A/N:

Iya, bukannya nerusin yang udah ada saya malah bawa FF baru. Niatnya sih FF ini untuk menyambut (?) liburan. Makanya genrenya simpel dan manis. Awalnya mau bikin ficlet di bawah 1000 kata, eh malah meleber jadi 1500+

FF ini berisi semua official pairing—enam cerita yang dibagi jadi masing-masing dua di setiap chapternya. Seperti biasa, setiap membuat FF saya pasti punya konsep awal sampai ending. Jadi masing-masing pairing pun ceritanya sudah terkonsep.

Happy reading! Happy Holiday!

PLEASE DO NOT Favorite or Follow without leaving any review before.

That's kind of rude for me.

Please Respect.


Disclaimer: Standard disclaimer applied. I do not own the cast, all casts belong to themselves, but the story is mine. Non profit taken.

Casts: All EXO Official Pairings.

Genre: Romance, drama, humor, friendship, etc.

Rating: T


THE HALF SOUL

By kwondami

Six stories about confession, bad habits, effort, moment, trick, and jealousy...

.

They speak one similar word:

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Love.


[ I ]

SLEEPY HEAD

KaiSoo

Words count: 1.742

.

Inspired:

Tahiti 80 – Heartbeat

"—Can you feel my hearbeat when I'm close to you...?"

.

.

.

Jongin selalu melihat dia.

.

Jongin juga tahu siapa namanya.

.

Nama pemuda itu Do Kyungsoo. Tercetak jelas pada tag nama yang tersemat di bagian atas jas sekolahnya.

Pemuda itu memakai sweter merah berlapis jas berwarna cokelat muda. Sedangkan Jongin memakai jas abu-abu, kemeja putih, dan dasi hitam.

Cukup jelas untuk menyimpulkan bahwa mereka berbeda sekolah.

.

Tapi Jongin sudah lama memperhatikannya.

.

Jongin menyukai bagaimana rambut ikal yang hitam itu jatuh sempurna menutup dahinya yang mulus. Atau bagaimana pundaknya yang mungil, terlebih lagi wajah imutnya ketika terlelap.

Jongin memang hampir selalu melihatnya dalam keadaan terlelap.

Seperti malam ini, ketika sedang menanti kereta terakhir untuk pulang, Jongin melihatnya di sana. Di bangku yang sama, dengan posisi yang sama setiap malamnya.

Terpejam.

.

.

—lebih tepatnya tertidur.

.

Setiap lima kali dalam seminggu, Jongin bertemu dengannya di stasiun. Mereka menanti kereta yang sama untuk berangkat ke sekolah. Jongin selalu naik lebih awal namun Kyungsoo selalu turun lebih dulu. Pemberhentian akhir mereka berjarak tiga stasiun.

Jongin menebak, Do Kyungsoo juga seorang siswa kelas tiga sama seperti dirinya. Dia pernah melihatnya membawa buku-buku tebal bimbingan belajar saat memasuki kereta. Sayangnya, mereka mengikuti bimbingan di tempat yang berbeda. Meskipun jadwalnya persis sama, mengharuskan sama-sama pulang jam sembilan malam.

Karena itulah, satu-satunya tempat di mana Jongin bisa bertemu dengan Kyungsoo adalah stasiun. Lima kali dalam seminggu, pagi dan malam, Senin sampai Jumat.

Jongin melirik papan digital yang menampilkan interval waktu kedatangan kereta.

Enam puluh detik sebelum kereta memasuki peron.

Ia melirik ke arah Kyungsoo duduk. Kyungsoo yang tengah terlelap refleks terjaga ketika dirasa lantai tempatnya berpijak sedikit bergetar.

Pintu kereta terbuka. Kyungsoo segera bangkit untuk menghambur ke dalam.

Jongin mengikutinya dari belakang. Bukan, dia bukan penguntit. Dia memang harus naik kereta yang sama untuk pulang.

Jongin mencengkram besi pegangan saat tubuhnya sedikit terhentak.

Ia memang sengaja—dan selalu—memilih untuk berdiri agar lebih leluasa mengawasinya.

.

Perlahan, mata itu kembali meredup.

.

.

Kyungsoo kembali tertidur pulas.

.

.

.

.

Hari ini adalah hari terakhir pekan ujian semester. Rasa-rasanya kau bisa mendengar suara bahu berkeretek di mana-mana. Hiperbola—maksudku mereka akhirnya bisa merenggangkan otot-otot yang kaku setelah hampir dua minggu berkutat dengan soal-soal ujian.

Jongin menguap di kursinya. Setelah ujian yang melelahkan di sekolah, dia masih harus mengikuti bimbingan belajar. Ingin rasanya membolos, tapi Jongin tahu. Satu-satunya pihak yang akan dirugikan dari hal ini adalah dirinya sendiri.

Dia harus belajar keras agar bisa tembus ujian penerimaan mahasiswa baru.

Untunglah Lee Donghae, guru muda di lembaga bimbingan belajar itu cukup pengertian membaca raut lelah murid-muridnya. Ia akhirnya memulangkan mereka setengah jam lebih awal. Keputusannya ini disambut gempita oleh seisi kelas yang di mana—jiwa mereka sudah melayang-melayang membayangkan empuknya kasur di kamar.

Dalam perjalanannya menuju stasiun, Jongin memutuskan membeli frapuccino untuk mendinginkan otaknya yang terkuras sejak pagi.

"Ah, segar!" Asap di kepala akhirnya padam tergantikan oleh rasa rileks.

Jongin melangkahkan kakinya cekatan, menuruni anak tangga yang menuju peron. Saat ini ia pulang tiga puluh menit lebih awal jadi dia tidak berharap bertemu dengan Kyungsoo. Tapi ternyata dia salah.

.

—karena Kyungsoo ada di sana.

.

Masih dengan posisi favoritnya; punggung bersandar pada tembok dingin, tangan memeluk ransel, kepala terkulai manis.

Kyungsoo terlelap.

Tidak banyak orang di stasiun malam itu. Hanya ada mereka berdua, seorang bapak bersetelan kantor, dan seorang wanita muda dengan kantung belanjaan.

Seorang kakek penjaga karcis menghampiri Jongin, menggumamkan serangkain pemberitahuan, "Ini akan menjadi kereta terakhir karena ada sedikit gangguan." Jongin baru saja hendak bertanya namun si kakek sudah melangkah mendekati calon penumpang lain. Mungkin untuk menginformasikan berita yang sama.

Si kakek tidak menghampiri Kyungsoo karena pemuda itu terlalu terlena dengan mimpinya.

Jongin melirik papan waktu kedatangan. Enam puluh detik sebelum kereta datang.

Biasanya Kyungsoo akan refleks bangun jika kereta hampir datang, tapi kali ini tidak. Mungkin dia benar-benar kelelahan sehingga tidurnya amat pulas. Ditambah lagi, Kyungsoo benar-benar tukang tidur.

.

Merasa iba. Dan memang sangat ingin melihat Kyungsoo dari jarak dekat, Jongin perlahan mendekat lalu duduk di sebelahnya.

.

"Hei," Jongin berbisik pelan.

.

Dia ingin sekali memanggil Kyungsoo dengan namanya, tapi dia tidak ingin Kyungsoo curiga. Bagaimana pun, mereka tidak saling mengenal dan belum berkenalan. Jongin hanya mengetahui nama Kyungsoo lewat tag nama di seragam.

"Bangunlah," lirih jongin lagi. Tapi Kyungsoo tetap tak bergeming.

Mendadak, sebuah ide terlintas di benaknya. Jongin menempelkan gelas plastik dingin frapuccino ke pipi halus Kyungsoo.

.

Dua detik.

.

Namun hal itu sontak membuat Kyungsoo terbangun, terkejut karena mendapat serangan hawa dingin tiba-tiba. Kyungsoo menoleh ke arahnya cepat dengan mata terbelalak. Sejenak pandangan mereka bertemu dan terkunci satu sama lain.

.

Berkedip.

.

Jongin berkedip lagi.

.

Semu hangat seenaknya menggelayuti pipi. Ia cepat-cepat memalingkan muka.

Untung saja kereta segera datang sehingga Jongin bisa menyembunyikan rona merah muda wajahnya di sana. Tanpa pikir panjang, ia segera melesat masuk dan melangkah ke arah gerbong lain.

.

.

.

Jongin terlalu berdebar setelah beradu pandang dengan Kyungsoo.

.

.

.

.

Senin malamnya, Jongin kembali pada rutinitas yang sama.

Ia kembali menemukan sosok Kyungsoo, bersandar pulas pada dinding stasiun. Rupanya hari ini pun kereta hanya melayani sampai pada pukul 09.15.

"Ada perbaikan yang belum selesai," begitu kata si kakek penjaga peron karcis ketika Jongin bertanya apa alasannya.

Dan seperti kemarin pula, Kyungsoo tidak bergeming ketika kereta hampir tiba. Jongin memutuskan untuk tidak membangunkannya karena masih malu atas kejadian kemarin. Karena bagaimana pun juga—

.

.

.

—Jongin telah jatuh hati pada Kyungsoo.

.

.

Dan berada sangat dekat dengan orang yang ia sukai selalu sukses membuat jantungnya mencengkram hebat.

Enam puluh detik menjelang kedatangan kereta dan Kyungsoo belum juga bangun.

Ketika ular besi itu datang, Jongin melangkah ragu ke dalamnya lantas mencengkram lingkaran besi yang menggantung.

Ia menghitung.

Satu...

Dua...

—Kyungsoo belum juga bangun.

Tiga...

Empat...

Ini kereta terakhir. Jika Kyungsoo ketinggalan, alternatifnya dia harus naik bus. Tapi itu pun dia harus berjalan cukup jauh ke halte terdekat, belum lagi waktu tempuh yang lebih lama. Rasanya tidak mungkin mengingat kondisi Kyungsoo yang selalu mengantuk.

Lima...

—oh ayolah!

Enam...

.

Jongin membuat keputusan.

.

Pintu kereta akan dua kali membuka dan menutup bergantian sebelum benar-benar menutup. Jongin menggunakan kesempatan ini baik-baik. Ia melesat secepat kilat, menggenggam tangan Kyungsoo lalu membawa tubuh letih itu ke dalam kereta. Dicengkramnya tangan mungil itu, sedikit menghentak untuk menariknya kuat. Untunglah kursi panjang tempat Kyungsoo duduk hanya berjarak sepuluh langkah dari muka pintu.

Sangat cepat.

Kyungsoo bahkan tak punya waktu untuk terkejut.

Pintu menutup. Kereta pun mulai merayap.

Semuanya terjadi begitu cepat. Sampai-sampai Kyungsoo tak menyadari siapa pemuda yang menarik lengannya. Sedikit linglung, akhirnya ia bergerak pelan ke arah bangku.

Kyungsoo mendongakkan kepala. Raut terkejut tercetak jelas di benaknya ketika mendapati tubuh Jongin berdiri bergelantungan pada pegangan besi.

Saat itulah bola mata keduanya bersilang tatap.

Jongin cepat-cepat menunduk, menatap lurus ke arah sepatu. Semburat tipis merah jambu menjalar di wajah. Lagi-lagi karena sepasang mata bulat itu terlalu menghipnotisnya.

Kyungsoo masih tercengang. Bibirnya bahkan sedikit terbuka.

.

"Ini kereta terakhir," kata Jongin akhirnya. "Aku takut kau ketinggalan kereta karena itu aku menarikmu dan yah—" Jongin kembali menunduk. Kemampuannya merangkai kata hilang karena terlampau gugup.

.

"Oh," Kyungsoo yang belum bangkit dari keterkejutannya menggumam. "A—aku, berterima kasih," tuturnya terbata-bata.

Kyungsoo ikut menunduk.

.

.

.

Namun tak butuh waktu lama bagi rasa kantuk untuk kembali menguasainya...

.

.

.

.

Butuh hampir dua puluh menit untuk sampai ke stasiun tujuan Kyungsoo. Dan butuh tiga puluh menit bagi Jongin untuk sampai ke tujuannya sendiri.

Kyungsoo sudah kembali tertidur pulas sejak lima menit pertama.

Suasana kereta sangat lenggang, hanya ada mereka berdua dan seorang kakek tua di sudut gerbong. Diam-diam, Jongin mengambil posisi dari berdiri menjadi duduk di sebelah Kyungsoo. Entah apa yang mendorong keberaniannya kali ini, tapi dia hanya ingin—Jongin ingin lebih dekat dengan Kyungsoo.

Sejauh ini, Jongin tidak berani mengajak Kyungsoo berkenalan. Dia bahkan tidak berani duduk di sebelah Kyungsoo saat di kereta.

Baru saja tubuhnya bersandar pada kursi empuk penumpang, kepala Kyungsoo terkulai—menyandar lembut di pundaknya.

Jongin menahan napas.

Tubuh mereka yang nyaris rapat membuatnya dapat merasakan deru napas milik Kyungsoo.

Merasa jantungnya berdentam tak karuan, dia akhirnya melakukan sesuatu untuk mengusir rasa gugup, "Kenalkan, namaku Kim Jongin," ia menggumam lirih. Kalimat yang sejak lama sangat ingin diucapkan pada Kyungsoo.

Jongin merendahkan kepalanya sampai batas ubun-ubun kepala Kyungsoo. Aroma rambut pemuda itu memeluk seluruh alam sadarnya. Ia lantas kembali bergumam, "Aku kelas tiga SMU dan aku sudah lama memperhatikanmu."

Mata Jongin terpejam, mengukir setiap tarikan napas Kyungsoo dalam benaknya. Ketika perlahan ia membuka mata, sosok itu masih bersandar pada bahunya; terlelap manis. Hangat napas Kyungsoo di dekat lehernya membuat sanubarinya berdesir hangat.

Seketika hati Jongin terasa ringan bagai terisi helium. Rasa bahagia membuat sudut bibirnya tak kuasa menyimpul senyum.

"...dan kurasa—"

.

Suaranya makin lirih, nyaris berbisik. "—aku jatuh cinta padamu."

.

Seketika tubuh Kyungsoo yang bersandar pada Jongin mendadak kaku. Kyungsoo tidak menjauhkan kepalanya dari tubuh Jongin, tapi Jongin tahu...

.

...Kyungsoo telah terbangun.

.

Tak ayal, tubuh Jongin ikut membeku.

.

Hening jatuh diam-diam.

Hanya ada suara gesekan halus roda dengan bantalan rel.

.

.

Apa Kyungsoo sejak tadi tidak benar-benar tidur?

Apa dia mendengar semuanya?

.

.

.

"...Jongin."

.

.

Astaga! Jadi, dia mendengar semuanya?

.

.

.

Sekelebat, Jongin mendengar detak lain. Bukan, itu bukan suara kegugupannya, itu detak jantung Kyungsoo yang berdentam seirama dengan miliknya.

.

.

.

.

"Jongin..."

.

.

.

"Y-ya?"

.

.

.

.

"...Aku juga menyukaimu."

.

.

.

.

Tunggu.

.

"Kau—APA?"

.

.

.

.

"Aku juga sudah memperhatikanmu sejak lama. Makanya, aku suka-suka pura-pura tertidur."

.

.

Jantung Jongin seakan mencelos sampai ke dasar.

Ia terkesiap. Dia tidak sedang bermimpi kan?

"K—kau serius?"

.

Kyungsoo menyentakkan kepalanya untuk beradu pandang dengan Jongin. Senyumnya terkembang amat manis. Ia mengangguk malu-malu dengan pipi merona hebat lalu kembali menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada dada Jongin.

"Ya...," jawabnya setengah berbisik.

.

Oh, Ya Tuhan. Jadi dia—SERIUS?

.

Jongin terdiam. Tak lama kemudian ia tersenyum lebar. Ia lantas membenamkan bibirnya ke pucuk kepala Kyungsoo. Tertawa kecil di sana.

Kebahagian yang meluap.

.

"Jongin-ah..."

"Hm?"

"Aku mengantuk."

"Kali ini bukan pura-pura?"

.

.

.

Sebuah sikutan keras langsung saja menghantam perutnya.

.

.

.

Jongin selalu melihat dia.

Jongin juga tahu siapa namanya.

Nama pemuda itu Do Kyungsoo. Tercetak jelas pada tag nama yang tersemat di bagian atas jas sekolah.

Pemuda yang diam-diam juga memperhatihannya.

Pemuda yang mulai hari ini menjadi kekasihnya...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


[ II ]

THE FORGETFUL PANDA

KrisTao

Words count: 1.659

.

Inspired:

Lorde – A World Alone

"—We've both got a million bad habits to kick..."

.

.

.

"Ge, kau lihat kaca mataku tidak?"

Lelaki di seberang teleponnya hanya mendengus pendek sebagai jawaban.

"Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi tidak ketemu. BAGAIMANA INI?" cetusnya makin panik. Tao melirik jam dinding di kamarnya sekilas. Lima belas menit lagi kelas Professor Han dimulai dan dia tentu tidak bisa pergi tanpa kacamatanya.

Tao semakin menggiatkan tangannya mengacak-acak selimut yang belum sempat dibenahi.

Saat ini Kris sedang berada di subway dalam perjalanannya menuju ke kantor. Tao meneleponnya seperti ini—tepatnya untuk menanyakan barang-barangnya yang hilang bukanlah terjadi sekali dua kali.

Tapi setiap hari. Setiap pagi.

Mereka memang tinggal satu atap sejak tahun lalu. Tepatnya ketika Kris mengikatnya dalam sebuah hubungan. Tao yang ceroboh, pelupa, dan tidak apik harus dibenturkan dengan Kris yang teliti, cermat, dan rapi. Sebuah kontradiktif yang nyatanya bisa berjalan saling mengisi bahkan hingga hari ini.

"Gege..." suara Tao terdengar nyaris frustasi.

"Coba cek kepalamu," balas Kris pendek.

Tao bergegas menuju cermin yang tergantung di sudut kamarnya lalu tersenyum lega. "Ah, ternyata ada di kepalaku. Aku pasti tak sadar menaikkannya ke atas ketika memanaskan sup supaya kacanya tidak berembun."

Kris menggeleng-gelengkan kepalanya meskipun yakin Tao tidak bisa melihatnya. Dia baru saja akan memasukkan ponselnya ke dalam saku jas ketika ponselnya kembali benyanyi.

Nama yang sama tertera di sana.

"Ya, ada apa lagi Tao?"

"Ge, apa kau ingat di mana aku meletakkan ranselku?" sembur Tao cepat tanpa basa-basi.

Kris menghela napas panjang. Pacar kecilnya masih berusia sembilan belas tahun tapi mengapa ingatannya sama dengan angka kebalikan usianya; sembilan puluh satu tahun.

"Coba periksa punggungmu."

Tao meraba punggungnya dengan sebelah tangan. "Oh iya, hehehe," kekehnya tanpa rasa bersalah. "Oh dan jam tanganku?"

"Cek pergelangan tangan kirimu. Kau selalu memakainya setelah selesai berpakaian," tutur Kris yang memang hapal kebiasaan Tao daripada si pemilik kebiasaan sendiri.

"Ups, kau benar ge," balas Tao nyengir.

"Kalau kau mencari dompet atau topi, buka saja resleting tas bagian depan. Semuanya pasti ada di sana."

"Iya-iya aku tahu," Tao berdecak jengkel.

"Bukankah hari ini kau ada kelas Professor Han?"

"Astaga! Aku lupa! Untung gege cepat-cepat mengingatkan!"

'Aku lupa', Frasa inilah yang berkali-kali menjadi alasan bagi Tao. Kris yakin kekasihnya tidak menderita penyakit ingatan jangka pendek. Sifat pelupanya ini adalah hasil dari sifat buruk yang terus menerus dipelihara.

Kris menghela napas panjang. Ia menatap ponselnya beberapa detik—memastikan layarnya tidak berkedip lagi sebelum menyimpannya kembali ke saku jas, namun ponselnya kembali bersiul.

"Hal—"

"WU YI FAN GEGE INI GAWAT!"

Tao berseru dengan nada melengking seperti baru saja terjadi kebakaran. Ponsel Kris hampir saja jatuh dibuatnya.

"Aaargggh, apalagi Tao?"

"PONSELKU HILANG!" pekiknya setengah menjerit. "Pasti pencopet mengambilnya ketika aku naik bis. Huweee, bagaimana ini?"

Ponsel itu hadiah ulang tahunnya dari Kris. Dia akan merasa bersalah jika benar-benar menghilangkannya. Tao sampai menggigit jarinya untuk meredam panik. Matanya bahkan sudah terasa panas siap menangis.

Kening Kris melengkung.

Kris menjauhkan ponselnya dari telinga lalu menatap benda pipih itu tak habis pikir. "...Lalu sekarang kau menelepon dengan ponsel siapa?" tanyanya setengah sinting dan nyaris berteriak.

Tao terdiam.

Setelah itu ia menepuk keras dahinya sendiri. "Oh, astaga! Tentu saja ponselku. Rupanya aku menaruhnya di saku jaket, bukan di resleting tas. Hehehe."

"..."

Memiliki kekasih dengan kadar ingatan manula sembilan puluh satu tahun sungguh sangat merepotkan.

.

.

.

Tungkainya berayun lemah.

Baginya saat ini, dua puluh anak tangga menuju apartemen terasa berkali-lipat jumlahnya. Jika boleh ditambahkan, setiap ayunan kaki seakan-akan menguras energinya berkali-kali lipat. Ini semua karena tubuhnya yang terlampau lelah.

Kris semestinya sudah ke luar kantor sejak pukul lima petang, tapi bosnya yang baik hati malah memberinya pekerjaan tambahan. Ia akhirnya menyanggupi dengan iming-iming bonus gaji.

Mengingat hari jadinya dengan Tao semakin dekat, Kris harus menyiapkan hadiah. Dan biasanya, barang yang Tao inginkan bukan termasuk barang murah.

Oh percayalah, hidup Kris tak jauh beda dengan pemuda di belahan dunia lain. Drama televisi yang menceritakan seorang CEO kaya sekaligus tampan menaiki Lamborghini—di usia awal 20-an—pasti sengaja dibuat untuk menaikkan rating.

Maksudku—hal itu mana ada sih?

Oke, mungkin Kris terlalu sentimen hari ini.

Tapi intinya, Kris Wu hanyalah pegawai kelas menengah—dan tidak mewarisi perusahaan kakeknya yang kaya raya atau apa pun itu—jadi dia harus benar-benar menabung untuk memberi kekasih kecilnya hadiah.

Lupakan soal hadiah. Sekarang pria tinggi itu mendesah lega karena akhirnya sampai juga di muka pintu.

Gelap menyambut ketika daun pintu terbuka. Apakah Tao sudah tidur? Kris bertanya-tanya dalam hati.

Baru saja tangannya menggapai-gapai saklar, lampu ruang tengah sudah terlebih dulu menyala.

Mulut Kris membulat.

Bagaimana tidak, seisi ruang tamu kini dihiasi balon warna-warni dan pita di sana-sini dan—

"HAPPY ANNIVERSARY!" –Tao tiba-tiba muncul sambil membawa kue tart berukuran sedang. Bagian tengah kue itu berhiaskan lilin angka satu.

.

Kris tercengang.

.

Oh tidak. Kali ini Tao pasti lupa kalau hari anniversary mereka baru akan terjadi minggu depan!

.

Kris yang lelah menanggapinya dingin. Dia melepas jasnya lalu berjalan menuju kamar.

"Gege, kok diam saja?" respon Tao karena Kris hanya memasang wajah datar.

Kris menjawab malas, "Aku lelah."

"Aku juga lelah menunggumu sejak jam lima sore dan kau baru datang jam sepuluh malam," ujarnya sendu. Tapi Tao kembali menghampiri Kris dengan senyum lebar, menyodorkan sebuah kue tart kecil berlilinkan angka satu. "Ayo tiup lilinnya," cetusnya bersemangat.

"Tao..., apa kau ingat hari ini tanggal berapa?"

"Tentu saja tanggal lima belas April. Setahun yang lalu kau menyatakan cinta padaku di sebuah restoran Perancis yang makanannya hampir membuatku muntah."

Mata Kris menyipit. "Sekarang masih tanggal delapan. Itu artinya hari anniversary kita baru akan berlangsung minggu depan."

"Tidak mungkin."

"Itulah kenyataannya."

Tao tersenyum kecut. "Aku memang pelupa tapi aku tidak mungkin lupa pada hari sepenting ini."

Kris yang baru saja membuka tiga kancing kemejanya menoleh. "Apa maksudmu?"

"Maksudku adalah sekarang tanggal lima belas April Kris gege. Sekarang adalah hari anniversary kita," tegas Tao.

"Oh ayolah, gege benar-benar lelah sekarang. Tidak kah kau mengerti?"

Tao meletakkan kuenya di nakas lalu menatap Kris tajam dengan suara meninggi. "Maksudmu kau lupa hari penting ini begitu?"

Great!

Sekarang Kris yang hampir roboh saking lelahnya dituduh kekasihnya sendiri sebagai pelupa, padahal si penuduhlah yang sebenarnya pelupa.

Kris meletakkan kedua tangannya di pinggang. Tidak ingin berdebat, tapi emosinya mulai naik. "Sekarang bulan April tanggal delapan, sayangku Huang Zi Tao," tegasnya penuh penekanan.

"Jadi kau benar-benar lupa begitu? Hiks, aku tidak percaya. Hiks—"

"..."

"Kusangka kau sengaja diam untuk menyiapkan kejutan, tapi ternyata—hiks."

Kris menarik napas dalam-dalam. Dadanya bergemuruh menahan jengkel. Tenang Kris, tenang. Ini pasti hanya penyakit lupa Tao yang semakin akut.

Tao mengeluarkan ponselnya lalu memperlihatkan tanggal yang tertera di sana. "Lihat, sekarang tanggal lima belas April. Aku bahkan memasang alarm pengingat untuk hari ini."

Kris melotot. Ia lantas meraih ponselnya sendiri tapi sialnya, baterainya habis. Ia melempar ponselnya ke kasur dengan sebal.

"Masih tidak percaya juga?" Tao memelas dengan air mata yang siap tumpah. Ditekannya tombol-tombol untuk menelepon seseorang. Telepon tersambung dengan cepat.

"Ya, halo? Kali ini kau lupa apa lagi Tao?" sapa seseorang lewat loud speaker. Gerutuannya membuat Tao makin cemberut.

"Baekki, sekarang tanggal berapa?"

"Tanggal lima belas April. Jangan bilang kau meneleponku hanya karena lupa tang—"

Klik. Tao menutup teleponnya cepat.

"See?" unjuk Tao menantang.

"Berikan ponselmu."

Tao memberikan ponselnya sendiri pada Kris setengah enggan ditambah bibir yang masih mengerucut. Kris menyambarnya lalu membuat panggilan cepat.

"A-yo! Whaddup Tao? Jangan bilang kau lupa di mana mengikat panda perliharaanmu? Ingat Tao, kau tidak punya panda. Panda hanya ada di kebun binatang."

"Ya! Chanyeol! Ini aku Kris."

"Ups, ada apa Krissie?"

"Sekarang tanggal berapa?" sembur Kris cepat, melupakan keinginannya membentak Chanyeol karena telah memanggilnya dengan panggilan konyol. Di dekatnya, Tao mendelik dengan ekspresi remeh.

"Tanggal lima belas April tentu saja."

"..."

"Jangan bilang kau lupa hari anniversary-mu dengan Tao. Kulihat tadi dia sangat bersemangat menyiapkan hadiah untukmu."

"..."

"...Aku benar ya? Ckckck, Krissie-Krissie—kau seharusnya tidak pikun begitu."

"Ugh—"

Klik. Kris menutup teleponnya gusar.

Tao bersidekap. Bola matanya berputar kesal. "Sudah puas Tuan Wu Yi Fan?"

"Ng, itu—"

"Ternyata kau benar-benar lupa."

"Tao—"

"Kau jahat."

"Tao, aku mengaku salah oke? Aku—"

"Aku bahkan sudah menyiapkan hadiah untukmu, tapi kau malah lupa." Tao memasang wajah siap menangis yang sukses membuat Kris merasa sebagai pria paling bengsek.

Kris duduk di atas kasur, mengacak-acak rambutnya frustasi. Rasanya ia ingin meledak saja. "Zi Tao sayangku, maafkan gege oke? Sebagai gantinya kau boleh meminta apa pun yang kau mau."

Tawaran Kris membuat Tao rengekan Tao terhenti. Ia lantas menghampiri Kris yang duduk di tepi kasur. "Termasuk tas Gucci limited edition?" tanyanya berbinar.

"Tentu sa—HAH APA?"

Alih-alih menyahut, Tao menghampiri Kris dengan gerakan manja. Ia naik ke pangkuan kekasihnya lalu mengalungkan lengannya di leher pria berambut pirang tersebut. "Katanya aku boleh minta apa saja," protesnya dengan nada imut.

Tao mulai mengusapkan hidungnya pada leher Kris dengan lembut. Membuat Kris mengerang menahan napas, "Oke-oke, kau boleh minta itu," imbuh Kris pasrah. Padahal hati dan dompetnya menjerit.

Detik berikutnya, bibir mereka bertemu. Kris mengecup bibir Tao lembut. Berharap ciumannya dapat membungkam kecerewetan Tao. Kris berharap Tao cepat 'lupa' akan rasa kesalnya.

Kedua permukaan lembab itu menempel, bergerak dalam melodi menyenangkan. Ciuman ringan lamat-lamat mulai beralih menjadi ciuman panjang mesra. Kris menghela setiap hembusan udara yang keluar dari mulut Tao dan begitu pula sebaliknya.

"Kau tahu, mungkin sebaiknya kau tetap menjadi pelupa," bisik Kris serak di telinga kekasihnya ketika kontak mereka terlepas.

Bibir Tao melengkung manis. "Tuhan menciptakan lupa pada manusia agar ada orang lain yang mengingatkan, agar manusia bisa saling melengkapi kekurangan masing-masing. Terima kasih karena selalu menjadi pengingatku."

"Sama-sama manis. Dan maafkan aku karena telah menjadi kekasih bodoh yang lupa akan hari sepenting ini. Kuharap kau tak keberatan punya kekasih yang juga pelupa?"

Tao tersenyum puas, lalu mengangguk ringkas. "Bisa diatur."

Kris terkekeh tapi kemudian tersenyum miris mengingat mahalnya harga Gucci limited edition.

Ketika bibirnya kembali beradu dengan Tao, ia mengingatkan dirinya sendiri akan dua hal. Pertama, ia beruntung memiliki kekasih sepengertian Tao, dan yang kedua—

.

—hanya Tao yang boleh menjadi pelupa.

.

Karena sekalinya Kris lupa...

.

.

.

Dompetnya harus membayar mahal untuk itu.


A/N:

Please jangan timpuk. Saya emang gak jago bikin cerita manis apalagi fluff begini. T-T Jadi maaf kalau feelnya kurang dapet. *nangis*

Sedikit penjelasan untuk KaiSoo: jadi selama ini Kyungsoo tidur cuma kamuflase supaya bisa diam-diam merhatiin Jongin. Tapi belakangan, dia akhirnya bener-bener ketiduran saking capeknya—sampai akhirnya Jongin ngebangunin dan narik dia supaya gak ketinggalan kereta. Intinya mereka sebenarnya saling memperhatikan.

Yang mereka tunggu sebenarnya subway (di beberapa negara bisa juga disebut MRT/LRT/Metro) tapi saya lebih nyaman memakai diksi kereta untuk cerita mereka. :) Adegan narik untuk masuk ke kereta terinspirasi dari film Hello School Girl.

Cerita KrisTao terinsipirasi dari salah satu iklan provider. xD

Saya juga mau berterima kasih untuk pembaca 2nd Proposal (adakah di sini?), senang banget baca review kalian. Saya sendiri merasa puas dengan chapter endingnya. :)

Untuk pembaca FF saya yang lain:

i. Delivery Service; on progress, rencananya saya mau ngadain giveaway kecil-kecilan untuk pembaca setia FF ini nanti. So, tungguin terus ya ;)

ii. Four Seasons; kayaknya harus dihiatuskan dulu. Mungkin karena saya terlalu banyak hati-hati untuk nulis chapter Chanyeol, eh pas mau dilanjut feelnya keburu menguap. :(

iii. Broken Wings; chapter 2 sudah rampung, cuma belum mau saya post. Hahaha.

iv. Mommy; maaf sekali tapi kayaknya FF ini bakal mati suri lama banget. Karena... pas kemarin saya baca ulang ceritanya, kok 'ini-gak-saya-banget' dan 'bisa-bisanya-saya nulis macam begini'. Kalau pun dilanjutkan, ada adegan yang bakal saya rombak habis. Yang sering baca tulisan saya pasti paham deh maksudnya.

Oke, ditunggu REVIEW-nya ya. Yang panjang aja, saya senang malah bacanya. :D

Love,

Dami.