Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.


Prologue


.

Princess of Glasses

Story based on Pangeran Kacamata komik

Sasuke's POV

.


Don't Like YA Don't Read

.


Enjoy for reading…

.

Aku berdiri dengan gelisah di tempatku sekarang, aku bingung harus bagaimana. Ayolah Sasuke, kau laki-laki yang banyak digilai gadis dan wanita di luar sana, dan jangan bersikap pencundang seperti ini. Ini memalukan. Walau sekarang kau sudah bersikap memalukan sekarang. Aku mendesah sambil menggelengkan kepala, mengusir perdebatan yang baru saja terjadi antara sisi rasionalku dan sisi lain dariku yang ingin segera melakukan hal ini.

"Jadi, ada urusan apa kau memanggilku kemari?" Aku terkesiap, aku lupa kalau aku di sini tidak sendirian, dia melihatku dari balik kacamatanya. Oh, sial. Dia terlihat cantik. "Kalau tidak ada urusan apa-apa aku pergi," dia berbalik meninggalkanku.

Aku terkesiap. "Eh, tunggu!" teriakku, dia berhenti dan berbalik menghadapku lagi. Ayo Sasuke, aku tahu kau bisa, aku mendesah dan menatap lurus matanya, berharap bisa melubangi kacamatanya dan memperlihatkan iris indahnya. "Aku menyukaimu, Haruno." Kau berhasil. Akhirnya aku mengucapkannya, aku mendesah lega, atau belum sepenuhnya lega.

Dadaku naik turun karena gugup yang menyerangku, tapi tiba-tiba suasana menjadi senyap. Apa aku melakukan kesalahan? Aku melihat gadis di depanku dengan perasan was-was, aku sudah mengungkapkan perasaanku, selanjutnya aku tidak tahu.

Dia tiba-tiba berbalik, membuatku panik bukan main, tapi kemudian dia berbalik menyerong sedikit melihatku, "Maaf, aku sama sekali tidak tertarik dengan laki-laki sepertimu."

Apa?! Dia bilang apa barusan? Tidak tertarik denganku? Bagus Sasuke, Dia menolakmu.

Oh, Sasuke, kau memang pencundang yang menyedihkan sekarang. Kau baru saja ditolak dengan gadis yang kau sukai sejak di bangku menengah pertama. Dan dia bilang, dia sama sekali tidak tertarik denganku, aku? Laki-laki yang bahkan digilai banyak perempuan di luar sana, dan rela meletakkan harga diriku untuk menyatakan perasaanku padanya dan dia mempermalukan sekarang dengan menolakku?

Ini mimpi buruk.

Aku mendesah, tapi aku tahu, gadis itu—Haruno Sakura—dia akan mengubah takdir dan diriku.


oOo


"Kau kenapa, teme?" aku mendesah mendengar ocehan Naruto, dia duduk di atas meja yang sekarang menjadi tempat bersandar kepalaku. "Oh, tidak!" dia tiba-tiba berdiri tegak, membuat meja bergerak dan aku mengerang karenanya.

"Apa masalahmu, dobe?!" aku menatapnya gusar, dia sama sekali tidak merasa bersalah membuat mood-ku semakin turun.

Dia mengabaikan ucapanku dan duduk di kursinya sambil mendorongnya mendekat ke arahku. "Jangan bilang kau begini karena habis menyatakan perasaanmu dengan putri kacamata-mu itu." Ya. Dia benar, apa dia cenayang? Apa tertulis jelas di kepalaku? Tapi aku hanya mengangkat bahu menjawabnya. "Ya Tuhan Sasuke… Kau benar-benar melakukannya? Dan apa jawabannya?" dia terlalu banyak mengoceh, dan aku tidak perlu terkejut dengan hal ini.

Aku mendesah sambil menyandarkan kepalaku dengan tangan kiriku yang bertumpu di meja. "Kau tahu jawabannya." Ucapku masam, terdengar putus asa. Menyedihkan.

Dia membelalak. "Kau ditolak?" aku meringis mendengar kalimat itu. Tapi ya, dia benar, aku ditolak gadis pujaanku. "Sasuke, aku tidak tahu apa yang kau sukai dari putri kacamata—mu itu, meski aku malas mengakuinya, kau sebenarnya tampan, dan kau diincar banyak perempuan di luar sana yang mengantri untuk menjadi kekasihmu, kau juga jenius. Dan kau justru jatuh cinta dengan gadis berkacamata berambut pink itu? Tidak bisa dipercaya."

Aku menatapnya tajam, dia jelas-jelas menjelekkan seleraku dengan terang-terangan. Dan aku marah karenanya, karena dia tidak tahu apa-apa tentang gadisku. "Sakura selalu memakai kacamatanya, dan mengepang rambut pinknya, bahkan aku tidak pernah mendengarnya berbicara," Naruto masih saja mengoceh, aku tidak peduli dia menjelek-jelakan Sakura, aku bahkan masih menyukainya meski dia menolakku. "Dia selalu membawa kemana-kemana buku tebalnya, berjalan melewati lorong dengan jas lab yang selalu terpasang di tubuhnya. Dia terlihat arogan dan sombong, aku ragu dia normal atau dia gila karena terlalu sering di laboratorium menganalisis senyawa-senyawa yang membuatku ngeri sendiri melihatnya. Apa yang membuatmu tertarik padanya, teme?"

"Mungkin Sasuke pernah ditolong Haruno saat kecelakaan atau melihat Haruno menyelamatkan anak anjing yang tenggelam di sungai." Neji tiba-tiba bersuara di depanku. Aku menatapnya datar saat mengeluarkan pendapatnya.

Naruto terlihat kaget. "Apa?! Apa itu benar, teme? Jadi kau menyukainya karena itu?"

Aku mendesah sambil menegakkan tubuhku. "Bukan itu."

"Lalu apa?" tanya Naruto tidak sabar, Neji pun terlihat tertarik dengan jawabanku.

Aku menarik nafas sambil menutup mataku, membayangkan kejadian langka yang tidak terduga yang membuat dadaku berdebar tidak karuan. "Caranya membetulkan kacamata dan iris indah yang bersembunyi di balik kacamatanya yang membuatku tertarik." Ucapku sambil membuka mata, dan aku mendesah karena melihat mulut mereka menganga.

Naruto yang pertama tersadar. Dia menutup mulutnya dan berdeham, "Apa kau Sasuke?" aku mengernyit mendengar ucapannya. "Maksudku, kau benar-benar Sasuke, aku merasa aneh melihatmu sekarang. Kau selalu bersikap dingin dengan perempuan lain dan kau berubah setelah berurusan dengan Sakura?" dia menggelengkan kepala dan menatapku iba. Sialan! Apa ia mengolok-olokku. Tiba-tiba Naruto bangkit dari kursinya dan mengguncangku. "Hei. Kau yang di dalam sana, keluarlah dari sahabat ayamku ini, kembalikan teme yang asli, ini membuatku takut." Aku mendorongnya menjauh. Apa-apaan rubah ini, menganggapku sudah tidak waras, begitu maksudnya?

"Ada apa denganmu, dobe?" ucapku marah, membenarkan seragamku yang kusut akibat guncangannya tadi.

"Aku rasa Naruto benar, Sasuke," kini Neji yang bersuara. "Kau seperti seorang pemuja."

Aku tahu aku terlihat menyedihkan sekarang, tapi aku tidak bisa mengelak kalau aku tertarik dengan gadis musim semi itu, aku sudah jatuh cinta dengannya. Mengabaikan protes yang mereka lontarkan, aku melihat jam tangaku. Oh, sial. Aku terlambat. Aku berdiri dan menaruh tasku di bahu.

"Kau mau kemana, teme?"

"Aku ada urusan, aku duluan." Aku berlari keluar kelas dan mengabaikan ocehan Naruto dan Neji, sekolahku sudah selesai setengah jam yang lalu, dan aku terlambat untuk mengantar seseorang yang aku sayangi.

Semoga masih sempat.


oOo


"Siap?" yang aku ajak bicara mengangguk, aku membantunya duduk ke kursi roda, membawanya keluar halaman dan menemui seorang suster cantik, tapi tidak lebih cantik dari ibu dan tentunya gadis—musim semiku—

"Kau yakin tidak mau ikut, Sasu?"

Aku mendesah dan berjongkok untuk menyamankan aku mengobrol. "Jangan bercanda kakek, aku tidak bisa mengikutimu dan mengurusmu, lagipula aku payah dalam hal itu. Kau tahu, bukan?"

Kakekku—Madara, dia cemberut mendengar jawabanku. "Kau tahu, aku masih tidak rela kau akan diurus dengan ayahmu," ucapnya merajuk, aku terkekeh melihatnya. "Dia sudah meninggalkanmu dari kecil, dan kau akan diurus dengannya yang tidak kau tahu kepribadiaannya itu. Apa sebaiknya kau ikut ke panti jompo bersamaku?"

"Kakek… " ucapku sambil mendesah. "Kita sudah membahas ini." aku mencoba membuatnya yakin aku akan baik-baik saja.

Dia mendesah, memperlihatkan raut kecewanya. Dan dia tahu kalau, dia tidak mau membuatku kecewa, "Baiklah, kau menyimpan alamat rumahnya'kan?" aku mengangguk. "Kau ke sana kapan?" tanyanya.

"Setelah kakek pergi aku akan segera ke sana." Ucapku sambil membetulkan kerah bajunya.

Dia kembali mendesah lagi. "Baik-baik di sana, kalau begitu kakek pergi dulu."

Aku tersenyum sambil menganguk. "Pasti, kek," seorang suster datang menjemput Kakekku, aku berdiri dari jongkokku, suster itu tersenyum malu ke arahku dan mendorong kursi roda kakek. "Sampai jumpa kek, aku akan sering-sering berkunjung." Ucapku saat suster tadi membawa kakek Madara menuju bus yang membawa mereka pergi ke tempat tujuan mereka.

Aku mendesah, aku harus meninggalkan sesorang yang selalu menjagaku dari kecil. Kakekku sudah mengajarkan banyak hal dan aku beruntung memilikinya.

Aku pasti merindukannya.

Sekarang aku harus pergi ke rumah ayahku, ibuku sudah meninggal saat aku baru saja memasuki bangku sekolah menengah pertama di tahun ketigaku. Dan ayah sudah meninggalkanku dari kecil bersama ibu dan kakek, aku sedikit gelisah kalau-kalau ayahku seorang mafia. Mengingat penampilan kakekku yang seperti preman dengan rambut gondrongnya itu, dan meski sudah tua dia masih terlihat tampan dan menawan, mungkin ayahku mirip dengan kakek yang tampan, dan tidak heran ketampananku juga berasal darimana? Aku tertular sifat Naruto yang narsis. Tapi dilihat dari potret yang dia kirim, dia terlihat bersahabat. Semoga aku bisa menyesuaikan diri dengan ayahku.

Meski aku seseorang yang payah dalam bergaul.

Aku sudah sampai di sebuah mension mewah di pinggir kota Konoha. Wow, ini mension mewah, aku tidak tahu kalau ayahku orang berada. Aku memasuki gedung ini dan menuju alamat yang tertera di kertas yang sedang aku genggam.

Kamar nomor 602, tertera nama ayahku—Uchiha Itachi

Aku menekan bel dua kali dan kenop pintu bergerak, aku menyiapkan mental untuk menyambut ayahku. "Ya." Ucap seseorang dari dalam rumah setelah pintu terhuyung terbuka, dan nafasku tercekat, yang membuka pintu adalah seorang gadis berambut pink berkacamata.

"Oh. Maafkan aku, sepertinya aku salah alamat." Aku berbalik dengan wajahku yang pastinya terlihat bodoh. Tapi aku melihat papan nama di rumah seberangnya, ini juga salah. Aku berbalik, dia masih berdiri di ambang pintu. Aku melihat papan nama di rumah tadi dan benar. "Eh, tapi alamatnya benar," ucapku sambil tertawa hambar. "Tapi kenapa kau ada di—"

"Sasuke-chan!" seorang pria tampan keluar dari dalam rumah dan berhambur memelukku, "Kau sudah datang rupanya, kau sudah bertambah besar ya." Cicitnya sambil melepas pelukannya dariku. Oh, syukurlah, aku bernafas lega karena tidak salah alamat.

"Hai. Ayah," aku bingung harus bersikap bagaimana, ini pertama kalinya aku berjumpa dengan ayahku.

Ayah terkekeh geli. "Kau tidak perlu canggung begitu," ya sepertinya wajahku mudah ditebak. "Bersikaplah yang santai, dan semakin kau dewasa kau semakin mirip denganku, benarkah begitu, Sakura?"

Aku memandang gadis kacamata yang masih setia berdiri di ambang pintu. Benar, aku perlu tahu kenapa dia ada disini, dia menjawab pertanyaan ayah dengan anggukan kepala. Aku berdeham menarik perhatian ayahku. "Ayah, dia—" aku menunjuk Sakura dengan tatapan mata.

Ayahku mengerti maksudku dan bersorak senang. "Oh. Aku lupa memperkenalkan kalian." Senyum cerianya membuatku bergidik ngeri. "Sasuke, perkenalkan kakakmu, Haruno Sakura." pijakanku runtuh sekita. Apa yang dibilang ayah?

"Maksud ayah?" tanyaku, berharap yang aku dengar tadi salah.

Senyumannya masih menghias wajah tampannya, aku kembali bergidik. "Iya, Sasuke, Sakura adalah kakakmu, kalian hanya berbeda bulan saja. Jadi aku menganggap kalian kakak adik." Ucapnya sambil menunjuk ke arah kakak ke Sakura dan adik ke arahku. Ini menggelikan. "Oh. Dan kalian satu sekolah? Bukankah menyenangkan?" Ya, aku harap begitu, ayah.

Eh, tunggu dulu. Nama marga kami berbeda. "Ayah, tapi nama marganya berbeda denganmu, dia bernama Haruno sedangkan ayah Uchiha."

"Oh, itu. Sakura itu anak dari mantan istriku. Jadi meski kalian bersaudara, tapi kalian tidak ada hubungan darah." Ucapnya sambil tertawa, jadi saudara tiri begitu? Sungguh menarik. Ayahku terlihat masih muda sekali ternyata, tiba-tiba ayah terkesiap. "Oh. Aku terlambat bekerja, kalian berdua bersenang-senanglah, jaa…" Ayah berlari dan menghilang di belokan.

Aku mendesah berat. Apa hari ini masih berlanjut mimpi burukku.

"Kau mau masuk tidak?" suara manis menerpa telingaku, aku masih berdiri di depan pintu, dan memutuskan masuk dan menutup pintu. "Semua barangmu sudah kubawa masuk ke kamarmu." Ucapnya sambil membimbingku masuk ke rumah.

Aku menganga, aku baru ingat tidak merasa membawa apa-apa saat masuk tadi, sejak kapan barang-barangku diangkut? Aku sama sekali tidak sadar.

"Kamarmu di sini," tunjuknya di ruangan terbuka dekat dengan ruang keluarga. "Dapur, ruang makan dan kamar mandi di ruang sana," ucapnya datar sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku berhenti bernafas saat dia melakukan gestur tersebut. Benar-benar cantik, dan aku baru sadar dia mengkucir kuda rambutnya, tidak ada kepang di sana. "Ini kamarku, tepat di sebelahmu, aku tidak suka suara berisik dan aku tidak suka diganggu." Ucapannya membuatku tersadar dari lamunan mengenai penampilan barunya yang baru aku lihat. "Dan satu hal lagi. Sebenarnya, aku tidak setuju harus serumah denganmu, benar-benar merepotkan."

Kembali dadaku berdenyut mendengar ucapannya. Apa mimpi burukku benar-benar masih berlanjut? Ya tuhan, salah apa aku ini.

Aku memandangnya yang masuk ke kamarnya dan meninggalkanku lagi setelah mengucapkan kata-kata yang selalu sukses membuat dadaku berdenyut nyeri. Aku juga memutuskan masuk ke dalam kamarku juga.


oOo


Aku berdiri di balkon kamarku, ini benar-benar mimpi buruk, belum ada dua puluh empat jam aku menyatakan perasaanku ke Sakura, sekarang aku harus menerima kenyataan kalau kita bersaudara. Ya. Tuhan, hukuman apa lagi yang kau berikan kepadaku.

Tapi setidaknya aku bisa melihat hal-hal lain dari Sakura yang tidak dia perlihatnya di dunia luar, hanya di dalam rumah ini. Aku menyeringai membayangkan bisa melihatnya tertidur di sofa, atau dia yang memakai kain lain selain seragam sekolah ataupun jas lab, melihatnya mengerai rambut pinknya, melihat iris indah matanya sekali lagi. Atau bahkan bisa melihatnya keluar dari kamar mandi saat masih berbalut handuk yang melilit tubuhnya, menggodanya atau memasak bersama. Ini lembaran baru yang harus aku tulis. Ini baru saja dimulai, aku menyeringai semakin lebar membayangkan fantasiku benar-benar terkabul.

Sungguh sempurna.

Aku berhenti menyeringai saat ponselku berdering keras di saku celanaku, aku berdecak kesal karena orang ini menganggu imajinasiku. Aku mengambil ponselku dan mendengus melihat siapa yang meneleponku.

"Ada apa, do—"

"Teme!" aku menjauh ponselku dari telinga. Sialan, dia mau merusak gendang telingaku dengan berteriak begitu. "Kau dimana, teme?"

Aku bahkan mendengar ucapannya tanpa menempelkan ponsel di telingaku, aku mendesah. "Aku di rumah, kenapa?" jawabku sambil sedikit mendekatkan ponsel ke telingaku.

"Jangan bercanda, aku di rumahmu saat ini, dimana kau?"

Aku mengenyit bingung. Di rumahku mana? Rumahku hanya satu, dan oh, aku tersadar. Dia di rumah kakeku. "Kalau yang kau maksud di rumah kakekku, aku sudah pindah dari tadi siang,"

"Apa!" aku kembali menjauhkan ponsel dari telingaku, aku akan benar-benar tuli kalau seperti ini terus. "Tinggal dimana kau sekarang?"

Aku mengusap wajahku. "Kenapa memangnya kau mau tahu rumahku?" tanyaku.

"Aku ingin mengajakmu," ia berhenti berbicara dan terkekeh, aku menaikkan sebelah alisku. "Ini akhir pekan, teme, kau tahu maksudku."

Ya, aku tahu.

Aku mendesah, belum menjawab pertanyaanya, dan mataku menangkap sosok gadis yang tinggal seatap denganku keluar dari mension. Mau apa dia malam-malam keluar, aku melihat jam tanganku. Ini sudah jam sepuluh malam. Kemana dia akan pergi? Tiba-tiba aku terkesiap, jangan-jangan dia merasa terganggu dengan adanya diriku di sini dan dia memutuskan untuk pergi. Tidak, itu tidak boleh, aku baru saja membayangkan hal-hal indah yang mungkin bisa aku lakukan dengannya dan aku tidak mau fantasiku tadi runtuh seketika.

Aku harus mengejarnya.

"Halo teme," Naruto bersuara, aku tersadar dari lamunanku. "Halo, kau masih di sa—?"

"Aku ada urusan, kau pergi dengan Neji saja." Ucapku cepat langsung menutup telepon dan berlari ke luar kamar.

Aku mengambil jaket dan mengikutinya.

Dia berjalan cepat sekali, dan yang aku tahu dia menuju pusat kota. Aku malas harus berurusan dengan dunia malam, bahkan malam sudah semakin larut, Konoha tetap ramai orang yang berlalu lalang. Aku tiba-tiba kehilangan jejaknya. Sial, kemana perginya Sakura tadi, tapi aku mendengar orang memanggil namanya. Dan aku mengikuti orang yang memanggilnya, berharap Sakura yang dimaksud orang itu sama denganku. Aku mengikuti pemuda yang tadi memanggil Sakura dan mereka berhenti di sebuah klub sederhana dipinggiran kota, namun terlihat ramai.

Mana mungkin Sakura kemari, aku pasti salah mengikuti.

Aku baru saja bermaksud meninggalkan tempat ini, tiba-tiba hujan turun deras. Oh, bagus. Kesialan lagi. Aku harus berteduh, untung saja aku tepat waktu kemari. Jadi aku tidak kebasahan karena kehujanan.

Cukup lama kau berdiri dan melihat orang lalu lalang di tempat ini, sampai aku mendengar pemuda yang mau memasuki klub berbicara. "Kau harus melihatnya, dia sangat cantik dan jago." Begitu ucapannya dan menghilang masuk ke dalam klub.

Ada lagi yang lewat dan aku menangkap pembicaraan mereka. "Cherry sangat hebat, aku sampai ketagihan datang kemari." Ucapnya dan disetujui anggukan temannya. "Tidak sia-sia jauh-jauh dari Kirigakure hanya untuk melihat aksinya." Lanjutnya lagi dan menghilang ke belokan, setelah aku menyadari, hanya para laki-laki yang aku temui, dan hanya beberapa perempuan yang terlihat. Dan mereka selalu mengerling genit ke arahku.

Tapi, siapa Cherry? Aku penasaran sekarang, meski aku tidak pernah masuk klub ini. tapi percayalah, aku sering ke klub besar di Konoha. Bersama Naruto, Neji dan temanku lainnya. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam klub dan ternyata ramai sekali, meski masih ramai klub yang ada di pusat kota. Musik dj yang terdengar di telingaku membuatku ingin bergoyang. Keren sekali dj ini memainkan remix.

Aku melihat sekelilingku, mereka menikmati musik yang tersaji di sini. Begitu juga aku.

"Dia hebat sekali memainkannya." Aku menangkap basah pembicaraan seorang gadis, tepat di belakangku. "Sudah cantik, seksi, pintar memainkan musik pula." Pujinya dengan senyum terpatri di wajahnya yang terpoles make up tebal.

Temannya mengangguk setuju, "Dialah Cherry, dewi dj klub Yura."

Aku mengikuti arah pandang kedua gadis itu, dan ada podium untuk dj memaikan musiknya. Dan tempatku berdiri ternyata tempat yang pas untuk melihat siapa dj ini, dan detik berikutnya mataku terbelalak dengan mulut menganga. Aku berharap aku bermimpi sekarang. Dan aku berharap aku salah lihat.

Dj itu masih memainkan musiknya sambil bergoyang menikmati musik dan sampai saat dia mengalihkan tatapannya dari disk, iris teduhnya yang tidak memakai kacamata bertemu denganku. Dan dia membelalak. Sama sepertiku.

Dan aku percaya ini bukan mimpi. Dia—Sakura

.

.

.

To be Continued


Hai … indah kembali

Kali ini indah membawakan cerita, based komik karangan Wataru Mizukami, yang berjudul—pangeran kacamata—ada yang tahu komik ini?

Kalau ada yang tahu pasti mengerti bagaimana ceritanya. Di chapter ini terlihat perbedaanya kan?

Jadi indah tidak semuanya bercopy paste ceritanya, bahkan perannya berbeda. hihihiXD

Bagaimana… indah minta pendapat kalian, mau dilanjut atau delete?

Tinggalnya pesan kalian di kolom review.

Terima kasih^^