A/N: Halo semuanya yang membaca fanfic karanganku. Ehm, yang mengikuti aku dari karya 'I Need' pertama-tama aku minta maaf karena sudah tidak pernah meng-update lagi fic itu. Sebenarnya aku ingin update, tapi... minatku hilang. Maaf sekali. Tapi sebagai gantinya, aku menghadirkan fic ini, three-shot dengan universe yang sama seperti 'I Need'. Karakter tidak ada yang kuubah. Hanya beberapa bagian kutambah dan kuhilangkan. Yah, semoga kalian menikmati cerita ini lebih daripada 'I Need'. Sekali lagi kutegaskan, semua plot sama. Hanya saja penjabarannya sekarang berbeda. Baiklah, selamat menikmati ^^
Title: Ice Box
Pairing: G27, GioCoza / CozaGio, 2700.
Rating: PG-15
Genre: Romance, drama, angst, friendship, hurt/comfort.
Summary: Dijual sebagai budak di Mesir, jatuh cinta pada bos Vongola, rindu tanah air hingga tak tertahankan. Tsuna ingin pulang ke Jepang namun hatinya terasa berat ketika terpikir itu berarti meninggalkan... Giotto. Atau Enma?
Disclaimer: aku hanya memiliki ide cerita, karakter milik Amano Akira. Negara-negara terlibat hanya untuk membantu cerita ini saja tanpa maksud tertentu.
Oh, bagi yang sudah baca 'I Need' sampai chapter terakhir (chapter 11), kalian bisa lewati chapter satu dan langsung ke chapter dua. Kalau kalian mau menghemat waktu untuk membaca saja sih... hehehe. Tapi kusarankan untuk baca ulang karena sudah berlalu lama sekali sejak aku menulis cerita itu dan aku menambahkan bagian-bagian yang luput kujelaskan di I Need. Yah, selamat membaca :)
Chapter Satu
Seperti ditampar ombak keras Tsuna menghadapi kenyataan yang hadir di depan matanya. Begitu menyakitkan. Begitu mengerikan. Sangat menyeramkan, membuat giginya gemeletuk dan bulu kuduk berdiri. Rasa sakit seakan mengikis kulit hingga menembus daging dan mematahkan tulang. Seluruh tubuhnya serasa dirobek secara sengaja dan keji. Darah yang mengucur dan tumpah di atas lantai dan ranjang membuat Tsuna pusing. Rasanya mual. Dia ingin muntah.
Sakit, sakit, sakit.
Tapi tidak ada yang bisa mendengar seruannya dari kamar Radames yang dibencinya.
Perih, perih, perih.
Dan tak ada yang bisa menolongnya di kediaman Radames, orang yang membelinya dari lelang budak.
Disodomi secara paksa seperti ini sangat memalukan. Sangat mengerikan. Tubuh mungilnya tidak kuat menerima serangan dari Radames secara beruntun. Menangis dan meminta Radames untuk berhenti pun tak berguna, karena, siapa Tsuna di hadapan orang yang berkuasa di tanah Mesir ini? Dia hanya seorang budak kini. Budak dengan nama yang tidak diketahui Radames. Budak tanpa hak. Budak tanpa kekuatan untuk melawan orang yang merantai lehernya. Dia dijual justru untuk memenuhi kebutuhan orang seperti Radames. Pemuas nafsu.
Sungguh, Tsuna merasa sangat dipermalukan ketika dia, seorang remaja laki-laki, diperlakukan seperti ini. Tapi dia tidak bisa melawan. Hingga matanya membengkak. Hingga air matanya kering. Hingga suaranya parau. Hingga tenggorokannya serak. Hingga kulitnya terkikis bekas cambuk dan alat-alat lain yang digunakan Radames. Hingga darah tidak berhenti meluap dari bekas luka di tubuhnya.
Dalam benak Tsuna kembali muncul rupa orang itu. Rupa orang yang tidak dikenalnya, namun selalu berhasil membuat hatinya hangat. Seorang pria dengan raut muka yang begitu lembut. Rambut pirangnya membuat pria itu semakin terlihat bercahaya. Dan berkali-kali Tsuna jatuh dalam dunia mimpi karena bayangan orang itu. Orang yang tidak dikenalnya. Hanya itu cara yang berhasil membuat Tsuna tertidur. Dengan begitu Radames akan merasa bosan dan menghentikan segala 'permainannya' terhadap Tsuna. Karena tidak ada yang menyukai bersetubuh dengan orang yang tertidur. Apa serunya orgasme di dalam tubuh orang yang sudah tidak bisa lagi merintih atau menyerukan namanya?
Radames bangkit dari ranjangnya. Mengambil jubah tidurnya dan memanggil penjaga di luar kamar. Menyuruh mereka membawa tubuh Tsuna kembali ke kamarnya. Kemudian Radames memanggil budak lain dan kembali melakukan hal yang sama pada gadis itu. Gadis yang bahkan lebih muda dari Tsuna. Ya. Radames lebih puas dengan gadis ini. Jeritannya bagai melodi di telinga Radames. Dia kehilangan angka menghitung berapa kali orgasmenya memuncak di tubuh gadis itu.
-000-
Benci. Jijik.
Tsuna tidak menyukai kulitnya. Tubuhnya. Tatapan matanya. Segala hal bersih yang dimilikinya telah lenyap karena perlakuan Radames. Perasaan dengki yang tertanam ini tidak akan pernah terhapuskan. Begitulah pikir Tsuna. Hingga akhirnya Spanner berbicara dengan Tsuna dari hati ke hati. Pemuda yang lebih tua itu menyadarkan Tsuna. Tidak ada gunanya bersedih terus. Tidak akan ada yang menolong Tsuna selain dirinya sendiri. Semua budak yang tinggal di tempat ini seperti itu. Belajar menjadi lebih tegar dan kuat. Tidak manja dan tergantung pada orang lain. Tsuna mengusap air matanya yang tumpah. Tersenyum pada Spanner. Benar. Setidaknya dia masih hidup. Dan lagi Tsuna masih belum menepati janjinya pada keluarganya yang ada di Jepang. Dia akan melalui segala kesulitan dan kembali menjadi orang yang sukses. Demi keluarganya, bukan dirinya sendiri.
Janji itu tertanam dalam hati Tsuna. Sejak itu pemuda Jepang itu berubah jadi lebih dewasa. Hari demi hari dilaluinya dengan tabah. Sesekali mengobrol dengan Spanner, Irie dan Lambo untuk merencanakan keluar dari kekangan Radames. Tsuna jadi lebih sering tersenyum. Tawanya enak didengar. Suasana di bangunan tempat mereka tinggal terkesan lebih segar karena kehadiran Tsuna.
Tapi itu tidak berlangsung lama.
Tsuna terbangun mendapati dirinya penuh luka. Sudah diperban. Dirawat dengan hati-hati. Dirinya merasa asing terhadap ruangan yang begitu megah, apalagi dia tidur seorang diri di ruangan itu. Sebelum ini dia hanya tidur di satu ruangan dingin dengan matras yang keras dan bantal kempis. Otaknya memanggil ingatannya yang terakhir kali. Dia teringat melihat ruangan Radames yang penuh kobaran api. Budak-budak yang panik karena... karena ada dua orang penyusup berpakaian serba hitam itu! Benar. Tsuna ingat semuanya. Dia penasaran terhadap dua orang itu. Dua orang yang kemudian melompati jendela. Membuat Tsuna tidak bisa menahan adrenalinnya dan mengikuti aksi itu. Kemudian semuanya gelap. Ya. Tsuna sudah ingat.
Dia jatuh dari jendela lantai... entah lantai berapa. Otaknya masih susah mengingat secara jelas. Rasa nyeri masih menguasai bagian belakang kepalanya. Belum sempat otaknya merapikan rentetan kejadian yang telah terjadi, Tsuna sudah dikejutkan dengan rangkaian kejadian berikutnya. Masuk seorang remaja laki-laki dengan kulit terbakar. Dia begitu cemas melihat Tsuna dan menyerbunya dengan pertanyaan: 'apakah kamu baik-baik saja?', 'masih sakit?', 'kamu lapar?' dan sebagainya. Tsuna mengangguk lemah dan meyakinkan pemuda itu kalau dia baik-baik saja kecuali rasa sakit karena jatuh itu tentunya masih tertinggal.
Pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan nama 'Yamamoto Takeshi'. Karena mereka seumuran, Tsuna berpikir dia bisa segera akrab dengan Yamamoto. Yamamoto anak yang ramah. Dia menjelaskan beberapa hal pada Tsuna. Dia masih di Mesir. Tapi sudah di pinggiran kota, tempat yang sepi dan pas untuk perkumpulan –Yamamoto menyebutnya dengan organisasi- yang diikuti Yamamoto. Dia masih belum bisa memberitahu Tsuna siapa dia sesungguhnya dan organisasi apa ini. Karena dia harus memastikan bahwa Tsuna termasuk orang aman dan bisa dipercaya untuk membantu organisasi ini (kalau dia masih mau hidup dengan tenang).
Tsuna tenggelam dalam pikiran-pikirannya. Bagaimana dengan semua yang tertinggal di kediaman Radames? Dia berhasil memberitahu Yamamoto tiga nama; Spanner, Irie Shouichi dan Lambo Bovino. Ketiganya adalah sahabat Tsuna ketika dia tertahan di kediaman Radames. Yamamoto menjanjikan berita ketiganya pada Tsuna. Hari-hari berlalu dengan pelan dan luka-luka Tsuna mulai sembuh. Tsuna tersenyum. Kulit baru yang muncul di balik perban itu terlihat begitu putih tanpa dosa. Tsuna menyukai warnanya. Membuatnya melupakan kenangan buruk di tempat Radames.
Yamamoto berulang kali mengingatkan Tsuna untuk tidak terburu-buru bergerak. Sebaiknya dia sabar menanti agar lukanya tidak terbuka kembali. Tapi terkadang Tsuna tidak sabar. Apalagi setelah dia mengetahui ketiga sahabatnya baik-baik saja. Ketiganya diamankan oleh seorang penembak jitu (kata Yamamoto) bernama Reborn. Mereka bertiga dibawa ke organisasi mafia bernama Giglio Nero dengan pemimpinnya, Uni. Mengetahui bahwa Tsuna bukanlah orang yang berbahaya, hanya budak malang dengan nasib sial, Tsuna diperlakukan seperti anggota dalam perkumpulan ini. Sedikit-sedikit Tsuna mulai mengetahui kalau dia sekarang berada di dalam genggaman tangan keluarga mafia juga. Keluarga mafia yang paling berkuasa di Italia. Dan sekarang sedang menyelesaikan persoalan yang ada di Mesir. Keluarga mafia tempat Tsuna bernaung bernama Famiglia Vongola.
Tsuna sesungguhnya menyimpan rasa penasarannya. Mengapa orang yang tidak berguna sepertinya tidak dilepaskan saja? Dibuang seperti kebanyakan anak jalanan yang sering dilihatnya ketika masih di Jepang dulu. Mengingat kenangannya dulu di tempat Radames, Tsuna jadi lebih waspada. Dia tidak mau dimanfaatkan. Dia mulai meneliti sikap orang-orang di sekitarnya. Tapi ternyata semuanya memang memiliki sifat dasar yang baik dan Tsuna diperlakukan secara manusiawi dan wajar di sana. Hal itu membuat Tsuna tidak bisa menolak permintaan dari pemimpin keluarga Vongola.
Belum, Tsuna belum menemuinya. Tapi Yamamoto dan temannya, Gokudera, sudah menyampaikan pesan dari pemimpin mereka terhadap Tsuna. Pemimpin mereka memerlukan Tsuna untuk melakukan suatu hal. Hal itu apa, belum diberitahu. Tsuna takut. Dia sesungguhnya tidak mau terlibat dengan hal-hal yang membahayakan nyawa. Tapi kalau mengingat perilaku mereka yang begitu baik terhadap Tsuna... Tsuna tidak bisa menolak. Dia mengangguk dan menyetujui akan membantu keluarga Vongola.
Yamamoto dan Gokudera tersenyum pada Tsuna sambil mengusap punggung Tsuna.
Tsuna tersenyum kaku. Masih ragu dan takut kalau tugas itu membahayakan nyawa.
-000-
Bukan laki-laki dengan pembawaan mengerikan yang berdiri di hadapan Tsuna. Bukan laki-laki dengan suara yang begitu berat dan wajah yang terkesan berumur yang berbicara dengan Tsuna. Bukan sosok menyeramkan yang diberikan laki-laki yang menatap mata Tsuna. Pemimpin keluarga Vongola terlihat begitu ramah dan lembut. Penampilannya muda dan segar. Suaranya begitu enak didengar dan, oh, Tsuna mengenal wajah itu. Wajah yang sering dilihatnya untuk menghapus penderitaan yang dialaminya ketika masih di kediaman Radames. Wajah yang selalu berhasil membuat kelopak matanya terasa berat dan menutup. Mengantarkan Tsuna ke alam mimpi. Ternyata laki-laki itu adalah pemimpin keluarga mafia terkemuka. Giotto del Vongola.
Kecakapannya membuat Tsuna tidak bisa berkata-kata. Dia takluk ketika mendengar suara dan mengamati perilaku Giotto. Giotto begitu sempurna. Membuat jantung Tsuna berdegup kencang. Tanpa alasan yang dia mengerti. Oh, entah mengapa Tsuna merasa berbeda ketika diperintah oleh Radames dan diperintah dengan Giotto. Apapun yang diucapkan Giotto, rasanya Tsuna ingin melakukan semuanya. Agar Giotto memujinya. Agar Giotto bisa melihat hasil kerjanya. Tapi pikiran itu tidak berlangsung lama dalam benak Tsuna. Dia segera menampar dirinya sendiri dalam hati karena, astaga, apa yang baru saja dipikirkannya itu sangat mengerikan. Sangat... entah kata apa yang tepat menjelaskan perasaannya. Dia merasa jijik karena dia begitu mudah berpikir seperti budak. Bahkan ketika di kediaman Radames, dia tidak pernah berpikiran seperti itu. Apa yang membuat Tsuna jadi seperti ini? Tsuna memukul dirinya sendiri dalam benaknya.
Bukan pekerjaan yang berat sesungguhnya, ketika Tsuna diulurkan tugas itu. Tapi dia harus melatih ketangkasannya. Karena tugas yang diberikan Giotto adalah satu hal yang menuntut kecekatan gerakan. Tugasnya adalah menyusup masuk ke dalam kediaman seorang kaya di Kairo. Merebut budak yang dijual di tempat yang sama dengan Tsuna bernama Kozato Enma. Tugas itu tidak dilakukannya sendiri. Yamamoto dan Gokudera menyertainya. Ketiga remaja itu yang akan menyusup masuk. Tapi untuk menjaga situasi di luar kediaman, Alaude dan Asari, para wakil Giotto juga diikutsertakan.
Tsuna melatih ketangkasannya bersama dengan Yamamoto dan Gokudera ketika lukanya sudah sembuh total. Alaude dan Asari mengamati perkembangan para remaja itu. Mereka mendapatkan waktu empat hari persiapan oleh Giotto. Di hari kelima, mereka menyiapkan untuk penyerbuan mereka. Malamnya mereka menyusup masuk ke kediaman tersebut dan melangkah cepat ke bangunan tempat tinggal para budak. Denah bangunannya tidak berbeda dengan bangunan di tempat Radames. Mungkin orang Mesir menyukai tipe yang serupa seperti ini. Dengan cepat mereka berhasil mencapai bangunan itu dan segera mencari keberadaan Kozato Enma.
Sesungguhnya Tsuna mengenal Enma. Sahabatnya semenjak dia masih di Jepang. Sama-sama menderita sebagai sesama budak yang kemudian dijual ke Mesir. Enma dijual lebih dulu dari Tsuna dan ternyata dia terdampar di tempat ini. Tsuna hanya berharap agar Enma yang ditemuinya nanti masih bernapas. Masih sehat. Tidak mendapat perlakuan haram pada dirinya.
Ternyata tidak.
Kaki Tsuna melangkah masuk ke sebuah kamar yang kecil dan dingin. Sama seperti kamar Tsuna di kediaman Radames dulu. Terdengar isakan kecil dari matras yang digelar di lantai. Ada seseorang yang meringkuk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut tipis di sana. Rambut berwarna merah berantakan yang tidak begitu asing di mata Tsuna tersinari cahaya bulan.
"... Enma?"
Orang di balik selimut itu mengeluarkan kepalanya dan menengok ke arah Tsuna.
Tsuna-kun?
Itu Enma. Bibir Enma bergerak tapi tidak mengeluarkan suara, namun Tsuna masih bisa membaca gerakan bibirnya.
Enma yang ditemuinya memang masih hidup. Tapi begitu berantakan. Begitu kehilangan semangat hidup. Seluruh tubuhnya penuh luka dan air mukanya tidak bersemangat. Matanya membengkak dan kantung mata besar dan gelap menggantung di bawahnya. Mata Enma sendiri berwarna merah pekat. Terlihat jelas habis menangis. Pergelangan tangan dan kakinya lecet. Bajunya lusuh. Kotor dan lembap karena basah oleh air mata, keringat, cairan hidung dan darah. Melihat Enma yang seperti itu, Tsuna begitu terkejut. Membuatnya mengingat kembali masa-masa ketika dia di kediaman Radames. Dia benci. Dia dengki. Dia takut. Dia tidak ingin mengingatnya lagi!
"Tsuna-kun..."
Suara Enma parau. Nyaris tidak terdengar.
Enma segera memeluk Tsuna yang dikenalnya. Menangis dalam dada Tsuna. Tsuna panik. Tidak tahu harus berkata apa. Suara Yamamoto dan Gokudera menyadarkannya. Mereka segera menghampiri Tsuna dan Enma. Berulang kali keduanya berusaha menenangkan Enma, tapi Enma tidak mau mendengarkan. Tsuna yang sadar bahwa ini adalah tugas, mengganti Yamamoto dan Gokudera. Dengan berusaha tenang Tsuna menjelaskan secara perlahan kepada Enma. Tidak butuh waktu lama hingga Enma mengangguk dan menuruti permintaan ketiga orang yang datang menjemputnya itu. Mereka keluar dari jalan yang sama dan lebih berhati-hati. Untungnya tidak menemui penjaga. Keempatnya segera melompati tembok pembatas kediaman dan segera masuk ke kereta kuda yang membawa mereka ke tempat itu.
Alaude dengan cepat mengendarai kereta tersebut dan berhasil tiba dengan selamat di kediaman Vongola. Asari membantu Enma turun dari kereta. Enma segera dibawa ke kamar tamu dan diperiksa oleh dokter pribadi keluarga Vongola.
Seperti mimpi buruk, namun ternyata apa yang dilihat oleh mata telanjang mereka adalah kenyataan. Tubuh Enma penuh luka. Punggungnya habis dengan luka bakar dan bekas sayatan. Beberapa tulang rusuk dan jarinya patah. Kondisi Enma begitu mengenaskan. Tsuna, Yamamoto dan Gokudera kehilangan kata-kata melihat kondisi Enma. Yamamoto mengajak Gokudera keluar dari ruangan. Gokudera menarik tangan Tsuna, tapi Tsuna menepisnya.
Sesungguhnya Tsuna ngeri melihat keadaan seperti itu. Tapi dia tidak mau meninggalkan Enma. Jeritan Enma begitu kencang saat dokter itu menyuntik, atau melakukan apapun pada Enma. Tsuna berusaha menahan langkah kakinya untuk tidak mendekat. Dia tahu dokter itu sedang berusaha menyembuhkan Enma, tapi mendengar seruan Enma yang begitu kesakitan, rasanya Tsuna kesal dengan dokter itu. Apa tidak ada cara lain menyembuhkan Enma selain dengan menimbulkan rasa sakit?
Perasaannya berkecamuk. Tanpa Tsuna sadari, air matanya meleleh. Samar-samar dia teringat dengan keadaannya dulu di tempat Radames. Ternyata Radames lebih manusiawi dari orang yang membeli Enma. Orang sekeji apa yang bisa melakukan hal seperti ini pada seorang remaja yang masih begitu muda?
-000-
Enma yang sekarang tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Mulutnya bungkam. Mungkinkah dia trauma dengan apa yang dialaminya di tempat Zoser, orang yang membelinya dulu? Memang tidak ada yang memaksa Enma untuk bersuara. Semua mengerti kondisi kejiwaannya. Semua tahu Enma tidak bisa terbiasa dengan mudahnya terhadap lingkungan dan orang-orang baru. Hanya Tsuna yang diizinkannya berada di dekatnya tanpa merasa terganggu, tanpa merasa terancam. Tapi pada Tsuna sendiri, Enma masih belum bisa membuka mulutnya.
Akibatnya Tsuna kurang istirahat. Pagi, siang, malam, Tsuna selalu menjaga Enma. Karena tubuhnya masih belum sehat, dia butuh banyak istirahat. Pemuda itu sering sekali mengigau dalam tidurnya. Raut mukanya seperti berada dalam sakit yang tak terjelaskan. Lenguhan yang dibuat suaranya seperti menyayat telinga Tsuna. Sedih menyaksikan Enma yang seperti itu. Tsuna tidak bisa berbuat banyak selain memberikan Enma pelukan dengan jarak aman untuk tidak mengenai luka tubuhnya dan mengusap kepala serta tengkuk Enma. Karena hanya itu tempat yang tidak terluka parah.
Para anggota keluarga Vongola yang lain mengerti betapa Tsuna dan Enma tidak bisa terpisahkan. Tapi mereka juga kasihan melihat kedua pemuda itu. Satu karena Enma masih dalam kondisi yang begitu rapuh dan dua karena Tsuna kurang istirahat. Gokudera tidak menyukai kantung mata Tsuna yang begitu besar. Yamamoto berulang kali menyuruhnya tidur dan berganti menjaga Enma. Tapi Tsuna menolak.
Asari dan G. turut menunjukkan perhatian mereka dengan membawakan makanan atau obat beberapa kali. Terkadang pendeta Knuckle juga mengunjungi kamar Tsuna dan Enma untuk bercerita tentang pengalaman hidup agar kedua anak itu tidak merasa bosan dalam dunia mereka sendiri. Enma terlihat lebih tenang berhadapan dengan Knuckle dan Asari daripada orang dewasa lainnya. Alaude tidak banyak perhatian. Sama seperti Hibari. Alasan mereka jarang berkunjung adalah mereka benar-benar sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Belakangan Tsuna baru tahu kalau mereka berdualah yang menyusup masuk ke kediaman Radames dalam balutan pakaian serba hitam itu.
Suatu malam yang jarang menghampiri Tsuna adalah malam di mana Enma tertidur nyenyak. Seperti malam ini.
Tapi sayang Tsuna tidak bisa tidur karena dia begitu merindukan rumahnya di Jepang. Dia rindu dengan kedua orangtuanya. Dia rindu dengan adiknya, Fuuta yang masih kecil. Entah bagaimana kabar mereka sekarang ini. Byakuran dan Genkishi, kumpulan orang yang menipu keluarga mereka dengan iming-iming memberikan pendidikan pelajaran pada Tsuna mungkin memberikan kabar palsu pada orangtuanya. Tapi lebih buruk lagi kalau ternyata mereka tidak melakukan apapun.
Tsuna menangis. Di lorong yang dingin dan hanya bulan yang menyinari wajahnya. Tsuna terduduk di lantai sambil memeluk lutut. Dia meringkuk dan menangis tanpa suara. Begitu rindunya dia sampai dada ini terasa sakit.
Ingin pulang.
Tsuna ingin pulang.
Tidak tahan dia berada di negara penuh debu pasir seperti ini. Dia benci. Dengki. Tapi apa yang bisa dilakukannya ketika dia, pemuda berusia empat belas tahun yang tidak memiliki kemampuan apapun, pulang ke tanah air? Tsuna bahkan tidak bisa berbicara bahasa Arab. Tidak tahu harus melangkah ke mana begitu kaki mungilnya menapak keluar kediaman Vongola.
Menangis adalah hobi baru Tsuna.
Menipu orang lain dengan berpura-pura baik-baik saja juga salah satu hobi barunya.
Namun sampai kapan dia harus bertahan dengan topeng seperti itu? Menjalani hari demi hari dalam keputusasaan dan perasaan rindu yang tidak tertahankan. Bisakah topeng itu melekat di wajah Tsuna? Di satu sisi Tsuna berharap topeng itu bisa bertahan karena dia tidak ingin membuat orang lain cemas. Tapi di sisi yang lain dia sendiri merasa muak harus menahan emosinya.
Mungkin Tsuna bisa menipu anggota keluarga Vongola kalau dia berusaha. Tapi tidak di mata pemimpin keluarga Vongola; tidak di mata Giotto.
Tsuna merasakan hangat tubuh yang membungkusnya. Dia berusaha mendongak dan melihat sosok Giotto sedang memeluknya. Tsuna terkejut. Dia sedikit mendorong Giotto dan segera menghapus air matanya. Mengapa pemimpin keluarga mafia yang begitu sibuk ini bisa ada di depannya, terlebih melihat Tsuna menangis seperti ini? Tsuna malu tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena dia seorang laki-laki. Dan entah mengapa kalau laki-laki menangis rasanya... aneh. Sangat aneh. Tapi apa boleh buat, bukan? Tsuna sungguh tidak tahan berada dalam situasi seperti ini.
Isakan-isakan kecil masih menyelinap dari bibir Tsuna. Jemari Tsuna yang mengusap pipi merahnya terhenti ketika Giotto menyentuhnya. Giotto menghapus jejak air mata Tsuna dengan jari-jarinya yang pucat dan panjang. Tangan Giotto yang lain mengusap kepala Tsuna. Tsuna menahan rasa bingung dan tangisnya lagi. Karena, siapa yang tidak makin ingin menumpahkan air mata ketika dia diperhatikan oleh orang lain?
Giotto seperti mengerti perasaan Tsuna. Suaranya terdengar tenang di telinga Tsuna. "Tumpahkan semuanya, Tsunayoshi."
"Tumpahkan semua perasaanmu kalau itu bisa membuatmu lebih nyaman dan tidak tersiksa."
Hanya dengan satu kalimat itu dan air mata Tsuna kembali luluh. Dia tidak mengerti kenapa air mata ini terus mengucur keluar. Dia sedih sekali. Hatinya terasa begitu sakit mengingat semua kejadian yang dialaminya di negeri asing ini. Rasa takutnya tidak pernah lenyap. Rasanya dia seperti dikejar-kejar oleh mimpi buruk.
Tapi tidak lama sampai Tsuna melupakan alasannya menangis.
Mungkin karena dia tidak sendirian.
Mungkin karena ada Giotto di sampingnya.
Pelukan Giotto terasa begitu nyaman. Kehangatan yang diberikannya terasa begitu menenangkan.
-000-
Giotto duduk di samping Tsuna setelah laki-laki yang lebih muda darinya itu tenang dan tidak lagi menangis. Mereka mengobrol sedikit tentang pengalaman bekerja Giotto sampai akhirnya Giotto membuka topik yang sensitif bagi Tsuna.
"Aku tahu kamu merindukan keluargamu."
Giotto menatap bola mata Tsuna, "Itu alasanmu menangis, bukan?"
Tsuna tidak bisa menjawab dengan suara. Dia hanya mengangguk lemah. Memutuskan pandangannya dari mata Giotto.
"Tsunayoshi, aku bisa menjanjikan satu hal padamu. Aku bisa mengembalikanmu ke Jepang dan bertemu kembali dengan keluargamu."
Tsuna tersentak, dia kembali mengamati Giotto. Mulutnya terbuka tapi tidak ada satupun kata yang bisa keluar. Apakah ucapan Giotto sungguh-sungguh? Tidak bohong?
"Tapi aku butuh bantuanmu sebelum itu."
Giotto menatap mata Tsuna serius. Baru pertama kali Tsuna melihat ekspresi Giotto seperti ini. Memang sebelumnya dia jarang menemui bos Vongola ini, tapi pertemuan-pertemuan sebelumnya selalu menampilkan raut wajah Giotto yang lembut dan penuh kasih.
Giotto berpikir sejenak sebelum meneruskan kalimatnya, "Aku butuh kamu untuk membuat Enma berubah. Tidak lagi dalam kondisi yang begitu lemah dan sedih seperti saat ini. Aku ingin kamu mengubahnya menjadi anak yang bisa tertawa dengan lepas dan tidak takut berkenalan dengan orang lain. Kalau semua itu terpenuhi, kamu bisa kupulangkan ke Jepang."
Pulang ke Jepang. Hanya untuk itu. Tsuna langsung menjawab Giotto dengan anggukan. Dia setuju. Segala hal akan dilakukan Tsuna agar dia bisa kembali ke Jepang. Apapun.
Kalau membuat Enma bisa berinteraksi dengan normal kepada orang lain menjadi tiket pulangnya, Tsuna rela. Tsuna akan berusaha sebaik mungkin agar dia bisa kembali melihat senyuman keluarganya secara realita. Bukan hanya bayangan mimpi yang sudah kabur.
Giotto tersenyum kepada Tsuna. Dia senang mendengar jawaban Tsuna dan mendukung Tsuna agar semua bisa berjalan lancar. Karena hanya Tsuna yang begitu dipercaya Enma jadi dia menugaskan Tsuna hal ini. Tsuna tidak tahu kenapa Giotto ingin Enma bisa bersikap normal. Dan Tsuna tidak mau tahu. Sudah cukup baginya asal dia tahu kalau dengan itu dia bisa kembali ke tanah air.
Giotto mengusap kepalanya sebelum keduanya berdiri. Giotto menyuruh Tsuna untuk tidur. Entah kapan pemuda itu terakhir tidur dengan waktu yang cukup. Tsuna juga butuh istirahat yang cukup agar Enma tidak berbalik khawatir padanya. Begitu pesan Giotto pada Tsuna. Sesaat sebelum Giotto kembali ke kamarnya, Tsuna menanyakan apa yang membuat Giotto berkeliaran di lorong kamar tamu.
"Untuk melihat kondisimu. Kudengar dari yang lain kamu kurang istirahat dan terlihat tidak bersemangat. Maka dari itu, segera tidur. Dan pastikan kamu tidur yang cukup." Giotto tersenyum, "Selamat tidur Tsunayoshi. Mimpi yang indah."
Giotto membalikkan badannya dan menghilang dari pandangan Tsuna.
Giotto repot-repot mengunjungi kamar tamu hanya untuk melihat Tsuna karena dia mendengar kabar dari anggota lain kalau Tsuna kurang istirahat? Di tengah-tengah jadwalnya yang padat... hanya untuk itu? Tsuna tidak tahu kenapa, tapi dia merasa senang. Dia berdiri mematung sambil memandangi punggung Giotto sampai lenyap.
Apakah jantungnya baru saja berdetak lebih kencang sesaat? Mengapa?
Tsuna tidak tahu alasannya. Tapi dia senang. Ya, dia senang.
Mungkin malam ini dia tidak akan mimpi buruk lagi. Mungkin Giotto akan kembali muncul dalam mimpinya, seperti dulu, ketika masih di kediaman Radames. Ketika dia menghadapi masa-masa berat dalam hidupnya.
Giotto muncul dalam mimpi Tsuna bahkan sebelum Tsuna mengenalnya. Entah kenapa sosoknya membuat Tsuna bisa bernapas lega. Apa ikatan di antara mereka, Tsuna tidak tahu. Mungkin hal itu bisa terjawab di kemudian hari.
-000-
Enma begitu rapuh, Cozart. Giotto menghentikan gerakan pena dari atas kertas. Dia sedang menulis surat untuk Cozart Simon, sahabatnya yang kini sedang berada di Italia, negara asal Giotto juga. Giotto menghela napas. Kedua alisnya mengerut. Pandangannya terlempar ke sekeliling kamarnya yang gelap. Hanya ada lampu lilin di atas meja yang menyinari aktivitasnya di malam hari itu.
Aku sedih memberitahumu hal ini, tapi kondisi Enma jauh lebih gawat dari parah. Hanya ada satu orang yang diizinkannya berada di dekatnya. Namanya Tsunayoshi. Dia pemuda Jepang yang dijual bersama-sama dengan Enma dari Jepang. Enma hanya memercayai Tsunayoshi. Tapi aku berjanji Tsunayoshi bisa membuatnya kembali menjadi anak yang terbuka seperti yang kamu inginkan. Kuharap kamu sabar menunggu sebelum bertemu dengannya. Aku tahu berat rasanya terpisahkan dari darah daging sendiri selama bertahun-tahun. Tapi semua butuh waktu. Dan kuharap kabarmu baik-baik saja di Italia.
Giotto.
Giotto melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Dia menghela napas pendek. Besok pagi dia harus mengirim surat ini. Cozart, ayah Enma, harus segera mengetahui kondisi anaknya. Betapa Giotto ingin agar Enma segera sembuh. Agar orang yang dicintai Giotto tidak lagi merasa sedih ketika mendengar kabar tentang anaknya.
Ya... Cozart yang dicintai Giotto. Cozart yang telah memiliki anak.
Giotto merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan memejamkan mata. Tidak apa. Ada Tsunayoshi yang bisa kupercaya untuk hal ini.
Apapun akan kulakukan agar bisa membuat Enma kembali normal. Agar Cozart bisa tersenyum dan menitikkan air mata bahagia. Bukan lagi air mata kesengsaraan seperti selama ini.
.
A/N: Sebelas chapter ku-compress jadi satu chapter. Astaga. Apa yang terjadi selama aku mengetik ini, aku tidak tahu. Yang kutahu hanya, 'ketik, ketik dan terus ketik!' hahaha. Yah, di chapter ini memang belum ada apa-apanya. Tapi di chapter dua akan lebih menguras emosi keempat tokoh utama. Tsunayoshi, Enma, Giotto dan Cozart. Pokoknya mereka berempat hubungannya rumit-ngga-rumit deh. Hahaha. Hmmm... kuharap kalian tertarik membaca lanjutannya? Hanya tiga chapter kok... tidak butuh waktu lama untuk dibaca (mungkin) hahaha. Daaan, kuharap kalian me-review chapter ini. Aku butuh ulasan dengan deskripsi dan bahasa yang kugunakan. Aku sedang berusaha mengembangkan kemampuanku dalam bidang sastra.
Hm, bagi pembaca yang baru dan belum baca 'I Need', aku akan menjelaskan sedikit latar belakang cerita ini. Cerita ini berlatar belakang AU zaman dulu. Di mana perbudakan masih ada, raja, shogun, segala macam pemerintahan yang kuno. Tsuna anak dari keluarga miskin dan Fuuta adalah adiknya di cerita ini. Byakuran dan Genkishi menipu keluarganya untuk memberikan pendidikan pada Tsuna yang ternyata malah dijadikan budak. Sebelum dibawa ke Mesir, para anak-anak remaja yang berhasil mereka tangkap dikumpulkan di rumah Byakuran. Di sanalah Tsuna bertemu dengan Enma. Mereka cepat akrab dan Enma sangat menempel pada Tsuna. Tsuna juga sangat menempel pada Enma. Tapi kemudian mereka terpaksa berpisah karena dibeli oleh orang yang berbeda. Tsuna dibeli Radames, Enma dibeli Zoser.
Spanner, Irie dan Lambo adalah para budak yang ada di kediaman Radames. Tsuna berkawan dengan ketiganya di sana. Kemudian seperti yang sudah dijabarkan di atas, Tsuna melihat dua sosok berpakaian serba hitam dan mengikuti mereka hingga lompat dari jendela. Dia yang jatuh terluka dan pingsan dibawa oleh dua orang itu ke kediaman Vongola.
Nah, Anggota keluarga Vongola ada banyak. Tujuh Guardian generasi pertama tidak berubah posisinya. Menjadi pendamping Giotto. Namun mereka masing-masing memiliki penerus. Kebanyakan budak yang dibeli dan dilatih ketangkasannya. Hibari dan Yamamoto juga budak, namun mereka dibeli oleh Vongola dan memiliki nasib beruntung. Gokudera kubuat menjadi adik kandung G. Untuk Lambo, dia memang bukan penerus Lampow. Aku juga tidak berniat membuat cerita ini sampai sejauh itu karena bukan inti ceritanya. Ini hanya sekedar info saja. Memang banyak yang tidak ku-mention namanya, tapi, astaga untuk chapter satu saja sudah sepanjang ini. Aku tidak mau membuat lebih panjang lagi karena kalian akan tidak betah membacanya kalau terlalu panjang dan bertele-tele. Seperti penjelasanku ini. Haha.
Baiklah. Terima kasih sudah membaca dan sampai ketemu di chapter dua :)
