Emergency Wedding
Characters by Masashi Kishimoto
Story by delphinea
.
.
(warning: AU, Out of Character, Informal languanges)
.
.
Emergency Wedding
Happy reading!
.
.
Itu Naruto.
Gue nyaris nggak kenal kalau bukan karena rambut pirang dan mata birunya yang menurut gue atraktif. Dia berdiri dengan kemeja yang dilipat sesiku dan celana panjang hitam.
Saat itu pula, pandangan kami bertemu.
Naruto jalan ke arah gue dengan senyum segaris di wajahnya. Itu bukan senyum yang gue ingat. Sepuluh tahun yang lalu, dia selalu tersenyum lebar—memamerkan gigi-gigi putihnya yang rapi.
"Ra, apa kabar?"
Gue menendang tulang keringnya dengan ujung Jimmy Choo yang baru gue beli beberapa minggu yang lalu. Kalau tak ingat harga sepatu ini, gue pasti udah melemparnya ke wajah cowok ini.
"Akh!"
Dia merintih kesakitan, mengelus-elus bagian kakinya yang barusan kutendang.
"Kenapa sih, Ra?"
Gue baru aja bakal memukul kepalanya dengan telapak tangan—seperti kebiasaan gue sepuluh tahun yang lalu, kalau saja gue nggak ingat kalau kami sedang berapa di reuni sekolah. Dan tentu saja, rintihan Naruto tadi sudah menarik perhatian orang-orang di sekitar kami.
"Lo masih nanya kenapa? Itu otak cuman dijadiin pajangan aja, ya?"
Gue akui, gue memang judes. Naruto tahu kok. Dia malah pernah bilang kalau gue adalah cewek paling cerewet nan pedas mulutnya. Tentu saja gue langsung mencubit perutnya setelah dia mengatakan itu.
Naruto menghela napasnya. Gue duga dia bakalan mengaduh dengan lebay lalu berlutut meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang dia hanya menghela napasnya?
Naruto yang stay cool setelah ditendang tulang keringnya? HELLAW! Ini cowok gak perlu jaga image-lah di depan gue.
Gue mendekatkan wajahku ke telinganya, berniat berbisik.
"Gue udah tau lo dari jaman lo masih sangek ngeliat cewek pake baju ketat—so, don't pretend to be cool in front of me."
Naruto masih bergeming. Entah dia syok atau malah masih mencerna omongan gue. Dicatet, ya. Naruto punya rekor nilai paling rendah seangkatan kami dulu. Jadi, wajar aja sih.
"Jelasin dulu deh kenapa kamu nendang aku."
Oke, ini cowok makin minta ditabok ya. Tapi nggak ada gunanya gue nabok—tapi otaknya masih nggak gerak. Yang ada makin macet.
"Setelah sepuluh tahun ngilang, lo ngarepin gue jawab 'baik, kabar lo gimana?' pas lo tanya 'apa kabar, Ra?'" Nggak tau deh ini gue nyerocosnya kecepetan atau emang napas gue yang mulai memendek. Gue ngirup napas bentar.
"Enak banget ya lo ngilang—anjir, sepuluh tahun, for Gucci's sake!" Akhirnya umpatan keluar juga dari mulutku. "Trus tiba-tiba dateng dan nanyain kabar? How polite you are." Gue lanjut nyindir tanpa ampun.
Naruto yang daritadi mendengarkan dalam hening, kini malah memijat kepalanya dengan ekspresi aneh—nggak ngerti juga gue. Apa yang barusan gue bilang bikin dia stres? Perasaan udah pernah tiga tahun dia dengerin cerocosin gue tapi santai aja.
Gue menyadari makin banyak orang-orang yang menoleh ke kami—mungkin karena omelan serta makian tadi—jadi, kutarik tangannya ke arah balkon. Restoran ini memang punya pemandangan dari balkon yang cukup indah—sebuah taman luas dengan lampu warna-warni.
Oh, sekarang bukan saatnya menikmati pemandangan.
"Maafin aku, Ra."
Oke, gue baru sadar—ini cowok daritadi pake 'aku-kamu' ke gue. The hell. Entah karena udah terbiasa denger 'gue-lo' dari mulutnya, sekarang pas denger 'aku-kamu' jadi agak geli gitu ya.
"Tapi yang penting aku balik lagi, kan?"
Aku menghela napas kesal. Ini cowok nggak ngerti ya. Yang gue butuh itu alasan—why he left without any notice. Ya, kalau lo balik lagi sih, itu sih gue tau.
"Nanti aku bakal kasih tahu alasannya."
Oke. Naruto nggak mungkin lupa kalau gue benci kata 'nanti'. Jelas, gue maunya sekarang.
"Sekarang…,"
Gue masih diam natapin dia—pasti deh kening gue berkerut-kerut sekarang.
"Kamu mau nikah sama aku?"
To Be Continued
.
.
Author's note:
To be honest, I couldn't give up on this couple, bahkan setelah ngebaca ending Naruto (you don't know how long I've been hibernate to accept the truth)
Call me a fool, but I really do think that this couple is real. And that's the reason I comeback as a fanfiction writer. I need them to be real, even if in my fanfiction.
About the story, this is a very short for a chapter, but I hope you like it. And there's a reason for my writing style changing. I hope you understand.
Thank you for reading :)
