Junmyeon menarik nafas panjangnya, diiringi dengan ribuan doa dalam hatinya. Ia berharap Baekhyun, teman baiknya semasa kuliah dulu masih tinggal di flat kecil yang ada di hadapannya itu. Lima tahun sudah ia putus kontak dengan lelaki bermata kecil itu. Kesibukannya di dunia keartisan membuatnya menjadi seorang anti-sosial. Ditambah dengan ulah fans-fans nakal yang membuatnya berganti-ganti nomer, ah Junmyeon hanya bisa menahan kekesalannya.

Bicara tentang Baekhyun, seingat Junmyeon, sahabatnya itu juga memiliki akting yang tidak kalah dengannya. Mereka berdua merupakan mahasiswa dengan indeks prestasi terbaik di Seoul Film Academy, yang seharusnya cukup menjadi modal Baekhyun untuk menjadi seorang aktor professional. Namun kebalikan dari Junmyeon yang mendapatkan peran besar di drama kolosal 'The Palace' tiga tahun yang lalu, Baekhyun seolah tenggelam.

Junmyeon bahkan bergidik ngeri setelah menaiki lift bobrok yang terpasang di flat tua itu.

Bagaimana Baekhyun dapat hidup seperti ini?

"Tiga kosong satu, tiga kosong dua, tiga kosong tiga, tiga kosong empat. Ah, ini rupanya!" Junmyeon menahan nafas sebentar sebelum menyemangati dirinya. "Semoga aku menemukanmu, Baekhyun-ahh."

Bel sudah berbunyi, dan jantung Junmyeon berdetak kencang tanpa bisa ditahannya.

"Siapa?" suara nyaring itu terdengar dari dalam.

Junmyeon tanpa sadar tersenyum, lega setelah mendengar suara yang sangat diingatnya itu.

Tak lama, pintu berwarna cokelat pudar itu terbuka, menampilkan muka kusam pria bermata segaris itu.

"Baekhyun-ah." Junmyeon segera memeluk sahabatnya itu.

"Jun….myeon?"

.

.

Seseorang dengan tinggi di atas rata-rata orang Korea itu berjalan dengan angkuh, matanya tajam seolah tidak pandang bulu terhadap siapapun. Rambutnya yang berwarna merah membuatnya semakin terlihat seperti malaikat pencabut nyawa.

Park Chanyeol, itulah namanya.

Ia adalah salah satu sutradara muda yang banyak dipuja-puja di industri hiburan Korea. Karya pertamanya setelah mendapat gelar master dari Seoul Film Academy adalah drama kolosal berjudul 'The Palace' yang turut mengibarkan seorang lulusan dari Seoul Film Academy juga, yaitu, Kim Junmyeon. Dan setelah berselang tiga tahun lamanya, kini, ia memutuskan untuk membuat lanjutan dari serial drama yang banyak menyabet penghargaan itu.

Dan yang membuat Chanyeol pusing tak karuan adalah, Junmyeon tidak bersedia mengisi slot aktor utama di drama tersebut. Padahal naskah sudah setengah jalan, dan ia harus meminta Do Kyungsoo, temannya yang seorang penulis itu untuk mengubah jalan cerita drama kolosal yang seharusnya sudah memasuki masa reading itu.

"Kenapa dengan wajahmu itu, bro?"

Chanyeol mendesis kencang. Suara itu, Wu Yifan. Sahabatnya yang juga seorang aktor kawakan Tiongkok yang hijrah untuk berkarier di Korea Selatan. Usia keduanya sama, yaitu tiga puluh dua.

"Kau seharusnya tau apa akar dari semua permasalahanku ini, Yifan."

Yifan tertawa.

"Dan itu sangat tidak lucu, kau tahu?"

Yifan menepuk bahu Chanyeol yang lebih pendek dua sentimeter darinya itu, "Tentu saja itu lucu. Di saat aku dan Junmyeon sedang mempersiapkan momentum paling membahagiakan dari kami berdua, kau malah seperti menggali kuburanmu sendiri."

Tak ada hal lain yang Chanyeol lakukan selain menyikut perut sahabatnya itu.

"Ouch, kau memang kasar, Sutradara Park."

"Hentikan racauanmu itu, Wu." Kakinya kembali melangkah, diiringi oleh Yifan yang baru saja menyelesaikan syutingnya di lantai tujuh belas gedung Seoul Television itu.

"Memangnya kau belum menemukan aktor pengganti Junmyeonku, eh?"

"Junmyeonmu? Wu Yifan, kau seharusnya sadar, kalian bahkan belum resmi menikah!"

"Kami akan menikah empat bulan lagi, setelah Junmyeon menyelesaikan takenya untuk lanjutan dramamu itu. Dan lagipula, Junmyeon sudah mengakui bahwa ia memang milikku."

Mata Chanyeol berputar malas.

"Carilah kekasih, bro. Aku sebenarnya kasian melihatmu sendiri terus seperti ini."

"Kekasih akan membuat karierku hancur, Wu Yifan."

"Eih, kau harus merubah pandanganmu itu. Kau tahu Kwon Sangwoo seonbaenim? Atau Jisung seonbaenim? Atau kau tahu Hawick Lau, yang satu kampung denganku di Hongkong itu? Mereka sudah menikah dan bahagia dengan keluarga mereka, tapi karier mereka tetap mulus bak jalan tol."

"Ya, Wu Yifan!" Chanyeol berhenti di ruangan miliknya. "Kau tidak ada schedule hari ini, ohng?! Bibirmu membuatku pusing tujuh keliling." Ia melangkah masuk dan segera duduk di kursi besar yang nyaman itu.

"Scheduleku sudah selesai setengah jam yang lalu." Yifan ikut duduk di depan Chanyeol dan bersindekap. "Dan aku hanya tinggal menunggu kekasihku di sini."

Chanyeol tidak merasa memiliki janji dengan Junmyeon hari ini, jadi ia menaikkan alisnya dan memandang heran.

"Junmyeon berkata akan membawa temannya yang juga lulusan Seoul Film Academy kepadamu. Memangnya ia tak membuat janji denganmu?"

"Aku tidak merasa memiliki janji apapun hari ini, kecuali menyerahkan revisian naskah kepada CEO-nim. Kau yakin Junmyeon tidak berbohong denganmu?"

"Ckk, simpan pikiran burukmu itu, Park Chanyeol."

Benar saja, ponsel Chanyeol tiba-tiba berbunyi dan menampilkan nama Kim Junmyeon di layarnya.

"Ohng, aku ada di ruanganku di Seoul Television. Ok, akan kutunggu."

"Jadi, bagaimana?" Giliran Yifan yang menaikkan alisnya dan memandang jahil kawan baiknya itu.

"Tunanganmu sudah tiba di bawah. Dan kuharap ia benar-benar membawakan aktor yang memiliki kualitas, at least setara dengannya."

Di sisi lain, Baekhyun hanya pasrah diseret sang aktor muda menuju kantor Seoul Television. Mimpinya menjadi aktor sudah terkubur dalam-dalam bersama masa lalunya yang menyakitkan. Dan ia tak mengharap apapun dari paksaan Kim Junmyeon kali ini. Mungkin, Junmyeon hanya ingin mengenalkannya pada Wu Yifan yang belakangan diberitakan akan menikahi sahabatnya selama berkuliah di Seoul Film Academy itu.

"Junmyeon-ahh, sebenarnya untuk apa kau membawaku kemari?" Baekhyun akhirnya bertanya, karena melihat banyak pria dan wanita yang memakai baju resmi yang tentunya bagus dan mahal. Kebalikannya, Baekhyun hanya memakai kaos Supreme KW yang ia beli di Dongdaemun, dengan celana jeans sobek-sobek, dan sandal jepit berwarna kuning terang. Ia merasa salah kostum.

"Aku akan memberimu pekerjaan." jawab Junmyeon seadanya. "Aigoo, semoga aku tidak salah lantai."

"Kau akan mempekerjaanku di sini? Sebagai cleaning service?"

Langkah Junmyeon terhenti, "Tentu tidak, bodoh!" Dipukulnya kepala Baekhyun, berharap mengembalikan kesadaran pria itu. "Kau lupa bidang apa yang kau pelajari selama kuliah? Jangan asal bicara, Byun Baekhyun."

"Junmyeon, aku kan sudah bilang aku tak ingin menjadi aktor lagi." Baekhyun berusaha melepaskan tangannya yang dicengkram erat oleh Junmyeon. "Junmyeon-ahh, lepaskan aku."

"Tidak sebelum kau menemui temanku, Baekhyun."

Sayangnya, kekuatan Junmyeon jauh lebih besar—Baekhyun menyadarinya, karena Junmyeon seringkali memperlihatkan ototnya yang melembung bak balon udara itu ke khalayak—dan dengan gampangnya, Baekhyun terseret, memasuki ruangan besar itu.

Andai saja Baekhyun tau siapa yang akan ia temui hari ini, pastilah ia tak akan membukakan pintu flatnya untuk Junmyeon.

"Park Chanyeol, aku membawakan penggantiku kepadamu!"

.

.

Orang bilang, cinta pertama, sulit untuk tidak dikenang.

Baekhyun, tidak pernah mengenal cinta selama berbelas-belas tahun. Tidak setelah ia tahun ketiganya di Seoul Film Academy. Ia masih ingat betul bagaimana pria tinggi dengan senyuman bodoh itu membuat hatinya berdetak lebih cepat.

Junmyeon tak pernah tahu tentang hubungan Baekhyun dengan pria tinggi yang sedang menyeleseikan gelar masternya itu, karena ia sendiri tak yakin Junmyeon akan menerimanya sebagai seorang penyuka sesama jenis.

Kala itu, Junmyeon adalah mahasiswa yang hanya memikirkan cara untuk lulus saja.

Tentu itu menghalangi Baekhyun untuk jujur pada sahabatnya itu.

Karena itu, Baekhyun hanya berkencan secara sembunyi-sembunyi.

Hingga amarah itu tiba.

"Sampai kapan kau mau meyembunyikanku dari semua orang?"

"Chanyeol-ahh…"

"Apa kedudukanku tak cukup penting di hatimu?"

"Chanyeol-ahh, jangan berkata seperti itu. Kau tahu sendiri bagaimana aku mencintaimu."

Si tinggi itu, Park Chanyeol.

Baekhyun tentu terkejut melihat bagaimana Chanyeol melepaskan emosinya. Setahunya, Chanyeol adalah orang yang ramah dan murah senyum. Ia bahkan menyematkan julukan 'Happy Virus' pada kekasihnya itu.

"Dua tahun, aku menunggu dua tahun untuk itu."

Kepala Baekhyun hanya menunduk tanpa balasan sekatapun.

"Baekhyun-ahh, kita akan diwisuda dua hari lagi. Kau tak pernah tahu bagaimana inginnya aku memperkenalkanmu sebagai kekasihku."

Kepala yang menunduk itu segera menegak, menatap mata Chanyeol yang sedikit menakutkan, "Kita sudah membicarakan ini, Chanyeol-ahh. Aku belum siap untuk semua itu."

"Tapi sampai kapan? Sampai kau meraih mimpimu menjadi aktor terkenal dan membuatku semakin sulit untuk menemuimu?" Chanyeol terdiam sejenak. "Oh, aku mengerti." Kepalanya mengangguk-angguk. "Sedari awal memang kau tak menganggap serius hubungan kita, iya kan? Kau lebih memikirkan bagaimana cara untuk menjadi aktor terkenal! Aku mengerti, Baekhyun-ahh. Aku mengerti."

"Hapus pikiran burukmu itu, Park Chanyeol!" Baekhyun berjinjit dan mengecup bibir Chanyeol sembari menangkup kedua pipinya.

Siapa kira, ciuman sepihak itu begitu menyakitkan?

"Hentikan, Byun Baekhyun." Chanyeol mendorong pundak orang yang paling dicintainya itu dengan pelan, namun cukup untuk menghancurkan hati Baekhyun. "Aku lelah dengan semuanya."

"Chanyeol-ahh." Baekhyun menahan tangan besar itu.

"Lebih baik aku memikirkan debutku. Dan kau, juga sebaiknya memikirkan castingmu untuk besok."

"Chanyeol-ahh."

Terlambat, Byun Baekhyun.

.

.

Keduanya terdiam, dan menyelami pikiran masing-masing.

Yifan memandangi kekasihnya dengan mata terheran, yang dibalas dengan tatapan tidak tahu oleh Junmyeon. Baekhyun dan Chanyeol terlihat sebagai dua orang yang saling menghindar, daripada dua orang yang baru-baru kenal. Padahal, seingat Junmyeon, Baekhyun tak pernah sekalipun tahu siapa Park Chanyeol semasa kuliah dulu.

"Ya, Park Chanyeol!" teriak Junmyeon. "Aku tahu kau memang sutradara handal, tapi hentikan tatapan menindasmu itu!"

Chanyeol tak bergeming.

"Baekhyun-ahh, ini Park Chanyeol. Dia adalah sutradara dari The Palace, kau ingat? Drama debutku. Ia sedang mencari aktor untuk mengisi slot pemeran utama sekuelnya. Dan sudah dua bulan ini dia frustasi karena tidak menemukan seorangpun yang cocok."

Baru kali ini, Baekhyun merasa Junmyeon besar mulut.

"Myeon-ahh, aku tak ingin menjadi aktor."

"Bukannya kau lulusan Seoul Film Academy?" suara dingin itu terdengar. "Untuk apa kau berjuang lulus dari sana kalau bukan untuk menjadi seorang pekerja seni? Oh, atau memang aktingmu tidak mumpuni sehingga tidak ada seorang sutradarapun yang mau melirikmu?"

Chanyeol seharusnya dapat melihat bulir-bulir itu hampir menetes dari mata indah Baekhyun.

"Chanyeol, Baekhyun lulus dengan predikat cumlaude bersamaku. Kau meragukan aktingnya, sama saja kau meragukan kemampuanku." Justru Junmyeon yang membalas.

Chanyeol menarik seutas bibirnya, memandang Baekhyun dengan matanya yang tajam bak pisau itu, "Oh ya? Baru ini kulihat seorang cumlaude dari Seoul Film Academy yang tidak terlihat sebagai aktor yang bersahaja. Kupikir semua mahasiswa cumlaude akan berhasil berkarier." Chanyeol berjalan memutari tubuh Baekhyun. "Kaos lusuh, celana jeans kampungan, dan sandal jepit? Kau lebih terlihat sebagai seorang gelandangan."

Baekhyun mundur perlahan dan menatap mata Junmyeon dengan tatapan memohon, "Myeon-ahh, sebaiknya aku undur diri."

Namun tangan besar itu mencekalnya. Mencengkram tangan mungilnya dengan kasar, hingga ia memekik tertahan.

"Kau mau mengundurkan diri karena sadar akan kemampuan aktingmu yang buruk itu, Byun Baekhyun?"

Seingat Junmyeon, ia belum sekalipun menyebutkan nama Baekhyun di hadapan Chanyeol.

"Apa lagi, Chanyeol-ah?" Baekhyun mencicit, memberanikan diri untuk bertatapan dengan netra tajam itu. "Kemampuanku memang di bawah standartmu, hingga aku tahu diri. Ijinkan aku keluar sekarang juga, dan tolong maafkan Junmyeon yang telah membawa gelandangan ini di hadapanmu."

Hidung Chanyeol kembang kempis, menahan semua perasaan yang telah ditahannya selama dua tahun itu. Lain lagi dengan Yifan yang terdiam karena tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Kau diterima." Tangan besar itu mendorong tubuh kecil Baekhyun hingga menabrak Junmyeon yang ada di belakangnya. "Minta Junmyeon mengantarmu untuk menandatangani kontrak di mansionku besok pagi."

Baekhyun tak memiliki kesadaran untuk berpikir. Yang pasti, kakinya hilang kendali, sehingga ia pasrah saja ketika Junmyeon dan Yifan membantunya untuk berdiri dengan tegak.

Selanjutnya, hanya ada tangisan yang terlepas dari bibir mungil itu.

.

.

"Yeola, aku ingin tinggal di mansion dengan halaman yang luuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaasssssssssssss! Pokoknya, harus ada kebun anggreknya, juga tanaman hibiscus! Hmm, terus aku juga ingin kolam ikan kecil, ikannya harus ikan koi, Yeola! Ah, nanti setiap pagi, sebelum aku berangkat syuting, aku akan melewatkan sarapan di gazebo kecil, menghirup udara segar di sana, juga memberikan sisa rotiku kepada ikan-ikan di sana!"

Perkataan tersebut terekam jelas di dalam ingatan Chanyeol. Ah, memang semua yang berhubungan dengan Byun Baekhyun selalu tersimpan di benak Chanyeol. Tawanya, senyumnya, bahkan…..tangisnya.

"Tuan, Tuan Wu sudah tiba."

Lamunan Chanyeol terhenti saat bibi Lim, pembantu yang sudah dua tahun mengabdi kepadanya itu berbicara. Dengan anggukan, bibi Lim kemudian berbalik, mempersilahkan Wu Yifan masuk.

"Kurasa hobi melamunmu itu harus dikurang-kurangi, bro."

Chanyeol berdecak. Ia kemudian terduduk di gazebo kecil itu, mengambil cangkir kopi hitamnya, menambahkan satu kepingan gula, dan mengaduknya dalam diam.

"Tumben kau sarapan di sini?" Yifan mengikuti jejak sahabatnya itu dengan duduk, dan menyiapkan kopinya—dengan creamer dan gula. "Sekarang aku mengerti kenapa kau memilih mansion dengan halaman seluas ini."

"Bukan aku yang memilih." Chanyeol menyesap kopinya. "Seseorang yang berharga untukku, ia sangat ingin memiliki mansion dengan halaman yang luas seperti ini."

"Seseorang itu, ibumu?" tanya Yifan yang juga menyesap kopinya.

Chanyeol hanya tersenyum.

"Tuan." Bibi Lim kembali menyela.

"Kalau itu Junmyeon dan seorang temannya, persilahkan mereka kemari, bi."

"Baik, Tuan."

"Junmyeon pasti terkejut kau menyiapkan sarapan di gazebo ini." Kali ini Yifan membalik piring di hadapannya, dan mengambil selembar roti panggang, bacon, dan keju, tak lupa dengan guyuran sirup maple yang berwarna cokelat keemasan itu. "Kau tau sendiri, gazebo ini selama ini hanya kau jadikan pajangan tanpa pernah kau pergunakan sekalipun."

Chanyeol mengangkat bahunya.

"Morning, all." Junmyeon berjalan kearah Yifan dan menghadiahi tunangannya itu dengan kecupan hangat. "Chanyeol, suatu kejutan apa ini?"

Sementara Baekhyun masih mengerjabkan matanya tak percaya. Ia bahkan tak berani melangkahkan kakinya lebih jauh. Mansion yang mewah, halaman yang luas dengan gazebo kecil dan juga kolam ikan di sampingnya, sesuai impian bodohnya dulu.

Bolehkah ia mengharapkan sedikit rasa cinta itu?

"Baekhyunah, duduklah di sini." Junmyeon menepuk kursi di sampingnya.

Baekhyun tak memiliki pilihan lain, kan?

Di meja makan yang berbentuk lingkaran itu, sudah tersedia aneka makanan, mulai dari roti panggang, pancake, waffle renyah, bacon, aneka selai, scramble egg, dan juga sirup maple. Seakan tahu sesuatu, bibi Lim yang tadi mempersilahkannya masuk, mengambilkan segelas susu yang sudah diblender dengan buah stroberi untuknya.

"Makanlah dulu sembari menunggu pengacara dari rumah produksiku."

Baekhyun tentu tahu, Chanyeol memiliki karier yang menanjak, hingga pria itu dapat mendirikan rumah produksi yang lumayan ternama di Seoul. Belasan drama sudah dibesutnya selama tiga tahun ini.

Kebalikan dari Baekhyun, Junmyeon malah mengambil makanannya dengan tanpa sungkan. Yifan sendiri sudah memulai makannya sedari tadi, sedangkan Chanyeol, tengah memindahkan scramble egg dan bacon ke piringnya.

"Kau tak ingin makan? Atau, makanannya tak sesuai dengan seleramu?" ujar Chanyeol kepada Baekhyun yang terus saja menundukkan kepalanya.

Baekhyun menggeleng.

"Baekhyun-ssi, kau tak perlu sungkan dengan Sutradara Park ini. Sebenarnya ia orangnya baik." Tandas Yifan.

Tak menjawab apapun, Baekhyun malah mengambil susu stroberinya dan menelannya lumat-lumat.

Chanyeol masih mengingatnya.

Di saat itu, Chanyeol memasukkan beberapa bacon di piring Baekhyun.

"Perutmu akan sakit kalau kau hanya mengkonsumsi benda asam seperti itu di pagi hari." Kemudian ia menambahkan scramble egg dan waffle renyah ke piring Baekhyun. "Aku tak ingin calon aktorku sakit."

Junmyeon hampir saja tersedak melihatnya.

.

.

Karena kebodohan Yifan, Junmyeon terpaksa meninggalkan Baekhyun dan menuju tempat fitting jas pernikahan mereka.

Baekhyun hanya menghela nafas berat setelah Junmyeon berlari tergesa sembari memaki tunangannya itu. Berada di mansion milik Chanyeol, dan berdua saja dengan sutradara terkenal itu bukan pilihan bagus. Setidaknya bagi seorang Byun Baekhyun.

"Bagaimana kabarmu?"

Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari bibir Chanyeol.

Baekhyun yang masih menyelesaikan makannya akhirnya menjawab, "Baik."

"Kau masih tinggal di flat tua itu?"

Baekhyun merasa ia diinterogerasi seperti seorang tahanan.

"Aku tak memiliki pilhan lain. Flat itu adalah satu-satunya peninggalan orang tuaku." Ia memotong-motong baconnya dengan asal, karena nafsu makannya terbang menguap begitu saja.

"Aku tak pernah melihatmu terlibat satu proyek sekalipun."

"Aku memang telah mengubur impian itu dari tiga tahun yang lalu."

"Lalu apa yang kau lakukan dengan ijazah cumlaude itu?" Chanyeol mencengkram pegangan cangkir kopinya yang mendingin.

"Aku menyimpannya sebagai bagian dari kenangan di masa lalu."

"Baekhyun." Chanyeol meletakkan cangkir kopinya dengan kasar. "Kau bisa mendapatkan peran dengan mudah dengan ijazah itu. Bahkan jika kau mau, kau bisa datang ke kantorku dan aku bisa membuatkan peran besar untukmu."

Baekhyun menegakkan kepalanya, "Bukankah kau tak ingin aku menjadi aktor terkenal? Bukankah kau yang tak ingin aku menjadi sulit untuk ditemui? Chanyeola, kau pikir untuk apa aku melakukan ini semua?" kepalanya kemudian menggeleng. "Lupakan, semua itu hanya bagian dari masa lalu."

Chanyeol masih menatap Baekhyun tak percaya.

"Bukankah aku kemari untuk menandatangani kontrak?" Baekhyun mencoba tersenyum. "Setidaknya setelah ini, ijazahku sebagai lulusan terbaik dari Seoul Film Academy tidak sia-sia, bukan?"

"Tinggalah di sini."

Giliran Baekhyun yang melebarkan matanya.

"Tinggalah di sini, hidup menjadi suamiku, dan kau tak membutuhkan kontrak apapun untuk mendapatkan peran itu."

"Chanyeola…."

"Aku serius dengan perkataanku, Baekhyun-ahh."

"Kau mungkin sudah gila, Park Chanyeol." Baekhyun bangkit dan hampir saja meninggalkan gazebo itu kalau Chanyeol tidak menahan tangannya, dan menarik pria mungil itu di pangkuannya.

"Tinggalah bersamaku, tak perlu menjadi suami, tak perlu menjadi kekasih. Aku hanya tak ingin melihatmu menderita lagi di tempat kumuh itu, bisakah?"

Baekhyun hanya terdiam dengan terus menatap sepasang bola mata yang ia rindukan itu.

TBC

Tadinya mau ngeupdate Daddy's Little Baek, tapi ragu karena ini bulan puasa, pasti reader2 pada ga bisa baca, iyakan?

Ini fanfic, niatnya mau dibikin oneshoot, tapi urung, akhirnya jadi threeshoot. Akan diupdate setiap hari karena memang sudah completed di laptop saya.

Review ya? Terimakasih!