Hujan
.
.
Disclaimer:
Naruto masih bukan milik saya.
Kabar duka itu datang menghantuiku bagai vonis kematian.
Satu hal yang kuketahui pasti, aku harap aku bisa lebih mengenalmu. Pikirmu, kau tidak tahu gerak-gerikmu yang lucu ketika kau berusaha untuk memperhatikanku dengan "diam-diam"? Aku harap, diriku yang pengecut dahulu berani mengulurkan tangannya kepadamu, meraihmu, sehingga kau tidak akan jatuh ke dunia tanpa ujung yang selesai kau jalani beberapa jam yang lalu.
Maafku takkan berguna, maafku takkan bisa menyelamatkanmu. Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu—dimanapun kau berada sekarang. Kau tahu, begitu banyak penyesalan membuncah ruah di dadaku pada saat aku memilih untuk menjadi seseorang yang begitu pengecut. Namun rasanya, aku seperti harus hidup dengan konsekuensi dari keputusanku dahulu.
Kau bagaikan langit biru. Kau begitu sempurna, murni, tidak tersentuh—tidak tergapai, dan aku bagaikan semut yang tak kuasa untuk tunduk dibawah keanggunanmu. Tangan kecilku tidak dapat meraihmu, kau, kau yang berdiri dengan kokoh nun jauh di atas sana. Penyesalan tanpa batasku terus menggunjingku, kau seharusnya mencoba terlebih dahulu, begitu jeritnya tanpa henti dikepalaku. Mendadak, hatiku terasa sesak. Dipenuhi oleh perasaan yang tidak pernah aku ketahui penyebabnya.
Ingin kulantunkan jutaan permintaan maaf dibawah langit yang biru yang selalu mengingatkanku pada irismu yang memabukkan. Ingin kuberseru kepada kekuatan Agung di atas sana untuk membiarkan aku mengambil tempatmu. Inginku menangis hingga aku tidak punya setetes air mata pun tersisa. Akan kulakukan semuanya untuk dapat melihatmu membuka matamu yang memukau itu. Akan kulakukan apapun untuk membuat senyum manismu mengembang di wajahmu yang berseri-seri. Meskipun aku tahu, seberapa kencang teriakan dan tangisanku, semua itu hanya akan berlalu dibawa oleh angin beku.
Aku minta maaf.
Aku minta maaf semua ini harus terjadi kepadamu. Aku minta maaf karena aku telah mengambil bagian di dalam skenario terburuk ini. Aku minta maaf karena aku tidak berbeda dari yang lain—hanya bagian dari hidupmu yang semu, yang tidak pernah menyadari arti hadirmu. Aku minta maaf karena pada pertemuan pertama kita, aku tidak mengulurkan tanganku kepadamu sebagaimana layaknya yang manusia normal akan lakukan.
Tangisku jatuh bersamaan dengan hujan yang turun. Luka ini akan selamanya membekas di dalam hatiku, luka ini selamanya akan terasa pilu. Begitu kusayangkan, pertemuan pertama kita dalam bentuk barumu harus diselingi dengan tangisan menyayat hati milikku. Sebuket bunga yang terkepal tanpa nyawa digenggamanku yang mengerat tidak membantu apapun.
Lain kali, pikirku. Lain kali ketika satu-satunya caraku menggapaimu dalam bentukmu yang baru, aku akan merentangkan kedua tanganku dengan senyum terkembang diwajahku.
TAMAT
.
.
Side Note:
Ha'i, minna! Ini adalah sequel dari Bisu, jadi pastikan untuk membaca Bisu terlebih dahulu sebelum hujan, ya? Terimakasih sudah membaca!
