Austy Kim Present
.
.
Park's Strawberry Boy
.
.
One : Sebuah Kisah
.
Ia tidak tahu bagaimana cara yang benar untuk mencintainya. Ketika ia mencoba, semua itu terasa semakin berbahaya. Tapi bagi Baekhyun, Chanyeol adalah segalanya, karena pria itu yang mengajarkannya dari mulai mencinta hingga caranya terluka.
.
Byun Baekhyun X Park Chanyeol
.
Warning! It's Yaoi Fanfiction! & Sorry for Typo(s)
.
.
Berlin, 8 Januari 1962
Chanyeol terbangun karena suhu tidak masuk akal pagi itu, ia menarik selimutnya agar lebih rapat membungkus tubuhnya, tapi itu sama sekali tidak ber-efek apa-apa, tubuhnya terus menggigil kedingingan, dan ranjangnya seperti kubangan es karena –ia sangat terkejut ketika melihatnya- ada beberapa lapisan es disana. Ia duduk dengan malas di pingir ranjanganya, saat kakinya menyentuh lantai, ia seperti mendapat kejutan listrik beberapa megavolt , dengan cepat ia menarik kakinya kembali ke atas ranjangnya.
"Sialan, aku pasti lupa menutup jendela." katanya, dan benar saja dugaannya, Jendela kayu berwarna coklat tua itu kini dipenuhi es-es yang mengkerak di sisi-sisinya, 'Wah', batinnya, jika ranjangnya itu seperti kubangan es, maka kamarnya adalah sebuah freezer. Untung saja ia bangun, kalau tidak ia bisa jadi cumi beku disini.
Sambil berperang dengan sengatan lantainya, Chanyeol berjalan terburu ke arah dapur, tak lupa sembari memakai mantelnya yang ia ambil di belakang pintu kamarnya.
Dapurnya agak terlalu besar sebenarnya untuk seorang bujangan seperti dirinya, ditambah dengan berbagai peralatan masak yang serupa restoran bintang lima, yang ia lakukan hanyalah menyeduh kopi dan memasak beberapa bungkus mie instan,.
Ada sebuah mini bar yang ia dedikasikan untuk dirinya sendiri di sudut dapur, biasanya saat ganda gulana melandanya, ia akan duduk sendirian disana, menyesap beberapa botol alkohol dengan ekspresi mirip pecadu. Orang-orang yang baru mengenalnya pasti terkejut mengetahui betapa alkoholik dirinya. Ia bisa minum beberapa botol alkohol dalam satu sesi minum. Bagi Chanyeol, tidak ada lagi bentuk pelarian diri yang lebih efisien daripada mabuk.
Kini, ia duduk di kursi bar itu sembari memeluk badannya erat-erat, menunggu coffee machine-nya selesai mengolah kopi miliknya.
"Sungguh benar-benar pagi yang buruk." runtuknya sebelum bibir tebalnya ia tempelkan pada sudut cangkir, menyesap kopinya yang masih memiliki kepulan uap disana tanpa takut lidahnya terbakar, indra pengecapnya lumpuh karena kedinginan.
Sambil mengamati motif cangkir yang ia gunakan, fikirannya melayang bebas ke berbagai hal yang terjadi, diawali oleh kejadian tadi malam di klinik.
Ada seorang pasien yang baru saja di pindahkan dari rumah sakit pemerintah, pasien itu baru berusia sembilan belas, seorang remaja laki-laki yang jika di lihat sekilas saja, terlihat benar-benar sehat dan tampan, tapi tentu saja itu hanya penampilan luarnya, tidak pernah ia menemukan seseorang yang sesakit itu dalam kurun waktu lima tahun terakhir, benar-benar dalam kondisi yang menghawatirkan.
Chanyeol juga ragu apa anak itu bisa sembuh, lagipula fakta bahwa rumah sakit pemerintah pun memilih memindahkan anak itu ke kliniknya, bukan petanda yang bagus dalam perkembangan pasien dengan penyakit psikis.
Bukan hanya itu masalahnya, pasien itu, selain punya gejala yang sangat-sangat menghawatirkan juga sulit diajak berkomunikasi, pergolakan batin yang di alami sang pasien, dan ketidakterimaan dirinya terhadap kondisinya sendiri memperparah gangguannya, ia sering berontak,meneriaki orang-orang, dan punya keyakinan bahwa semua orang ingin membuatnya lebih sakit lagi.
Bahkan kemarin, pasien itu memukuli suster yang hendak membujuknya untuk minum obat. Sebuah kenyataan mengerikan yang hanya bisa di temui di rumah-rumah sakit jiwa, atau miliknya, klinik terapis mental.
Chanyeol sampai harus lembur, dan baru sampai rumah pada dini hari. Seingatnya, tadi malam ia langsung tertidur begitu sampai rumah, ia sampai lupa menutup jendela kamarnya, lupa bahwa ini adalah musim dingin.
'TING NONG'
Suara bel yang menggema itu memaksa Chanyeol kembali pada dunia nyata, pria itu sedikit tersentak, sebelum akhirnya menaruh kembali cangkir kopi dimeja bar dan segera berjalan kearah pintu sambil menduga-duga siapa orang yang tega berkunjung sepagi ini.
Wajah datar Kai menyambutnya sesaat setelah pintu terbuka, pria dengan jaket kulit hitam ketat itu mendernyit melihat penampilannya, yang kembali mengingatkannya jika ia baru saja mengalami pagi yang buruk,
"Kau berantakan, bung" komentar Kai sambil menyerobot masuk ke dalam rumahnya , tentu saja, si berdebah Kim Jong In itu tidak membutuhkan izin intuk masuk ke rumah seseorang. Batinnya sarkatis.
"Ya, aku hampir jadi cumi beku di kamarku sendiri." adunya, cepat-cepat menutup pintunya sebelum hawa digin ikut mendobrak masuk ke dalam.
"Ada apa?" tanyanya, menatap selidik Kai yang duduk dengan tidak nyaman di sofa beludru miliknya. Sahabatnya itu tampak gusar, saat Chanyeol hendak bertanya alasannya, Kai mendahuluinya dengan melemparkan sebuah amplop coklat ke atas meja.
"Bukalah, tapi siapkan hatimu bung, kau akan sangat terkejut ketika melihatnya." kata pria itu sembari mengangkat dagunya, mengisyaratkan untuk segera melihat isinya.
Chanyeol mengulurkan tanganya, membuka amplop itu dengan sebelah alis yang terangkat, tapi wajahnya mendadak kaku ketika melihat apa yang ada di dalamnya, nafasnya tercekat, Chanyeol tidak tahu apa kata-kata yang tepat untuk mengambarkan perasaannya saat ini, mungkin, hancur?
"Ya bung, itu memang mengerikan," ujar Kai, seolah bisa membaca fikirannya. " Ia di temukan pagi ini di dekat Jembatan Sorzi, pantas saja aku merasa tidak asing ketika melihatnya, aku fikir itu benar-benar dia." lanjut pria itu, mematahkan harapan Chanyeol tentang identitasnya.
"T-tidak mungkin, apa yang terjadi padanya?" Chanyeol sampai terbata-bata karena tidak percaya.
Kai memijat pelipisnya, menatap Chanyeol prihatin, "Kau sudah melihat semuanya dari foto-foto itu, kau fikir apalagi yang bisa terjadi padanya?"
"Tidak, tidak mungkin."
"Ya, anak itu di aniaya. Dan ia sedang sangat-sangat membutuhkanmu Park, ikut aku dan mari temui dia." ujar Kai serius. Tapi Chanyeol tidak ingin percaya semua ini nyata.
Chanyeol harap, semua ini hanyalah satu dari sekian banyak mimpi buruknya. Karena jika ini benar-benar terjadi, Chanyeol mumgkin tidak akan sanggup menghadapinya.
.
Seorang pria telanjang penuh luka di temukan di sekitar Jembaran Sorzi!
(07/01) Pada Minggu dini hari, seorang pria berwajah oriental telah ditemukan oleh sepasang suami istri di sekitar Jembatan Sorzi, pria ini di temukan dalam kondisi yang sangat mengenaskan, telanjang dan penuh dengan luka di seluruh tubuhnya, di duga sebagai korban pemerkosaan dan kekerasan. Sepasang suami istri tersebut, Mr P dan Mrs A langsung menghubungi polisi begitu menemukannya
Polisi datang ke tempat kejadian selang beberapa menit setelah menerima laporan, pria itu di bawa ke salah satu rumah sakit pemerintah. Beruntung tim medis cepat tanggap dalam mengambil tindakan sehingga nyawa pria tersebut bisa di selamatkan. Namun, identitas dari pria malang itu sampai saat ini masih belum diketahui.
.
.
Para wartawan yang haus berita mengerubungi hampir seluruh bagian rumah sakit, para polisi yang bertugas berusaha keras menjaga agar situasi tetap kondusif, tapi sepertinya itu sia-sia melihat kerusuhan yang terjadi tiap kali tokoh penting datang. Seluruh Berlin, atau mungkin se-atero Jerman di buat gempar dengan ditemukannya sosok itu. Cerita penemuannya yang di dramatisir membuat publik semakin tertarik dengan kasusnya, berbagai spekulasi muncul, semua orang penasaran akan kebenarannya, tapi sebagian lebih tertarik untuk membuat cerita-cerita tak masuk akal tentangnya. Di lain sisi, dengan adanya kasus ini membuat masyarakat ketakutan, mengklaim bahwa Berlin tidak lagi aman.
Kai meminta Chanyeol tutup mulut, sosok itu ditemukan tanpa identitas, dan lebih baik tetap begitu sampai mereka bisa mengetahui apa yang terjadi padanya. Akan sangat berbahaya jika publik tahu jika seorang Park Chanyeol mengenal sosok itu, dan mulai menguak masa lalu mereka.
Walaupun Chanyeol sempat menolak, ia akhirnya setuju setelah memikirkan keselamatan sosok itu, fakta bahwa mereka saling mengenal bisa berbahaya bagi satu sama lain. Menjadi seorang dokter bukan berarti ia tidak memiliki musuh. Chanyeol memiliki banyak di luar sana, semakin bertambah seiring dengan semakin tinggi kesuksesannya.
Chanyeol yang sedari tadi masih berharap ini hanya mimpi, seperti ditampar keras-keras melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Sosok itu begitu nyata, sedang tergolek tak berdaya di salah satu bangsal disana.
Chanyeol tahu jika hatinya telah hancur saat melihat foto-foto itu, tapi ia tidak tahu jika hatinya bisa lebih hancur lagi saat melihat semua luka itu secara langsung. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini? Dan kenapa? Kenapa semua ini harus terjadi pada sosok serapuh itu?
"Tubuhnya penuh luka dan lebam, dua tulang rusuknya patah, dan dia mengalami benturan yang sangat kuat di bagian pelipis kanannya, aku yakin dia telah disiksa berkali-kali sebelum di buang kesana." jelas Jongdae,salah satu rekannya yang bekerja disana, teman seperguruan tingginya itu bersenang hati menjelaskan keadaan sosok yang kini menjadi pusat perhatian seluruh Berlin, Chanyeol menggepalkan tangannya erat-erat, menahan lesakan air mata yang sedari tadi memaksa keluar.
"Kalian yakin sudah menanganinya dengan benar? Bagaimana dengan organ dalam?" tanyanya, melemaskan kepalan tangannya untuk menggengam jemari si ringkih dengan penuh damba, mengusapnya perlahan, berharap semua luka disana bisa hilang ketika ia melakukannya.
"Baik-baik saja, hanya ada sedikit pembengkakan di ususnya, tapi tenang, kau tahu rumah sakit ini yang terbaik kan. Dia hanya perlu segera di operasi saat mulai pulih nanti." kata dokter muda berwajah kotak itu bangga. Tapi Chanyeol tidak terlihat lega. Air wajahnya berubah keruh.
"Aku tidak peduli apakah rumah sakit ini yang terbaik atau bukan, tapi kalau sampai terjadi sesuatu padanya. Kau orang pertama yang mati, KAU DENGAR?" Tiba-tiba saja ia mengancam dengan murka, Jongdae terkejut bukan main melihat perubahan emosi tiba-tiba yang dialami temannya itu.
Jongdae agak gelagapan mengatasinya, "Wow, santai saja bung. Dia akan baik-baik saja." terangnya.
"Tadi kau bilang ia perlu segera dioperasi, kenapa kau tidak segera melakukannya?"
"Itu nanti saat ia mulai pulih, dan kita harus menunggu walinya dulu," Chanyeol mentapnya tajam,
"Kau fikir bisa membodohiku? Tidak akan ada masalah sekalipun kau megoperasinya sekarang, dan masa bodoh dengan wali! Identitasnya saja belum bisa kalian temukan, Aku! Aku yang akan menjadi walinya! Jadi cepat bawa dia dan lakukan operasinya sekarang!" pria itu memerintahkan dengan marah.
"Kau yakin? Ini tidak sesederhana itu Park," Jongdae berusaha mengingatkan.
"Apa aku terlihat bercanda di matamu?" Chanyeol terlihat yakin, "Hanya lakukan itu Jongdae, aku temanmu, kan?" tanyanya, berubah memohon.
"Baiklah."
Tidak mau mencari masalah dengan Chanyeol yang sedang digelung emosi, Jongdae segera mengintruksikan para suster untuk mengambil tindakan, Chanyeol mengawasi mereka sambil sesekali mengusap wajahnya, jelas sekali lelaki itu tengah berusaha menstabilkan emosinya.
Saat ia hendak keluar dari ruangan itu menuju ruang operasi, ia menyempatkan bertanya, pertanyaan yang dari awal sangat ingin ia tanyakan sebenarnya, melihat semua sikap Chanyeol yang membuatnya tertegun.
"Chanyeol, kau mengenalnya?"
Tapi, jawaban pria itulah yang membuatnya lebih tertegun,
"Tidak."
.
.
Kai ada di sana saat Jongdae keluar dari ruangan operasi, pria tan itu tampak cemas, dan langsung menerjangnya dengan puluhan pertanyaan begitu melihat batang hidungnya, mungkin polisi itu marah karena ia tidak meminta izinnya dulu sebelum operasi. Tapi ada Chanyeol yang memberikan perintah, itu bukan sesuatu yang bisa ia tolak,apalagi melihat tempramen pria itu tadi.
"Sialan Jongdae, jawab aku! Bagaimana operasinya? Berjalan lancar bukan? Anak itu masih hidup kan?" Tanya Kai nyaris membentak, Jongdae membuka maskernya dan tersenyum tipis pada polisi muda itu.
"Jongin, kita harus bicara." Katanya kalem, alih-alih menjawab rentetan pertanyaan Kai.
"Kita sedang bicara bodoh! Kau fikir sedari tadi aku sedang ber-kotek?!" Pekik Kai frustasi, menikmati reaksinya, Jongdae malah tertawa geli. Kai bertanya-tanya bagaimana bisa temannya yang punya wajah seperti kubus itu bisa jadi seorang dokter dengan sifat seperti ini. "Wah, kau sudah gila rupanya, katakan, pasti operasinya gagal kan? Kau gila karena merasa bersalah kan?"
Jongdae justru mengencangkan tawanya, "Kau receh sekali Jongin." Katanya, mengusap air mata di sudut matanya.
Kai memutar mata melihatnya, "Aku sedang serius Kim Jongdae, dan demi Tuhan berhenti memanggilku Jongin, namaku KAI, aku sedang bertugas." Pria itu tampak benar-benar geram, Jongdae fikir jika ia tertawa sekali lagi Kai tidak akan segan-segan menodongnya dengan pistol.
Jadi pria itu menghentikan tawanya, dan mulai serius.
"Ayo ikuti aku, semua jawaban dari pertanyaanmu ada disana." Titahnya, sembari berjalan mendahului Kai, menyusuri lorong demi lorong rumah sakit, yang kemudian membawa mereka ke unit perawatan khusus, Kai yang sedari tadi hanya bisa mengerutkan keningnya semakin tidak mengerti apa yang hendak Jongdae tunjukan padanya.
Jongdae berhenti di depan salah satu ruangan VVIP, Kai tidak tahu siapa yang ada di dalamnya, tapi melihat Jongdae yang membuka pintu ruangan itu menggunakan id-cardnya, jelas bahwa ini adalah sebuah ruangan isolasi, ruang isolasi yang sangat mewah sebenarnya.
Baru saja Kai hendak bertanya tentang siapa yang menempati ruangan sekeren ini, semua kata-katannya terasa tertelan, digantikan oleh rasa terkejut, "Brengsek, kau tidak mengoperasinya?" Pria tan itu spontan mengumpat, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya begitu saja." Jelas Jongdae ambil mengecek cairan infus, dan mulai memeriksa tanda-tanda vitalnya.
"Lalu siapa yang di dalam sana? Kau membuatku cemas untuk hal tidak berguna sialan." Pria itu tampak frustasi, ia duduk di sofa yang ada disana dengan ekspresi kesal, walaupun Jongdae tahu diam-diam pria itu juga pasti merasa lega.
"Hanya pasien lain, keadaannya belum stabil untuk operasi, lukanya sudah kami tangani saat ia datang kemari, jadi masih aman menunda operasi selagi menunggu walinya datang, dan pihak rumah sakit juga tidak akan mengizinkanku melakukannya, di tambah lagi, ini akan menimbulkan konflik lain karena kami belum meminta persetujuan kepolisian."
"Ya tentu, sebenarnya tugasku akan lebih ringan jika ia segera pulih, jadi kami bisa menyelidiki apa yang terjadi padanya. Aku hanya khawatir akan terjadi sesuatu padanya saat operasi."
"Aku tahu, tapi prosedur tetaplah prosedur. Aku melakukannya untuk Chanyeol. Dia agak lepas kendali tadi, jadi aku memutuskan untuk berpura-pura mengoperasi anak itu untuk menenangkannya."
Kai menatap lurus kedepan, mengawati sosok yang sedang terbaring itu dalam,diam, "Bukankah Chanyeol mengajukan diri menjadi walinya?" Ia bertanya.
"Ya, lucu bukan? Dia bahkan tidak mengenalnya." Balas Jongdae sambil tertawa hambar.
Kali ini Kai malah mengangkat alisnya heran, "Tidak mengenalnya? Apa kau bercanda? Kau fikir apa yang membuat Chanyeol mau menginjakan kakinya di rumah sakit ini lagi, jika bukan karena dia?" Tanya Kai, mengingatkan Jongdae dengan kejadian lima tahun yang lalu.
"Jadi, Chanyeol mengenalnya?" Ragu Jongdae.
Kai nampak tidak percaya, "Sialan, jadi kau lupa siapa dia?" pria tan itu bangkit, menunjuk orang yang dibicarakan dengan penuh emosi, " Dia ini si bocah strawberry!"
.
.
Chanyeol akhirnya kembali ke kampus setelah menghilang berbulan-bulan, Jongdae senang sekali mendengarnya, temannya itu membuat semua orang khawatir akan keberadaannya, tapi syukur jika anak itu baik-baik saja.
Teman-temannya sengaja meluangkan waktu untuk berkumpul di café langganan mereka, dalam rangka menyambut kembalinya Chanyeol, juga menghakimi anak itu karena kelakuannya.
Tapi ada yang berbeda dengan pertemuan mereka kali itu, Chanyeol yang sebelumnya bagai di telan bumi kembali dengan seseorang yang ia bawa, seorang remaja laki-laki mungil yang mirip peri.
Jongdae tidak bisa menyembuyikan kekagumannya melihat anak itu, ia punya senyum unik yang membuat matanya ikut melengkung ketika ia melakukannya, juga cara bicara dan sifat pemalunya yang membuat Jongdae merasa ingin membungkusnya.
"Chanyeol, dia manis sekali, kau menemukannya dimana?"Tanyanya, tapi Chanyeol hanya tertawa.
Jadi Jongdae sedikit merendahkan badannya mensejajarkan dirinya dengan anak itu,wangi manis stroberi menguar dari tubuh si mungil saat jarak mereka lebih dekat.
"Hai, Siapa namamu adik manis?" ia tersenyum.
Anak itu balas tersenyum, menatap Chanyeol sekilas sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya,
"Halo kak, namaku Baekhyun. Byun Baekhyun."
.
.
Chanyeol tidak bisa fokus menangani pasien-pasiennya, beruntung klinik tidak begitu ramai hari ini, jadi ia tidak sepenuhnya mengabaikan kewajibannya. Ia duduk bersandar di kursi kerjanya, kepalanya mengandah ke atas menatap langit-langit ruangannya, berusaha menemukan sedikit saja ketenangan di hari yang sangat mengejutkannya. Tapi ketenangan itu tak kunjung ia dapatkan, malah rasa cemas yang sedari tadi ada kian membludak memikirkan apa yang telah terjadi pada kekasih hatinya.
Apa yang terjadi padanya?
Walapun Chanyeol telah menduga dari luka-luka yang didapatkannya, ia tidak ingin percaya. Hatinya hancur tak tersisa, melihat sosok yang dulu setengah mati ia jaga kini terbaring lemah penuh luka. Chanyeol telah gagal, bahkan di saat ia telah bersumpah pergi untuk menjaganya. Faktanya, kini mereka bertemu kembali dalam kondisi yang tidak pernah Chanyeol bayangkan sebelumnya. Chanyeol sakit sampai ke tulang-tulang, menangis pun rasanya sia-sia.
Apa yang terjadi padanya? Apa yang ia lakukan di Berlin?
Seberapa keras pun Chanyeol memikirkannya, semuanya terasa tidak masuk akal. Tidak mungkin Baekhyun datang untuk mencarinya, Chanyeol bahkan ragu jika anak itu mengetahui keberadaannya. Chanyeol telah meninggalkan semuanya, membuat seolah-olah dirinya tidak pernah ada.
"Dr. Park?" suara asistennya menjadi penggangu renungan dalamnya, wanita berambut ash-brown itu menyembulkan tubuhnya dari balik pintu, alih-alih menjawab, Chanyeol malah mengerutkan keningnya, merasa privasinya di ganggu.
"Ya, Sarah? Kau tidak mengetuk pintu?" Ia bertanya, kesal tergambar jelas dari nada suaranya.
Sarah terlihat kebingungan, wanita itu mengeratkan pelukannya pada daftar pasien yang sedari tadi ia dekap di dada,"Saya sudah, dok. Saya fikir dokter tidak mendengarnya?" jelasnya.
"Ah maaf," Chanyeol mengusap wajahnya, merasa bersalah karena harus melampiaskan sensitifitasnya pada asistennya. "Kalau begitu ada apa?" ia mencoba lebih tenang.
"Ini tentang pasien di unit 11," Sarah memberi jeda, melirik Chanyeol yang menghela nafas, "Dia mengamuk lagi."
Kepalanya tiba-tiba saja terasa pening mendengarnya, di harinya yang buruk, Chanyeol hanya berharap ia bisa segara kembali ke rumahnya dan tidur setelah menengak beberapa pil miliknya. Bukan berurusan dengan seorang pesakitan yang menjadi alasan awal hari buruknya. Tapi Chanyeol telah bersumpah untuk mengabdikan dirinya pada pekerjaan ini, ia tidak bisa melanggarnya. Tidak lagi.
.
.
PRANG! PRANG!
Chanyeol langsung dihujani puluhan barang ketika ia tiba di kamar itu, Pasien itu mengamuk lagi, kini bukan hanya para suster yang ia serang, tapi setiap orang yang masuk ke kamarnya. Chanyeol bahkan harus menghindar beberapa kali agar tidak terluka, Sarah yang bersembunyi di balik tubuhnya memekik ketakutan kala pasien itu hendak melempar vas bunga ke arah mereka.
"Tenang Xi Luhan, kami tidak datang untuk menyakitimu," bujuk Chanyeol sembari mengulurkan sebelah tangannya mencoba meraih lengan sang pasien. Tapi dengan sigap Luhan menghindar.
Luhan tertawa mengejek, vas bunga itu masih mengacung di udara, siap ia lemparkan. "Kau fikir aku akan percaya, sialan?" tanyanya diiringi umpatan.
"Aku serius Luhan," Chanyeol berusaha mendekat, merendahkan nada suaranya agar Luhan tidak merasa terancam. " Mari berbicara baik-baik. Apa yang terjadi? Dan apa yang kau inginkan?" tanyanya, mencoba bernegosiasi.
"Luhan, aku tahu tempat ini sangat amat menyiksamu. Kau ingin keluar kan? Berjalan-jalan? Kau suka angsa bukan? aku tahu tempat yang bagus untuk melihatnya. Aku bisa membawamu kesana, asal kau mau bekerja sama." Bujuk Chanyeol lagi.
"Benarkah?" Luhan mencicit pelan.
"Ya, kau mau kan?"
Luhan terdiam di tempatnya, walaupun tatapannya masih nyalang mengarah padanya, Chanyeol tahu jika fikiran anak itu telah teralihkan. Mungkin sedang menimang tawarannya. Luhan masih begitu muda, masih punya sisi kekanakan yang kental dalam dirinya. Ia mudah percaya tapi juga mudah curiga, Chanyeol memanfaatkan kondisi itu untuk segera meraih lengan sang pasien dan membantingnya ke lantai.
Luhan berteriak saat punggungnya terhempas kuat, Chanyeol fikir anak itu akan melawan, tapi yang terjadi selanjutnya di luar dugaannya.
Anak itu meringkuk di lantai, memeluk tubuhnya seperti seonggok janin, dan mulai menangis tersedu-sedu dengan suara yang menyayat hati.
Chanyeol mengangkat sebelah tangannya, melarang para petugas yang hendak mengambil tindakan. Membiarkan Luhan tergolek di lantai dengan kesedihannya, ia berjongkok di samping remaja itu. Rasa bersalah melingkupinya, sadar bahwa tidak seharusnya ia menggunakan kekerasan pada pasiennya sendiri. Tapi Luhan bisa jadi lebih berbahaya jika tidak dihentikan.
"Aku harus pergi keluar, menggambil batu. " kata Luhan di sela-sela tanggis. "Hilang…Babyboo bisa bahaya."
Chanyeol mengerutkan keningnya, "Batu?"
"Iya. " remaia itu masih menangis, tersedak isakannya sendiri. "Batu-batunya. Agar Babyboo bisa selalu terlindungi."
.
.
.
Akhir-akhir ini Chanyeol sering menemukan barang-barang aneh di saku mantelnya, mulai dari batu-batu kecil hingga selembar bulu burung berbagai warna. Chanyeol yakin sekali ia tidak pernah memasukan barang-barang tersebut kesana, well walaupun rata-rata dari barang-barang tersebut terlihat menggemaskan, tapi bukan dirinya sekali jika sampai harus menyimpannya.
Parahnya lagi, ini sudah hampir dua minggu semenjak insiden barang-barang aneh itu selalu muncul disana. Chanyeol jadi penasaran siapa dan untuk apa orang itu melakukannya. Jadi, malam itu, Chanyeol sengaja membuka pintu kamarnya, meletakan mantelnya di belakang pintu, dan bersembunyi di balik lemari bajunya, mengintip dari celah kecil yang ada disana. Tak lupa ia menyalakan keran air di kamar mandi, membuat kesan seolah-olah ia sedang menggunakannya.
Tidak beberapa lama, ia melihat Baekhyun mengendap-endap masuk ke dalam kamarnya. Keningnya berkerut heran melihat anak itu memasukan beberapa buah batu ke mantelnya, kemudian cepat-cepat keluar dari kamarnya dengan wajah lega. Jadi Baekhyun pelakunya, tapi untuk apa ia melakukannya?
Chanyeol terjaga semalaman untuk memikirkan alasannya, tapi tidak ada satupun alasan yang masuk akal baginya.
Keesokan harinya, setelah menemani Baekhyun memetik beberapa buah strawberry di kebun, Chanyeol memberanikan diri untuk menanyakan alasannya.
"Hei Baekhyun, kau yang memasukan batu-batu itu ke mantelku ya?" Tanya Chanyeol, berusaha agar nada bicaranya tidak mengintimidasi.
Baekhyun terlihat terkejut sekali, sontak mimik wajah remaja itu terlihat panik, "A-ah itu.. "
"Aku tahu kau yang melakukannya, Baek. Tidak apa, hanya katakan kepadaku apa alasannya. Itu bukan untuk mengutukku, kan?"
"Tidak," Baekhyun cepat-cepat menyanggah."Itu bukan untuk hal buruk kok." Terangnya.
"Lalu untuk apa?"
"Itu…itu…" Si munggil terlihat ragu untuk mengatakannya, Chanyeol memiringkan wajahnya, menatap wajah Baekhyun yang tiba-tiba memerah.
"Untuk apa?" ulangnya, agak mendayu.
"Itu Jimat Kak."
"Jimat?" Chanyeol keheranan.
"Iyaa, itu jimat perlindungan. Ibu bilang jika kita menyimpan batu Polychrome dan bulu, kita akan selalu terlindungi. Aku ingin kak Chanyeol selalu terlindungi, jadi aku memasukannya ke mantel kakak. Tapi kak Chanyeol selalu membuang jimat-jimat itu, makanya selalu aku masukan lagi."si mungil mempoutkan bibirnya.
Mendengar penuturan polos itu, Chanyeol tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa.
"Yaampun Baekhyun, kau ini lucu sekali sih," Chanyeol mengusak rambut Baekhyun dengan gemas. "Baiklah kalau begitu, sini mana jimatnya, akan aku simpan agar selalu terlindungi."
Baekhyun terlihat senang bukan main mendengarnya, tiba-tiba saja ia mengeluarkan puluhan batu dari saku celananya, batu-batu berwarna coklat bata bercampur kuning dan hitam itu terlihat mewah di balik jemari-jemari indahnya.
"Hihihi, ini kak! Jangan di buang lagi yaa." Ia memberikan semuanya kepada Chanyeol.
"Baik cantik!" Chanyeol menerima batu-batu itu dengan senang hati, menatapnya satu persatu dengan antusias.
"Lihat, jimat dari malaikat pelindungku, Byun Baekhyun!" Ia mengangkat batu-batu itu ke udara, bertingkah seperti ia baru saja mendapatkan undian berates-ratus juta. Tawa kekanakan Baekhyun menggema bahagia, menjadi penutup petang yang luar biasa.
-Chapter 1 : Sebuah Kisah.
Austy's Note : Yay! Selesai juga chapter pertama wkwk. Maaf ya kalau chapter ini panjang banget, 3500 words dong xD aku sempet mikir buat potong ini jadi dua chapter, tapi setelah di fikir-fikir lebih panjang lebih baik (?) wkwk. Engga, aku cuma gamau kalian makin ga ngerti sama jalan ceritanya kalau aku potong-potong gitu.
Latar waktu di ff ini itu Berlin dan Seoul pada tahun 1962. Jadi kalian gabakal nemuin tuh cy sama bh main gadget disini xD
Rencana awalnya juga aku mau nulis ff ini sebanyak 5 chapter dulu sebelum aku post di ffn, jadi kalaupun nanti aku mantek di tengah-tengah, update tetep jalan. Maklum, aku masih dalam masa pemulihan setelah kena writer block selama 4 tahun T-T Parah banget kan ya, jahat banget emang wb-wban ini. Tiap ada ide itu sakit rasanya, kaya nahan kencing, udah di ujung tapi gabisa ngeluarin. Kalau kalian punya tips buat menghadang wb ini, boleh bagi aku ya!
Tapi yah, akhirnya aku mutusin buat nulis satu chapter satu chapter aja dulu. Selain karena aku udah gatel pingin baca reviewnya wkwkw, aku juga butuh motivasi dan saran dari para pembaca.
Yaudah segitu dulu aja, kalau mau ngobrol sama aku atau ngapain aja, boleh follow aku di Instagram : AustyKim . Makasiiii
