Disclaimer : I do not own Naruto and Shingeki no Kyojin

Warning : FemNaru, semi canon, slightly fans' theories, SnK Boruto manga spoilers. Fic percobaan. saya baru pertama kalo bikin crossover SnK xD

Genre : Adventure, Drama, Friendship, Slight Romance

Rating : Mature (for save, bcs would be contain certain gore)

A/N : Spoilers Alert!!

- Boruto : akan mengambil main villain yang berasal dari organisasi Kara dan kemungkinan termasuk tentang teori keterkaitan antara member Kara dengan Otsutsuki.

- SnK : kemungkinan akan mengambil informasi tentang bangsa Marley dan Eldian dan mungkin informasi lain. alur akan menyesuaikan. setting cerita sekarang; AoT S1

Selamat Membaca!

ooOoo

Membuang nyawa penduduk dinding sudah menjadi pekerjaan rutin Pasukan Pengintai. Lima tahun lalu, Levi memutuskan untuk bergabung bersama dengan pasukan pengintai setelah Erwin memberinya sebuah pandangan baru akan dunia. Kontribusi yang ia berikan juga sudah menggunung, setara dengan gunungan mayat para anggota Pasukan Pengintai.

Hanya saja, semua itu tidak pernah cukup.

Ekspedisi ke luar dinding selalu memakan korban. Anak buahnya, teman-temannya, dan bahkan para anggota baru yang tak ia ingat namanya.Pasca kematian Isabel dan Farlan, Levi mengira dirinya telah kebal dengan semua bentuk kehilangan. Ia kira kepedihan yang ia alami sudah cukup.

Menjalani hidup hanya bagai sebuah kewajiban memenuhi tugas. Namun, faktanya, ia masih merasakan pahit kala melihat kematian kawan-kawannya. Semua mayat yang terbujur kaku juga berhasil kembali menyulut rasa bersalah yang ia kira telah tiada. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para orang tua korban juga seolah kembali menaburkan kepedihan yang lain.

Sekarang, harapan mereka hanyalah seorang bocah lima belas tahun, Eren Yeager. Erwin sendiri yang mengutarakannya. Kini, dengan semua tragedi yang mereka alami untuk ke sekian kali, ia menjadi bertanya-tanya apakah semua pengorbanan mereka akan terbayarkan. Misi penangkapan Titan Wanita telah gagal. Mereka pun hampir kehilangan Eren. Kesedihan para anggota pasukan juga telah mengaburkan logika mereka sampai-sampai mereka nekat mengambil jasad rekannya yang berada begitu dekat dengan sang raksasa.

Levi tidak menyalahkan. Ia justru turut merasa iba.

Sebelah tangannya meraba sendi lutut yang sempat tergelincir. Ia berdecih pelan sebelum kembali menatap ke depan--hanya untuk terburu-buru menarik tali kekang karena Erwin menyuruh beberapa anggota berhenti dengan tiba-tiba. Mereka yang membawa kereta kayu dibiarkan untuk tetap berjalan. Yang dihentikan oleh Erwin hanyalah Levi, Jean, Connie, serta Sasha. Ketiga anggota baru terlihat berada sedikit lebih jauh darinya. Mereka sedang melambaikan tangan, seolah tengah memberi isyarat.

Levi mengikuti Erwin menuju ke tempat di mana tiga orang anggota baru berhenti. Letaknya berada di antara semak-semak tinggi. Levi menoleh pada Erwin dengan wajah tanpa ekspresi yang berarti.

"Ada apa?" Ia melihat Jean yang beranjak dari kuda untuk berjalan ke sesemakan.

Baik Erwin maupun Levi masih mengendarai kuda mereka. Sang Komandan mengerutkan dahi dengan samar.

"Kita menemukan seseorang," ujarnya selagi menatap Jean.

Si pemuda berambut kecoklatan itu memberi isyarat bahwa sosok yang mereka temukan masih hidup. Erwin kemudian turun dari kudanya sendiri. Ia berjalan mendekat, mencoba melihat sosok yang ditemukan oleh anggota pasukannya. Di tengah semak-semak, ia akhirnya melihat sosok tersebut dengan jelas.

Seorang wanita pirang dengan pakaian yang penuh oleh noda darah tengah tergeletak tak sadarkan diri. Baju hitam panjang bercorak jingga yang dipakai sosok itu tampak sobek di bagian ujung serta lengan. Celana jingga yang dipakainya juga kelihatan begitu kontras dengan warna merah darah yang mengering. Rambut pirang panjangnya tampak kusut dan berantakan. Wajahnya pun teramat pucat meski ternoda darah di sana sini.

Jika Jean tidak mengecek nadi dan mengonfirmasi keadaannya, orang-orang yang melihat akan langsung mengira bahwa sosok tersebut telah meninggal dunia.

"Bagaimana bisa dia berada di luar dinding?" tanya perempuan berkucir berambut kecoklatan, Sasha Blouse.

Erwin segera berlutut di samping sosok tersebut. Rambut pirang yang menutupi wajah segera ia sibak. Sasha berjengit di belakangnya. Ia terlihat was-was dengan keberanian sang komandan untuk mengecek lebih lanjut orang asing ini. Sementara itu, Erwin tak dapat menahan rasa awasnya kala melihat karakteristik asing sang wanita. Tiga goresan yang unik di kedua pipinya sangat mencolok. Belum pernah sekalipun ia melihat orang dengan tanda lahir semacam itu.

Levi menyusul Erwin yang dinilai terlalu lama melihat. Ia sama-sama terkejut dengan temuan mereka. Pertanyaan Sasha juga ikut bercokol di kepalanya. Hanya saja, Levi sudah terlalu terbiasa berekspresi datar. Rasa terkejutnya tak terlalu tampak meski ia telah melihat langsung sang sosok asing dengan kedua mata. Semua noda darah serta keadaan parah sosok tersebut segera ia tangkap.

"Bukan darah titan," cetusnya setelah mengamati beberapa saat. Ia menoleh kala merasakan pandangan Erwin. "Kau mencurigainya sebagai Titan Wanita?"

"Tidak," timpal Erwin seketika. Ia kembali mengamati perempuan itu. "Siapa pun orangnya tidak akan seceroboh ini. Selain itu, orang yang kucurigai adalah anggota militer. Aku telah mengenal hampir semua wajah pasukan militer. Dia bukan orang yang kukenali. Tapi, kita harus mengamankannya untuk mencari tahu lebih jauh. Apa yang dikatakan Blouse benar. Tidak mungkin ada warga sipil yang berdarah-darah di luar dinding. Tidak ada dari mereka yang berani atau bahkan dibolehkan keluar."

Levi menatap sosok itu lekat-lekat. Perawakan wanita ini hampir sama dengan para prajurit. Terlihat fit dan terlatih. Ia bisa memastikan lebih jauh setelah melihatnya beraktivitas. Gerak-gerik mereka yang terlatih fisiknya akan mudah ditangkap mata. Fakta bahwa mereka menemukan sosok ini di luar dinding akan membuat orang-orang gempar. Para Polisi Militer juga pasti akan ikut campur. Padahal Pasukan Pengintai sudah cukup direpotkan dengan masalah Eren.

Keberadaan sosok ini harus mereka rahasiakan terlebih dahulu. Erwin pasti juga memikirkan hal yang sama.

"Kita akan mengeceknya secara rahasia," ujar Levi pada Erwin.

Usulannya segera diterima. Erwin segera memerintahkan Jean untuk mengangkut si orang asing. Wajah ketakutan anak baru itu amat kentara. Levi tahu betul apa yang dipikirkannya.

"Orang pingsan tidak akan berubah menjadi titan," tuturnya datar. Jean tampak tersentak.

"Baik!" serunya langsung. Ia pun tak membuang waktu lagi untuk segera membopong si perempuan asing yang ternyata terasa cukup ringan. Meskipun begitu, ia masih memerlukan bantuan Connie untuk menaikkan orang ini ke atas kuda.

"Kita akan membawanya menggunakan kereta barang sebelum memasuki gerbang. Pakaiannya akan kita tutupi agar orang-orang mengira dia sebagai anggota Pasukan Pengintai yang terluka."

Ketiga rekrutan baru segera mengangguk. Jean menaiki kudanya di belakang orang asing itu, menjaga agar tidak terjatuh. Sasha dan Connie kembali pada kuda mereka masing-masing. Begitu pula dengan Erwin serta Levi. Mereka berlima menyusul anggota Pasukan Pengintai yang lain. Tubuh si wanita asing dipindahkan ke kereta barang seperti yang direncanakan. Eren segera terduduk kala Jean membaringkan si wanita.

Tatapan heran segera mengekori pergerakan si pemuda berambut kecoklatan. Ia melotot dan mengedikkan dagu ke arah Erwin serta Levi, meminta teman-temannya bertanya pada komandan mereka saja, bukan pada dirinya.

Di depan mereka gerbang Dinding Rose masih tertutup. Erwin meminta Mike Zacharius, salah satu ketua skuat dalam Pasukan Pengintai, untuk memanjat ke balik dinding dan memberi tahu Pasukan Penjaga untuk membuka gerbang. Si pria pirang segera menuruti. Berbeda dengan Hanji Zoe yang berbalik dari barisan depan guna menemui Erwin. Cahaya di kacamatanya menandakan rasa ingin tahu tingkat tinggi. Levi sudah menghela napas pelan ketika melihatnya.

Derap kuda sang peneliti titan berhenti setelah ia berhasil mendekat.

"Siapa ini?" tanya Hanji penuh dengan antusiasme. "Apakah dia titan?"

Pertanyaannya berhasil menarik banyak perhatian. Erwin pun segera menjelaskan ketidaktahuan mereka.

"Kita akan mencari tahu nanti."

Informasi yang didapat segera meluruhkan antusiasme Hanji. Kilat di matanya meredup dan ia kembali ke barisan depan. Di sisi lain, Eren dan Mikasa tengah mengamati sosok wanita yang tak sadarkan diri. Mereka mengamatinya terlalu lama hingga baru tersadar ketika sudah berada di dalam dinding. Kedatangan mereka disambut dengan gunjingan warga. Mengenai para warga yang mengaku telah membayar pajak untuk hal yang sia-sia. Mengenai Pasukan Pengintai yang selalu gagal dan membawa banyak mayat.

Semua ocehan mereka membuat Eren panas. Emosinya memuncak ke ubun-ubun ketika mendengar lebih banyak hinaan. Jika Mikasa tidak menahannya dan jika ia tidak melihat senyum cerah tiga orang anak di antara kerumunan, ia pasti sudah meledak marah. Binar penuh harap di mata tiga anak itu meluluhkannya. Eren merosot duduk di atas kereta kayu. Ia kemudian menatap si wanita pirang lagi.

Bayangan si titan wanita menelusup dalam dirinya. Kedua mata memicing, mengamati lebih lekat. Fokusnya terpaku pada sosok itu sampai-sampai ia berjengit ketika bahunya ditepuk oleh Mikasa.

"Komandan akan mencari tahu. Kau tidak boleh gegabah."

Eren merengut tidak suka. Mikasa seolah tahu apa yang tengah ia pikirkan. Fakta tersebut terasa cukup mengganggu. Kegagalannya di ekspedisi tadi juga masih membuatnya sensitif. Eren segera membalas, "Aku tidak mungkin menyerangnya dengan tiba-tiba. Kau tak perlu khawatir."

Kalimatnya bisa dibilang cukup menyinggung Mikasa karena terdengar terlalu sinis. Namun, Mikasa tidak merasa demikian. Ia hanya diam selagi menatap si wanita lamat-lamat.

"Ditemukan di luar dinding ... kita mungkin akan mendapatkan petunjuk."

Bisikan Mikasa sempat didengar Eren. Hanya saja, Eren memilih untuk tidak membalas. Mereka diam saja hingga sampai markas. Mayat rekan-rekan mereka seharusnya dikremasi seperti biasa. Namun, serangan mendadak para titan di tengah jalan telah memaksa mereka untuk membuang para mayat agar kereta bisa melaju lebih cepat. Tak ada yang tak merasa bersalah akan fakta ini. Terutama Levi, yang melihat dengan langsung bagaimana jasad Petra--yang telah menjadi anggota skuat spesial di bawah naungannya sejak bertahun-tahun lalu--dibuang di tengah jalan.

Sesampainya di markas, kuda-kuda yang mereka tunggangi segera dikembalikan ke dalam kandang. Para anggota Pasukan Pengintai berhamburan ke dalam markas, merasa lelah dan bersalah. Kepedihan jelas-jelas masih meliputi mereka, terutama bagi para anggota baru yang masih belum terbiasa dengan semua kehilangan yang teramat brutal.

Erwin meminta Eren untuk beristirahat sementara dirinya bergabung dengan Levi, Hanji, serta Mike yang tengah menghampiri si wanita asing. Sosok tersebut dipindahkan ke sebuah kamar kosong di bawah tanah yang sempat digunakan Eren.

Tiga elit Pasukan Pengintai itu berdiri berjejer di samping ranjang. Hanji berlutut di samping si wanita. Ia mengecek kondisi tubuh tamu mereka. Dahinya segera mengerut dalam begitu mengetahui kondisi sosok ini.

"Dia sama sekali tidak terluka," ungkapnya.

Jemari Hanji tak segan-segan menyingkap pakaian hitam sang wanita yang ternoda oleh darah di bagian perut. Semua mata segera memandang awas, kondisi tubuh wanita ini sudah pasti masuk dalam kategori fit. Fisiknya jelas-jelas terlatih--dilihat dari semua otot kencang yang tercetak di perutnya. Prajurit sekalipun memerlukan latihan rutin dan konsisten guna mendapatkan pahatan tubuh semacam itu. Mike yang berdeham keras membuat Hanji kembali menutup singkapan pakaian.

Rekan-rekan lelakinya ternyata masih normal.

"Sobekan di lengan terlihat seperti bekas sayatan. Sepertinya dia terlibat pertarungan," gumam Hanji setelah mengamati beberapa saat. Ia kemudian berdiri. Kacamata yang dipakai pun ia benarkan. "Semua noda darah di pakaiannya menandakan pertarungan sengit. Aneh sekali kalau dia baik-baik saja seperti ini."

Erwin yang mendengarkan tentunya setuju dengan ucapan Hanji. Kedua alisnya menyatu samar.

"Borgol dia. Kita akan menanyainya setelah dia bangun."

Sore itu, ruang bawah tanah markas Pasukan Pengintai dijaga oleh dua orang. Mereka semua cukup was-was dengan sosok yang mereka temukan. Masalah kegagalan ekspedisi masih perlu dipikirkan. Musuh di dalam dinding juga harus segera ditemukan dan ditangkap. Dari sudut pandang ini, bisa dilihat dengan jelas bahwa kondisi Pasukan Pengintai sedang tidak baik-baik saja. Kegagalan yang mereka alami pasti akan segera disoroti Polisi Militer. Kondisi yang demikian juga akan menyulitkan mereka untuk menyembunyikan sesuatu--termasuk sosok wanita tersebut.

Di kamarnya, Levi berdecih pelan. Cedera di saat-saat krusial terdengar begitu menyialkan. Ia akan lebih berhati-hati di waktu yang lain, sebab firasatnya berteriak memberi tahu bahwa perempuan asing yang mereka tahan bukanlah orang biasa. Masalah akan bertambah merepotkan kalau orang ini berbahaya.

oOo

Apa yang diprediksi para anggota elit Pasukan Pengintai benar. Polisi Militer langsung menyoroti mereka setelah kegagalan ekspedisi. Surat pemanggilan komandan ke Dinding Sina telah menjadi bukti yang kuat.

Pagi itu, Erwin, Levi, Mike, dan Hanji tengah berkumpul melingkari meja. Levi duduk di sana dengan wajah tanpa ekspresinya yang biasa, terlihat tidak terganggu dengan jeratan masalah yang mereka terima. Berbeda dengan Hanji yang tampak cemas, meski kecemasannya tidak terlalu kentara. Bagaimana tidak? Mereka sudah mempunyai rencana.

Sebuah rencana ekstrim yang lagi-lagi beresiko besar.

"Apakah kita akan benar-benar melakukannya?" Mike bertanya dengan tidak yakin. Ia menatap sang komandan lurus-lurus. "Kemungkinan terburuknya adalah pertarungan besar di Dinding Sina. Korban yang berjatuhan akan sangat banyak dan posisimu akan terancam, Erwin."

"Apakah taruhanmu bisa kupegang? Kondisiku sedang tidak baik sekarang. Aku tidak bisa membersihkan kotoran yang kau buat nanti jika semua ini gagal." Levi mengusap pelan cedera yang ia alami. Mata hitam yang terlihat tidak peduli mengerling pada sang komandan. "Jika kau dijatuhi hukuman, Pasukan Pengintai akan tamat."

Semua opini rekan-rekannya diterima Erwin dengan baik. Namun, pancaran tekad di matanya masih sama. Tidak ada yang mampu mengubah pendiriannya sekarang.

"Semua konsekuensi akan kita pikirkan nanti. Sekarang, yang diperlukan hanyalah fokus. Kita akan mendiskusikan ini dengan para anggota baru nanti malam." Erwin menoleh pada Hanji dan Mike. Ia berujar, "Siapkan jebakan yang sama seperti yang kita gunakan di hutan. Dia tidak akan bisa memanggil para titan ketika berada di dalam dinding."

Dengan perintah yang telah diberikan, pembicaraan pagi mereka berakhir. Hanji dan Mike meninggalkan ruang kerja sang komandan guna melaksanakan tugas yang diberikan. Ruang kerja tersebut kini hanya menyisakan Erwin dan Levi. Mereka kembali berbincang tentang rencana penangkapan. Beberapa di antaranya mengenai siasat untuk mengelabui Polisi Militer. Percakapan baru terhenti ketika seseorang mengetuk pintu ruangan.

Erwin segera menyuruhnya masuk. Di depan mereka adalah salah seorang anggota pasukan yang ditugasi menjaga sang wanita asing di kamar bawah tanah--atau lebih tepatnya, penjara bawah tanah yang dilengkapi tempat tidur.

Mereka tidak ingin mengambil resiko besar jika ternyata wanita tersebut berbahaya.

"Komandan! Perempuan itu sudah bangun! Dia memprotes karena--"

Belum sempat Erwin merespon, orang lain sudah berlari tergesa ke dalam ruangannya.

"Komandan Pixis meminta Anda menemuinya di kantor! Dia ingin membicarakan hasil ekspedisi kemarin."

Rasa ingin tahu mengenai identitas dan asal usul sang wanita membuat Erwin gamang. Ia terdiam sesaat sebelum mengangguk pada si pelapor.

"Aku akan ke kantornya," tutur Erwin. Seberapa besar pun rasa ingin tahunya, pertemuan dengan Komandan Pasukan Penjaga jelas-jelas harus diutamakan. Ia segera berdiri dan mengenakan jas militernya sebelum menoleh pada Levi. "Kuserahkan dia padamu."

Levi meminum sisa teh tawar di gelasnya. Ia keluar dari sana bersama Erwin. Sementara sang komandan pergi ke Distrik Trost, ia bergegas menuruni tangga menuju bawah tanah. Di sana, ia segera disuguhi pemandangan yang sedikit mengganggu. Anggota Pasukan Pengintai yang berjaga sedang berjengit dari sosok wanita yang wajahnya masih ternoda oleh darah kering. Anak buahnya kelihatan tersiksa secara mental. Kilat lega di matanya tak bisa diabaikan begitu ia bersitatap dengan Levi.

"Heichō! Wanita ini--"

Levi mengangkat sebelah tangan, meminta si penjaga untuk kembali ke tempat. Kedua netra kelabunya menatap si wanita asing lamat-lamat. Melihatnya yang masih berpegangan pada jeruji besi.

Jeruji besi yang ... bengkok ...

Kedua netra kembali menatap si wanita setelah mendengar suaranya. Terdengar berat dan serampangan, seketika mengingatkannya pada Hanji. Tidak seperti jenis suara feminin lemah lembut yang dimiliki Petra ataupun Mikasa.

"Aku hanya ingin tahu, damn it!Kenapa ada banyak raksasa di luar sana? Mereka semua terlihat idiot! Kukira mereka hasil percobaan gagal atau apalah. Kenapa kalian sulit sekali berbagi informasi?" ocehnya sebelum menyadari keberadaan Levi. Ia baru menoleh beberapa saat kemudian, tepat ketika merasakan tatapan seseorang yang tertuju pada genggaman tangannya. Dengan mata yang sedikit membeliak, ia segera menjauhkan genggaman itu. Borgol di kedua tangan tampak tidak ia permasalahkan. Setelah berdeham kecil, ia pun berujar, "Jerujinya terlalu lemah. Penjara ini pasti sudah tua, kan?"

Bergabung dalam Pasukan Pengintai mengenalkan Levi pada banyak orang aneh. Mulai dari Hanji yang menyerupai peneliti gila, sampai Mike yang gemar membaui bak anjing liar. Menghadapi orang aneh lain seharusnya tidak membuatnya terkejut.

Tetapi, alasan bodoh yang diutarakan perempuan ini tak bisa untuk tidak membuatnya terkejut.

Balita pun bisa tahu kalau ia hanya membual. Orang ini seharusnya tahu bahwa orang biasa jelas-jelas tidak akan mampu membengkokkan besi meskipun besi itu telah berusia renta.

Tanpa basa-basi, Levi segera menyuruh si penjaga membuka sel tahanan. Si wanita terlihat awas dan sedikit bingung, namun Levi tidak peduli. Tangannya langsung terulur guna meraih kerah pakaian si perempuan guna menyeretnya kembali ke tempat tidur. Levi menghempaskan sosok itu dengan mudah sampai ia kembali terduduk. Tinggi si wanita sedikit lebih unggul darinya, namun Levi tetap bisa mengatasi. Ia mengabaikan erangan protes yang keluar dari bibir sosok itu.

"Jaga sikapmu kalau kau tidak ingin disakiti." Suara datarnya sedikit menggema di sel bawah tanah yang sunyi. Ia bersender pada dinding dengan kedua tangan terlipat. Sosok berambut pirang panjang itu ia lihat dengan tajam. "Ada beberapa hal yang akan kutanyakan. Jawabanmu akan mempengaruhi kelangsungan hidupmu."

Kerutan samar tercipta di dahi wanita itu. Ia tidak terlihat ingin melawan ataupun yang lain. Ekspresinya hanya memancarkan kebingungan yang pekat. Ketika ia kembali membuka mulut, Levi tidak menemukan setitik pun percikan takut di suaranya.

"Jika aku salah menjawab maka aku akan dibunuh?"

Levi tentunya segera mengonfirmasi. Meskipun begitu, ekspresi si wanita masih belum berubah. Berdasarkan ingatannya, hampir semua orang terintimidasi dengan kehadirannya. Terutama mereka yang tidak bekerja dengannya. Orang-orang cenderung takut pada Levi. Hanji pernah memberi tahu bahwa ia memiliki aura suram, seolah orang-orang akan ia bunuh secara acak jika ia termakan emosi. Itulah mengapa tidak ada yang ingin menyulut emosinya.

Ketiadaan reaksi dari sosok ini membuat Levi heran sekaligus awas.

Wajah teman perempuan Eren tiba-tiba melesak dalam ingatannya. Levi jadi ingat bahwa bocah perempuan itu juga sama sekali tidak takut padanya. Namun, obsesi si Ackerman pada Eren sama sekali tidak dimengerti Levi. Ketika pertama kali tahu obsesi itu, ia langsung memasukkan si Ackerman ke dalam daftar orang-orang aneh yang ia kenal. Sepertinya kali ini ia harus memasukan satu nama lagi.

Ya, nama.

"Siapa dan dari mana kau berasal?" Pertanyaan itu pun meluncur keluar dari bibirnya.

Sosok di depannya terdiam. Keningnya mengerut samar, seolah tengah berusaha berpikir. Kontak mata mereka terputus sesaat sebelum si perempuan kembali mendongak dan menatap. Kebingungan yang menghiasi wajahnya terlihat begitu nyata. Levi tetap menunggunya angkat bicara. Ia bukan orang yang sabar. Jika perempuan ini tak kunjung buka mulut, ia akan memaksanya tanpa segan.

Lima detik berlalu.

Levi sudah mulai geram. Tatapan tajamnya cukup dimengerti si perempuan.

"Uzumaki. Naruto Uzumaki," balasnya ragu. Kedua alisnya kini menyatu. Ia menatap Levi dengan was-was. "Asalku ... aku tidak ingat."

Jika perempuan ini--baik, namanya Naruto--berbohong, maka kemampuan aktingnya patut diapresiasi. Ia kelihatan begitu nyata dalam berpura-pura. Kebingungan di wajahnya teramat natural, seolah ia memang melupakan ingatannya.

Tetapi, haruskah Levi percaya?

Hilang ingatan adalah alasan paling umum yang biasa digunakan untuk menghindari interogasi. Ia jelas-jelas tak bisa percaya begitu saja.

Diulanginya pertanyaan itu.

Jawaban Naruto masih sama.

Dari namanya saja, Levi sudah menemukan kejanggalan. Nama orang ini begitu asing. Bagaimana bisa ia percaya begitu saja?

Tak lagi tahan oleh kebohongan, Levi berjalan mendekati Naruto. Ia kembali menarik kerah pakaiannya dan mensejajarkan wajah mereka selagi menatapnya lekat.

"Tidak ada warga biasa yang berkeliaran di luar dinding," ungkapnya lamat-lamat. Ia memperhatikan iris biru langit yang entah mengapa terlihat begitu jernih. Sangat jernih sampai-sampai ia melihat refleksinya sendiri di sana. "Katakan yang sebenarnya," tandasnya mengancam.

Yang ditatap menyipitkan sebelah mata. Ia terlihat tengah mempertimbangkan diri Levi. Menilai dirinya.

"Aku mengatakan kebenaran."

Levi merasakan bagaimana tubuh Naruto menegang, seolah ia tengah bersiaga. Untuk beberapa saat yang begitu singkat, Levi mengira bahwa orang ini akan memberontak dan melawan. Namun, ia sama sekali tidak bergerak. Yang dilakukan hanya menatap dan berbicara.

"Kalian menyelamatkanku," tuturnya memulai. Ia kemudian mengambil napas pendek. Senyum terpaksa terlukis kaku di bibirnya. Pandangan Levi menajam begitu melihat ekspresi tersebut. "Aku hilang ingatan. Yang kuingat hanya sekedar nama. Aku terbangun di tengah-tengah padang rumput yang tidak berujung, dibangunkan oleh seorang raksasa berukuran lebih dari sepuluh meter. Dia menggenggamku, seolah hendak meremas hancur tubuhku. Aku sangat ingin berterima kasih pada kalian yang membawaku kemari. Apa yang bisa membuat kalian percaya?"

Untuk beberapa saat yang terasa lama, Levi teramat gamang. Ia bisa memaksa perempuan ini mengutarakan kebenaran. Ia bisa memukulinya sampai babak belur dan mendengar jawabannya. Namun, pertanyaan di akhir ucapannya membuat ia ragu. Kejujuran terdengar begitu jelas di suaranya. Kilat mata yang terlihat penuh harap juga mendukung kejujuran tersebut.

Levi tidak pernah lembut pada orang yang ia curigai.

Fakta tersebut seolah menamparnya. Ia mengeratkan tarikan pada kerah pakaian sang wanita. Wajah yang memucat telah mengindikasikan efek cekikan tidak langsung itu.

"Katakan sebenarnya jika kau tak ingin disakiti lebih jauh. Aku bisa membunuhmu di sini."

Naruto kelihatan kesulitan untuk bernapas. Ia masih menyipitkan mata selagi berusaha untuk tidak bergerak.

"Aku mengatakan yang sebenarnya! Panggil saja seorang dokter atau apalah untuk mengecek kepalaku. Aku benar-benar tidak tahu apa pun," jelasnya dengan suara rendah akibat menahan cekikan. Kedua tangan yang diborgol telah mengepal erat. Ia benar-benar mengumpulkan begitu banyak kekuatan tekad untuk tidak melawan dan menyingkirkan pria kejam di depannya. Dari informasi yang ia dapat, ia sedang berada dalam tahanan pasukan militer yang bernama Pasukan Pengintai. Naruto tahu dirinya sedang berada di tangan pihak berwajib. Membuat masalah hanya akan merugikannya. Ia mati-matian menahan diri untuk menerima perlakuan buruk ini. "Aku bersumpah."

Kilat tajam di mata Levi masih belum pudar. Namun, cekalan di kerah Naruto mengendur. Detik selanjutnya, Naruto benar-benar dilepaskan. Levi kembali mundur ke dekat dinding. Naruto segera terbatuk-batuk. Cengkeraman itu teramat kuat. Siapa pun orang ini, ia jelas bukan orang biasa. Naruto bisa melihat perawakannya yang terlatih. Untuk alasan yang aneh, ia merasakan rasa familier dari auranya.

Kearoganan yang mampu mengendalikan orang lain.

Dari panggilan si penjaga jeruji, Naruto tahu siapa orang ini. Dia adalah kapten dari pasukan militer. Sikap semena-mena macam ini tidak begitu ia antisipasi.

"Bagaimana caramu lolos dari para titan?"

Levi mengamati kerjapan mata Naruto.

"Maksudmu si raksasa jelek?" Naruto balik bertanya. Ketiadaan jawaban membuatnya berasumsi bahwa itulah yang dimaksud oleh si kapten. "Aku lolos dari genggamannya. Beberapa yang lain ada yang kusingkirkan."

Informasi baru ini segera disoroti oleh Levi. Ia segera mengutarakan pertanyaan lain.

"Bagaimana caramu menyingkirkan mereka?"

Lagi-lagi perempuan itu mengerjap. Ia seolah teringat bahwa membunuh raksasa sangatlah mustahil. Keningnya mengerut dalam dan ia mengalihkan pandangan.

"Aku ... melemparnya ..." Pandangan Naruto kini teramat kosong. Kerutan di keningnya semakin kentara. Sebelah tangan memijit pelipis. Ia kelihatan menahan nyeri. "Tapi--bagaimana? Bagaimana mungkin? Mereka sangat besar dan tinggi. Mana mungkin aku bisa--"

Levi melihatnya yang menahan erangan sakit. Kedua mata menyipit sedangkan jemarinya menekan-nekan pelipis. Beberapa detik kemudian, Levi melihat darah segar yang mengalir keluar dari hidungnya. Pemandangan tersebut amat tidak terduga. Ia segera mendekati Naruto selagi menanyakan kondisinya.

"Oi, kau--"

Naruto mengangkat tangan, mengisyaratkan Levi untuk berhenti. Ia kemudian menengadah guna menghentikan aliran darah. Umpatan rendah keluar dari bibir. Ia memberi tahu dirinya yang baik-baik saja selagi mengelap darah tersebut menggunakan lengan pakaian. Fokusnya hanya tertuju pada denyutan di dalam kepala sampai-sampai ia tidak memperhatikan bagaimana pandangan Levi menjadi lebih suram. Ia berdecak pelan selagi merogoh saku. Sapu tangan di genggamannya segera ia lempar tepat ke wajah Naruto.

Pemandangan yang barusan teramat mengganggu. Levi tidak tahan melihat kecerobohan semacam itu. Begitu kotor dan sulit ditoleransi.

"Jangan lap menggunakan pakaian."

Naruto sendiri sibuk menyumpal hidungnya yang masih banjir darah. Ia masih menengadah selagi menjawab pernyataan pria ini.

"Pakaianku sudah kotor di sana sini. Tidak ada bedanya."

Levi tak bisa untuk tidak berdecak. Ia memandang Naruto kesal. Kali ini benar-benar kesal.

"Kau memang sudah sangat mirip dengan kotoran titan."

Gerakan mengusap yang tengah dilakukan Naruto terhenti sesaat. Ia berhenti menengadah guna menatap Levi. Hidungnya tengah dipepat dengan sapu tangan. Pakaiannya compang-camping dan ternoda tanah bercampur darah. Rambut pirangnya pun dihiasi noda yang sama. Mendukung penampilan tak enak dipandang itu, wajah Naruto juga jauh dari kata bersih. Secara keseluruhan ia bisa salah dikenali sebagai gelandangan perang--yang kelihatannya memang begitu.

Percikan rasa jengkel muncul di wajahnya. Namun, segera berganti menjadi sorot penuh kebingungan. Kedua alisnya menyatu. Ia menatap Levi penuh tanya.

"Raksasa itu bisa buang air? Aku sangat beruntung tidak menemukan kotoran mereka di luar sana! Bisa kau bayangkan seberapa besar dan menjijikannya mereka? Ah, bukankah itu alasan mengapa di luar sana sangat rindang? Tanah di sana pasti mengandung banyak humus!"

Ekspresi Levi begitu datar sekarang ini. Ia sudah terbiasa dengan orang bodoh. Pengendalian dirinya untuk tidak segera mencekik orang semacam itu sudah amat terlatih.

Tanpa mengatakan lebih banyak hal, ia berjalan keluar. Teriakan Naruto ia abaikan. Si penjaga sel kelihatan sedang mati-matian menahan tawa. Ia berusaha keras terlihat biasa saja ketika Levi menyuruhnya untuk menutup sel.

Si Naruto itu mengingatkannya pada anak bodoh bernama Isabel yang dulu dengan seenak jidat memanggilnya aniki. Kenaifan yang terpancar di sana juga teramat kentara. Usianya pun diperkirakan sama jika Isabel masih hidup; sekitar dua puluhan. Mungkin Isabel akan lebih muda beberapa tahun darinya. Namun, secara kasar jarak umur mereka pasti tidak jauh.

Kala memikirkan kawannya itu, Levi secara tidak sadar telah membuka lemari dan mengambil sebuah kemeja dan celana panjang bersih. Ketika tersadar apa yang ia lakukan, ia pun mematung sesaat, mempertanyakan tindakannya sendiri. Pakaian bersih yang ia genggam dipandang dengan nanar. Sebelumnya, ia tidak pernah melakukan tindakan bodoh macam ini.

Apa yang sebenarnya ia pikirkan?

Berdecak pada dirinya sendiri, Levi mengembalikan pakaian tersebut ke dalam lemari. Kehadiran wanita itu masih sangat mencurigakan. Saat ini, mereka sedang dihadapkan pada isu bagaimana manusia berubah menjadi seorang titan dan mampu mengendalikan kekuatannya. Mempercayai orang asing merupakan hal yang amat riskan. Naruto mungkin terlihat jujur, namun prajurit yang telah ditugaskan menyamar memang selalu terlihat meyakinkan.

Ia harus berhati-hati.

Pakaian yang ia ambil tadi kembali dimasukan ke dalam lemari. Masa bodoh dengan tahanan ini. Hanji akan lebih tertarik padanya. Mereka berdua sama-sama berspesies aneh. ]

TBC

a/n

buat yang nggak suka naruto as female bisa pindah dari lapak ini ya. makasih. untuk yang berkenan, silakan tinggalkan kritik yang membangun~