Jari-jari panjang menari-nari pada permukaan sebuah kayu bercat kecoklatan, menekan senar demi senar yang terderet rapi di atasnya. Tangan kanannya memegang sebuah bow, menggesek senar-senar itu dengan lembut. Kombinasi dari semuanya menciptakan sebuah lantunan lagu indah yang mengalun di tengah hiruk pikuknya jalanan perkotaan di malam hari.

Seorang laki-laki berpenampilan serba hitam itulah yang sejak tadi berdiri di depan salah satu lorong yang terbentuk dari celah-celah himpitan dua pertokoan di kiri kanannya, melantunkan untaian lagu-lagu klasik dengan biola kesayangannya. Keahliannya dalam memainkan biola memang sudah tak diragukan lagi. Entah sudah berapa tahun ia habiskan untuk bergelut dengan alat musik tersebut. Dan, tak terhitung pula lagu-lagu yang sudah ia mainkan dengan alat musik itu, lagu-lagu yang tidak disangkal keindahan dan kelembutannya.

Namun, sosoknya dan musik-musik yang ia mainkan itu seolah diacuhkan begitu saja oleh orang-orang yang lalu-lalang di depannya. Semua sibuk dengan aktivitas mereka, sehingga tak mengalihkan perhatian mereka sedikitpun pada sosok bermata dingin yang sudah berdiri sejak dua jam yang lalu. Beberapa dari mereka hanya melemparkan sekeping atau selembar uang Yen ke dekat kakinya, mengira pria berambut hitam panjang itu adalah pengamen jalanan yang membutuhkan uang, tanpa menggubris sedikitpun lagu yang ia mainkan itu. Mereka tak menyadari kalau ia sebenarnya sama sekali tak membutuhkan uang yang mereka lemparkan padanya. Ia hanya suka bermain biola, dan berniat melantunkan lagu-lagu indah dari alat musik klasik tersebut.

Tentu saja, apa yang ia harapkan itu tak akan bisa terwujud saat ini.

Jaman sudah banyak berubah. Sosok lelaki itu sudah mengikuti perjalanan panjang sang waktu. Dan, perubahan cukup signifikan dapat ia rasakan. Baru kurang dari satu abad berlalu, manusia sudah banyak yang melupakan keindahan simfoni yang dihasilkan oleh alat musik kuno ini. Keindahannya seolah sudah terkubur oleh alat musik canggih lainnya, yang mungkin terdengar lebih atraktif dan menarik. Jadi tidak heran kalau dari sekian banyak manusia yang lalu lalang itu, hanya sedikit saja yang benar-benar menikmati suara gesekan biolanya.

Tetapi, ia amat suka bermain biola, sehingga tak ada yang menikmati permainannya saat ini pun tak akan menjadi masalah baginya. Ia bermain untuk dirinya sendiri, seolah meleburkan diri dengan balutan nada biola tersebut, membiarkan dirinya terhanyut dalam rangkaian melodi indah yang bisa menyejukkan perasaannya.

Ia terus bermain, meneruskan waktu dua jam yang sudah ia habiskan dengan berdiri di depan pertokoan itu. Waktu terus berlalu, dan tidak terasa ia sudah menghabiskan dua jam berikutnya untuk terus memainkan lagu demi lagu. Ketika ia menyelesaikan bagian terakhir dari lagunya itu, ia menyadari kalau aktivitas perkotaan sudah mulai meredup seiring dengan malam yang semakin larut.

Kerumunan penuh sesak dari orang-orang di hadapannya kini sudah tak nampak lagi. Hanya ada beberapa sosok yang lewat begitu saja dengan langkah terburu-buru. Pertokoan di kiri-kanannya pun sudah banyak yang tutup. Kota yang tadinya mengacuhkan keberadaannya kini malah meninggalkannya sendirian dalam kesepian.

Ia menghela nafas, memutuskan untuk memainkan satu lagu terakhir sebelum akhirnya benar-benar menyudahi rutinitasnya malam ini. Suara gesekan pelan dan lembut kembali terdengar, kali ini bisa terlepas dengan lebih jelas karena tak terkubur oleh suara hiruk pikuk perkotaan. Angin dingin dan sang bulan-lah yang menemaninya bermain, menyambut kelembutan gesekan senarnya. Ia tersenyum sedikit, kembali menikmati lagu yang ia mainkan sendiri-bahkan lebih terasa damai di hatinya ketika ia memainkannya di tengah kesunyian lembut seperti ini.

Suara tepukan tangan terdengar menyambut akhir dari rangkaian lagu yang ia mainkan itu. Pria itu pun tertegun, langsung mengalihkan matanya pada sumber suara, menemukan seorang pria yang usianya nampak lebih muda darinya sedang melangkah gontai menghampirinya. Ia tertegun, memperhatikan pemuda itu mendekatinya. Kedua matanya menatap pemuda berpakaian necis itu dengan tajam, menemukan suatu kejanggalan dalam diri pemuda itu. Ia masih bertepuk tangan, tertawa lepas, dengan sorot mata yang sayu dan tak fokus. Langkahnya juga terseok-seok, seolah berusaha menjaga keseimbangan agar pemuda berambut hitam pendek itu tidak tumbang.

Pria pemain biola itu pun sudah bisa menyimpulkan satu hal dari kondisi sang pemuda. Ia tidak benar-benar menikmati permainan biolanya sehingga memberikan tepukan tangan untuknya. Ia hanya pemuda yang tengah berada dalam pengaruh alkohol, mungkin masih setengah mabuk sehingga ia masih bisa melangkah walau agak terseok. Dan, sosoknya saat ini pasti datang untuk membuat masalah dengannya.

Menyadari masalah akan datang, pria berpakaian serba hitam itu langsung beralih meraih kap biolanya yang tersandar di salah satu dinding pertokoan. Ia berjongkok, dan dalam hitungan detik sudah mengamankan biolanya itu dalam tempatnya. Ia menyampirkan kap biola itu di pundaknya lalu bergegas meninggalkan tempat itu.

Mungkin malam ia memang harus mendapatkan kesialan. Ketika pria itu berpaling, ia sudah mendapati pemuda mabuk itu berada di dekatnya, dan malah menahan tubuh pria itu dengan memegang pundaknya.

"Ah, kau mau ke mana? Tuan pemain biola, sebentar dulu…" Ia meracau sambil tertawa lepas menghadapi sorot mata tajam pria misterius itu. Tak ada rasa takut sedikitpun, padahal pria itu sudah memberikan sebuah isyarat jangan-membuat-masalah-denganku melalui sorot mata tak bersahabatnya.

"Kau mau pergi? Tidak, tidak, temani aku dulu! Kita bersenang-senang! Kau tahu aku suka mendengar suara biolamu itu," Ia merangkul bahu pria itu, sedikit bersandar karena berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Pria itu pun semakin terusik.

"Ah! Kau mendapat banyak uang rupanya!" Pemuda itu beralih pandang pada tebaran uang logam dan kertas Yen yang memang sengaja pria itu tinggalkan. Itu bukan uangnya, jadi untuk apa pria itu membawanya. Ia melihat pemuda itu berjongkok, sedikit jatuh duduk saat ia berusaha mengambil satu per satu uang pecahan Yen ter-sebut. Pria itu nampak semakin terganggu. Saat ini ia bertemu dengan pemuda yang berkarakter buruk, jadi secepat mungkin ia harus menghindarinya.

Pria itu kembali melengos, sambil menyampirkan biola kesayangannya di punggungnya. Tetapi, pemuda itu malah merangkulnya lagi, untuk menahan kepergian-nya.

"Ayolah, kita bersenang-senang! Kau mau ke mana? Aku akan menemanimu!"

"Cukup!" Pria itu akhirnya mulai bersuara setelah dari tadi hanya memilih untuk diam. Ia melepas rangkulannya, menatap pemuda yang berpostur lebih pendek darinya dengan tajam. Sorot matanya berubah semakin mengerikan. Ia ingin memberikan pelajaran pada pemuda ini, sekedar untuk membuatnya ketakutan. Namun, mungkin karena sosok itu dalam kondisi mabuk, pria itu tak menemukan siluet rasa takut dalam wajahnya. Justru, ia tertawa menanggapi perlakuan kasarnya, menganggap kalau hal yang ia lakukan tadi adalah sebuah lelucon.

"Kita punya uang! Ini!" Ia beralih menunjukkan lembaran Yen yang tadi dipungutnya. "Kita bersenang-senang dengan ini! uangmu!"

"Itu bukan uangku!" Bantah pria itu. Kata-katanya tenang, namun menghentak.

"Jangan bercanda," Pemuda itu malah kembali tertawa lepas. Ia tertarik melihat kap biola yang tersampir di punggung pria itu. Tadi ia merasa kalau lagu yang dimainkan memang sangat indah, dan ia ingin mendengarnya lagi.

"Mainkan biolamu lagi!" Ia berusaha merebut paksa biola pria itu. Sosok berpakaian serba hitam itu mulai kehilangan kendali. Ia menendang tubuh sang pemuda, membiarkan tubuh gontainya terhempas lalu menabrak pembatas jalanan. Kali ini pemuda itu nampak ketakutan, apalagi melihat sorot mata sadis terpancar untuknya. Tangan kekar pria itu melilit lehernya. Ia mendekatkan wajahnya untuk membisikkan sebuah peringatan terakhir, berharap pemuda itu tak membuat masalah lebih jauh dengannya. Kalau hal itu sampai terjadi, ia bisa saja melakukan hal yang lebih kejam padanya, termasuk menghabisi nyawa tak berharganya itu sekarang.

"Ambil uang itu, tapi jangan sentuh biolaku," Desis pria itu. Pemuda itu bergeming. Dalam kondisi mabuk pun ia bisa merasakan ketakutan merambati hatinya. Bibir pemuda itu bergetar, menahan rasa takut itu ketika menghadapi sorot mata kejam pria misterius itu. Ia mengangguk perlahan dengan nafas terengah-engah. Pria itu melepas cengkraman tangannya, menatap sebentar sosok pembuat masalah itu sebelum akhirnya beralih meninggalkannya sendirian.

Masalah selesai. Kini ia tinggal kembali ke rumah untuk beristirahat. Pria itu melangkah cepat melintasi jalanan kota lalu memasuki daerah yang sedikit terpencil untuk mencapai kediamannya. Kiri-kanannya gelap, karena hanya ada deretan pepohonan serta sebuah taman kecil. Lokasi itu amat sepi karena tak ada orang yang melintas di situ.

Ia mendengar sebuah suara dari kejauhan. Pria itu berusaha mengabaikannya, karena mengira kalau pemuda itu tengah mengejarnya untuk kembali membuat masalah dengannya. Namun, suara itu terdengar semakin jelas di telinganya sebagai suara teriakan minta tolong. Pria itu menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang. Dari kejauhan ia melihat sosok pemuda itu berlari menghampirinya dengan wajah ketakutan.

Pemuda itu mendekati sosok beku sang pria. Ia menemukan tiga sosok lain yang tengah mengejar pemuda itu. Sepertinya ia membuat masalah dengan tiga pria berbadan kekar itu sehingga mereka beralih mengejarnya.

"Tolong aku," Pemuda itu memelas, menggenggam lengan pria itu erat-erat. Pria itu merasakan dinginnya tangan pemuda itu. Wajahnya juga terlihat pucat karena ketakutan.

"Hei!" Suara hentakan salah satu pria berbadan kekar itu. sang pemuda pun semakin ketakutan.

"Aku tak punya urusan denganmu," Pria pemain biola itu menolak permohonannya. Ia melepas cengkraman tangan pemuda itu, hendak berbalik meninggalkannya sendirian. Ia tak mau ambil pusing dengan menolong sosok yang sudah pernah membuatnya marah sebelumnya.

"Kumohon, tolong aku! Mereka akan membunuhku!" Pemuda itu berkeras. Ia kembali mencengkram lengan pria itu lalu menariknya agar tidak beranjak sedikitpun "Tolong aku!"

"Aku tak mengerti apa yang terjadi, jadi aku tak bisa menolongmu begitu saja,"

"Aku tak ingin mati," Pemuda itu memelas. Ia hampir menangis.

"Hei!" Tiga sosok berbadan kekar itu sudah ada beberapa langkah di hadapan mereka. Pemuda itu pun semakin ketakutan. Salah satu pria berwajah sangar itu menarik paksa tubuh yang lebih kecil dari mereka itu.

"Kumohon tolong aku!" Pemuda itu menangis tersedu-sedu, menahan tubuhnya agar tidak tertarik oleh sosok kekar itu. "Dia! Dia yang akan membayar hutangnya!" Ia menunjuk sang pria pemain biola di hadapannya. Pria berpakaian hitam itu tertegun, langsung menghujaminya dengan amarah.

"Kau!" Desis pria itu lagi.

"Dia! Ayo lindungi aku!" Pemuda itu menarik tangan pria itu, membiarkannya berhadapan dengan tiga sosok kekar di dekat mereka. Tiga pria berwajah sangar itu langsung beralih menatap wajah pria misterius yang melibatkan diri dalam urusan mereka.

"Kau… siapa?!"

"Aku tak ada hubungannya dengan semua ini. Ia berbohong," Pria itu menjelaskan tenang, namun ketiga bajingan itu memang ingin juga membuat masalah dengannya sehingga mereka tak membiarkan sosok itu pergi begitu saja.

"Ia bilang kau mau membayar semuanya,"

"Aku bahkan tak tahu masalah kalian," Pria itu menjelaskan lagi. Tiga orang itu memang berusaha mempermainkannya. "Sudah kubilang, ia hanya berbohong. Aku tak peduli jika kalian ingin menghajarnya atau malah membunuhnya, tapi jangan libatkan aku,"

"Sombong sekali," Salah satu dari mereka terkekeh menjijikan. Pria itu merasa kalau ia sudah dilibatkan terlalu jauh.

"Kau juga harus mati karena telah melihat semua ini!"

"Aku tak pernah mau ambil pusing dengan apa yang terjadi di hadapanku. Asal kalian jangan melibatkanku," Pria itu melengos, hendak meninggalkan tiga pria yang berbadan lebih tinggi darinya. Namun, siapa sangka kalau salah satu dari mereka malah menodongkan pistolnya pada kepala pria itu, menahannya untuk pergi.

"Kau ini memang sombong sekali. Aku jadi semakin ingin membunuhmu!" Pria itu menarik pelatuk pistolnya. Menghadapi hal itu justru pria berpakaian serba hitam itu masih nampak tenang.

"Kalian mau membunuhku? Aku tidak melakukan apapun yang merugikan kalian, bukan?" Pria itu melirik ketiga orang di balik punggungnya.

"Berisik! Matilah!" Suara senapan terdengar membaurkan kesenyapan selama beberapa detik, setelah itu kembali melingkupi mereka. Pemuda pembuat masalah itu tak bergeming melihat kepala pria itu berlumuran darah ketika sebuah peluru menancap cukup dalam di sana, namun ia semakin terkejut melihat tubuhnya tak tumbang. Ia memang masih hidup. Pria misterius itu menatap ketiga sosok di belakangnya dengan wajah tenang.

"Hari ini aku sudah dibuat kesal oleh kalian para bajingan," Pria misterius itu menyunggingkan sebuah senyum penuh kekejian. Ia membalikkan badannya, menemukan wajah ketakutan dari tiga sosok yang tadi berani menantangnya. Bola mata ketiga sosok itu merekam wujud mengerikan sang pria misterius. Bagaimana mungkin ia tak merasakan apa-apa setelah hantaman peluru mendarat tepat di pelipisnya? Padahal manusia lazimnya akan langsung tewas di tempat.

"K-kau...?" Salah satu dari tiga pria itu mendesis ketakutan. Ia jatuh terduduk saat pria misterius itu mulai beralih menjadikannya sebagai korban pertama. Senyum keji tergambar di wajah tirus dan pucatnya. Cahaya bulan menyorot sosoknya, seolah menjadikannya sebagai bintang utama pertunjukan sadis malam ini.

Dua rekan lainnya membantu kawan malang mereka, berusaha menembakkan beberapa butir peluru ke arahnya. Namun hujaman demi hujaman besi panas itu hanya menancap begitu saja dalam tubuhnya, tanpa mampu melukai pria itu sedikitpun. Pria itu mengacuhkan mereka dulu, masih melangkah pelan tapi pasti, mendekati korban incarannya.

"Aku tak bisa mengabaikanmu sekarang," Pria misterius itu mengulurkan tangannya. "Lagipula aku sudah merasa lapar," Ia tertawa keji. Matanya berkilat mengerikan, menunjukkan perubahan yang terjadi. Warna kemerahan muncul menggantikan warna hitam pada kedua bola matanya. Sebuah gambar seperti pecahan kristal warna warni merambati dua sisi leher jenjangnya.

"M-monster! Monster!" Teriakan menggema, menjadi teriakan terakhirnya sebelum akhirnya dua buah taring tajam muncul dari atas kepala pria malang itu lalu menusuk sisi lehernya seketika. Pria bertubuh kekar itu berteriak. Matanya mendelik ke atas, menyambut ajal yang tengah mengulurkan tangan padanya. Tubuh pria itu berubah transparan setelah itu wujudnya tak berbekas begitu saja.

Pria misterius itu nampak gembira menikmati sari kehidupan milik korban pertamanya malam ini. Ia belum puas, ingin memakan lagi dua sosok yang tersisa, ah! tidak, tiga sosok termasuk pemuda pembuat onar yang sudah melibatkannya dalam masalah ini.

Ia melakukan cara yang sama pada dua makhluk malang berikutnya. Mereka berusaha memberikan perlawanan kecil, namun tetap tak sanggup menjatuhkannya. Pada akhirnya, wujud mereka kembali lenyap seperti halnya sang korban pertama.

"Manusia itu lemah, sehingga dengan mudah bisa kami mangsa. Rasanya seperti mematikan seekor semut," Pria misterius itu berkata dengan tenang. Ia beralih menghadapi sosok terakhir yang tersisa, sang pemuda sumber masalah.

"Tapi mereka amat angkuh," Pria itu tertawa sarkatis. Pemuda itu nampak amat ketakutan, tidak mampu berbuat apa-apa, hanya dapat meringkuk sambil tersedu-sedu seperti seekor ayam yang akan disembelih.

"Kau yang sudah melibatkanku pada masalahmu... Tapi aku berterima kasih karena sudah memberikanku mangsa yang begitu lezat. Sebagai gantinya, kau bisa mati menyusul mereka,"

Pemuda itu hanya mampu berteriak-teriak. Ia memang tak bisa melakukan apapun. Ketakutan yang dahsyat membebat tubuhnya. Kekuatan untuk melawan sudah menguap begitu saja setelah dihabiskannya untuk berteriak.

"Kumohon, ampuni aku..." Pemuda itu memelas. Pria itu meneliti baik-baik sosok ringkih itu, sebelum menghabisinya tanpa ampun. Dari perawakannya, ia memang masih amat muda, mungkin umurnya baru mencapai dua puluh tahun, bahkan mungkin kurang dari itu. Lagipula, wajahnya juga cukup tampan. Tapi, sayangnya ia hanya seorang pecundang yang membuatnya muak.

Sosok ketakutan itu nampak tak bergerak lagi. Monster berwujud pria berpostur tinggi kurus itu pun langsung tak bergeming. Ia mengulur waktu sebentar untuk membunuhnya. Sedikit ingin tahu, ia berjongkok untuk meneliti sosoknya dari dekat. Pemuda itu tak menunjukkan reaksi, hanya terkapar di hadapannya dengan mata yang terpejam. Apakah ia sudah tewas di tempat karena dicekik oleh rasa takutnya sendiri? Menyedihkan sekali.

Di luar dugaan, pemuda itu masih bernafas, walau desahannya terdengar amat lemah. Berarti ia hanya pingsan karena ketakutan. Baguslah, dalam keadaan seperti ini pria itu bisa membunuhnya tanpa membuatnya merasakan kesakitan sebelum kematian.

Mungkin saat ini sang monster sudah membunuhnya, kalau saja ia tak menemukan sesuatu yang menarik terselip di balik jas abu-abu yang pemuda itu kenakan. Sebuah benda berbentuk kubus kecil tersembul dari saku dalam jas itu, hampir saja terjatuh ke tanah. Tanpa pikir panjang, pria itu segera meraih benda yang terbuat dari kayu itu, menelitinya di tengah keremangan.

Seperti sebuah kotak musik. Ia iseng membuka tutup kubus itu dan langsung mendengar dentingan lagu lembut yang dimainkan dengan orgel. Sebuah lagu klasik yang ia sadari sebagai lagu terakhir yang dimainkannya sebelum sosok menyebalkan ini memberi aplaus padanya. Jadi, sosok tak sadarkan diri di hadapannya mengenal lagu itu, dan kemungkinan tepukan tangan darinya memang sebagai apresiasi untuk pria itu.

Ia menutup kotak musik itu, menghentikan lagu lembut yang mengalun. Kesenyapan kembali merebak. Di tengah suasana seperti ini, amarahnya justru sirna. Entah apa alasannya, apakah karena pemuda itu benar-benar memuji permainannya, atau karena dentingan lembut lagu dari kotak musik itu? Apapun itu, yang jelas pria itu sudah memutuskan untuk tak membunuh pemuda itu. Hal lain yang membingungkan baginya adalah keputusannya untuk membawa pemuda tak sadarkan diri itu ke rumahnya, membiarkan ia beristirahat di sana, lalu mengusirnya setelah kondisi pemuda itu sudah membaik.

Ia memang tetap tak mengerti jalan pikirannya sendiri. Namun, ia tetap membawanya ke kediamannya yang terletak di sudut kota. Ia membopong tubuh kurus dan lebih pendek darinya itu, melintasi jalanan yang gelap dan sepi.