The Buron

Disclaimer Masashi Kishimoto

By Deera Dragoneela


Perjalanan yang cukup panjang telah dilewatinya. Banyak hal yang telah dilihatnya. Banyak pula pelajaran yang diperolehnya. Gadis tanggung yang berusaha mencari jati diri itu kini telah dewasa dan berusia 24 tahun. Telah tiga tahun berlalu sejak kepergiannya. Meninggalkan kehidupan masa lalunya. Menjadi orang baru. Identitas baru. Kehidupan baru. Sebagai Naruto yang baru. Seorang gadis petualang yang menjelajahi tiap negara dimana kakinya ingin melangkah. Menuangkannya dalam berbagai kisah. Membaginya pada mereka yang haus akan petualangan. Merasakan kebebasan. Memenuhi impian.


.0.


Pemandangan sore hari itu tampak indah. Semburat jingga diujung senja. Matahari seolah menyelam, ingin bersembunyi di kedalaman lautan. Membiarkan malam menyapa bersama langit penuh bintang.

Ah, Naruto selalu suka melihatnya. Seolah, matahari tenggelam diantara garis batas, antara langit dan lautan. Lalu menghilang, tertelan gelapnya malam.

Tersenyum, gadis itu pun meraih gelas cappuchino dihadapannya dan meneguknya sambil menikmati pemandangan matahari tenggelam dari sebuah restoran terkenal bertema outdoor di tepi pantai kota Ame.

Ah, alam ini memang indah – batinnya sambil tersenyum.

"Sumimasen, bolehkan kami bergabung?" Suara asing yang meminta ijin untuk bergabung itu membuat gadis bersurai merah pendek yang dikuncir tinggi itu mendongak. Pandangannya menemukan dua orang gadis dan tiga orang pemuda yang menatapnya dengan berbagai ekspresi.

"Semua kursi sudah penuh…" Tambah pemuda bersurai merah yang bertanya padanya tadi.

Menurunkan cangkirnya, Naruto menatap kesekelilingnya dan… Benar, semua meja telah penuh – baik benar-benar terisi penuh atau pun tidak – dan hanya dirinya seorang yang duduk di satu meja, seorang diri.

"Ah, silahkan" Ujarnya kemudian sambil menggeser barang-barangnya. Mematikan laptopnya dan memasukkan ke dalam tas, Naruto merasa sudah waktunya dirinya pergi. Toh, pemandangan yang ingin dilihatnya sudah selesai. Matahari telah tenggelam sepenuhnya.

"Kau akan pergi?" Tanya salah seorang gadis yang melihatnya beberes dengan nada tanya dan ekspresi tak enak.

Naruto tersenyum padanya, "Ya" Jawabnya sambil berdiri. "Aku sudah melihat apa yang ingin ku lihat, jadi…" Meengedikkan bahunya dan memakai bucket hat putihnya. "Sudah saatnya untuk pergi" Lanjutnya.

Menyampirkan ranselnya pada bahu kanannya gadis itu melanjutkan, "Bukan karena kedatangan kalian kok, tenang saja" Ujarnya sambil mengedipkan mata pada gadis itu.

"Sampai jumpa" Pamitnya yang dibalas anggukan oleh pemuda-pemudi dimejanya tadi. Meninggalkan beberapa sosok yang menatapnya tak berkedip, seolah menggali ingatan akan sosoknya yang terasa familiar.

Sepertinya, esok hari dia harus segera meninggalkan kota Ame dan memulai kembali perjalannya. Tak baik terlalu lama tinggal di sebuah kota. Dan dengan senyuman gadis itu pun segera kembali ke penginapan yang telah dihuninya semingguan ini.


.0.


Konoha, kota kesekian yang akhirnya bias dikunjunginya. Ah, sudah lama sekali dirinya tak berkunjung. Sangat lama, hingga ia lupa. Kapankah terakhir kali dirinya kesana?

Melangkahkan kakinya perlahan, Naruto keluar dari stasiun kereta –setelah menaiki Rapid Resort Shirakami- menuju jalan raya. Melihat keadaan Konoha sekarang… Ah, ternyata sudah banyak yang berubah. Berarti, sudah sangat lama dirinya tidak kemari.

Lihatlah gedung-gedung tinggi itu. Menutupi pandangannya dari gunung Akuma yang dulu bisa terlihat begitu keluar dari stasiun kereta listrik Gyuuki. Sepanjang jalan, tampak pertokoan yang tak pernah dilihatnya dulu telah berjejer rapi. Konoha memang telah banyak berubah, menjadi lebih modern dan kehilangan keasriannya. Dulu, seingatnya, Konoha adalah kota paling hijau dan asri yang pernah dikunjunginya. Tapi kini, Konoha tak ubahnya kota lain. Modern, metropolis, yang artinya juga – panas. Suhu Konoha kini, tak beda jauh dengan Suna.

Berhenti di sebuah halte bis terdekat, Naruto berniat keliling Konoha sebelum mencari penginapan. Sudah diputuskannya. Dia akan tinggal di kota ini selama seminggu. Apapun yang terjadi, pada hari ke tujuh, gadis itu akan pergi. Tekadnya dalam hati.

Tapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi dalam seminggu ke depan? Seperti apa yang terjadi pada kota-kota lainnya. Apakah ada teman baru yang membuatnya enggan pergi? Atau justru sebaliknya, membuatnya ingin cepat-cepat pergi?


.0.


Matahari masih berada di atas kepala, menandakan baru tengah hari. Tak perlu menengok jam di pergelangan tangan kirinya, karena letak matahari sudah menunjukkan waktunya. Langkah kaki jenjangnya membawanya pada sebuah café. Lavenda's Café namanya.

Bunyi denting lonceng berbunyi kala dirinya membuka pintu dan langsung disapa seorang maid dengan senyum ceria. Sejenak, Naruto tertegun melihat senyum itu. Ada ketulusan, yang membuatnya ikut tersenyum. Ah, betapa unik pelayanan di café ini. Mereka benar-benar memperkerjakan orang dengan hati.

"Ojou-sama, silahkan duduk di meja manapun yang Anda suka. Atau, Anda ingin duduk di meja atas? Kami memiliki meja di lantai atas dengan tema outdoor" Jelas sang maid dengan ramah.

"Aa, saya ingin meja diujung sana saja" Balas Naruto dengan senyum ramah sambil menunjuk pojok ruangan dekat jendela.

"Baiklah, mari saya antar" Sang maid membawanya menuju meja yang dituju, bahkan menarikkan kursi untuknya. Ah, seperti pelayanan restoran kelas atas, meski tema café ini cenderung lebih sederhana. Terasa seperti rumah sendiri, jika Naruto bisa menambahkan.

Pelayan itu kemudian menyerahkan buku menú yang tersedia di atas meja. Sambil menunggu Naruto memilih, pelayan itu dengan setia berdiri di samping Naruto. Dengan sigap mencatat pesanan Naruto dan mohon diri untuk menyiapkan pesanan Naruto.

"Ah, nona" Panggilan Naruto yang cenderung sopan membuat sang maid berhenti dan kembali.

"Hai, Ojou-sama?"

"Bisakah aku memainkan piano itu?" Naruto menunjuk piano di tengah ruangan itu. Sejenak pelayan itu mengerjapkan mata terkejut, dikiranya ada hal salah yang telah dilakukannya atau yang lain, sehingga dirinya sempat merasa was-was.

"Ah, tentu saja boleh, Ojou-sama. Hanya saja, saya harus meminta ijin terlebih dahulu pada manajer café kami" Jawabnya merasa tak enak. Bukan maksudnya menolak, tapi kita kan tidak bisa serta merta memperbolehkan orang memainkan piano itu dihadapan pengunjung. Apalagi, jika permainan orang itu tidak terlalu bagus. Meski bukan itu yang dipikirkan sang maid.

"Aa, tidak apa-apa. Bolehkah saya minta tolong untuk memanggilkan manager café ini, nona?" Sang maid segera mengangguk dan pergi begitu Naruto tidak memerlukan sesuatu yang lain.

Sambil menunggu, Naruto membawa laptop yang selama ini selalu menemaninya. Juga membantu kehidupannya. Menyalakan tombol power, gadis itu pun menunggu proses loading Windows sambil menatap keluar jendela. Sejenak, pikirannya kembali pada bayangan tiga tahun yang lalu. Kala dirinya keluar dari rumah keluarganya.

Menggelengkan kepalanya, gadis itu kembali menatap lurus layar laptop silvernya. Masa lalu adalah masa lalu, dan dirinya sudah memutuskan membuangnya. Melupakan siapa dia, dan menjadi dirinya yang baru. Tekadnya dalam hati.

Tapi sungguh, ada waktu dimana dia merindukan mereka yang entah bagaimana kabarnya kini. Gadis itu bahkan tak mau repot-repot mencari informasi mengenai keluarganya, meski informasi itu tersedia di berbagai media. Ah, bahkan gadis itu lebih sering menghindari jika ada barita yang mengabarkan mereka. Baginya, Namikaze Naruto sudah tiada. Hanya ada dirinya. Naruna Ishida.

Melepaskan bucket hat-nya dan meletakkannya di atas meja, Naruto –atau mulai kita panggil Naruna- kini membuka phonselnya yang menampilkan beberapa pesan, dan pandangannya jatuh pada sebuah pesan dari Sarutobi Kurenai. Kepala editor penerbit novelnya, yang sudah dianggapnya kakak sendiri. Disentuhnya tombol kanan dan terpampang sebuah pesan didalamnya.

[Novelmu kembali best seller. Congrat's wherever you're -Kurenai]

Tersenyum singkat dibalasnya pesan itu dengan ucapan terima kasih sebelum dimasukkan ke dalam saku celananya. Kembali tatapannya beralih pada laptopnya, membuka file kerangka novel terbarunya. Novel yang akan berlatarkah kota Konoha. Dan inilah alasan utama gadis itu berada di kota ini.

"Ojou-sama" Panggilan halus itu membuat Naruna mengangkat kepalanya dan menemukan sosok maid yang tadi menyambutnya dan seorang pemuda berambut merah.

"Ini manajer café kami, Sabaku Gaara" Maid itu memperkenalkan Naruna pada manajer café-nya.

"Aaa, ha'i... Saya Naruna Ishida" Naruna mengulurkan tangannya pada Sabaku Gaara yang dibalas pemuda itu cepat. Tatapan pemuda itu datar, tak ada kesan ramah sama sekali. Tapi meski begitu, Naruna tahu jika itu memang sifat pemuda itu. Karena Naruna sudah terbiasa membaca kharakter orang selama petualangannya.

"Saya ingin memainkan piano disana, jika boleh" Tambah Naruna setelah jabatan tangan mereka selesai.

"Ah, siapa namamu?" Tanya Naruna dengan tangan terulur pada sang maid yang masih setia mendampingi mereka.

"A-ano, watashi Matsuri Tanaka. Yoroshiku" Ujar gadis itu setelah mengerjap beberapa kali, terkejut dengan sikap Naruna yang tidak biasa didapatinya dari pelanggan lain.

"Naruna Ishida desu. Yoroshiku, Matsuri-san" Balas Naruna dengan senyuman sambil melepas tautan tangan mereka.

"Ha-hai" Balas Matsuri, masih terkejut.

"Ah, jadi Sabaku-san. Bolehkah saya memainkan piano disana?" Tanya Naruna mengembalikan atensinya pada Gaara, yang sempat terlupa.

"Kau bisa memainkannya, kan?" Pertanyaan bernada sarkastik itu membuat Naruna tertawa kecil. Gadis itu bukannya tersinggung karena dia jelas tahu kekhawatiran Gaara sebagai manajer yang mengelola café ini. Jadi dengan mantap gadis itu mengangguk.

"I think not bad for a beginner" Ucapan Naruto yang santai membuat pemuda itu mengangguk. Bersyukur juga gadis dihadapannya tidak tersinggung dengan sikapnya. Bagaimanapun, dia hanya menjalankan tugasnya. Tidak mungkin dia membiarkan kesalahan yang pernah terjadi dimasa lalu kembali terulang. Memalukan jika café elit seperti ini harus memperdengarkan permainan orang yang bahkan tidak bisa membedakan nada do dengan re.

"Ah, dan tidak perlu dipakaikan mikrofon. Karena aku hanya ingin mencari inspirasi ketika memainkannya, bukan untuk seseorang" Penjelasan Naruna membuat alis pemuda tampan itu naik, mengabaikan bahasa Naruna yang mulai bicara tidak formal. Inspirasi?

"Aku seorang penulis" Naruna tersenyum menjelaskan. "Dan aku butuh inspirasi untuk menuliskan cerita mengenai seorang pianis yang memulai karirnya di sebuah café"

Gaara dan Matsuri mengangguk dalam hati. Wajar jika seorang penulis ingin mendalami ceritanya, dia akan melakukan apa yang dilakukan oleh kharakter ceritanya.

"Anda bisa duduk disini hingga permainan saya selesai, untuk mempertimbangkan bolehkan saya memainkannya lagi hingga seminggu ke depan" Ucapan Naruna kembali membuat alis Gaara naik. Bahkan, kening pemuda itu mengernyit dalam dengan tingkah tak biasa pelanggannya ini.

"Aku hanya akan berada di kota ini seminggu, jadi Aku butuh banyak inspirasi untuk menyelesaikan ceritaku secepat mungkin"

"Baiklah" Gaara mengangguk singkat sambil mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Naruna.

"Kau bisa memainkannya dan aku akan menilainya"

"Benarkah?"

"Hn" Balas pemuda itu.

"Astaga, arigatou. Kau baik sekali, Sabaku-san" Naruna tersenyum sumringah, membuat pemuda itu terpana sejenak sebelum mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Arigatou juga, Matsuri-san. Aku akan kesana dulu. Jaa na" Pamit Naruna semangat menuju panggung, tempat sebuah grand piano berada.

"Bukankah dia gadis yang aneh, Matsuri?" Ucapan Gaara, yang tak lain adalah teman sang maid membuat gadis itu tersenyum.

"Kau benar, Gaara. Dia bahkan sangat ramah padaku yang hanya seorang maid. Dan melihat tatapannya tadi, aku tahu dia tulus" Ucapan Matsuri membuat pemuda itu menoleh padanya.

"Aku tahu itu memang sifatnya, Gaara. Bukan untuk menarik perhatianmu seperti gadis lain" Pemuda itu pun mengangguk membenarkan sambil mengalihkan tatapannya pada Naruna yang membuka grand piano itu.

"Ah, baiklah. Aku harus segera menyiapkan pesanannya. Kau temanilah dia nanti. Siapa tahu kalian bisa berteman" Ujar Matsuri sambil terkikik, membayangkan sesuatu yang justru membuat pemuda itu memasang wajah datarnya kembali. Ah, kebiasaan. Gadis berambut coklat itu benar-benar tidak peka dengan perasaannya. Betapa malang nasibmu, nak!

Suara lembut dari permainan piano Naruna membuat atensi banyak orang teralih padanya. Suasana mendadak hening, karena permainan itu tidak menggunakan mikrofon. Jadilah mereka memilih diam jika ingin mendengarkan permainan gadis itu yang sangat bagus dan menyentuh hati.

Dia jelas-jelas bukan pemula. Meski dia juga bukan seorang pro – Batin Gaara memperhatikan permainan Naruna.

River Flows in You by Yiruma.

Jemari lentik gadis itu memainkannya dengan bagitu apik. Kedua matanya terpejam, membayangkan seolah dirinya sebagai tokoh utama yang berada dalam cerita novelnya.

Naruna memainkannya untuk menggambarkan kehidupan seorang pianis yang mempercayakan masa depannya pada apa yang telah dipercayainya. Musik sebagai bagian dari kehidupannya. Seorang gadis yang meninggalkan segalanya hanya untuk musik. Panggilan jiwanya. Ditemani sosok penggenggam hatinya, yang selalu memotivasinya dalam mengejar mimpinya.

Seperti dirinya, Naruna melepaskan segala emosinya pada permainannya. Dirinya yang percaya pada impiannya. Dirinya yang rela meninggalkan rumah untuk mengejar mimpinya. Mengejar kebebasan yang telah lama terenggut, dan melepaskan segala luka hatinya.

Tou-san, Kaa-san…

Bayangan senyuman kedua orang tuanya, kembali membayangi dirinya. Senyuman dimasa lalu, yang masih terpatri erat dalam hati dan ingatannya.

Nii-san, Nee-san…

Senyuman Kurama dan Naruko dimasa lalu. Tawa mereka kala masa kanak-kanak. Berlarian di padang bunga peternakan Konoha yang asri. Kebersamaan yang telah lama terenggut dan hampir terlupakan olehnya. Senyuman Naruko dewasa dan tangisannya saat terakhir mereka bertemu, tanpa sang kakak sadari siapa dirinya.

Inilah pilihanku…

Kepergiaannya dari keluarga Namikaze. Pelariannya dalam mewujudkan impian. Pelariannya dalam upaya meninggalkan segala duka dan lara yang tak berkesudahan. Pelarían, yang membuatnya bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Pilihan yang tak pernah disesalinya hingga kini. Karena ada tiadanya dirinya, bukanlah sesuatu yang perlu dipertanyakan. Atau bahkan pertahankan.

Inilah jalan dan kehidupanku…

Senyuman Naruna membuat semua orang menyadari, jika gadis itu sudah menetapkan hatinya. Mempercayakan mimpinya. Inilah pilihan hidupnya, dan gadis itu tak akan pernah menyesalinya.

Suara tepuk tangan serta merta membahana begitu gadis itu menyelesaikan permainannya, setelah sejenak keheningan yang diiringi membuka mata.

"Bravo!" Teriak para pengunjung.

"Bagus sekali!"

"Meski bukan seorang pro, permainannya cukup bagus" Komentar pengunjung yang lain.

Dan tepuk tangan dari permainan itu membuat Naruna mengerjapkan mata bingung. Bukankah dirinya tak menyalakan mikrofon?

Menelengkan kepalanya bingung, gadis itu baru saja sadar jika Gaara telah berdiri disampingnya. Dan mikrofon dihadapannya dalam posisi on. Sepertinya, pemuda itulah yang menyalakannya tadi. Mungkin, saking menghayati lagu itu, dirinya jadi tidak sadar jika suara permainannya sudah diperkeras oleh mikrofon.

"Permainanmu sangat bagus untuk ukuran pemula" Ucapan bernada sarkastik dari Gaara membuat gadis itu nyengir kuda.

Menundukkan kepalanya, pemuda itu pun memperhatikan lebih jeli wajah Naruna. Membuat gadis itu merasa jengah dengan kening yang dikerutkan.

"Aa, tapi aku tidak berbohong jika aku hanya pemula" Well, Naruna menganggap dirinya pemula karena memang dirinya kini jarang memainkan piano. Dan dirinya juga tidak pernah mengikuti kursus. Hanya melihat permainan seseorang, kemudian berlatih keras bersama sahabat dekatnya, Amaru. Karena ketika memainkan piano, Naruna bisa mengekspresikan perasaan yang tak mampu diungkapkannya.

Gaara menegakkan tubuhnya sambil bersedekap. Mengabaikan teriakan pengunjung yang menyuruh Naruna kembali memainkan piano.

"Baiklah, kau boleh memainkannya hingga seminggu ke depan" Ucapan Gaara sontak membuat Naruna berdiri dan menatap pemuda itu penuh binar bahagia dari balik kacamatanya.

"Hontouni?"

"Tapi dengan satu syarat" Gaara menatap lurus Naruna yang masih memasang senyum bahagia.

"Kau harus memainkannya dan menyenangkan para pengunjung café ini" Mendengar syarat dari pemuda itu sontak membuat Naruna mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tak masalah. Toh, dia juga ingin memainkan lebih banyak lagu dan mendapatkan inspirasi sebanyak mungkin.

"Kalau begitu, bawakan beberapa lagu lagi untuk menyenangkan pengunjung. Baru kau boleh kembali ketempatmu" Perintah Gaara dengan nada datar, namun ada binar senang dimatanya yang bisa Naruna lihat.

Dan meski sikap Gaara menyebalkan, anehnya Naruna justru tidak ambil pusing. Dirinya dengan senang hati memainkan kembali grand piano dihadapannya. Membawakan lagu-lagu yang ingin dimainkannya dengan suka cita. Lagu ceria penuh semangat, juga lagu sedih yang mengiris hati.

-TBC-


Oke, siapa yang pengen sequel FD? Angkat tangaaan :D

Hehe, sebenernya emang pengen bikin MC kok, cuma dari pada nanti ceritanya terlalu banyak yang putar balik (meski chap esok ada fb buat kepergiannya, sih XD), jadi dibikin dulu alasan Naruto keluar dari rumah. Jadi yaaaa, begitulah #nyengir

Anggap saja ini prolog perjalanan hidup Naruto dan petualangannya, ne #kedip2soim

Terima kasih sudah membaca, dan jangan lupa meninggalkan jejak ;)

See you next chap :)