli dan menonyor bahu pria di sampingnya.
"Kau pintar menebak ya."
"Seharusnya kau tau sedang berhadapan dengan siapa."
"Baiklah…baik, Juugo-sama." Gadis itu kembali tertawa. Sampai-sampai isi kaleng yang digenggamya sedikit- err menumpahi pria itu."Akh, maaf. Maafkan aku."
"Tak apa." Si gadis pun mengeluarkan saputangan berwarna soft pink dari sakunya dan memperkecil noda jus itu."Biar aku sendiri saja." Dan sapu tangan itu beralih ke tangan kekar milik si pria.
"Pemberhentian selanjutnya Tokyo. Pemberhentian selanjutnya Tokyo."
"Akh, sudah sampai. Kalau begitu jaane, Lucia." Dengan tergesa pria itu berdiri dan beranjak keluar dari kereta, tak disadari sesuatu dari ranselnya terjatuh. Membuat gadis yang masih duduk di tempat itu mengernyit.
"O-oiy, chotto matte, Juugo!" dia pun berdiri dan hendak mengejar Juugo untuk mengembalikan barangnya. Tak lupa ia menyahut koper yang tadinya ia bawa karena Tokyo juga tujuannya. Dengan susah payah ia menerobos kerumunan orang di gerbong yang agaknya terasa menjepit itu. Tapi ia berhasil keluar dari kereta. Ia berlari ke arah pintu keluar stasiun dan mengedarkan pandangannya. Ia merasa panik karena mungkin saja barang yang ia genggam ini penting bagi Juugo.
Dan gotcha! Ia melihat Juugo. Tapi tunggu, he-hey! Dia sudah memasuki taxi. Ayo, lari, Lucia!
"Juugo! Chotto matte!"
Terlambat. Pria itu sudah terlalu jauh. Kini yang ia lihat hanyalah samar-samar rambut oranye Juugo dari kaca belakang taxi.
"Akh..hosh…hosh.. kuharap ini tak terlalu penting untuknya." Lucia menatap buku kecil –mungkin buku agenda- hitam yang tengah ia pegang. Ah, sebentar, dadanya sedikit sesak karena berlari. Jadi ia memutuskan untuk mencari tempat istirahat sebentar.
Akhirnya ia memilih kursi tunggu yang masih berada di wilayah stasiun. Sekalian menunggu Nii-sama nya untuk menjemput. Baiklah, dia mulai membuka buku itu. Dia sedikit lega karena di buku itu, yang ia lihat hanyalah jalur kereta menuju Tokyo. Halaman selanjutnya masih kosong. Jadi dia yakin bahwa buku agenda ini tidak terlalu penting bagi Juugo—ah, tunggu.
Lucia, mendadak membelalakkan matanya. Sepersekian detik ia mengucek matanya. Memastikan yang ia lihat bukan khayalan kebodohannya. Dan tanpa ia sadari air mata mengalir. Jemari lentik itu mengusap buku yang ada di tangannya. Jantungnya berdegup kencang dan senyumnya terukir begitu lebar.
"Lucu." Ia berusaha menahan isakannya."Ah, lucu sekali. Kenapa bisa ya? Pantas saja." dipeluknya buku itu dengan erat di dadanya. Memaksa meminta suatu kehangatan dari sebuah buku agenda hitam. Dibiarkannya buliran itu mengalir walaupun sesekali memasuki mulutnya. Ia merasa geli dan bersyukur akan takdir. Takdir yang sebelumnya jahat. Sangat jahat. Tapi persepsinya berakhir di 200 km/jam yang lalu. Indah. Hatinya sedikit lega. Lega akan perpisahan yang sebenarnya."Sebenarnya kau itu sangat tampan. Daisuki."
Buku itu terbuka. Di sisi kiri cover tebal hitamnya tertulis tinta putih dengan huruf katakana dan kanji yang membuat hatinya mengembang.
Ichigo Kurosaki
.
.
Sweet
.
.
"Hoahmm.." Juugo meguap di dalam taxi tumpangannya. Mungkin semalaman tak tidur sebelum keberangkatannya adalah pilihan yang tak tepat. Memang sih rasa itu sempat hilang di jam-jam sebelumnya. Karena ada Lucia –mungkin.
"Kuso!" tiba-tiba saja suara lirih penuh tekanan itu terucap ketika ia teringat dengan gadis yang sempat duduk di sampingnya beberapa jam lalu."Kau seharusnya membunuhku, Rukia." Ia terseyum pahit."Karena barusan aku jatuh cinta pada Lucia. Aku memang brengsek." Ia memperlebar senyum pahitnya."..setidaknya, biarkan aku bertemu denganmu, Rukia."
Mata amber Juugo terasa perih. Dilanjutkan dengan genggaman kesal yang semakin menguat. Membuatnya sadar bila ia sedang meremas sesuatu.
"Kuso!" lagi-lagi dia berkata kasar setelah sadar jika menggenggam sapu tangan lembut milik Lucia. Tapi dia tidak bisa menyalahkan pertemuannya dengan Lucia. Jadi tak seharusnya ia memandang kejam sapu tangan itu. Ia pun melunak. Tak sepantasnya ia begitu. Akhirnya sapu tangan itu pun ia rapikan. Melipatnya dengan benar. Mempertemukan ujung satu dengan yang lain. Tapi tiba-tiba gerakannya tertahan.
Dadanya seketika menyesak. Amber madunya terbelalak. Hal itu akan terus megobrak-abrik isi kepalanya. Mungkin untuk beberapa bulan ke depan.
"Lucia… Rukia…?...bodohnya aku!" air mata mengalir perlahan dari pelupuk matanya."Kau sangat cantik, Rukia. Sangat cantik."
Sapu tangan pribadi, huh? Tak dapat terelakkan lagi. Tadir tidak jahat. Tadir berpihak padamu. Pastikan dirimu yakin bisa mengejarnya suatu hari nanti. Karena ujung seperca kain itu bertuliskan,
Rukia Kuchiki.
.
.
Sweet
.
.
Nafas akan terasa sangat sesak ketika kau mengharapkan sesuatu yang mustahil. Kau pasti akan terus menghujat takdir. Menyalahkannya karena hal yang kau harapkan bisa saja pupus.
Mencintai seseorang, itu berarti tak perlu bertemu dengannya. Cukup membuat mereka bahagia karena dirimu. Tapi, bagaimana jika dia hanya bisa bahagia dengan bertemu denganmu?
RUKIA'S POV
Aku baru tau rasanya cinta setelah mengenal Ichigo. Tapi aku juga bimbang dengan hubungan kami. Kami perlu bertemu, tapi kami tidak bisa.
Entah sudah berapa kali aku menangis karena memikirkan hal ini. Akankah suatu hari nanti aku bisa bertemu dengannya? Bertemu si pendek gendut dengan matanya yang amat sipit itu? Aku tidak peduli bagaimana dirinya. Aku sudah cukup mengerti betapa tampan jiwanya selama dua usahanya yang beberapa kali menghubungi Nii-sama. Akh, itu konyol, tapi sudahlah.
Setidaknya dia berjanji menemuiku setelah lulus kuliah. Mungkin saja dia sudah menjadi dokter ketika menemuiku. Bodoh! Itu terlalu romantis untukku!
Dan pikiran bodoh ini yang menggiringku untuk tidak mendekat lebih dalam pada sosok Ichigo. Aku menyadarinya. Jika suatu hari dia mengingkari janjinya, semua romansa ini hanyalah angin kering. Itu sangat cukup untuk membuatku gila. Yah, syukurlah aku bisa membangun sedikit banyak batas diantara kami.
Tapi batas itu akhirnya remuk.
200 km/jam. Akan ku ingat itu.
Aku bertemu dengan pria semampai dengan badan atletis. Kulitnya sawo matang dengan mata coklat madu. Mengingatkanku dengan musim gugur. Yah, aku harus mengakuinya kan? Pria itu sangat tampan dengan topi yang menutupi rambut err…bercat oranye nya. Keren.
Dan kau tau siapa dia? Oh, maaf, aku tidak bisa berhenti tersenyum.
ICHIGO'S POV
'Kau cocok dengan yang cup C seperti itu.'
'Dia tipeku. Sayang sekali dia menyukaimu. Kuso kau.'
'Dasar bodoh, tidak tau gadis cantik apa?!'
Baiklah, sudah cukup? Kalau pun boleh memilih, aku ingin bertubuh pendek, gendut dan bermata sangat sipit agar kalian bisa mengambil semua itu. Dan saat itu terjadi, aku akan senang hati berkata, 'Haha, selamat ya.'. Itu kalau aku boleh memilih.
Coba saja jika aku pendek, gendut dan bermata sangat sipit. Apa kalian tetap akan meneriakkan 'Kyaaaa…Kurosaki.' begitu? Sudahlah, aku muak. Kalian semua sama saja. Tak akan membuatku jatuh cinta barang secenti pun.
Tapi ada yang berbeda.
'Aku tidak akan meminta fotomu. Jadi jangan sekali-kali minta fotoku.' Itu yang membuatnya berbeda. Dia mencintaiku tanpa harus melihat fisik. Rukia Kuchiki.
Maaf, aku tidak puitis, hanya saja kalian perlu tau kalau aku benar-benar mencintainya.
Aku sudah menawarkan pengorbananku padanya, tapi dia bersikeras menolak. Dia takut merusak cita-citaku. Tapi aku tidak merasa seperti itu. Bahkan sebenarnya dialah cita-citaku. Bodohnya dia karena tidak menyadari hal itu.
Setiap hari harus memikirkan perpisahan adalah hal yang sangat menyiksa, kau tau? Jadi aku ingin dia tidak melarangku untuk menemuinya. Baiklah, baiklah, aku mengalah. Akan kubuktikan dalam empat tahun mendatang jika aku akan menemuiya dan akan langsung melamarnya. Itu adalah sumpahku sebagai seorang pria.
Bodohnya 200 km/jam. Membuatku mengkhianati Rukia dan melanggar sumpahku. Chotto, setidaknya itu pemikiran awalku. Tapi terima kasih 200 km/jam. Berkat kau, aku bisa bertemu dengan wanita yang bayang-bayang wajahnya selalu menggelitik otakku. Memikirkan bagaimana paras Rukia mungkin salah satu penyebab stresku.
Perlu ku jelaskan? Oke, aku punya bidadari berkulit porselen, mata amethys bulat, bibir pink tipis dengan surai yang kelam. Aku tidak menyangka, sapu tangan buatan tangan itu menyadarkanku.
Aku sudah berbagi karee yang memang disiapkan untukku. Ah, sangat menggelikan. Rukia memang koki yang hebat.
Dan juga berbagi tawa yang manis. Tentu! Senyumnya sangat menawan! Tak pernah aku berpikir jika Rukia punya senyuman yang seperti itu.
Dan juga berbagi seri. Dia bukan tong kosong berbunyi nyaring seperti yang lainnya. Dia cerdas. Aku tak habis pikir jika catur bisa membawa berkah.
Tapi aku tau satu hal. Takdir tersenyum padaku.
Ciuman itu sangat hangat. Meskipun kau ada di sana. Aku merasa jika kau meciumku. Cukup dalam ketika kau tau namaku. Dan pada akhirnya kita bertemu. Simpan itu baik-baik dan sampai ketemu..
…di rendezvous berikutnya.
Chapter 1 : OWARI
Aku rasa feelnya kurang dapet. Tapi aku ngotot publish. Soalnya ini proyek lama sih. Digarap sebelum saya dapet exam, exam and exam. Dan dilanjutkan ketika ulangan hariannya kelar. Jadi nggak bisa terlalu improv. Idenya juga udah mulai kabur saat aku nyoba ngelanjutin. Akh, apa lagi ini oneshot yang aku yakin akan mendapat sedikit feedback.#payah bikin oneshot#plak!
Tapi aku tetap berharap reader suka. Sekalian ngeramein FBI yang katanya IchiRuki nya sepi.
Oke deh, mau bagaimana pun, saya juga pingin ngomong,..
"Review, onegai~~~~" #pose kawaii#plak!
Oke deh, arigatou..:*
P.s. Hmzz..#jedotin Lappy
Etoo..oke deh, saya bakal bikin ini multychap. Berhubung Minna-san yang memintanya. Tapi saya bener-bener warning kalau kalian harus extra very very SABAR lho ya...
oke, arigatou :*
