Kyungsoo berjalan di pinggir jalanan sambil tangannya menggenggam takoyaki*. Gadis itu terlihat senang dengan yukata* yang baru dibelikan oleh Ibunya—Nyonya Do memujinya berkali-kali tentang penampilan cantiknya mengenakan pakaian tradisional Jepang itu.

Selepas ujian kenaikan kelas, Kyungsoo mengikuti keluarganya yang mengajaknya liburan ke Jepang musim panas ini.

Saat sedang berjalan, tiba-tiba tangan Kyungsoo ditarik oleh seseorang menuju ke arah jalan di atas bukit. Kyungsoo meronta meminta tangannya lepas—tapi tangannya semakin erat digenggam.

Kyungsoo keteteran—untuk pertama kalinya Kyungsoo mengumpat pada rok yukata yang ia pakai. Sempit sekali, beberapa kali Kyungsoo nyaris tersandung. Ia ingin sekali protes ketika orang itu berhenti. Tapi, urung ketika kembang api meluncur kemudian meledakkan cahaya terang dengan warna-warni menakjubkan.

Kyungsoo terdiam—kembang api meluncur dan meledak tanpa henti di angkasa. Keinginannya untuk protes menguap, kemudian ia ingin mengucapkan terima kasih pada seseorang yang sudah membawanya ke tempat yang sangat indah ini. Kyungsoo menoleh dengan wajah yang riang.

"Terima ka—" belum sempat mengucapkan.

Kyungsoo terbelalak ketika ada sebuah mobil sedan melaju lurus dan tanpa ampun menabrak tubuh sosok itu.

Sosok itu terpental—bahkan sebelum Kyungsoo mengedipkan mata.

Tanpa sadar Kyungsoo berjalan mundur, tumitnya terpeleset dan tubuhnya terbanting—selanjutnya tubuh Kyungsoo bergulung-gulung menuruni bukit—selanjutnya Kyungsoo melihat ada sebuah tiang besi—kemudian tubuhnya yang terus bergerak ke arah tiang itu.

Kyungsoo merasakan benturan yang sangat keras.

"AARGH!"

Kyungsoo terlonjak di tempat tidur. Wajahnya penuh peluh.

Mimpi itu sungguh buruk.

Kyungsoo berjanji ia tidak akan ikut orangtuanya dalam liburan ke Jepang musim panas kali ini.

.

.

Summer on August © darkestlake

Do Kyungsoo, Kim Jongin, Oh Sehun, etc

Warning: summer!AU, GS for Kyungsoo! Ooc! Beware of typo(s)!

.

.

Kyungsoo melompat keluar dari mobilnya dan memandang pantai berpasir beserta laut lepasnya yang berwarna biru kehijauan—itu mengingatkannya akan warna sirup es serut pantai yang selalu ia nikmati bersama Ayah dan Ibunya ketika mereka mengunjungi pantai ini saat ia masih berusia awal belasan tahun.

Kyungsoo berlibur sendirian sekarang, Ayah dan Ibunya terlibat perjalanan bisnis ke luar Korea—dan Kyungsoo menolak untuk ikut seperti biasanya pada liburan kuliahnya musim panas ini. Dengan wajah kecewa, Nyonya Do—Ibunya memberikan kunci cottage milik keluarga mereka di dekat pantai itu. Menyarankan Kyungsoo untuk berlibur ke sana jika gadis berusia dua puluh dua tahun itu merasa bosan di rumah—dan itu memang benar, dua hari setelah suami-istri Do meninggalkan putri semata wayang mereka, putri itu sudah bosan setengah mati dan meminta supirnya—Kyungsoo selalu memanggilnya Pak Oh—untuk mengantarkannya ke pantai.

Kyungsoo berniat menginap di pantai—terutama karena keluarga Pak Oh juga yang mengurusi cottage milik keluarganya di sana. Pak Oh sekalian pulang kampung, begitu pikir Kyungsoo.

Kyungsoo menyusuri pasir pantai dengan kaki tanpa alas—entah kemana ia melempar sepatu sebelumnya. Sambil mengikat rambutnya tinggi-tinggi, Kyungsoo tersenyum ketika ombak menyentuh kakinya dengan lembut. Airnya masih begitu bening—pantai ini tidak berubah.

"Nona Kyungsoo, saya tinggalkan dulu sebentar untuk mengantarkan barang-barang Nona."

Sayup-sayup Kyungsoo mendengar suara Pak Oh, gadis itu mengangguk, "Baiklah, Pak."

"Apa perlu saya menyuruh Sehun kemari untuk menemani Nona?" Tanya Pak Oh—Sehun adalah nama anak lelakinya yang terpaut usia sekitar tujuh tahun dari Kyungsoo. Kyungsoo ingat ia sering sekali menggoda Sehun saat anak itu masih kecil sampai Sehun menangis hebat—keluarga Oh tidak pernah marah, mereka hanya tertawa, tapi Nyonya Do yang selalu menjewer Kyungsoo—mengomel karena kelakuan jahil putrinya itu.

Kyungsoo tersenyum, mengangguk sebelum menambahkan, "Kalau dia tidak keberatan, Pak."

Cottage dan rumah keluarga Pak Oh cuma berjarak sekitar dua puluh meter. Dilihat dari tempat Kyungsoo berdiri sekarang pun juga kelihatan, tapi, gadis itu ingin bermain dulu di pantai yang dirindukannya—pantai yang nyaris seperempat hidupnya ia habiskan di tempat itu. Hanya setelah keluarganya sukses, Kyungsoo selalu menjadi objek pendamping keluarganya saat liburan—Tokyo, London, Paris, New York, Milan, dan seabreg kota-kota di luar negerilah yang menjadi destinasi liburan keluarganya. Pantai terlupakan sementara.

"Noona! Jangan terlalu ke tengah, kau bisa tergulung ombak!"

Suara laki-laki—Kyungsoo melihat sosok anak dengan celana jins selutut dan kaos oblong tipis berlari menuju ke arahnya.

Bukan—dia bukan Sehun.

Anak itu berkulit sewarna madu—cipta sempurna dari pigmen yang terbakar matahari. Hidung dan rahangnya terbentuk tegas. Garis bibirnya begitu jelas, dan matanya yang sedikit sayu. Penampilannya benar-benar menunjukkan bahwa ia adalah bocah pantai.

Kyungsoo nyaris melamun ketika memperhatikan anak itu—kentara sekali jika anak ini lebih muda dari dirinya. Lagipula tadi aku sudah dipanggil noona kan? Batin Kyungsoo.

"Siapa kau? Kau bukan Se—"

"Kyungsoo-noona!"

Ada lagi seorang anak lelaki yang berlari—kali ini kulitnya jauh lebih cerah daripada anak lelaki yang pertama. Kyungsoo kenal yang terakhir—itu Sehun, anak Pak Oh.

Remaja kulit cokelat terkekeh, "Wah, kau menunggu Sehun ya, noona? Kalau begitu menepilah, kau benar-benar bisa tergulung ombak dengan badan kecil seperti itu." Anak itu mengedipkan sebelah mata dan berlari melewati Kyungsoo—Kyungsoo nyaris melewatkan bagian dimana anak itu menenteng sebuah papan selancar ketika menatapnya hingga nyaris melamun tadi.

Wajah Kyungsoo merona memikirkannya, bisa-bisanya dia sampai melamun tadi. Anak itu pasti menyadari bahwa ia nyaris melamun.

Tapi—

"Ya! Siapa yang kau sebut kecil, Bocah Hitam?!" Kyungsoo meraung ketika ombak datang. Bocah itu menyeringai ketika menoleh padanya dan mulai berenang bersama papan selancar menuju ombak.

Kyungsoo cemberut. Moodnya buruk seketika.

"Eh, Noona sudah bertemu dengan Jongin?" Sehun baru sampai di sebelah Kyungsoo dan Kyungsoo memutuskan dengan cepat untuk membuang muka juteknya. Ia tersenyum dan sedikit kaget melihat Sehun yang sudah jauh lebih tinggi dibanding saat terakhir mereka bertemu.

"Siapa namanya tadi? Jongin?"

Sehun mengangguk, "Keponakan Ibu dari daerah pegunungan di Bucheon. Dia kemari untuk liburan selama bulan Agustus."

Kyungsoo nyaris tertawa mendengar kalimat yang diucapkan Sehun, Sehun menoleh penasaran pada Noona yang lebih tua tujuh tahun itu.

"Kenapa tertawa, noona?" tanyanya.

"Tidak ada, bagaimana bisa ada anak gunung yang memiliki kulit hitam terbakar seperti itu?" pada akhirnya Kyungsoo benar-benar tertawa geli.

.

.

Jongin. Kim Jongin adalah pemuda berumur sembilan belas tahun—baru lulus dari sekolah menengah atasnya tahun ini dan menghabiskan liburan setelah kelulusannya sebelum ujian masuk universitas. dia pemuda yang pintar dan memiliki daya tangkap super—itu kata Bibi Oh, Ibu Sehun, istri Pak Oh—ketika Kyungsoo datang dan menyapanya lalu tanpa sengaja menanyakan tentang Jongin. Pemuda itu juga sekalian mengajari Sehun untuk pekerjaan rumah selama liburannya yang menumpuk. Jongin membantu Sehun sediki-sedikit dalam memahami materi yang belum dikuasai remaja yang baru masuk tahun pertama sekolah menengah.

Kyungsoo menyendok es serut dengan sirup yang berwarna seperti lautan di depannya. Sehun membawanya di pondok milik keluarga Oh di tepi pantai—suasana cukup ramai di pondok itu, untungnya Pak Oh sudah meminta istrinya menyisakan satu tempat kosong untuk Kyungsoo—tempat favorit yang disukai gadis itu sejak kecil.

Pondok keluarga Oh cukup besar dan memiliki beberapa pondok yang lebih kecil lagi dan dihubungkan dengan titian kayu, atapnya jerami dan pondok itu langsung menghadap ke laut. Di tiap pondok juga dilengkapi dengan toilet dan kamar mandi. Jika dipikirkan, seharusnya dengan usaha seperti ini saja, keluarga Oh sudah berkecukupan. Hanya saja, hutang budi pada keluarga Do membuat Ayah Sehun dengan senang hati tetap bekerja untuk keluarga Kyungsoo.

Cairan manis dan sejuk melewati kerongkongan dan Kyungsoo tersenyum tanpa sadar saat menelan es serut, "Umurmu berapa Sehun?"

"Lima belas, noona." Balas Sehun singkat.

Kyungsoo mengangguk, "Kau tinggi sekali. Jika sudah lulus sekolah, pergilah ke Seoul untuk kuliah, kau pasti akan jadi populer di kalangan gadis-gadis."

Wajah Sehun merona—setidaknya anak ini tidak berubah sejak dulu, masih gampang sekali digoda. Kyungsoo tergelak melihatnya lalu meneruskan, "Tapi, hilangkan dulu sifat pemalumu itu."

Keduanya terlibat pembicaraan cukup lama dan Kyungsoo sekali lagi menanyakan Jongin. Kesan buruk karena Jongin menghina tubuhnya sudah membuat Kyungsoo benci dengan pemuda itu. Sehun tertawa dengan suara sumbang khas anak yang baru mencapai pubertas ketika Kyungsoo menceritakan pertemuan pertamanya dengan Jongin yang terjadi setengah jam lalu.

"Jongin-hyung memang suka bercanda, noona. Tapi, dia orang yang baik. Mungkin dia sedikit usil, tapi tidak seusil noona yang suka membuatku menangis waktu kecil."

Kyungsoo tersedak karena ucapan Sehun, lalu terkekeh malu. Merangkul bahu pemuda yang tujuh tahun lebih muda, berbisik, "Ya iyalah, dia kan mengusilimu waktu sudah besar. Mungkin jika dia melakukannya saat kau kecil, kau pasti sudah mengompol di celana."

"Noona, jinjja!" Sehun mendengus dan menerima permintaan maaf dari Kyungsoo disertai pelukan beruang.

Jongin datang dengan pakaian yang basah kuyup dari atas ke bawah. Air laut menetes dari ujung-ujung rambut yang menutupi separuh mukanya. Ia menatap Sehun yang berontak ingin melepaskan diri dari Kyungsoo. Mendengus, menyingkirkan rambut yang menutupi mukanya dan tidak sengaja bertatapan dengan Kyungsoo.

"Oi, Nona Mesum, apa kau tidak malu merayu pemuda yang lebih muda dari dirimu?" Tanya Jongin pedas dan menghasilkan delikan tajam dari Kyungsoo—juga tatapan 'tolong jangan salah paham!' dari Sehun yang menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat.

"Kenapa kau? Iri melihat kedekatanku dengan Sehun, bocah hitam?"

Kyungsoo tidak bisa melihatnya, tapi urat-urat sekitar pelipis Jongin berkedut. Pemuda itu mendengus, memalingkan muka—membuat rambutnya sedikit terkibas dan titik-titik air menyiprat. Berkilau terkena sinar matahari yang terik. Jongin berjalan menuju Ibu Sehun yang langsung menawarinya untuk minum.

Kyungsoo berdecih. Rangkulannya sudah lepas dari bahu Sehun—moodnya kembali jadi jelek, "Dia lebih dari sekedar menyebalkan."

Sehun menghela nafasnya. Membayangkan musim panas yang benar-benar panas dengan anak majikan ayah dan sepupunya yang saling membenci.

.

.

Bibi Oh menutup pondok kedai lebih cepat. Semua untuk menyambut Kyungsoo dan mengadakan makan malam di tepi pantai. Sehun sibuk membawa satu keranjang kepiting, udang dan cumi. Seafood! Kyungsoo tersenyum lebar dan merebut keranjang itu dari Sehun. Selanjutnya gadis itu membantu Bibi Oh meracik bumbu untuk sup dan untuk membakar daging.

Kyungsoo mengerutkan dahi, "Ada acara panggang daging juga?"

"Ada yang alergi dengan makanan laut, Nona." Bibi Oh tersenyum.

Di luar dugaan, Jongin tengah menyiapkan panggangan—Sehun sudah beralih membantunya sehabis keranjang berisi makanan laut tadi diambil alih Kyungsoo.

Di sudut lain, Pak Oh sedang memasak sup rumput laut.

"Nona sudah berkenalan dengan Jongin?" Tanya Bibi Oh yang langsung membuat Kyungsoo nyaris mengiris tangannya sendiri ketika membersihkan cumi, "Ah, hati-hati, Nona."

"A-aku tidak apa-apa, Bibi." Kyungsoo tertawa canggung, "Aku belum berkenalan dengannya."

Ibu Sehun itu tersenyum lagi, "Ah, seandainya ia bukan anak petani, aku ingin sekali mengenalkannya pada Nona. Secara lebih dalam tentunya. Dia anak yang sangat baik, Nona."

Kyungsoo melebarkan matanya, seperti berkata; "Benarkah?" lalu menatap Jongin yang tertawa lepas—menertawakan Sehun yang lupa; menyentuh besi pemanggang yang panas hingga jari tengah dan telunjuk remaja itu melepuh. Sehun berlari ke arah pondok untuk mengompres jarinya dengan air es.

Jongin masih menertawakan anak itu hingga Sehun menghilang di balik pintu pondok.

Well, sebenarnya Jongin itu cukup oke—batin Kyungsoo. Entah kenapa gugup sendiri dan mengalihkannya dengan memainkan ujung rambut kecokelatannya yang dikuncir dua dengan rapi. Jemari lentiknya berhenti memainkan ujung rambut ketika ia merasakan ada yang sedang menatapnya. Entah reflek atau apa, Kyungsoo menatap lagi ke arah Jongin.

Pemuda itu menatapnya tanpa ekspresi, kemudian menarik salah satu sudut bibirnya ke atas—tapi tidak cukup untuk dibilang menyeringai.

Wajah Kyungsoo memerah. Sial, anak gunung itu tampan juga.

Kyungsoo memalingkan wajah dengan cepat sebelum Sehun kembali ke pemanggang daging dan juga Jongin.

.

.

"Nona Kyungsoo, ini Kim Jongin, keponakanku dari desa. Meski aku sudah mengenalkannya, tapi, kurasa jika disini kalian akan lebih mudah bertatap muka. Berikan salammu, Jongin."

Bibi Oh beralih pandang pada Jongin dan putra kakaknya itu langsung mengulurkan tangan.

"Kim Jongin."

"Do Kyungsoo." Setelah berjabat singkat, Kyungsoo langsung menarik tangannya. Gugup. Bukan karena apa, tapi Jongin sedikit meremas tangannya.

"Noona, bisa beritahu aku rekomendasi universitas yang fakultas seninya bagus? Aku dengar Noona adalah mahasiswi di Universitas Seoul dari Bibi. Pasti noona tahu."

"Umm, yeah. Sebenarnya semua universitas di Seoul itu bagus." Jawab Kyungsoo, "Kau mau masuk fakultas seni?"

Jongin mengangguk setelah menyeruput sedikit susunya, "Ya, aku ingin masuk jurusan modern dance."

Kyungsoo mengangguk mengerti. Mengalihkan pandangan dari Jongin saat meminum jus jeruknya pelan-pelan. Kyungsoo membatin sekali lagi bahwa Jongin cukup oke.

Sadar dengan apa yang dipikirkan, Kyungsoo menggelengkan kepalanya.

"Kenapa, noona?" tanpa diduga, Jongin rupanya melihat apa yang dilakukan Kyungsoo. Kyungsoo membuat ekspresi kaget yang tidak ia sadari dan menjawab dengan cepat.

"Tidak, tidak ada Jongin." Sahutnya.

Jongin masih menatap Kyungsoo—lekat, hingga Kyungsoo mulai merasa debaran jantungnya makin cepat setiap detiknya.

"Noona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Jongin tiba-tiba.

Kyungsoo sedikit kaget dengan pertanyaan Jongin, reflek menggumam, "Huh?" tanpa sadar.

"O-oh, berarti tidak ya." Jongin berdeham sejenak, "Rasanya aku pernah bertemu seorang gadis yang mirip dengan noona saat festival matsuri* di Jepang."

Kyungsoo tidak tahu kenapa, hanya dengan mendengar ucapan Jongin ia merasa seperti de javu.

"Atau itu jangan-jangan cuma mimpi.." Kyungsoo bicara tanpa sadar, "Terkadang sebuah mimpi bisa menjadi sangat kuat dan mendalam di hati kita."

Jongin mengangguk cepat—terlihat semangat—sambil mempertemukan kepalan tangan kanan dengan telapak tangan kiri, "Oh iya juga. Tapi, kenapa harus noona ya?"

Kyungsoo tersedak, "Jadi kau tidak suka jika aku muncul di mimpimu?"

"Tergantung di 'mimpi' seperti apa noona muncul."

Kyungsoo menumpahkan isi gelas minumnya ke arah Jongin dengan wajah datar. Jongin menatapnya dengan sedikit aura suram. Suami-istri Oh—orangtua Sehun sama-sama membelalak kaget sedangkan anak mereka tidak peduli dan lebih memilih mengunyah cumi panggangnya dalam diam. Kyungsoo mengucapkan maaf pada suami-istri Oh dengan nada manis sebelum meninggalkan pagelaran akbar makanan laut yang dimasak eksklusif oleh Ibu Sehun. Kyungsoo masih sempat membawa beberapa tusuk cumi panggang untuk dia makan di cottage sendiri—tidak mau rugi karena dia tadi juga sudah membantu Bibi Oh memasak.

"Kenapa dia seperti itu, Bibi!? Astaga, apa aku salah bicara?" keluh Jongin dengan wajah bingung.

.

.

"Kim Jongin mesum! Apa maksudnya tergantung di 'mimpi'? cih! Anak seperti itu mana ada baik-baiknya!"

Kyungsoo menempatkan bokongnya di kasur—mulutnya mengunyah cumi panggang. Kesal dan lapar membuatnya lupa akan tata cara makan baik dan benar juga sopan yang diajarkan ibunya. Tapi, masih sempat membatin, Uwaah, masakan Bibi Oh memang paling enak!

Kyungsoo mengecek ponselnya dan ada satu pesan masuk dari Ibunya.

Bagaimana harimu, sayang? Aku harap kau tetap memakai pakaian yang pantas dan bukan bikini meski kau ada di pantai! Juga hotpants, tidak Kyungsoo. Ibu tidak mau para pelanggan Bibi Oh menggodamu disana!

Oh, yeah. Putrimu ini tidak memakai bikini, Ibu. Hanya memakai hotpants dan kemeja tipis supaya tidak kepanasan.

Setelah membalas pesan ibunya; pesan berisi bahwa Kyungsoo baik saja (sama sekali tidak mengungkit hotpants dan bikini) dan bertanya apakah ibu dan ayahnya sudah makan atau belum, Kyungsoo beranjak untuk mandi. Cumi panggang sudah tandas—hanya tersisa tusuknya saja.

Hingga sampai di kamar mandi, Kyungsoo tiba-tiba ingat dengan pertanyaan Jongin.

'Noona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?'

Apakah pernah?

Kyungsoo terdiam—membiarkan titik-titik air jatuh dari helaian rambutnya yang terguyur air shower. Teringat lagi akan Jongin—dengan rambut basah yang sama-sama menitik air—menatapnya dan Sehun dengan pandangan tidak suka ketika ia memeluk pemuda baru puber yang sudah Kyungsoo anggap seperti adik sendiri. Ya. Kejadian siang tadi. Ingatan Kyungsoo seperti terlempar lebih dalam lagi, tapi yang ia lihat hanyalah hitam-abu-abu-hitam-kemudian perlahan kembali ke pemandangan cat dan keramik putih bersih kamar mandi yang selalu dibersihkan oleh Bibi Oh seminggu sebelum ia datang ke cottage.

Kyungsoo menghela nafas.

"Kenapa?"

—tidak mengingatnya?

.

.

Hari kedua di pantai.

Kyungsoo mengetukkan jemari, melirik bosan pada Sehun—yang tanpa disangka sangat tekun mengerjakan soal aljabar. Tapi, tetap saja matematika itu rumit—terlihat dari bagaimana poni rambut hitam Sehun yang urakan, juga ujung rambutnya yang mencuat ke atas—bekas akibat kepalanya yang gatal mendadak digaruk, kadang diusap saja ke atas, kadang diacak ketika nilai variable yang didapat tidak kunjung cocok dengan pilihan jawaban.

"Noona, tidak jadi berenang?" Sehun bertanya sambil menyedot jus jeruk buatan ibunya, "Ini sudah mulai terik. Bukannya noona bilang tidak ingin kulitnya terbakar."

Kyungsoo meluruskan kaki—sedikit berharap hotpants yang dipakai bisa membuatnya sedikit terlihat tinggi, "Sepertinya aku akan berenang di kolam saja, Sehunnah."

Sehun mengangguk saja—Kyungsoo membatin bahwa Sehun benar-benar bukan cowok peka.

"Ah, aku tidak pernah ingat noona pernah berenang. Apa noona bisa berenang?"

Insting kuat bukan berarti peka. Kyungsoo menyadari hal itu.

"Kalau noona tidak bisa berenang, minta Jongin-hyung saja untuk mengajari noona."

Sehun mulai banyak bicara, tapi konsentrasinya pada soal aljabar lebih tinggi daripada mengingat fakta bahwa Kyungsoo tidak suka Jongin. Perempuan berusia dua puluh dua menggembungkan pipi, kesal karena semenjak datang kemari, dunianya seolah dipaksa menerima kehadiran makhluk hitam bernama Kim Jongin untuk bergabung.

Kyungsoo beranjak, sebelumnya sudah menandaskan setengah jus melon yang dibuat ibu Sehun untuknya. "Aku mau belajar sendiri saja, Sehunnah."

Pintu ditutup, baru Kyungsoo bisa mendengar suara Sehun.

"Semoga berhasil, noona."

.

.

Buku Panduan Renang Baik dan Benar: Dijamin 100% bisa dalam sehari! ditutup. Buku seukuran manhwa itu mencetak nama pengarangnya dengan font berukuran terlalu besar bagi Kyungsoo—ditulis oleh; GEUM JAN DI.

Tunggu—bukannya itu nama pacarnya Goo Jun Pyo di drama modern legendaris Korea? Yang di salah satu Negara Asia Tenggara diputar terus berulangkali di stasiun televisi.

Mengabaikan pikiran absurd. Kyungsoo bukan orang yang bergantung terus pada teori—yang benar saja, ia tidak mau pakai kacamata renang penahan nafas—apalagi pakai yang ada selangnya—yang di buku dijelaskan sebagai peralatan jaga-jaga jika Anda kehabisan nafas.

Cottage milik keluarganya memang besar—bahkan memiliki kolam renang indoor. Sudah benar-benar mirip hotel atau penginapan bintang empat. Kyungsoo mengacungkan jempol imajiner di otak untuk Ayahnya saat ini.

Mengikat rambutnya ke atas dengan kuat hingga dipikirnya tidak akan mengganggunya dalam berenang. Kyungsoo membuka jaketnya—dia mengenakan pakaian renang dengan kombinasi warna putih dan biru navy dengan sedikit renda yang menyerupai rok mini untuk bawahannya. Baiklah, ini dia.

Kyungsoo menceburkan diri di kolam. Kulitnya langsung merasa rileks untuk merasakan rasa sejuk air di tengah udara lembab dan panas. Ketakutan akan tenggelam hilang mendadak.

Mungkin karena itu juga, Kyungsoo bisa belajar mengapung dengan cepat. Ia juga tidak takut untuk mulai mengayuh tubuhnya ke depan menggunakan tangan dan kakinya—meskipun badannya mulai lelah. Tapi, Kyungsoo tetap tersenyum senang.

"Wah, kurasa aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi, noona."

Kyungsoo menoleh ke belakang dan betapa kagetnya saat ia tahu Jongin dengan santainya duduk dengan celana longgar selutut, tanpa atasan.

Kyungsoo blushing parah. Bukan karena badan Jongin yang bisa dibilang bagus—bagus banget untuk ukuran 19 tahun karena tidak terlalu kekar juga—tapi karena malu dilihat laki-laki dengan pakaian renang yang—ugh, Kyungsoo sepertinya harus memakai pakaian yang bisa menutupi auratnya.

"Kenapa kau disini? Kenapa kau selalu mengekoriku?"

Jongin menyengir, "Bibi Oh khawatir kalau kau kenapa-kenapa. Lagipula aku memang sering berenang disini."

Mana mungkin Jongin bilang kalau dia tidak mau kulitnya lebih hitam lagi. Ucapan dan hinaan Kyungsoo ternyata cukup memengaruhi hatinya.

Kyungsoo mendengus, entah kenapa merasa tertantang dengan kata 'khawatir'. Ia tertantang untuk menyeberangi lebar kolam yang berjarak sekitar dua puluh lima meter—ingin menunjukkannya pada Jongin bahwa ia bisa berenang. Menarik nafas, Kyungsoo mulai berenang.

Sip, luncurannya sukses. Kepala Kyungsoo mulai muncul ke permukaan. Sepuluh meter pertama, rasanya mudah saja.

Hingga tiba-tiba Kyungsoo merasa betisnya begitu lemah. Tidak bisa digerakkan lagi. Kyungsoo mulai panik.

Kyungsoo mempercepat gerakan tangannya untuk mencapai pinggir kolam—sayangnya ia masih berada di tengah-tengah kolam itu. Semakin panik—dadanya berdegup keras dan semakin cepat. Nafasnya semakin pendek. Kyungsoo yakin ia akan tenggelam.

Sesaat tangan Kyungsoo serasa ditarik. Kepala Kyungsoo yang sempat tenggelam kembali menyapa udara. Gadis itu bernafas dengan rakus dan meraih apa saja yang bisa dijadikannya tumpuan.

Tubuh Jongin.

"Sial." Jongin menatapnya dengan wajah khawatir, "Kupikir kau benar-benar sudah menguasai berenang. Setidaknya perhatikan sisa staminamu, kakimu pasti sudah kelelahan."

Kyungsoo tidak peduli, ia takut tenggelam lagi. Memeluk leher Jongin lebih erat—bahunya bergetar.

Ia sangat takut.

Jongin mengehela nafas pendek melihat kondisi gadis yang lebih tua. Memutuskan untuk menepi dengan Kyungsoo yang masih memeluk lehernya.

"Jongin."

Bayangan hitam-putih-abu-abu-kemudian refleksi rol film di otak Kyungsoo bekerja. Ia pernah tenggelam di sungai sebelumnya. Bayangan kabur. Bening air. Arus yang menyeretnya. Tarikan keras yang kembali membuatnya menghirup udara lagi. Kapan dan dimana?

Pandangan Kyungsoo kembali fokus pada sosok Jongin ketika sempat teralih sebelumnya. Memandang Jongin sekarang—entah kenapa membuat hatinya merasa aneh. Tergelitik, tapi bukan rasa geli yang bisa membuatnya tertawa terpingkal-pingkal seperti ketika Baekhyun—teman satu fakultasnya menggelitikinya.

"Ya?"

Kyungsoo tidak tahu. Air matanya bergulir lagi dari ujung mata.

Medengar suara Jongin, rasanya hatinya seperti dilesakkan dengan satu tendangan keras.

.

.

Aku merasa buta. Dan bodoh.

Kyungsoo membiarkan Bibi Oh mengambil termometer dari sela bibirnya dan mengganti kompresnya. Wanita berusia empat puluhan itu menyebutkan angka tiga puluh sembilan untuk suhu badan Kyungsoo.

"Sepertinya Nona kaget dan kelelahan karena berenang tadi. Aku akan mengambilkan makanan untuk Nona."

Bibi Oh meninggalkannya setelah Kyungsoo mengangguk. Gadis itu sedang tidak ingin bersuara sekarang. Demam dan lemas jadi satu, hanya untuk menggerakkan ujung jari saja rasanya tidak nyaman. Udara malam musim panas terasa berkali lipat lebih dingin ketika bersinggungan dengan kulitnya yang bersuhu lebih tinggi dari biasanya.

Selimut yang dipakaikan Bibi Oh hingga dekat dagunya terasa sangat nyaman dan berguna sekarang.

Kyungsoo memejamkan matanya yang terasa panas—demam membuatnya terkesan seperti menangis terus-menerus, terutama dengan mata merah sehabis berenang.

Bunyi pintu kamar Kyungsoo dibuka, tapi bukan Bibi Oh yang muncul. Kyungsoo yang nyaris tertidur kembali memaksa matanya untuk membuka.

"Jongin?"

Pemuda yang memiliki kulit kaya pigmen itu duduk di kursi yang tadinya diduduki Bibi Oh sambil meletakkan semangkuk bubur dan segelas air beserta obat dari dokter yang didatangkan sore tadi. Jongin menatap Kyungsoo dengan ekspresi biasa-biasa saja, tapi sebagai mahasiswi jurusan psikologi, Kyungsoo tahu Jongin memancarkan kekhawatiran. Matanya tidak bisa berbohong.

"Aku baik-baik saja." Ujar Kyungsoo, "Omong-omong, terima kasih sudah menolongku tadi."

Jongin mengangguk sekali, "Makanlah dulu, noona. Bibi sedang sibuk di kedai, malam ini kedai sangat ramai hingga Sehun dan Paman tidak cukup untuk membantunya."

Dibantu Jongin, Kyungsoo berusaha duduk di tempat tidurnya. Berusaha meraih sendok dan mangkuk yang diletakkan Jongin di meja kecil dekat tempat tidurnya.

"Akh.."

Sendok yang diambil Kyungsoo terpelanting ke lantai. Jongin menghela nafas lalu mengambilkan sendok itu. Kyungsoo menerimanya ketika Jongin mengulurkan tangannya. Tapi, sedetik kemudian pemuda itu kembali merebut sendok Kyungsoo.

"Turunkan sedikit harga dirimu apa tidak bisa, noona? Tanganmu masih gemetar seperti itu mana bisa kau makan sendiri." Yang lebih muda mengambil mangkok, menyendok sedikit lalu mengarahkannya ke mulut Kyungsoo, "Buka mulutmu."

Kyungsoo memang gengsi habis, mantan-mantan pacarnya saja belum pernah menyuapinya. Lalu bocah hitam berusia sembilan belas ini sekarang menyuruhnya membuka mulut? Yang benar saja.

"Noona." Desak si remaja.

Kyungsoo akhirnya menurut, lagipula perutnya juga lapar.

Kyungsoo membuka suara ketika bubur di mangkuk tinggal separuh, "Tumben sekali kedai Bibi ramai hingga malam. Sampai-sampai kau yang disuruh menemaniku disini."

Entah itu sinisme atau bukan, Jongin tetap menjawab, "Malam ini ada festival kembang api. Dipastikan kedai ramai hingga tengah malam."

Kyungsoo membulatkan mata, "Eh? Betulan?"

"Tentu saja." Jongin menyuapinya lagi, "Itu festival rutin di daerah sini, selalu diadakan di pantai."

Mustahil. Kyungsoo tidak pernah datang ke festival kembang api sebelumnya. Apa ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya keluar dari cottage saat festival?

"Jongin, aku mau melihat festival itu."

"Kau sedang demam, noona."

"Jongin, kumohooon."

"Tidak."

"Ayolah~"

"Nanti Bibi bisa marah padaku."

"Aku tidak akan mengatakannya pada Bibi. apa kau tega pada orang sakit, huh?"

Siapa sangka gadis keras kepala dengan gengsi tinggi seperti Kyungsoo bisa merengek juga.

Jongin menghela nafas. Yah, keras kepalanya tetap ada sih meskipun merengek.

"Baiklah, tapi habiskan makananmu dan munum obat dulu, noona. Festival baru akan mulai setengah jam lagi."

.

.

Kyungsoo akhirnya memakai jaket tebal di musim panas—Jongin tidak membawanya ke pantai melainkan ke atap cottage yang cukup tinggi hingga pantai cukup terlihat jelas dari sini. Angin bertiup cukup keras disini, karena itulah, Jongin tetap menyuruh Kyungsoo memakai jaket. Kyungsoo juga tidak keberatan untuk tidak pergi ke pantai, bisa-bisa ia tumbang di kerumunan orang banyak nanti dan lagi-lagi ia tidak mau merepotkan—ralat, berhutang budi pada Jongin.

Kyungsoo memegang pinggiran balkon dan membuka mulutnya—mengatakan "Whoaa~" seiring meluncurnya kembang api pertama, meledakkan cahaya dominan merah dan ungu yang menyebar ke segala arah. Kembang api itu sangat besar, kemudian muncul lagi serentetan kembang api lain, bukan cuma susunan ledakannya yang ditata, bahkan bunyi ledakannya pun terdengar seperti irama. Kyungsoo melihat dengan mata berbinar, lupa sepenuhnya akan suhu tubuhnya yang sedang demam.

Juga lupa sepenuhnya dengan keberadaan Jongin yang sedang mengulum senyum di belakangnya.

"Jongin." Kyungsoo rupanya baru saja ingat. Ia menoleh ke arah Jongin sambil memegangi helai rambutnya yang dikibar angin agar tidak menutupi wajahnya. "Ini benar-benar cantik."

Sejujurnya kau dengan rambut yang berkibar terlihat jauh lebih cantik, noona. Sayang, Jongin hanya mengucapkan itu dalam hati.

"Karena itulah setiap tahun selalu ramai, aku selalu menghabiskan liburan musim panasku disini."

Menghabiskan liburan?

Kyungsoo menoleh lagi kepada Jongin. Isi kepalanya serasa diaduk.

Jika benar selama ini Jongin selalu kemari saat liburan.

Kenapa Kyungsoo tidak pernah bertemu dengannya?

Atau Kyungsoo tidak ingat?

"Jongin."

Semilir angin mulai melemah. Jongin menatap Kyungsoo yang memegangi keningnya.

"Kau tidak apa-apa, noona?"

"Tidak." Kyungsoo terengah.

Bayangan mimpi buruknya kembali. Kembang api. Mobil, pohon, darah. Rasa nyeri yang seolah memecahkan seluruh pembuluh darah tulang belakangnya. Kyungsoo merasa kepalanya pening.

"Apa aku pernah bertemu denganmu?"

Jongin menunjukkan wajah terkejut sementara Kyungsoo semakin merasa kesadarannya direnggut rasa nyeri.

Pandangannya menghitam tepat saat Jongin menahan tubuhnya.

.

.

Demam Kyungsoo semakin naik—sekarang empat puluh derajat. Gadis itu hanya bisa menggigil—untungnya ia tidak mengigau. Nyonya dan Tuan Do sebentar-sebentar menelepon Pak Oh. Bibi Oh memarahi Jongin yang nekat membawa Kyungsoo keluar saat sedang demam, tidak mendengar penjelasan Jongin—dia yang meminta dan memaksa, Bibi!

Sehun tetap anteng sambil membasuh peralatan kedai bekas semalam.

"Kau ini harusnya mengerti, Nona Kyungsoo tidak bisa mengingat kejadian lima tahun lalu. Jika mengingatnya secara cepat, dia akan mengalami rasa nyeri luar biasa." Ibu Sehun bicara dengan nada yang lebih lirih pada keponakannya, "Percayalah, kedua belah pihak; keluarganya dan keluargamu sama-sama ingin yang terbaik."

Jongin menghela nafas, "Aku tahu itu, Bibi." Ujarnya, "Tapi, dia mengingatnya sendiri."

Bibi Oh tercekat.

Jongin mengusap wajahnya, "Bibi tidak perlu khawatir mengenai aku yang menanyakan festival matsuri waktu itu. Sekarang aku tidak ingin dia mengingatku."

.

.

Kyungsoo membuka matanya, rasanya sangat berat.

"Noona, sudah bangun?"

Sehun yang ada di sebelah tempat tidurnya, "Ibu menyuruhku mengantarkan makanan untuk noona."

Entah kenapa ada sedikit rasa kecewa dalam diri Kyungsoo mendapati bahwa Sehun yang ada di sebelahnya sekarang.

Kenapa bukan dia?

'Dia' siapa, Kyungsoo?

"Terima kasih, Sehunnah." Kyungsoo berusaha duduk. Badannya tidak terasa terlalu panas seperti semalam, meski ia masih merasakan berat di kepalanya. Tangannya juga tidak terlalu gemetar.

"Ibu bilang, demam noona sudah turun, tapi harus tetap minum obat. Ibu minta maaf karena harus mengurus kedai."

Kyungsoo hanya mengangguk—bangun tidur terutama setelah demam tinggi membuatnya seperti dalam pengaruh hangover.

Sehun menjawab bahwa Jongin sekarang bergantian dengannya untuk membantu mengurus kedai hari ini ketika Kyungsoo bertanya. Gadis dua puluh dua tahun mengangguk lagi. Bubur buatan Bibi Oh terasa lebih enak dibanding semalam meski Kyungsoo sudah nyaris lupa rasanya. Kyungsoo menurut untuk meminum obat. Tapi, menolak ketika Sehun ingin meninggalkannya.

"Sehun, aku ingin bertanya. Tapi, jujurlah padaku."

Sehun berhenti memainkan smartphone. Aplikasi permainan Get Rich dialih fungsi menjadi autoplay.

"Apa itu, noona?"

Kyungsoo menarik nafasnya.

"Sebenarnya Jongin siapa? Apakah dulu aku pernah mengenal dia sebelumnya?"

Sehun menunjukkan wajah terkejut—hanya sebentar. Tapi, Kyungsoo sudah berhasil menangkap ekspresi anak itu. Meski wajah Sehun pada dasarnya datar, dia hanya bocah baru akil balig. Kyungsoo bisa dengan mudah melihat reaksi kikuk remaja itu.

"Jawab aku, Sehunnah."

Sehun bimbang. Bayangan Ibunya yang marah mendominasi otak dibanding mencari cara untuk menghindari pertanyaan Kyungsoo barusan.

Bunyi burung pantai yang hinggap di jendela mendominasi suara di kamar Kyungsoo selama beberapa menit.

Giliran Sehun yang menarik nafasnya.

"Aku…tidak tahu, noona."

Terdapat jeda ketika Sehun menjawab. Kyungsoo memproses apa yang terjadi dalam otaknya sebagai bentuk denial. Menyangkal nurani. Awalnya ingin menjawab yang benar tapi melenceng jadi bohong karena kontribusi pikiran. Otak dan hati memang tidak selalu sepakat.

"Aku tidak tahu harus menjawab seperti apa."

Kyungsoo tahu remaja seperti Sehun biasanya blak-blakan—atau kadang labil dan bisa dibujuk untuk mengaku. Tapi, anak satu ini sangat konsisten untuk menghindar. Sayangnya, itu hanya menambah kecurigaan Kyungsoo.

"Jadi benar aku mengenalnya." Bisik Kyungsoo yang masih bisa didengar Sehun.

Kenyataan bahwa Kyungsoo pernah mengenal Jongin tidak membuat hatinya gelisah. Kenyataan bahwa ia melupakan Jongin yang membuatnya sakit.

Kyungsoo sangat ingin memasuki otaknya sendiri dan mencari file yang hilang dalam otaknya—sayangnya ia bukan Spongebob yang bisa memanajerial pikirannya semudah menemukan artikel di Google.

"Noona." Sehun bersuara, "Aku tidak ingin ini menjadi rahasia lagi."

Kyungsoo terkejut, menatap Sehun dengan mata membulat lebar. "Sehun?"

"Aku tidak tahan ketika aku melihat dua orang kakak yang dulu saling dekat dan membuatku ikut senang ketika berada diantara mereka tidak saling mengenal." Sehun menggigit bibir, "Aku juga tahu kalau kalian saling suka satu sama lain—meski waktu itu Jongin-hyung masih lebih bocah daripada aku sekarang."

Apa?

"Keluarga kalian saling mengenal sebagai kolega bisnis. Meski Jongin-hyung tinggal bersama nenek di Bucheon, ia selalu datang berlibur bersama keluarganya ketika sama-sama ada waktu senggang. Melihat noona yang bukan anak supel bisa begitu senang setelah berkenalan dengan Jongin-hyung, mereka merencanakan untuk menjodohkan kalian."

Sehun berjeda sebentar—menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering kemudian menjilat bibirnya. Kyungsoo hanya diam dengan ekspresi kaku.

"Waktu itu umurku baru sepuluh tahun saat Paman Jongwoon dan Ayah noona sama-sama mengusulkan untuk berlibur di Jepang saat musim panas. Aku menangis karena mau ikut, tapi dilarang oleh Ibu karena Ibu tidak bisa mendampingiku ke sana."

Hening. Kyungsoo masih menunggu lanjutan cerita Sehun.

"Tapi, setelah kalian pulang. Yang kutemukan adalah Jongin-hyung dengan wajah sembab dengan bekas luka di lengan. Paman yang murung dan Bibi yang menangis bercerita pada Ibu. Ayah noona yang terlihat sangat menyesal dan Ibu noona yang menggerakkan kursi roda yang noona duduki—"

Tunggu. Cukup Oh Sehun.

Kepala Kyungsoo kembali berdenyut—cerita Sehun tanpa sadar membuatnya kembali mengingat lebih keras. Memaksanya menyelami sumur yang bahkan sudah diblokade dengan pelapis metal anti-hancur sementara Kyungsoo sepeti terus menjedukkan kepalanya ke permukaan metal untuk membuat blokade itu hancur dan menyelami sumur tergelap di pikirannya.

"—noona saat itu bahkan juga sempat tidak mengenaliku ketika aku mengucapkan selamat datang."

.

.

-to be continued

.

.

;; bagi saya ini pelepas wb two different, yang berminat silahkan review. Next chap filled with lemon karena itu saya masukkan ini kategori M. insya Allah update cepet karena saya udah bikin sepertiga chap depan (awalnya saya mau bikin ini satu chap, tapi, saya potong karena takut kepanjangan) ;;

Tamban, 06 Juni 2015

darkestlake