Love Live! bukan milik saya dan saya tidak mendapat profit apapun dari fanfiksi ini.


elongasi (c) 2015
Dingin yang hangat, tatapan yang lekat, seringai yang dekat.— HonoUmi.

P.S OOC dan sangat-sangat-sangat tidak masuk akal, saya masih cukup bingung karakterisasi Honoka, terima kasih telah menyempatkan diri untuk membaca!


Butuh beberapa taktik yang cukup keji bagi seorang Sonoda Umi membuat seonggok Kousaka Honoka bisa diajak untuk belajar. Setelah mencekokinya buku, ia akan mulai untuk memberinya penjelasan mengenai materi dengan lugas. Langkah berikutnya, ia akan mulai menaikkan suara ketika pemilik surai jingga itu mengantuk. Dan terakhir, ia akan mulai memarahinya jika jawabannya salah.

Rencana itu akan dilaksanakannya sempurna tanpa jeda, dengan target minimal paling tidak Honoka mampu mengenal apa bedanya pertanyaan dan pernyataan.

"Umi-chan, dingin."

"Memang, ini kan musim dingin."

"Ayolah Umi-chan, aku ingin teh!"

Pertahanannya mulai luntur, jatuh satu demi satu bagaikan domino rapuh. Rayuan Honoka, lengkap dengan manik biru yang mulai berbinar-binar—tidak, bukan berarti ia lemah dengan itu—terkadang cukup membuat keadaan goyah. Untung saja, Kotori tidak di sana untuk menambah runtuhnya taktik yang telah ia susah payah bangun. Sesi belajar malam itu dilaksanakan di rumah Honoka, selepas sang pemilik rumah mengurus toko.

"Kau baru saja belajar sepuluh menit!" pekiknya. "Kau ingat kan akhir minggu ini akan ada kuis Matematika?"

"Tapi Umi-chan, kau tidak kedinginan?"

Tangan itu memegang kedua pipinya, sontak pensil yang ia pegang jatuh dan semburat merah muncul. Reaksi itu sebenarnya bukan karena jari jemari tersebut penuh dengan kehangatan, di sana hanya terdapat dingin tundra.

"Kau tidak apa-apa?"

"Aku hanya kedinginan kok." Honoka berucap. "Jadi, bolehkah teh?"


Teh kamomil dengan cangkir pendamping yang manis serta manjuu milik toko menggantikan buku dan pulpen di atas meja berukuran persegi di tengah kamar Honoka. Mereka berdua duduk berseberangan, masing-masing dengan cangkir teh di tangan. Manjuu toko Homura dibiarkan di tengah-tengah. Umi memang menyukai kue tersebut, tetapi ia memiliki catatan tersendiri untuk tidak terlalu banyak makan manis terutama di malam hari.

"... Kita lanjut?"

"Masih dingin."

"Honoka."

"A-ah iya Umi-chan!"

x x x

Dua puluh menit bergeser dari lengan panjang jam besar. Satu hingga dua problema kecil seputar logika telah berhasil dilewati dengan catatan kaki yang kurang memuaskan, akan tetapi bisa diterima, setidaknya. Sekitar dua puluh lima persen dari rencananya sudah berangsur dengan mulus.

Buku teks matematika secara sistematis meneriakkan kalimat implikasi.

"Kalau yang ini?"

"Aku sudah menjelaskannya barusan." tangannya mengurut di atas kertas. "Seperti ini, dan gunakan tabel ini—"

Kali ini, yang ia tidak pungkiri adalah tangah mereka bersentuhan, membentuk sisi utara dan selatan. Lagi, ia merasakan dingin yang sama.

"Umi-chan, kau hangat sekali."

Mendadak tenggorokannya mengering.

"Honoka," Umi berucap, nada bercampur antara keseriusan dan kekhawatiran. "Kau serius tidak apa-apa?"

Pemilik surai jingga itu menyeringai lebar. "Aku hanya kedinginan. Err, mungkin."

"Honoka." sang pengajar membuang nafas. "Jangan berbohong padaku."

Honoka mengeluarkan tawa renyah sebelum ia berucap, "Sangat sulit membohongimu, ya, Umi-chan. Maaf, aku tidak enak badan."

Umi mengeluarkan ekspresi kecut beberapa detik sebelum otot wajahnya merileks. Ia sungguh ingin memarahi keteledoran Honoka untuk kesekian kalinya, akan tetapi tidak baik pula di sisi lain mengomeli seorang yang sedang sakit.

"Bagaimana kalau kau minum obat dan tidur?"


Bukan kali pertama Umi menginap di rumah Honoka, malah bisa dibilang sudah kelewat sering. Andaikan terjadi konflik di rumahnya pun, Umi akan bermalam di sana (walau dengan mendiamkan Honoka yang terus-menerus menanyakan kenapa ia berada di sana). Gadis bersurai biru itu akan menggelar futon di bawah sementara Honoka tetap berada di kasurnya.

"Umi-chan."

"Ya?"

"Maukah kau tidur di sampingku?"

.

.

.

Manik kuning kecokelatan itu mengedip dua kali.

.

.

.

"Umi-chan?" Honoka menarik lengan piyama Umi. "Maaf tapi aku benar-benar kedinginan, jadi—"


Butuh beberapa menit untuk Umi meredakan dera yang mulai naik dari dirinya sendiri. Ia menyanggupi permintaan Honoka, dan dia sama sekali tidak bergerak. Honoka, di lain pihak, belum pula tertidur, dan Umi memerhatikan dari pojok pandangannya.

Mata mereka berdua bertemu.

Pemilik surai jingga itu mengalihkan pandangannya untuk sejajar dengan sang pemanah. Umi menelan ludah.

Tatapan itu lekat, seakan iris biru itu hendak menusuk. Seringai itu menempel tak lalu. Nafas mereka menyatu, dan—

"... Ada apa?" ia berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar.

Honoka menggeleng, seringai itu dekat. "Tidak apa-apa."

Umi tidak banyak menyadari bahwa Honoka telah meraih tangannya yang berada menarik selimut, digenggamnya tangan tersebut oleh Honoka sebelum ia bawa menuju pipinya sendiri.

"Yup, sangat hangat." Umi tak mampu menahan rona merah untuk keluar di wajahnya. "Umi-chan memang hangat seperti biasa."

(Kata-kata itu – apa itu metafora? Ataukah personifikasi tak terbilang?)

"Honoka, kau dingin."

"Sudah kubilang berulang kali aku kedinginan."

Mereka berdua mulai tertawa.

(Honoka, ia selalu tersenyum. Umi sesaat bingung cara agar dirinya tak tertarik masuk gravitasi dirinya.)

Tawa mereka mengendur dalam beberapa detik. Honoka tidak lagi memegangi tangan Umi seketika ia mulai menarik selimut.

"Honoka."

"Hm?"

Umi membenamkan wajahnya ke bantal. "—Boleh aku memelukmu?"

Kali ini, Honoka yang melongo. Kaget, atau mungkin bahagia, terpampang di wajahnya. Umi pun segera mengibaskan tangannya.

"Ta, tadi kau bilang kau kedinginan, a, aku hanya—"

.

.

.

"Umi-chan, kau tidak perlu bertanya soal itu." ujarnya. "Aku tidak akan pernah menolak."

Biasanya, Honoka yang akan melakukan demikian—memeluk, atau mungkin mencubit Umi. Sejak kecil mereka begitu dekat, lagi seakan begitu jauh. Umi melingkarkan kedua tangannya dan membawa Honoka semakin dekat. Honoka terkekeh pelan menanggapi perilaku pemilik surai biru yang cukup canggung dan malu-malu, namun ia menikmatinya. Perlahan dirinya menyandarkan kepalanya di lautan biru surai yang terkembang, larut dan rasa kantuk membuatnya tak bisa berpaling.

Dipandanglah kembali wajah yang terus memberinya senyum tulus, sehangat dan seharum aroma tubuh yang meliputinya dalam rengkuh yang tak kenal lumpuh.

"Selamat tidur, Umi-chan." imbuhnya. "Terima kasih untuk hangatmu."


[ fin .]