Langit begitu cerah, awan pun tampak indah seolah membentuk banyak wujud benda dan hewan yang banyak dikenali orang-orang. Dari yang kecil hingga yang tua, siapapun yang tingkat imajinasi mereka yang tinggi maka akan bisa melihat pembentukan wujud awan itu.

Di sebuah tempat di sebuah kota kecil dipinggir Negara Api, di sebuah rumah yang dihuni para manusia yang lanjut usia. Suasana tampak ceria dan lebih hidup. Kakek Nenek yang sudah berusia lanjut tanpa perlu memikirkan sulitnya menjalani dunia, tanpa perlu bekerja lagi untuk hidup atau menghidupi keluarganya, tanpa perlu kesepian karena sudah tidak ada lagi keluarga ataupun karena sudah ditinggalkan keluarga.

Mungkin ada orang diluar sana yang memandang dengan prihatin, bahkan banyak yang tidak habis pikir kenapa mereka yang sudah tua berada di rumah panti tanpa keluarga. Tapi ada juga sebagian orang yang terkadang tersenyum karena melihat keceriaan Kakek Nenek disana.

Apalagi saat ada anak-anak sekolah yang datang berkunjung untuk melakukan bakti sosial dan mengajak Kakek Nenek itu bercerita dengan cerianya. Mungkin pelajaran dari sekolah mereka yang mengajarkan untuk terjun langsung melihat lingkungan sekitar dimana mereka bisa belajar lebih banyak.

Disana, disatu kursi taman yang berada dibawah pohon yang rindang. Cuaca tampak sejuk dan angin bertiup dengan halus, membuat dedaunan dipohon itu melambai lembut seolah menghibur Kakek Nenek yang ada disana.

Seorang wanita 70-an duduk disana dengan tersenyum senang melihat kesekelilingnya. Menatap para anak sekolah yang berpencar mengobrol dengan orang-orang tua yang lainnya. Bukan berarti tidak ada yang menghampirinya, tapi dia juga baru saja selesai dengan salah satu remaja yang cukup membuatnya terhibur.

"Permisi." Suara parau yang datang dari arah sampingnya membuat wanita tua itu menoleh, tiupan pelan angin menerbangkan rambut indigonya yang sudah memutih sebagian namun masih tampak cantik dalam paduan warna putih dan indigo yang lembut. "Boleh aku duduk disini?"

Wanita tua itu tersenyum dan mengangguk lalu menggeser sedikit tempat duduknya agar orang yang datang itu bisa duduk di sampingnya. Seorang pria tua yang mungkin seumuran dengannya, pria dengan rambut pirang yang juga dihiasi dengan warna putih kentara.

Keduanya duduk dalam diam, menikmati pemandangan dengan senyuman. Meski kerutan menghiasi wajah tua mereka, nyatanya itu tak menghilangkan aura kebahagiaan yang membuat mereka tampak semangat layaknya anak remaja.

"Apa anak sekolah sering berkunjung kemari?" suara serak itu kembali terdengar dari sang pria tua yang mengenakan kaos hitam panjang dengan sweater kotak-kotak itu. Pandangan sapphire birunya memandang lurus ke depan.

Wanita tua di sampingnya tersenyum, "Mungkin." Jawabnya pelan. Suaranya terdengar lembut dan penuh kehalusan, cukup membuat pria tua itu menoleh. Dan saat sapphire biru bertemu dengan amethys indah disana. Satu ingatan seolah terputar cepat di kepala keduanya. Namun tak membuat keduanya mengucapkan apa yang ada dipikiran mereka.

Keduanya hanya saling senyum dan kembali memandang ke depan.

"Apa kau bukan penghuni di panti ini juga?" walau sudah lanjut usia, tapi sepertinya kedua Kakek Nenek itu masih sadar bagaimana bersikap dan bicara dengan dewasa seutuhnya.

Banyak orang tua yang sudah kembali kemasa anak-anak mereka. Berbicara, bersikap dan berprilaku layaknya anak kecil yang selalu ingin diperhatikan lebih. Tapi tidak dengan kedua orang tua itu.

Sang wanita mengedipkan matanya pelan, tampak keriput dibawah matanya tak dapat menyembunyikan sorot kebahagiaan dari sepasang amethyst di sana. "Aku kesini hanya karena anakku sedang ada kerjaan di luar kota dan karena ada temannya di sini jadi aku berada di sini untuk hari ini, mungkin sebentar lagi dia akan menjemputku."

Sang pria tua mengangguk, "Aku juga." Ucapnya, lalu dia menoleh dan keduanya kembali saling menatap. "Aku juga bukan penghuni panti ini, tapi dulu aku pernah mengenal orang yang tinggal disini walau orang itu sudah meninggal. Dan sesekali aku ke sini untuk berkunjung dan bertemu yang lainnya. Mungkin sebentar lagi anakku juga akan menjemputku."

"Anakmu sudah berkeluarga?"

Sang Kakek menggeleng, "Dia masih sendirian meski sudah hampir berusia 40 tahun. Saat remaja dia pernah kehilangan kekasihnya."

Pandangan amethyst itu menyendu. Begitupula dengan pandangan sapphire biru disana.

"Bukankah kehilangan kekasih dimasa remaja memang sesuatu yang sulit dilupakan?" Kakek itu melanjutkan yang hanya mendapat anggukan tanpa suara sang Nenek. "Aku dulu juga pernah kehilangan kekasihku saat aku remaja."

Sang Nenek berkedip dan menoleh, menatap wajah keriput dari pria di sampingnya. Wajah yang menyiratkan sebuah kerinduan akan sesuatu hal dimasa lalu.

.

.

Memory of Grandma and Grandpa

Naruto Disclaimer by Masasi Kishimoto

Naruto x Hinata

#NHFD-9_KenanganPantiJompo (Tema dari Shanazawa)

.

.

Flashback, 54 tahun yang lalu.

"Awaaaassss…." Sebuah teriakan menggema di lapangan basket SMU Aoba, terlihat sebuah bola dengan kecepatan yang tinggi terbang menuju suatu tempat di sisi lapangan, tepatnya kearah penonton yang sedang menonton latihan basket kelas 1b hari itu.

Bruak..

Suara teriakan yang lain terdengar saat bola itu akhirnya terjatuh dari perjalanan terbang bebasnya di udara. Beberapa siswi lain pun menutup matanya agar tak melihat sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi.

Duk duk duk

Bola basket yang tadinya nyasar kini berguling di lapangan belakang penonton sebelum akhirnya berhenti. Meninggalkan seorang pemuda yang memeluk gadis yang tadi menjadi incaran bola itu.

"Apa kau baik-baik saja Hinata?" sang pemuda berambut pirang yang bernama Naruto itu bangun setelah yakin kalau bola itu tidak jadi mengenai mereka karena dia menarik Hinata sedikit menjauh sebelum memeluk tubuh kecil gadis itu. "Apa ada yang terluka?" tanyanya lagi dengan khawatir.

Hinata membuka matanya yang tadi terpejam dan menatap kekasihnya yang menatapnya khawatir, lalu dia tersenyum menenangkan dan menggeleng. "Aku tidak apa-apa Naruto-kun. Terima kasih karena sudah menolongku."

Naruto menafas lega dan mendelik kearah seseorang yang tadi melempar bola. "Oi Kiba, kalau kau tidak bisa melempar bola jangan dilempar!" teriaknya marah.

Ditengah lapangan, Kiba hanya tersenyum masam dengan rasa bersalah. Dia berlari mendekat dan menangkupkan tangannya. "Gomen Hinata, aku tidak sengaja, tadi tanganku licin."

"Iie,, tidak apa Kiba-kun." Hinata menjawab seadanya, tapi tidak dengan Naruto yang sudah terpancing emosi.

"Tanganmu licin? Kalau bola tadi kena Hinata dan Hinata kenapa-kenapa bagaimana?"

Kiba yang tadinya sudah tersenyum karena jawaban Hinata jadi memandang malas kearah Naruto sebelum kembali tersenyum jahil. "Oh tenang saja Naruto, karena aku yang berbuat maka aku yang akan bertanggung jawab."

"Eeehh?"

Suara tawa memenuhi lapangan yang diisi kelas 1b itu. Pemandangan yang seru setiap kali Naruto terlalu protektive kepada pacarnya, Hinata. Maklumlah, kedua sejoli itu adalah teman sejak kecil dan setelah lama saling memendam rasa, akhirnya kedua orang itu berpacaran secara resmi dengan cara yang tak terduga.

Bayangkan saja.

Naruto yang sudah kelewat cemburu karena Kiba selalu mendekati Hinata akhirnya melabrak Kiba di depan kelas dan menyuruh Kiba menjauhi Hinata. Hanya dengan sedikit pancingan, Naruto mengatakan dengan jelas jika dia menyukai Hinata.

Dan Hinata? Disaat yang tidak tepat seperti itu, dia malah menjawab pernyataan tak sengaja Naruto dengan jawaban yang sangat jelas.

Bukannya canggung atau malu, keduanya malah berkata…

"Eh, kau menerimaku, Hinata?"

"Uhm, aku juga menyukaimu Naruto-kun?"

"Jadi sekarang kita pacarankan? Apa sekarang aku boleh menendang Kiba?"

Dan tepukan tangan yang diiringi gelengan teman sekelas mereka menjadi suatu kejadian heboh atas jadiannya sang pasangan kelas.

Flashback off

.

.

Pppttfff…

". . ."

". . ."

Keduanya Kakek Nenek itu terdiam saat mereka tertawa disaat bersamaan. Mereka menoleh dan saling melempar senyum.

"Kenapa kau tertawa?" pria tua itu bertanya.

"Aku juga teringat pada masa mudaku." Jawab wanita di sampingnya dengan pelan. Rona merah yang muncul di wajah cantiknya yang sudah keriput tak luput dari pandangan sapphire biru di sana.

Rona merah malu-malu yang mengingatkannya pada sang kekasih.

.

.

Flashback, 52 tahun yang lalu.

SMU Aoba.

"Baiklah anak-anak, selamat menjalani liburan musim panas kalian dan sampai bertemu lagi nanti." Kakashi-sensei menutup kelasnya di pertemuan akhir sebelum liburan musim panas, sebelum keluar dia kembali bersuara saat tak sengaja melihat kearah muridnya yang berambut pirang dengan wajah kusut dekat jendela.

"Oh, maaf. Maksud sensei selamat berlibur untuk yang lulus ulangan. Dan selamat berjuang bersama di liburan musim panas dalam rangka belajar tambahan BAGI yang mendapat nilai merah lebih dari 3 mapel." Mata hitamnya tersenyum dan melirik kearah satu arah, sukses membuat cengkraman Naruto di kertas ulangannya semakin erat.

"Hah.." Naruto menghela nafas dan menjatuhkan wajahnya ke meja saat Kakashi-sensei keluar.

"Naruto," suara dari teman sekelasnya membuat Naruto mengangkat wajahnya dan menoleh dengan malas, menatap tak bersahabat kepada teman pucatnya yang menyapa sambil tersenyum aneh. "Selamat atas remedialmu."

Alis Naruto tertekuk, "Sai, jangan mengucapkan hal itu dengan wajah seperti itu!" teriaknya kesal yang membuat senyum Sai semakin berkembang.

"Ah, sudah ya aku mau ke kantin bersama Ino." Ucap Sai mengabaikan teriakan protes Naruto barusan dan melangkah pergi dengan ringannya bersama sang kekasih.

Penghuni kelas lainnya juga berangsur keluar kelas untuk melakukan hal lainnya, semua terlihat semangat dan tersenyum senang tanpa beban. Sangat berbeda dengan Naruto yang memasang wajah kusut seperti belum disetrika.

"Kenapa sih hanya selalu aku yang mendapatkan remedial?" ucapnya merana.

Hinata yang mendengar keluhan itu tersenyum dan mendekat kearah kekasihnya. Sudah tiga tahun mereka pacaran tapi Hinata tidak pernah bosan mendekat dan membantu kekasih saat sang kekasih sedang kesusahan.

"Naruto-kun," panggilan itu membuat Naruto lagi-lagi menoleh, tapi bukan pandangan malas seperti sebelumnya, kali ini dia memandang Hinata dengan pandangan manja layaknya kucing minta belaian yang tentu saja membuat Hinata semakin tersenyum lebar. "Aku akan membantumu belajar. Jika kau lebih cepat lulus saat remedial pertama, kau tidak perlu ikut remedial selanjutnya kan?"

"Hinataaaa…" Naruto segera merengek dan memeluk kekasihnya karena merasa bahagia dan bersyukur mempunyai kekasih sebaik Hinata. Dan saat dia memundurkan dirinya untuk menatap wajah sang kekasih, wajah merona Hinata menjadi hiburan terindah bagi pemuda Uzumaki itu.

Hehehe

.

.

"Hinataaaaaa…."

Hari itu di kediaman Hyuuga, suara teriakan Naruto sudah berapa kali terdengar.

Rencananya mereka ingin belajar bersama atau lebih tepatnya Hinata mengajari Naruto agar pemuda berambut pirang itu bisa menjalani remedial hanya sekali ikut. Tapi…

"Naruto-kun," Hinata datang sedikit berlari mendengar teriakan Naruto. "Ada apa?" tanyanya dengan cemas.

Naruto menoleh dan menatap nelangsa kepadanya sambil berkata pelan dengan nada miris, "Dia pipis." Tangannya mengangkat tinggi seorang balita satu tahun yang ada di pangkuannya.

Helaan nafas pelan terdengar dari Hinata saat dia tersenyum.

…tetangga Hinata pergi untuk satu urusan dan tidak bisa mengajak anaknya yang berusia satu tahun jadi tetangganya menitipkan anak kecil itu kepada Hinata untuk diasuh. Dan Naruto yang datang hari itu menjadi teman bagi Hinata untuk menjadi babysitter hari itu.

Kegiatan belajar mereka harus tertunda sampai sang balita tertidur.

Setelah Hinata mengganti celana si balita tadi, lalu memberikan susu dot yang telah Hinata buat, barulah sang balita kecil imut itu tertidur di kasur kecil dengan kelambu di samping mereka.

Keduanya memilih untuk melanjutkan rencana awal mereka dengan tenang agar si kecil tak terbangun.

"Naruto-kun, apa kau ingin minum lagi? Sepertinya minummu sudah habis." Gadis Hyuuga itu menawarkan.

Naruto melirik gelasnya yang hampir kosong lalu mengangguk dan tersenyum kepada kekasihnya. Dia masih mencoba membaca satu wacana soal di bukunya ketika Hinata berdiri dan melangkah ke dapur.

Hm?

Naruto menghentikan kegiatannya yang sedang membaca soal saat mereasa jika ada seseorang yang memperhatikannya.

Dan saat dia menoleh, sapphire birunya bertatapan dengan amethyst yang lain.

Sepasang amethyst milik Hyuuga Neji, sepupu dari kekasihnya.

"Hai Neji!" sapa Naruto dengan sedikit senyuman, keduanya tak terlalu mengenal dan tidak terlalu akrab. Naruto sendiri hanya sebatas mengenal Neji sebagai sepupu dari Hinata, makanya mereka terkadang hanya saling menyapa singkat dan tidak banyak mengobrol.

Neji diam di tempatnya masih dengan mata yang mengarah pada Naruto tanpa menjawab sapaan pemuda Uzumaki itu.

"Neji-niisan?"

Sampai Hinata kembali dan duduk di samping Naruto sambil menyapanya, barulah Neji sedikit mengalihkan matanya kearah lain.

"Terima kasih, Hinata."

"Sama-sama, Naruto-kun."

Ucapan terima kasih dan response singkat itu kembali membuat mata Neji melirik sesaat. Pandangannya tak terbaca dan raut wajahnya datar namun seperti menahan sesuatu.

"Neji-niisan kenapa? Kemarilah dan gabung bersama kami."

"Tidak perlu." Ajakan Hinata dijawabnya singkat dan dingin. Neji lalu melangkah pergi dari sana tanpa kata lebih lanjut. Berhasil memancing kerutan bingung di kening Naruto dan Hinata yang melihatnya.

.

.

Naruto memarkir motornya dengan wajah ceria. Dia baru saja pulang dari sekolah untuk mengikuti belajar tambahan dan hasil yang dia dapatkan hari ini membuatnya tak perlu ikut lagi belajar tambahan besok hari. Libur musim panas tinggal seminggu dan Naruto akhirnya bisa benar-benar menikmati liburan.

Udara yang terasa panas tidak melunturkan senyumnya meski dia tetap saja sedikit terburu untuk masuk ke rumahnya. Hari itu sudah sore dan dia berencana ingin mandi lalu beristirahat, dia ingin ke rumah kekasihnya nanti malam, mungkin sekedar berkunjung atau mungkin mereka bisa pergi kencan sebentar untuk sekedar makan.

Memikirkan hal itu membuat senyum Naruto semakin berkembang.

"Tadaima!" ucapnya dengan semangat sambil melangkah masuk. Dia duduk di samping rak sepatu untuk melepaskan sepatunya dan kemudian menaruhnya dengan rapi ke rak sepatu di sana. Dia berdiri dan berjalan ke dalam rumahnya, sedikit menoleh kiri kanan saat dia tak mendengar sambutan dari orang tuanya.

Eh?

Suara tangisan terdengar dari arah ruang tamu, suara itu suara Ibunya yang sedang menangis. Langsung saja Naruto berlari dengan cepat. "Kaasan, ada apa?" dia langsung bertanya begitu sampai di sana. Dilihatnya Ayahnya duduk sambil menenangkan Ibunya yang menangis di sofa. "Tousan,, Kaasan."

Minato dan Kushina menoleh namun tak menjawab apapun membuat Naruto juga tidak berani bertanya lebih jauh. Dia mendudukkan dirinya di samping Ibunya dan menaruh tas sekolah ke samping kakinya.

"Naruto," panggilan Ayahnya membuatnya menoleh tanpa sahutan. "Berkemaslah. Besok pagi kita akan pergi ke Russia."

Kalimat singkat itu membuat Naruto terdiam sejenak. "Russia? Kenapa?"

"Kakekmu baru saja meninggal jadi kita harus ke sana, malam ini mungkin sudah tak kebagian tiket pesawat, jadi kita akan pergi besok pagi. Kemasi barangmu, hm?"

"Ha'i." jawaban itu terdengar lesu. Pandangannya jatuh ke lantai tempat kakinya berpijak. Kertas ulangan yang tersimpan di dalam tasnya tidak jadi dia keluarkan dan dia tunjukkan kepada orang tuanya. Semua rencana yang dia pikirkan, hilang entah kemana.

.

.

Malam itu, Naruto masih menyempatkan dirinya untuk datang ke rumah Hinata. Dia tidak bisa menghubungi ponsel Hinata jadi dia memutuskan untuk pergi ke rumahnya.

"Kemana mereka pergi?"

Tapi kediaman Hyuuga yang tampak kosong dengan pagar yang terkunci membuat Naruto semakin lesu. Dia terduduk di depan pagar besar di depannya dengan pandangan yang tak fokus.

Saat ini dia ingin bertemu dengan kekasihnya, mengobrol dan menceritakan apa yang sedang dia alami dan apa yang sedang dia rasakan.

Naruto ingin memberitahu Hinata hasil remedialnya dan juga kepergiannya ke Russia yang entah kenapa membuat Naruto merasa cemas.

Pemuda itu ingin, sangat ingin melihat kekasihnya untuk saat itu, mendengar suara lembut sang kekasih dan mendekap tubuh mungil itu sebelum dia pergi. Entah kenapa, Naruto merasa jika itu kesempatan terakhirnya.

Flashback off

.

.

"Hah.." helaan nafas lelah itu terdengar. Sang Kakek memandang langit sesaat setelah dia mengakhiri ceritanya. Di sampingnya, sang Nenek menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca seolah menyimpan sejuta pertanyaan yang membuatnya penasaran.

"Lalu?" wanita tua itu memberanikan dirinya untuk bertanya kelanjutan cerita si teman bicaranya.

Pria tua berambut pirang itu menoleh dan tersenyum sendu. "Aku tidak bisa menemuinya dan paginya aku sudah pergi ke Russia bersama orang tuaku." Lanjut pria tua itu bercerita dan kembali melemparkan pandangannya ke depan.

"Satu hal yang tidak terduga,,, Pamanku yang tinggal bersama Kakek Nenekku shock atas meninggalnya Kakek dan akhirnya dia sakit-sakitan. Orang tuaku memutuskan untuk pindah dan tinggal di sana agar dapat mengurus juga menemani Nenek dan Pamanku. Tentu saja, aku pun ikut pindah."

Hembusan angin bertiup mengisi keheningan cerita si Kakek yang terputus.

"Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya, aku juga ragu untuk menghubunginya. Aku hanya merasa bersalah karena telah pergi tanpa meninggalkan pesan apapun dan mengatakan apapun. Dia juga… tak pernah menghubungiku. Jadi sejak itu, kami tak pernah lagi berhubungan sampai sekarang."

Wanita tua itu menelan ludahnya dalam diam, dia mengalihkan pandangannya kearah lain sambil memikirkan segala sesuatunya. Segala hal yang berputar di memory kepalanya sekarang, segala sesuatu yang sudah sangat lama terjadi namun tak pernah bisa dia lupakan.

"Bagaimana denganmu?" pria tua itu balik bertanya setelah bercerita cukup lama. "Bukankah tadi kau bilang juga berpisah dengan kekasihmu saat kau muda?"

Si Nenek menaris nafasnya panjang sebelum memberikan senyum tipis di wajahnya. Tanpa berani menatap sapphire biru di sampingnya, dia juga mulai menceritakan sebagian kisahnya. "Saat itu… seminggu sebelum liburan musim panas berakhir."

Hanya dengan satu kalimat, pandangan dari sang Kakek sedikit berubah penuh makna.

"Hari itu, aku diajak orang tuaku untuk berkunjung ke rumah sepupuku, dan tanpa aku ketahui sebelumya, ternyata mereka telah menjodohkanku dengan sepupuku." Amethyst itu berkedip pelan dan memandang langit untuk menjeda sebentar ceritanya.

"Tentu saja, aku menolak. Tapi karena penolakan itu, sepupuku hampir saja bunuh diri."

Sapphire itu melebar.

"Jadi…" wanita itu menoleh dan menatap sendu mata orang di sampingnya, senyuman bersalah menghiasi wajah tuanya. "Aku menerimanya," suara itu mengecil walau tetap bisa di dengar. "Aku menerima perjodohan itu dan menerima sepupuku menjadi kekasihku."

Sudut bibir sang pria tertarik, menahan giginya untuk tidak bergemerutuk, menahan bibirnya untuk tidak terbuka dan berucap hal yang dia ingin ucapkan. Matanya tak sedetikpun beralih dari amethyst di depannya. Sebisa mungkin dia menahan tangannya untuk tidak meraih wajah sedih di depannya yang menunjukkan rasa bersalah yang besar.

Karena dia tahu, wanita itu masih ingin mengatakan sesuatu.

"Aku dan keluargaku menghabiskan sisa liburan musim panas di rumah sepupuku. Dan saat sekolah mulai kembali masuk, fakta yang ku dengar bahwa dia telah pindah membuatku hanya bisa terdiam termenung seharian."

"Dia," sang pria memberanikan diri untuk bertanya. "Kekasihmu itu… pindah ke mana?"

Lagi, senyuman bersalah itu muncul di wajah sang wanita. "Dia pindah… ke Russia." Jawabnya dengan jelas. "Aku tidak berani menghubunginya, aku yang sudah menerima perjodohan dengan laki-laki lain disaat kami masih berpacaran, tidak berani menghubunginya untuk bertanya 'kenapa dia pindah?' atau 'kenapa dia tidak mengatakan apapun?'… aku… tidak berani. Dia juga tidak menghubungiku, jadi… kami putus kontak sejak saat itu… sampai sekarang."

Setetes air mata dari mata yang berkeriput itu menciptakan keheningan diantara keduanya. Pandangan yang bertemu itu seolah tak ingin lepas. Ingin terus menatap untuk menggantikan waktu bertahun-tahun yang telah berlalu tanpa saling menatap dan bertemu.

". . ."

". . ."

Perlahan, tangan tua sang pria bergerak, mendekat untuk meraih tangan keriput di sampingnya.

Kehangatan terasa bagi keduanya saat tangan itu bertaut penuh genggaman yang kuat namun lemah.

"Hinata.." suara serak itu kembali memanggil, memanggil nama yang sudah sangat lama tak dia sebut. Bertahun-tahun lidahnya terasa kelu disaat memanggil nama itu kembali. Nama yang dulu selalu dia sebut setiap hari, kini kembali dia sebut untuk pertama kalinya setelah berpuluh-puluh tahun berlalu.

"Naruto-kun.." jawaban pelan itu terasa mengalir begitu lembut, menghantarkan kerinduan mendalam yang tak dapat di ungkapkan.

Dan pelukan diantara keduanya… menutup pandangan mereka satu sama lain.

.

.

"Tousan."

"Kaasan."

Naruto dan Hinata menoleh kearah asal suara yang mereka kenali mememanggil mereka. Keduanya telah kembali duduk berdampingan dengan menikmati pemandangan di depan mereka sambil bersantai bersama.

Seorang pria berambut pirang dan seorang wanita berambut indigo mendekat dan menatap sebentar sebelum melihat orang tua mereka yang duduk bersebelahan. "Kaasan, ayo kita pulang!" sang wanita muda berambut indigo itu berucap lembut kepada Hinata yang tadi dia sebut 'Kaasan'.

Pria berambut pirang yang juga ingin mengatakan hal yang sama tidak jadi mengatakan hal itu karena lebih memilih untuk menunggu saja keputusan Naruto, Ayahnya.

"Inojin," Naruto memanggil lebih dulu.

"Ya, Tousan?"

"Apa kau tidak keberatan jika kita berkunjung dulu ke rumah teman Tousan?" pandangan Naruto melirik kearah Hinata untuk memberitahu anaknya jika teman yang dia maksud adalah wanita di sampingnya.

Inojin berkedip dan memandang seseorang di samping Ayahnya sejenak sebelum beralih menatap sang wanita muda di depannya, mencoba bertanya apakah keinginan Ayahnya di terima?

Wanita muda yang di tatap Inojin beralih kearah Ibunya, juga memastikan jika Ibunya ingin menerima tamu itu. Walau kedua orang itu sudah yakin jika Ayah dan Ibu mereka sudah setuju akan hal itu, namun tidak ada salahnya memastikan.

Hinata tersenyum dan mengangguk, "Tidak apakan jika mereka ke rumah kita, Himawari?"

Himawari tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Kaasan. Baiklah aku akan menemui temanku sebentar untuk berpamitan."

"Tousan, aku akan menyiapkan mobilnya."

Hinata dan Naruto mengangguk singkat sebelum Inojin dan Himawari melangkah pergi darisana.

"Dia anakmu?" Naruto memandang Himawari sambil bertanya kepada Hinata tentang hal yang membuatnya penasaran.

Hinata mengangguk, "Aku… menikah dengan Neji-niisan setelah aku lulus kuliah. Aku mengandung Himawari di tahun ke sembilan pernikahan kami."

Naruto berkedip dan memandangnya dengan tatapan yang tak terbaca. "Tahun ke sembilan?"

"Iya, dan saat Himawari berusia lima tahun,,, Neji-niisan meninggal karena sakit." Hinata terdiam setelah menjawab pertanyaan Naruto, dia balas memandang pria tua di sampingnya sebelum mengajukan pertanyaan yang sama. "Inojin anakmu?"

Helaan nafas terdengar, "Secara hukum, dia memang anakku."

"Eh?"

"Kau ingat Ino dan Sai?" Naruto bertanya tentang teman sekelas mereka saat kelas 3 SMA untuk memastikan Hinata mengingatnya. Anggukan singkat dari Hinata membuat Naruto melanjutkan ceritanya. "Saat aku kembali dari Russia, aku bertemu mereka. Tentu saja keduanya sudah menikah. Tapi disaat Ino sedang mengandung Inojin, Sai meninggal karena kecelakaan. Dan laki-laki pucat itu, dia memintaku untuk menikahi Ino, memintaku untuk menjadi anak dan istrinya. Itulah permintaan terakhirnya yang aku kabulkan."

Hinata menutup mulutnya mendengar cerita dari temannya dulu. Tidak menyangka jika kejadian seperti itu pernah terjadi.

"Apa kau… mencintai Ino?"

Naruto menoleh akan pertanyaan itu. "Bagaimana denganmu, kau mencintai Neji?" Hinata terdiam dan menunduk sebelum mengangguk pelan membuat Naruto tersenyum. "Begitupula aku. Aku juga tentu saja mencintai Ino. Bagaimanapun, dia adalah istri yang menemaniku selama ini, dia juga Ibu dari anak yang sudah kuanggap anakku sendiri. Tidak mungkin jika aku tidak mencintainya."

Senyum Hinata terbentuk, ada perasaan lega di hatinya ketika mendengar jika Naruto mencintai Ino. Dia hanya merasa jika Ino juga berhak di cintai oleh teman hidupnya. Dia pun juga mencintai Neji apa adanya, karena Neji telah menemaninya selama ini dan setulus hati mencintainya dan Himawari.

Tentu saja. Mereka berdua mengerti jika keduanya masih memiliki rasa seperti dulu. Namun orang yang ada di samping mereka untu waktu yang lama menemani dan mencintai mereka, juga harus menerima rasa cinta yang sama.

Tidak akan adil jika dalam suatu hubungan tidak ada rasa cinta. Atau tidak akan adil jika hanya salah satu saja yang mencintai pasangannya dalam suatu hubungan.

Keduanya mengerti jika orang yang telah ada di kehidupan mereka sebelumnya, meski tak mereka inginkan, tetaplah seseorang yang harus mereka hargai dan mereka anggap penting.

"Apa… Inojin anak yang tadi kau bilang?"

Naruto mengangguk, "Dia satu-satunya anakku. Walau usianya hampir 40 tahun, dia belum menikah karena masih tidak bisa melupakan kekasihnya di masa lalu."

Hinata mengerti.

"Bagaimana dengan Himawari? Secara fisik, dia sangat mirip denganmu. Kalian sangat cantik."

Hinata tersenyum ringan akan pujian itu. "Himawari… sudah pernah menikah sebelumnya."

"Sudah pernah?"

"Iya, tapi… suaminya meninggal setelah mereka menikah satu tahun dan dia belum menikah lagi sampai sekarang."

Keduanya terdiam saat keheningan mulai menguasai. Mengerti akan perasaan anak-anak mereka dan tidak banyak menuntut apapun dari Inojin maupun Himawari.

"Tousan," Inojin kembali dan tak lama Himawari juga kembali. "Mobilnya sudah siap, ayo!"

Inojin dan Himawari mengulurkan tangan mereka untuk membantu Naruto dan Hinata. Namun Kakek Nenek tua itu justru tersenyum dan malah mengabaikan uluran tangan itu.

Keduanya tersenyum dan saling berpegang tangan satu sama lain saat keduanya berusaha untuk berdiri dengan tubuh tua mereka. Sesuatu yang membuat Inojin dan Himawari terkejut melihatnya.

Setelah keduanya berdiri, Naruto dan Hinata kembali tersenyum kepada Inojin dan Himawari sebelum tangan mereka yang bebas menyambut uluran dari anak-anak mereka.

Membuat Himawari dan Inojin tersentak dari keterkejutan mereka.

"Ayo!" Naruto dan Hinata berujar bersamaan mengajak anak mereka.

Himawari hanya mengangguk dan tersenyum kemudian. Begitu pula Inojin. Keduanya memandang bahagia raut Ayah dan Ibu mereka yang terlihat lebih bahagia dari sebelumnya.

Inojin tidak tahu apa yang terjadi, tapi ini pertama kalinya dia melihat senyuman di wajah Ayahnya yang terasa begitu hangat.

Himawari tidak mengerti apa yang sudah terjadi, tapi ini pertama kalinya dia melihat senyuman di wajah Ibunya yang terasa begitu ceria.

Dalam perjalanan pelan mereka, Inojin dan Himawari saling pandang dan tersenyum, sama-sama menyadari kebahagiaan orang tua mereka yang mungkin juga berarti besar bagi mereka.

Dan angin,,, kembali bertiup mengantarkan langkah keempat orang itu yang melangkah pelan meninggalkan panti jompo itu dengan perasaan yang penuh kebahagiaan.

.

.

.

Masa lalu menyimpan memory yang tak terlupakan, tapi bukan berarti kita harus selalu mengenangnya dan melupakan apa yang sedang dijalani.

Kebahagiaan ada disaat tak ada lagi yang mengganjal dimasa lalu.

Jadi jalani saat ini dengan sebaik mungkin hingga takkan menciptakan penyesalan dikemudian hari.

.

.

The End

#########

N/a

Hai semuanya… akhirnya fic ini selesai.

Seginilah adanya dan seginilah semampunya. Maafkan typo dan sebagainya.

Jangan tanyakan kenapa kacau karena aku sulit membayangkan NHFD dimana latar ceritanya NaruHina tidak bersatu. Tapi karena event ini memakai tema dari banyak orang yang mengajukan, akhirnya saya yang mendapat tema ini harus ikhlas dan berusaha menyelesaikannya. Setidaknya aku berusaha memasukan scene santai juga walau sedikit.

Entah ini fic untuk NaruHina Fluffy Day atau NaruHina Sad Day… :'D

Terima kasih Shanazawa yang sudah memberi tema ini. Kebetulan aku dari panti jompo sehari sebelum marisusu memberiku tema ini.

Tema ini sendiri aku dapat udah pas tanggal 1.. sebelumnya tema tentang eskimo tapi diganti. Yah, kita tak pernah tau apa yang ada dipikiran si Marisusu itu.

Oke, segini aja deh..

Semoga terhibur dengan ceritanya.

Bye.

_Jaeha Ryokuryuu._