"Profesor, pasien di ruang 203 kejang lagi."

"Tambah dosis suntikannya, dan campur dengan 3 mili serbuk obat bius."

Suara teriakan bercampur dengan geraman mesin dan alarm. Ditambah lagi dengan langkah kaki yang bergema di sepanjang lantai, diikuti dengan suara letupan-letupan entah apa. Seperti biasanya–kacau.

"Profesor Akashi, kami perlu substansi baru untuk serum di bilik 9. Apa kami perlu membuka lemari kaca–"

"Tidak, jangan buka lemari kaca. Gunakan sisa CIF3. Rak ke-3 di sebelah kanan."

Tanpa berinisiatif untuk menciptakan kontak mata dengan para pekerjanya, Akashi Seijuuro masih saja berkutat di depan laptop.

Ada hal lain yang harus ia prioritaskan.

Jemarinya bergerak lincah di keyboard, sementara manik heterochrome terus tertuju ke layar.

DNA fusion: 0 result(s) found.

Processing: FAILED

You are currently unable to connect with your search. Please try again.

.

.

WHEN SCIENCE MEETS LITERATURE
Kuroko no Basuke ©Tadatoshi Fujimaki
Story ©Kaizumi Ayame
[Akashi x Female!Kuroko]
Tag: Scientist!AU, Author!AU, Adult!AU, romance, cliffhanger

.

.

Sebagai seorang ilmuwan yang merangkap sebagai pemilik laboratorium, sudah menjadi tugasnya untuk menemukan inovasi baru–penemuan baru yang bahkan belum pernah dibayangkan oleh manusia sebelumnya.

Namun seberapa absolutnya dia, Akashi Seijuuro tetaplah seorang manusia. Kegagalan tetap saja terjadi–walaupun tingkat kemungkinannya jauh lebih rendah dibandingkan yang lain.

Tangan kanan terangkat untuk memijat cuping hidungnya, berusaha meredakan sakit kepala.

"Masih berusaha rupanya?" suara berat Midorima Shintarou menyela.

"Tentu saja," ujar Akashi tenang. Kehadiran Midorima yang seolah tiba-tiba sama sekali tidak membuatnya terkejut. "Gagal selama beberapa kali itu bukan berarti mustahil. Mungkin ada yang salah di sistemnya, atau kesalahan-kesalahan kecil yang dibuat oleh pekerja lainnya. Mungkin saja komputernya membaca data yang salah."

Khas Akashi, tidak pernah mau mengakui kalau dirinya salah.

"Apa perlu bantuan dari timku?" sang kolega menawarkan diri. "Kebetulan departemenku belum kejatuhan terlalu banyak tugas."

Akashi memutar kursinya, menyejajarkan kontak mata dengan Midorima. "Kukira tidak perlu. Bawahanmu sudah cukup sibuk sekarang," ia menggerakkan dagunya ke arah salah satu sudut laboratorium. "Pasien yang kejang itu pasienmu, kan?"

"Ya. Imunnya mulai bertransformasi."

"Maksudmu 'organnya'," Akashi mengoreksi.

"Bukan." Midorima menggeleng. "Imun. Daya tahan."

Alis Akashi bertaut, meragukan fakta. "Memangnya hal itu mungkin?"

"Setidaknya jauh lebih mungkin daripada organ tubuh yang bertransformasi."

"Shintarou, aku serius."

"Aku juga."

Kedua pasang mata saling membelalak dengan ekspresi intens, sebelum suara dering telepon memecah konflik.

"…Tetsuko?" Akashi melirik ke arah Midorima yang masih menunggu di sana, tanpa berniat untuk pergi. "Ya, aku masih bekerja. Kau sendiri?" menunggu lawan bicaranya merespons, ia mengapit ponselnya di pundak. "Tidak, kurasa aku masih punya cukup waktu untuk membaca bab terbarumu. Tidak masalah."

Senyum tipis terbentuk di wajahnya. "Aku juga sayang padamu. Sampai nanti malam." Dan sambungan diputus begitu saja.

"Tunanganmu?" tanya Midorima datar.

Akashi mengangguk. "Sekarang kita kembali ke masalah pasienmu itu. Bagaimana kalau aku ke sana untuk melihat kondisinya?"

Berusaha bersikap profesional, rupanya. Memprioritaskan profesi dibanding asmara dalam lapangan pekerjaan. "Tentu saja. Siapa tahu kau bisa menganalisa apa yang sebenarnya terjadi."

"Boleh juga. Kau akan sangat berterima kasih padaku."


Kurona Tetsuko kembali meletakkan tangannya di pipi, selagi tangan yang lain bergerak acak di atas keyboard, membentuk sebaris huruf yang sama acaknya.

"Sudah ada kemajuan?" Momoi Satsuki, sang editor, spontan memeluk sang penulis dari belakang. Mencoba mengintip dari balik punggung sang penulis.

"Momoi-san," sapa Kurona datar. "Setidaknya aku sudah menyelesaikan separuh bab." Jarinya cepat menghapus deretan huruf acak tadi, sebelum menggeser layar.

"Coba kulihat."

Dalam hitungan detik, wajah Momoi sudah mendominasi pandangan Kurona, membaca baris demi baris dengan cermat.

"Hmm, hmm,"

"Bagaimana, Momoi-san?" nyaris emosi karena tampaknya sang editor tidak menunjukkan antusiasme, Kurona bergegas menanyakan opini.

Momoi menelengkan kepalanya sedikit, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Walaupun tidak eksplosif, sang penulis bisa berubah sensitif kalau sudah menyangkut profesi. "Kelihatannya tidak ada perubahan yang mencolok."

"Maksudnya?"

"Itu… kurasa cerita Tetsu-chan kali ini kurang ekspresif."

Yang dikritik hanya terdiam, dengan wajah dibenamkan di balik kedua tangan. "Lalu? Momoi-san punya saran?"

"Mungkin Tetsu-chan perlu tambahan konflik," tutur Momoi ragu-ragu.

"Tapi ini cerita romance. Mana mungkin aku menambah konflik?"

Momoi menghela napas. "Kurasa…"

Suara pintu yang dibuka membatalkan niat Momoi untuk berkomentar.

Kurona beranjak dari kursinya. "Pasti Sei-kun," ia bergumam pelan, "Momoi-san, kau bisa pulang sekarang."

Merasa bahwa tak ada gunanya berlama-lama di sana, Momoi bergegas meraih mantel dan tasnya. "Jangan lupa deadline-nya."

"Ha'i."


Alis Akashi terangkat begitu berpapasan dengan Momoi. "Selamat malam," sang editor membungkuk.

"Ah, selamat malam. Sudah mau pulang?"

"Ya." Dengan gerakan tergesa-gesa, Momoi mengenakan sepatunya dan berjalan keluar, meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka.

"Sei-kun, okaeri," tunangannya menyapa tanpa ekspresi–seperti biasanya.

Yang disapa hanya mengangguk, mengulas senyum tipis. "Tadaima."

"Lembur lagi?" tebak Kurona.

Akashi kembali mengangguk. "Ya, banyak urusan yang harus diselesaikan."

Sudah menjadi aturan tidak tertulis dalam hubungan mereka, bahwa Akashi tidak pernah berencana untuk menceritakan setiap detil pekerjaannya. Toh, Kurona tidak akan paham.

"Bagaimana kemajuan novelmu?"

Yang ditanya hanya mengedikkan bahu, memasang ekspresi sedih. "Belum ada kemajuan."

"Sudah berapa lama Satsuki ada di sini?"

"…sekitar 2 jam. Kenapa?"

Akashi mengempaskan tubuhnya di sofa, tanpa mengurangi posturnya yang sudah elegan. "Aku tidak percaya. Memangnya kalian tidak melakukan apa-apa selama 2 jam?"

Kurona duduk di sisi tunangannya tanpa perubahan ekspresi. "Kata-kata itu kedengarannya seperti aku dan Momoi-san punya hubungan spesial."

"Kalian memang punya hubungan spesial: penulis dan editor."

"Aku tidak percaya," kali ini Kurona mengacak rambutnya, "kalau aku bisa memilih orang yang terlalu rasional seperti Sei-kun."

"Berpikir rasional itu penting – supaya aku tidak sesensitif dirimu."

"Sudahlah," Kurona memutar laptop-nya ke arah Akashi. "Setidaknya jangan terlalu rasional dalam menilai naskahku."

Akashi hanya memerlukan beberapa detik untuk membaca bagian yang ditunjuk sebelum berkomentar, "terlalu monoton."

Kurona hanya menatap lurus ke arah Akashi, dengan ekspresi menuntut penjelasan.

"Hal yang terpenting dari suatu bagian cerita adalah hook. Kait. Hal yang bisa memikat pembaca dengan sekali baca," tutur Akashi. "Tapi penceritaanmu terlalu biasa. Terlalu mainstream. Kau bahkan mengabaikan fakta kalau cerita ini tidak hanya menarik untuk dirimu, tapi juga untuk pembaca."

"Ironisnya," Akashi mengetuk-ngetukkan jarinya di layar, "kau bahkan tidak tertarik dengan ceritamu sendiri."

"Memangnya Sei-kun tahu dari mana?"

Manik heterochrome menyipit. "Obvious sekali. kau tidak berusaha menyanggah kritikanku. Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang penulis adalah menonjolkan bagian favoritnya, atau setidaknya tidak membiarkan karyanya dijelek-jelekkan."

Benar juga. Kurona menghela napas panjang, berusaha menjaga agar emosinya tidak meledak – yang tentu saja, hal yang sangat langka terjadi.

Hal yang agak menyakitkan, sebenarnya, menyadari bagaimana Akashi lebih memahami pekerjaannya dibanding Kurona sendiri.

Tapi memangnya apa yang tidak bisa dikuasai oleh seorang Akashi Seijuuro?

"…karakterisasi dan setting-nya terlalu lemah. Tidak ada keunikan tersendiri." Kembali Akashi mengkritik dengan tajam. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan saat menulis, tapi ini payah sekali."

"Lalu apa saran Sei-kun?" tanya Kurona dengan nada lelah.

"Rombak semuanya."

Sepasang manik biru membelalak tak percaya. "Deadline-nya tinggal 5 hari lagi. Tidak mungkin waktunya cukup."

"Mungkin saja," Akashi berkeras, "kalau kau memang punya niat."

Kurona kembali menatap kosong ke arah layar, mencoba menemukan alternatif lain yang tidak seekstrem saran Akashi.

"Aku bisa membantumu." Akashi kembali bersuara.

Kurona menoleh. "Tapi pekerjaanmu…"

"Pekerjaanku di kantor. Bisa kuselesaikan di sana. Di sini pekerjaanku adalah mengurusmu." Sang emperor mengacak lembut rambut tunangannya.

"Kau calon seorang Akashi. Tidak mungkin aku membiarkanmu gagal di bidang sesederhana ini."

Buat yang sudah lihat di wattpad saya, saya memang udah nulis ini dalam bentuk oneshot, dan di sini ada beberapa bagian yang saya ubah. xD belum kepikiran untuk lanjutannya sih, jadi mungkin stuck dulu. Daripada nulis tapi terpaksa? /BOOM