Kabut..
Semua dipenuhi oleh kabut,
Aku tidak bisa melihat apapun selain kabut yang menyelimuti pandanganku.
Namun, entah kenapa diriku merasa tenang.
Pernahkah seseorang memberi tahu Anda perbedaan antara Nasib dan Takdir?
Tanpa kusadari kudengar seorang bertanya, apa dia bertanya padaku? Aku hanya diam. Tidak menjawab.
Tak lama kudengar suara itu kembali berbicara,
Nasib adalah apa yang terjadi karena tindakan Anda, karena Anda sudah menghendaki demikian.
Takdir adalah apa yang dimaksudkan untuk terjadi, dan seringkali terlepas dari tindakan Anda.
Aku tetap diam, tidak mengerti dengan apa yang dia katakan.
Seketika kudengar kembali dia berkata, dengan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan saya untuk Anda adalah: Apakah yang kau cari disini? Apakah Nasib? Atau Takdir?
…..
Lupakan.
Alasan saya bertanya adalah karena sepertinya tidak ada alasan untuk Anda berada di sini.
Banyak yang sering mengatakan hal-hal dapat terjadi "tanpa alasan". tetapi kenyataannya, itu tidak mungkin.
Apa pun yang terjadi adalah satu-satunya hal yang bisa terjadi..
Jadi mengapa.. Mengapa kau ada disini?
….
Mungkin, mungkin saya akan mendapat jawabannya nanti..
Terima kasih telah mendengarkan saya,
Kuharap kita akan bertemu lagi,
Kulihat disampingku, sebuah kupu-kupu berwarna biru muda menyalah terbang melewatiku dan seketika semua menjadi gelap.
Destiny Beckons, Little one.
Disclaimer : Persona, SMT © ATLUS.
WARNING!
OOC's, Typo(s),Persona AU. Semua berlatar belakang Indonesia (karakter, tempat, etc.), adanya perkataan kasar dan kotor, Keterbatasan bahasa, pengunaan kalimat yang terkesan berulang, abal, dan masih banyak lagi kecacatan yang berbentuk ketidak-sempurnaan yang saya lakukan sebagai Author.
.
.
— PERSONA : Ethereal Innocence—
— Chapter I : A New Boy in Town—
.
.
Gak suka?
.
Gak usah baca.
.
.
Saturday, July 22
Afternoon
Didalam sebuah bus yang masih berjalan, berisi beberapa penumpang yang tertidur dibelakang sang supir. Salah satunya adalah dirinya, seorang pemuda berambut hitam kecokelatan dengan mata berwarna biru, sebuah warna mata yang cukup langkah di negaranya, mengenakan kaus putih yang ditutupi oleh jaket merah, celana jeans biru, dan sepatu kets hitam. dia bernama Fadil Mahardhika, delapan belas tahun. Asal palembang. Dihari pertamanya dia masuk 2 SMK dia malah memutuskan untuk keluar dari rumahnya, beralasan kepada keluarga angkatnya ingin masuk sekolah di surabaya, dia memilih untuk tinggal di kota pahlawan itu.
Awalnya keluarga angkatnya tampak tidak menyetujuinya, namun akhirnya mereka memilih membiarkan dirinya untuk bersekolah di sana. Mereka bahkan sudah mencarikan kos-kosan dan juga mendaftarkannya di sekolah yang cukup terkenal di Surabaya.
Saat Fadil terbangun, silau dari cahaya menusuk matanya, membuatnya menyipitkan pandangan yang masih kabur. Untuk sesaat, dia tidak tahu dimana ia sekarang dan melihat ke sekitar. "Oh ya... aku dalam perjalanan ke Surabaya," gumamnya.
Anak itu mengeluarkan secarik kertas origami berwarna kuning yang terbungkus plastik dari saku celananya. Dia melipat kertas tersebut dengan gerakan yang sudah berkali- kali dia pernah lakukan. Melihat hasil akhir dengan seksama, Fadil lalu meletakan pesawat kuning tersebut di dekat jendela bus. Matanya kemudian terpaku ke luar jendela, melihat pesawat rapuh buatannya diantara langit biru yang ditutupi banyak awan. Banyak hal terbayang, melayang- layang dibenaknya.
"….Hah, entah mengapa aku merasa bersalah meninggalkan mereka.. Tapi, jika kupikir-pikir ini lebih baik.. Di dunia ini hanya ada aku dengan aku... bukan aku dengan ibu, bukan aku dengan ayah atau aku dengan siapapun itu. Susah rasanya menjalin hubungan jika dari awal sudah tidak memilikinya," ia bergumam kepada dirinya, ia memejamkan matanya—mencari rasa tenang, jauh dari rasa pahit di balik tenggorokannya.
Kembali membuka mata, Fadil melihat dunia sekitarnya lebih jelas, membuatnya bertanya-tanya sudah jam berapa sekarang. Dia coba menyalakan ponselnya, namun sayangnya baterai dari ponselnya telah habis. Dia menghela nafas, dia juga lupa menggunakan jam tangannya.
Jam tangan itu berwarna biru gelap, bahannya jelas mahal, mengkilat dan kaku, sehingga tidak terlihat nyaman untuk digunakan. Ayah dan Ibu angkatnya yang membelikan jam tangan itu untuknya dihari ulang tahunnya.
Fadil sebenarnya bukan orang yang terlalu peduli dengan dengan jam, selama dia bisa menebak samar-samar dari posisi matahari atau warna langit. Karena itulah, dia tidak pernah menginginkan jam tangan itu, walaupun terus dipakainya setiap hari. Tapi kali ini entah bagaimana dia bisa lupa memakainya.
Dia kembali menengok ke luar jendela dan melihat langit selama beberapa menit. Mungkin antara jam lima atau enam sore, pikirnya. Hal ini membuatnya berpikir apa yang dilakukan keluarganya saat ini. Masakkan apa yang dibuat ibu angkatnya? Wajah serius ayah angkatnya yang bekerja. Juga adik perempuannya yang mungkin sedang bermain boneka dengan teman- temannya.
Melirik kembali ke pergelangan tangannya, Fadil jadi teringat betapa bahagia raut wajah adiknya saat dia berikan hadiah boneka untuk ulang tahunnya. Bentuk bonekanya sedikit ambigu, namun mirip kelinci. Adiknya menamakan boneka itu Natt. Jujur, selain harganya yang murah, bulunya yang lembut dan tidak keras adalah alasan utama Fadil memilih boneka itu. Karena adiknya itu terlalu 'lincah' saat bermain.
Merasa haus, Fadil mengambil botol air di dalam tasnya, entah mengapa dia merasa ada yang janggal dengan tasnya. Seperti ada sesuatu yang berbulu didalam tasnya, padahal dia tidak membawa apapun yang berbulu. Dia pun mengambil apapun barang yang berbulu itu didalam tasnya.
Fadil berkedip kaget. Mata hitam tak bernyawa dan tubuh berbulu putih yang sangat familiar dimatanya, Natt.
Dia tidak ingat pernah menaruhnya ke dalam tas. Lagipula, tidak ada alasan untuknya membawa boneka itu. Mengerutkan dahi, bayangan adiknya yang sedih dengan hilangnya boneka favoritnya membuat Fadil khawatir dan ingin segera mengembalikan boneka itu. Tapi tidak semudah itu, terlalu jauh untuk kembali sekarang.
Sambil meminta maaf pada adiknya didalam hati, dia memutuskan membawa Natt untuk saat ini sampai nanti dia bisa mengirimkan boneka itu kembali pada adiknya.
Tak lama kemudian, tanpa dia sadari bus itu telah berhenti.
Menyadari hal itu, Fadil berdiri dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu keluar. Langit sudah malam, kabut mengisi pandangannya tepat setelah keluar dari bus. Tidak ada lampu jalan, hanya cahaya bulan dan lampu bus yang menyinari sekitarnya.
Aneh. Pikirnya,
" Berhati-hatilah, Ragnarok akan muncul tidak lama lagi."
"Huh?"
Dia terkejut mendengar perkataan yang datang dari supir bus itu, sebelum dia mendapat penjelasan darinya terdengar suara pintu bus menutup dan tak lama kemudian bus itu kembali meluncur. Seakan tak peduli dengan kondisi jalan, bus itu terus melewati kabut dengan cepat.
Mungkin hanya imajinasinya saja, tapi sekilas saat bus itu lewat, Fadil dapat melihat wajah si supir yang tersenyum sendiri, membuat tempatnya berdiri sekarang kesan yang tidak menyenangkan.
Apa maksudnya dengan Ragnarok? Batinnya, bingung.
Merasa terganggu dengan senyuman si supir, Fadil berusaha menghiraukannya dan memutuskan untuk terus menyusuri jalan setapak. Sunyinya malam hanya terpecah oleh bunyi tas saat dia mengeluarkan senter. Melihat cahaya selain dari bulan dan apa yang terlihat seperti kunang-kunang, dia benar- benar mensyukuri persiapan tasnya yang sudah berulang kali dicek.
Dia merasa kebingungan, Fadil takut jika di tersesat. Pemuda itu menghela nafas panjang dan menatap sekitarnya, Fadil memperhatikan cahaya yang bertebaran di semak-semak. Cahayanya cukup banyak dan bersinar lebih terang daripada kunang-kunang yang pernah dia Iihat, membuat semak-Semak hutan disekitarnya bersinar dengan tidak wajar. Andaikan tidak ada kabut, minimnya cahaya dari bulan dan terangnya kunang-kunang disekitarnya mungkin cukup bagi Fadil untuk melihat ke sekitar tanpa senter ditangannya.
Tanpa berfikir panjang dia segera mempercepat jalannya, tidak ingin melihat ke belakang. Tanpa ia sadari bahwa kini bulan itu tampak seperti retak dan mulai berubah warna menjadi merah darah.
Evening
Setelah berjalan beberapa lama, ia akhirnya sampai di kompleks perumahan yang tertera di alamatnya. Dia segera mencari kos-kosannya, namun berhenti. Fadil menyadari ada yang salah dengan cahaya disekitarnya.
Fadil perlahan mendongak keatas, matanya terbelalak. Dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Dapat dia lihat bulan kini berwarna merah darah, retak dan sangat dekat dengan bumi. Menerangi langit gelap tak berbintang dengan cahaya merah.
Apa yang—
Belum saatnya kau berada disini..
Pemuda itu terkejut mendengar suara seseorang dibelakangnya, saat ia menoleh kebelakang, tidak ada siapa-siapa disana. Dia melihat sekitarnya, pemuda itu menyadari bahwa cahaya disekelilingnya juga tidak berwarna merah darah lagi. Fadil melihat keatas langit lagi, bulan sudah seperti semua.
Apa ini semua hanya imajinasinya?
Tidak mungkin—semua itu seperti nyata dimatanya. Mungkin dia hanya terlalu kecapekan? Sebab itu dia berhalusinasi yang berlebihan?
Dia mengelengkan kepalanya, berusaha untuk menghilangkan semua yang terjadi dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Yang dia inginkan hanyalah segera sampai di kos-kosan barunya dan beristirahat. Sesegera mungkin.
Setelah berjam-jam perjalanan dia lewati, akhirnya menemukan kos-kosannya itu berada. Dia menyadari ada seseorang didepan gerbang kos-kosannya, seorang laki-laki. Dia berambut merah tua, memakai kaos hitam polos dengan celana jeans biru tua dan sepatu hitam. Mungkin dia salah satu yang tinggal disana? Batinnya. Fadil memutuskan untuk menghampirinya.
" Em, permisi? "
Dapat ia lihat pemuda didepannya tampak terkejut, sebelum akhirnya melihatnya dengan tatapan—tampak berhati-hati? Huh? Apa dia menakutinya?
" Um, apa ini benar Kost Jatayu? Aku penghuni baru disini." lanjutnya.
Perlahan dapat Fadil lihat raut wajah pemuda itu berubah, awalnya dia tampak terkejut mendengar perkataannya, kemudian dia langsung tersenyum lebar dan berkata, " Oh! Kau anak baru disini?senang bertemu denganmu! Namaku Geral. Siapa namamu? " pemuda bernama Geral itu mengulurkan tangannya, Fadil menjabat tangan pemuda itu dan memperkenalkan dirinya.
" Fadil, huh? " ucap Geral dengan seringai kecil diwajahnya, secara bersamaan mereka melepaskan jabatan tangan itu, "Akan ku ingat namamu itu, sekarang ayo kita masuk! Akan bawa kau ke pemilik kos-kosan ini. "
Geral membawa Fadil masuk kedalam kos-kosan besar itu. Saat berada didalam pemuda itu melihat betapa megahnya kos-kosan itu, banyak perabotan antik mengisi seisi ruangan. Dia jadi ingin tahu, berapa banyak uang yang orang tua angkatnya habiskan untuk dirinya. Berapapun itu, Fadil berharap tidak merepotkan mereka.
" Oh, kau sudah kembali? "
Fadil terbangun dari lamunannya saat mendengar suara pria berbicara, saat ia melihat kearah suara tersebut, dapat ia lihat seorang pria berumur sekitar 40-an. Dia memiliki rambut hitam dengan mata cokelat. Dia mengenakan kaos putih, jeans pendek, dan sendal. Pria itu sedang duduk di sofa empuk disana sambil menonton sebuah berita di televisi.
Pria itu tampak menyadari adanya Fadil disana, "Jadi, siapa dia?" ucapnya sambil menujuk kearahnya, Geral menatap kearahku sejenak sebelum akhirnya berkata, " Oh dia? Dia Fadil Mahardhika. anak baru disini katanya."
Pria itu tampak terdiam sejenak, seperti sedang mengingat-ngingat namanya, " Oh! Fadil Mahardhika! Ya, aku ingat!" pria itu berdiri, dia berjalan mendekati Fadil, "Aku tidak menyangka kau akan datang malam ini. Kuharap kau tidak kesusahan mencari tempat ini."
Fadil tampak tertawa kecil, " Sama sekali tidak."
Well, sejujuran dia hampir saja tersesat, untung saja Geral ada didepan kos-kosannya. Jika tidak, mungkin sekarang dia sudah tidur di jalanan.
" Hoaam~ sepertinya tugasku sudah selesai disini. " Fadil menatap kearah Geral yang menguap, sebelum akhirnya melambaikan tangan ke mereka dan berjalan, " Aku akan kembali ke kamarku, bye~!"
" Baiklah, bagaimana kalau aku tunjukkan kamarmu, sekalian kutunjukkan seisi kos-kosan ini. " Pria itu mengajaknya menaiki lantai atas, pemuda itu mengangguk dan mengikutinya ke lantai atas. saat sampai dilantai atas, dia menunjukkan apa saja yang berada di lantai atas. Dari ruang tamu kecil yang disertai televisi, kamar mandi, dan beberapa kamar penghuni.
Tak lama mereka berhenti didepan sebuah kamar dengan Tag No.05 di depan pintu. Pria itu membuka kamar itu dan mereka pun masuk kedalam kamar itu, Fadil melihat sekitar kamarnya, Kamarnya—lumayan Kecil, ada lemari, tempat tidur, meja dan kursi, rak buku kecil. Di atas tempat tidur, satu set rak dipasang di dinding; ada papan buletin di dinding atas meja dengan kalender disematkan padanya.
" Ini kamarmu, aku harap kau nyaman disini, nak." ucap Chris sambil tersenyum kecil. Pemuda itu membalas senyumannya itu, " Ah, terima kasih, pak.. Um.. "
" Christopher, Panggil saja Chris."
" O-oh, baiklah, pak Chris. "
Chris tersenyum kecil kearahnya sambil mengangguk, "Baiklah... aku akan membiarkanmu beristirahat," kata Chris "Kita akan membahas peraturan disini besok." dia kemudian meninggalkan pemuda itu sendirian didalam kamarnya. Fadil menghela nafas dan merebahkan dirinya di kasur kecilnya.
Fadil menatap langit-langit kamarnya, memikirkan apa yang terjadi sebelum dia sampai disini. Perkataan sang supir bus, imajinasi yang dia alami sebelumnya, dan... Suara aneh itu.
Ragnarok.
Sebenarnya apa itu? Dia tidak tahu. Yang jelas ada yang aneh dengan apa yang dia alami hari ini, dan apapun itu dia tidak ingin lagi mengingatnya. Dia menghela nafas, memutar dirinya kearah tembok, tak lama ia merasa matanya terasa berat, semakin berat, membuatnya tidak bisa menahannya lebih lama.
?
?:?
Perlahan ia membuka matanya, Fadil menyadari bahwa dirinya sudah tidak berada lagi berada di kamarnya. Melainkan sebuah ruangan biru yang berisi papan tulis, meja guru, dan satu bangku—yang kini dia duduki.
Ini.. Kelas?
Pemuda itu melihat sekitarnya, mencoba mengingat apa yang sebelumnya dia lakukan sebelumnya, yang hanya ingat bahwa ia baru saja sampai kos-kosannya dan lalu tidur di kamar barunya, setelah itu ia terbangun ditempat ini. Apa ini mimpi? Atau—
"Ini bukan mimpi anak muda,"
Pemuda itu sedikit terkejut saat mendengar suara seorang pria tua terdengar, perlahan ia melihat siapa yang berbicara, terdapat didepannya seorang pria tua berjas dengan kepala besar, hidung yang panjang, mata yang melotot dan senyuman aneh dan mengerikan berada diwajahnya duduk di meja guru yang sempat kosong. Disebelahnya berdiri sesosok figur perempuan—Perempuan itu memiliki rambut berwarna putih pucat panjang bergelombang yang diikat disamping kiri, matanya berwarna kuning pucat berkacamata, mengenakan jas biru.
Dimana sebenarnya dia? Dan siapa mereka? Pertanyaan itu terus berputar dikepalanya.
Dapat ia lihat pria tua aneh itu menatapnya dengan seringai mengerikan menyeramkan diwajahnya, "Saya ucapkan selamat datang di Velvet Room, tempat ini berada diantara mimpi dan kenyataan, pikiran dan masalah. Tenanglah, saat ini anda sedang tertidur nyenyak di dunia nyata, saya hanya ingin berbincang dengan anda sebentar. Ini mengenai takdir dan nasib anda nanti. "
Takdir? Nasib? Kenapa semua itu terdengar sangat familiar dikepalanya? Dia seperti pernah mendengar perkataan itu dari seseorang, tapi siapa? Dia tidak ingat.
Dia menghiraukan pikiran itu dan mulai bertanya pada sosok pria aneh itu.
"Siapa kau?"
Dapat ia dengar suara tawa pelan yang berasal dari pria tua itu, " Maafkan saya, saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Igor, saya bertugas untuk membantu anda membangkitkan kekuatan anda yang masih tertidur didalam diri anda. "
" Huh? Kekuatanku..? " Tanya pemuda itu,
" Ya, kekuatan anda. Tapi pertama-tama, Saville.." pria itu menatap kearah perempuan misterius itu—Saville adalah namanya. Perempuan itu mengangguk mengerti dan memberikan sebuah map dan pulpen kepada Fadil. Pemuda itu hanya menatap Saville dengan tatapan curiga bercampur bingung. Seperti menyadari tatapan pemuda itu kepada perempuan itu, Igor pun kembali berkata, " Tenanglah, ini hanya kontrak yang menyatakan bahwa anda siap untuk mengambil konsekuensi apapun yang anda buat dimasa depan. " pemuda itu diam, ia menatap sementara map itu lalu menatap Saville kembali. Perlahan ia mengambil pulpen itu dan menandatangani isi map itu.
Melihat hal itu, pria tua itu berkekeh pelan dan berkata, " Terima kasih telah menerima kontrak kami. Mulai saat ini saya dan asisten saya—Saville akan terus memperhatikan potensi anda. Kita akhiri pembicaraan ini sampai disini. Kita akan bertemu lagi lain waktu, "
" H-Huh?! Tung—"
" Sampai jumpa. "
Belum sempat Fadil berkata, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Tubuhnya menjadi tidak seimbang, perlahan sekitarnya menjadi gelap, dan semakin gelap. Dan akhirnya pandangannya menjadi hitam.
