Rambut coklat, mata hijau emerald-itulah Eren. Dia adalah seorang penari, bukan seorang penari yang meliukkan tubuhnya untuk menggoda nafsu, tapi ia menari dalam artian yang paling dasar-seni.

Eren adalah remaja polos, meskipun ia sering menyanggah mati-matian jika dikatai demikian. Ia lahir dari keluarga biasa-biasa saja, tapi ia lahir dengan bakat seni yang luar biasa. Tidak pernah begitu pintar dalam pelajaran, tapi selalu jadi nomor satu dalam kesenian. Ia tak selalu punya alasan mengapa ia memilih berbagai macam kesenian termasuk tari. Yang ia tahu hanya ia menyukainya, lalu melakukannya dengan senang hati. Senaif itu.

Baru sebentar Eren berlatih menari-setahun. Ia memilih tarian tradisional, yang menurutnya memiliki filosofi yang indah serta keunikan tersendiri dan bukan tarian kontemporer seperti para remaja lain. Lalu, dalam waktu sesingkat itu, ia telah menyamai mereka yang bersekolah di sekolah seni. Bahkan, ia berlatih menari di kerajaan yang jadi pusat kebudayaan. Padahal, tak semua orang berani melakukannya kecuali mereka sungguh serius dan telah memiliki modal ilmu sebelumnya. Ia pelajari semua dari dasar dalam waktu singkat sebagai bukti dari kejeniusannya.

Selain dianggap berbakat, Eren juga cukup bisa berbaur sehingga ia cepat diterima, cepat belajar, dan cepat mendapat kesempatan. Sayangnya, sifatnya yang blak-blakan itu juga sering membuat orang lain kesal. Belum ditambah sikap sok-tidak-peduli-pada-apapun yang membuat orang sekitarnya ingin memakannya hidup-hidup. Yah, meski begitu dengan mata berkilaunya itu ia tetap memiliki pesona yang bahkan membuat salju di kutub meleleh melihat sosoknya. Siapapun yang melihatnya akan mengakui ia cantik bak titisan dewi dan kemudian memaklumi sifat buruknya tadi.

###

"Eren, kau mau ikut? Kami sekelas berencana datang ke festival kuliner," ajak Sasha, teman sekelasnya. Eren menggeleng.

"Aku ada acara, maaf ya. Semoga hari kalian menyenangkan. Aku duluan ya," Eren melesat pergi.

"Hei, Armin.. Dia sibuk sekali, ya," Sasha menyilangkan tangannya.

"Yah, begitulah. Dia sedang menekuni sesuatu, iya kan Mikasa?" Jawab Armin seraya menoleh ke bangku Mikasa. Orang yang bersangkutan sudah lenyap, pasti menyusul Eren.

"Mereka berdua..." Armin memijit kepalanya gemas menanggapi kelakuan dua sahabatnya itu.

Eren pergi ke istana yang tak jauh dari sekolah. Mikasa menyusulnya. Eren meminta Mikasa pulang saja, karena hari ini Mikasa memang tidak ada perlu disana. Tapi jelas ditolak mentah-mentah, Mikasa tetap bersikeras menemani Eren.

"Kau istirahat saja di rumah, Mikasa."

"Aku akan menemanimu," tegas Mikasa.

"Kenapa?" Eren tidak mengerti.

Mikasa diam sejenak, lalu menjawab, "tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihatmu menari saja."

Eren curiga, tapi mengangguk saja. Toh, Mikasa memang keras kepala sama seperti dirinya. Bertengkar disini bukan ide bagus, karena ini tempat yang 'sakral'. Tempat latihan Eren adalah suatu bangsal besar yang dikelilingi pohon rindang yang menyejukkan sekaligus 'keramat' menurut para sesepuh. Zaman begini, yang percaya semacam itu hanya para orang tua dan kerajaan sebagai pusat budaya tetap harus menghormati itu meski memang terdengar tidak relevan lagi. Eren pun sebagai orang yang berada disitu harus menghormati dengan cara tidak membuat keributan berlebihan.

Mikasa duduk, membiarkan Eren mengganti pakaiannya dan mulai menari dibimbing oleh para penari senior. Mata Mikasa tidak lepas dari Eren, memastikan saudara angkat kesayangannya itu aman dari segala 'gangguan'.

"Eren, tangannya bukan begitu, tapi begini," seorang penari senior yang masih keturunan dekat raja, dengan suara bariton dan tangan dinginnya menyentuh tangan Eren, membuat Mikasa langsung menatap tidak suka. Jadi keturunan raja harusnya bukan berarti bebas menyentuh Eren, batin Mikasa.

"Oh, maaf. Terima kasih," ujar Eren tanpa curiga pada sentuhan itu. Ia tidak menyadari Mikasa dan seniornya itu sedang perang dingin karena kejadian berdurasi sekian detik itu.

Levi adalah penari yang jelas sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak menarikan tarian yang meliuk-liuk seperti wanita, tapi ia menarikan tarian yang gagah dan Eren mengakui kegagahan itu. Tariannya mirip seperti ksatria yang memegang senjata di medan perang. Levi adalah salah satu sosok yang dikagumi Eren karena gerakan tubuhnya tidak gemulai, tapi tidak kaku, dan selalu penuh energi. Matanya yang seperti orang kurang tidur dan selalu menatap tajam itu bukan membuat Eren takut, tapi kagum. Wajahnya memang tidak murah senyum-nyaris tidak pernah tersenyum, tapi kemampuannya jelas jauh di atas rata-rata. Sebagai bangsawan, Levi tidak banyak membedakan orang, buktinya ia menerima Eren apa adanya dari nol. Ah, kalimat terakhir itu dibantah Mikasa mentah-mentah. Menurut Mikasa, Levi selalu punya maksud terselubung-tidak tulus. Terutama terhadap Eren. Kesal, Mikasa akhirnya pulang.

"Coba benahi gerakanmu, seperti ini," Levi menyentuh pinggang Eren, membuat remaja itu geli sesaat.

"A-ah, baik," Eren menurut. Ia tidak bisa melihat mata Levi menatapnya kelaparan, dan ia tidak tahu kalau tubuhnya bisa membuat orang lapar.

Tangan kanan Levi masih memegangi pinggang Eren dari belakang, tapi tangan kirinya kini memegangi pergelangan tangan kiri Eren, memperbaiki posisi tari yang salah. Tapi, hasrat liarnya menyeruak hingga tangannya tanpa sadar meraba perut halus remaja perjaka nan polos itu. Usianya sudah kepala tiga, sedangkan Eren masih belia. Sungguh tak tahu diri, sebenarnya.

"Err, apa yang a-" Suara Eren membuat Levi kembali sadar, ia melepaskan tangannya perlahan dari tubuh Eren seolah memang benar apa yang ia lakukan tadi.

"Kurasa sesekali kau bisa coba menari bersamaku. Kau cukup cocok menarikan tarian perempuan, kurasa. Jadi, kau bisa jadi pasanganku," ujar Levi datar menyembunyikan maksud.

"Anda mengejekku?" Eren berhenti menari, berbalik dan menatap wajah datar sang penari nomor satu.

"Kau merasa terhina? Laki-laki bisa saja menarikan tarian tertentu yang ditarikan perempuan, begitu juga sebaliknya." Levi menyilangkan tangan ke dada, menatap mata Eren.

"Tapi ada tarian yang harus tetap dilakukan laki-laki dan perempuan tanpa ditukar-tukar. Apakah aku tidak bisa menarikan tarian yang seperti itu?"

"Bisa, mungkin. Tapi kelihatannya kau akan sangat cantik jika menarikan tarian perempuan. Mau mencoba?" Levi berbalik, mendekati Guru dan membisikkan sesuatu yang entah bagaimana membuat Eren merinding meski tidak mendengarnya.

"Baiklah. Eren, pada perayaan yang akan datang, kau akan menari bersama-" ujar Sang Guru terhenti setelah Levi mencegahnya.

"Denganku, sebagai pasanganku," sambung Levi.

Levi, seorang bangsawan sekaligus penari profesional. Apa yang dikatakannya adalah perintah, dan saran yang diutarakannya adalah arah. Keterkaitannya pada kerajaan ditambah pengalamannya yang melimpah membuat bahkan Sang Guru mempertimbangkan ucapannya. Jika Levi berkata A maka A akan terjadi-pasti.

"Tapi-" Eren agak tidak rela.

"Ini kehormatan untukmu, Eren. Tidak semua penari bisa menarikannya," ujar Guru.

"Baik," Eren menyerah.

"Biar aku mengajarimu. Kemari," Levi memerintah Eren. Eren menurut.

Levi memegangi pinggang Eren, kali ini dari depan. Levi memaksa Eren menatap matanya, yang membuat Eren gemetar sungkan bercampur jengah.

"Kau tidak suka?" Tanya Levi.

"Bu-bukan! Saya hanya merasa... tidak pantas."

"Kalau begitu aku akan cari yang lain. Bagaimana?"

"Ti-tidak apa-apa. Saya akan mencobanya."

Levi tersenyum dalam hati. Sungguh Eren pemuda yang manis. Orientasi seksual Levi memang sudah lama berbelok, dan setelah sekian tahun hidupnya kini datang seorang malaikat polos yang minta ditelan bulat-bulat. Ia memang sudah pantas dipanggil 'Bapak' karena usianya yang tak lagi muda, tapi apa salah jika ia menginginkan remaja yang masih hijau sehijau matanya yang berkilau itu? Ah entahlah, bocah ini bisa membuat Levi gila-tepatnya tergila-gila.

"Ngh-" erang Eren saat tangan Levi meraba kulit punggungnya. Ternyata Eren sangat sensitif-catatan untuk Levi.

"Kurasa aku tidak akan melatihmu sekarang. Pelajari dasarnya pada Hanji, lalu kita akan berlatih bersama kalau kau sudah siap," Eren melesat menemui Hanji di sudut tempat itu, meninggalkan Levi yang hampir lepas kendali.

"Tuan, ada yang mencari anda," seorang pelayan datang berlutut di belakang Levi.

"Siapa?" Tanya Levi datar, seolah tidak minat. Jelas, karena minatnya sekarang hanya pada Eren.

"Tuan Erwin, Tuanku," jawab pelayan itu.

"Suruh dia saja yang kemari," perintah Levi. Ia menepi, menunggu.

Tak lama kemudian, pria gagah berambut pirang muncul dan memberi salam. Itulah Erwin dan mata birunya yang tak pernah bisa dibaca Levi.

"Ada perlu denganku?" Tanya Levi ketus-atau dasarnya seperti itu.

"Masih menggeluti tari tradisional rupanya."

"Setengahnya ini kewajibanku sebagai anggota keluarga kerajaan, kau tahu itu. Lagipula, ini hiburan buatku saat sedang tidak punya pekerjaan. Jadi, ada apa?"

Erwin tersenyum, "dulu aku tidak bisa membedakan kau menari atau sedang mengamuk. Aku datang untuk memberitahumu, kalau keadaan kota belakangan ini tidak aman."

"Aku memang tidak menari, Erwin. Aku menghancurkan. Untuk apa kau memberitahuku? Kau punya akses langsung pada Raja-"

"Jangan bercanda. Hukumanmu hanya lima tahun, dan ini sudah tahun keenam. Kembalilah pada posisimu!"

"Aku dihukum Raja karena membunuh orang-orang dalam suatu kerusuhan. Untuk mengendalikanku, aku harus menjadi penari meski memang tarianku tetaplah tarian yang keras. Aku pun ingin berhenti Erwin, tapi ada sesuatu yang membuatku tidak bisa melakukannya."

"Apa maksudmu?!"

"Aku kehilangan nafsu membunuh, Erwin. Dewa mengutukku, merampasnya dariku," jawab Levi sedih. Matanya yang tajam itu seketika sendu, kehilangan aura.

"Kau tahu, negara kita tidak aman.." Erwin mencoba membujuk.

"Kalau ada orang yang tahu aku pernah melakukan kejahatan publik seperti itu, keluarga kerajaan akan kehilangan nama baiknya. Aku tidak akan jadi seorang raja, tapi aku tetap keluarga raja dan aku tidak mungkin-"

"Aku dapat perintah dari Raja."

"Jangan bohong. Pergi! Atau aku malah akan membunuhmu, Erwin!"

"Aku tidak bohong. Kau orang yang sangat kuat, siapapun tahu kau bukan orang sembarangan bahkan meski kau berusaha menari sehalus mungkin tanganmu itu tetap tangan seorang ahli pedang!"

"Aku menyerah. Akan kupikirkan, Erwin. Tapi sekarang pergilah!" Perintah Levi. "Penjaga, antar dia ke gerbang depan sekarang juga."

"Aku bisa sendiri. Aku sudah hafal jalannya sejak bertahun-tahun lalu. Aku undur diri, Pangeran."

"Diam kau."

Sepeninggal Erwin, Levi duduk di lantai. Diam. Latihan sudah selesai sebagian, jadi tempat itu berangsur sepi. Levi masih terbayang ucapan Erwin tadi sampai seseorang tiba-tiba duduk disampingnya.

"Anda baik-baik saja?" Tanya Eren.

"Ya. Bagaimana latihanmu?" Balas Levi.

"Ternyata tidak mudah, tapi menyenangkan. Anda kelihatan tidak baik-baik saja."

Levi menatap Eren. "Nak, katakan padaku.. menurutmu aku ini orang baik atau jahat?"

Eren bingung. "Kurasa anda orang baik. Bukankah bahkan orang jahat juga punya sisi baik?"

"Tch, bocah polos. Eren, kau tahu, aku bukan orang baik," Levi meletakkan tangannya ke paha Eren, perlahan naik sampai pangkal.

Agak jengah, tapi Eren diam saja. Mata hijaunya malah menatap mata Levi yang suram itu penasaran. "Ada yang membebani pikiran anda?"

Astaga, makhluk ini benar-benar minta dimakan, pikir Levi. Segeralah menjauh sebelum aku lepas kendali, bocah. "Ah, lupakan. Eren, gantilah bajumu dulu sana."

Eren mengganti bajunya dengan seragam sekolahnya tadi. Kemudian, saat ia kembali, Levi juga sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja hitam dan celana panjang hitam yang membuat auranya makin menyeramkan.

Eren datang kemari siang menjelang sore dan sekarang hari sudah gelap dan suasana begitu sepi. Eren agak takut ketika hanya berdua dengan Levi, karena seolah ia hendak ditelan hidup-hidup saat mata itu menatapnya. Ya, Levi memang berencana memakanmu Eren-'memakan'mu. Tapi, ia pura-pura tidak tahu apapun dan tetap berjalan keluar.

"Kau kelihatan agak pucat. Kelelahan?" Tanya Levi seraya meyentuh pipi Eren. "Atau memang kau sedang sakit?"

Tangan Levi lagi-lagi lepas kendali. Dari pipi, tangan itu turun ke pundak, lalu ke dada, pinggang, hingga akhirnya Eren yang jengah disentuh itu menampik tangan Levi.

"Saya kelelahan, permisi," Eren ingin segera kabur, tapi tangannya ditahan.

"Biar kuantar pulang kalau begitu."

"Tidak perlu! Saya bisa-" Cemgkraman Levi menguat, Eren yang memang pada dasarnya kelelahan itu tidak bisa melepaskan diri. Ia setengah panik, seperti oerawan hendak diculik hidung belang.

"Eren? Kau belum pulang rupanya. Ayo, kita pulang. Kebetulan rumah kita searah, kan? Sini kubawakan tasmu," Hanji entah dari mana muncul menjadi dewa penolong Eren. Eren langsung menyambut dan memeluk tangan Hanji seperti anak anjing.

"Terima kasih! Terima kasih!"

Levi mendengus tidak suka, tapi dia diam saja.

Eren diajak Hanji pulang jalan kaki sampai lapangan parkir untuk mengambil kendaraan, dan karena hari itu kebetulan Eren tidak bawa kendaraan sendiri, Hanji bermaksud mengantarnya.

"Hati-hati dengan dia, Eren," ujar Hanji memecah hening di antara keduanya.

"Eh? Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Hati-hati saja."

Eren hanya mengangguk sok paham.

"Dia orang yang keras, kasar, sekaligus lembut. Kami berteman baik, jadi aku tahu dia. Dan karenanya kusarankan kau hati-hati."

Eren yang lamban berpikir hanya mengangguk sok paham lagi.

"Satu lagi, Eren. Ketika nanti kau menari bersamanya, ikuti dia. Jangan melawan. Dia adalah pangeran yang arogan, jadi bisa saja dia mematahkan lenganmu sat kau menari tidak sesuai keinginannya."

"Seseram itu?" Eren tidak percaya.

"Bagaimana ya, sebenarnya tidak juga. Dia hanya yaah begitulah rumit kujelaskan. Oh, iya tunjukkan arah menuju rumahmu."

"Oh, belok kanan," Eren malah makin bingung dan curiga, tapi tampaknya Hanji tidak berencana membeberkan semua. Seperti apa sebenarnya?