Nightmare
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto
This story is mine !
Genre : Horror, Romance, Mystery, Crime
Rate : T
Warninng : Gaje, EYD ancur, typo bertebaran di mana – mana, abal – abal, maybe OOC, dan segala kekurangan lainnya !
Summary : Sakura, gadis remaja yang menjalin hubungan dengan Deidara, mahasiswa jurusan seni rupa, menemukan kejanggalan menyangkut Sasori, mantan kekasihnya yang telah meninggal. Sakura juga ketakutan dengan adanya teror dari seorang wanita misterius, dan pada akhirnya ia bertemu dengan arwah Sasori !
DON'T LIKE DON'T READ
Happy Reading !
Chapter 1
'Kring… Kring… Kring…'
Sakura yang tengah menunggu di sebuah taman segera mengeluarkan ponselnya, berharap itu adalah Sasori. Sakura cemas karena kekasihnya itu tak kunjung datang.
Incoming Call
'Unknown Number'
Ia menyernyit menatap layar ponselnya. Menatap deretan angka – angka yang tidak dikenalinya.
'Kring… Kring… Kring…'
Sebersit firasat buruk dirasakannya saat itu, dan Sakura terdiam sebentar.
'Kring… Kring… Kring…'
Tak ambil pusing, ibu jarinya bergerak mengarah pada tombol hijau di sisi kiri ponselnya, tetapi…
'Kring… Kring… Kring…'
Mendadak napasnya memburu, tangan yang menggenggam ponselnya bergetar hebat. Sakura merasa pusing, jantungnya berdegup kencang, dan ia mulai menggigil.
'Kring… Kring… Kring…'
Sakura menjatukan ponselnya dan berjalan mundur dengan terhuyung – terhuyung. Ia merasa pandangannya mulai gelap dan yang bisa ia dengar hanya dering ponselnya yang semakin keras…
'KRING… KRING… KRING…'
Ia mulai berhalusinasi melihat Sasori, di belakang pemuda berambut merah itu ada sesosok Grim Reaper yang siap mengayunkan sabitnya…
'KRING ! KRING ! KRING !'
"Nona ?"
Suara itu membuyarkan semuanya, sebuah tangan mengambil ponselnya yang masih berdering dan mengulurkannya pada Sakura.
'Kring… Kring… Kring…'
Sakura bergeming menatap pemuda berambut perak klimis di depannya. Tak mendapat respon, pemuda itu bertanya lagi.
"Ini milikmu ?" kali ini dengan nada bosan.
'Kring… Kring… Kring…'
Sakura mengerjap – kerjapkan mata dengan bingung, menatap pemua itu dengan linglung. Perlahan, Sakura mengulurkan tangannya dan mengambil ponsel yang sewarna dengan rambutnya.
'Kring… Kring… Kring…'
"Te–Terima kasih…" ucap Sakura terbata – bata. Ia kemudian berbalik, mengabaikan tatapan bingung pemuda tadi, dan segera menjawab panggilan tersebut.
'Kring… Kri–'
"Moshi – moshi ?" ia berkata dengan suara bergetar.
…
Sakura membeku di tempatnya, tak percaya pada apa yang didengarnya, ia menjauhkan ponsel dari telinganya, pandangannya kosong.
'PIP'
Gadis bersurai pink itu memutuskan sambungan teleponnya dan mulai berlari. Air mata menetes dari bola mata emeraldnya.
Sudah berkali – kali Sakura menabrak beberapa orang, dan sudah berkali – kali pula ia terjatuh dan menyebabkan memar di kulit putihnya.
Sakura tak memperdulikan makian dari orang yang ditabraknya, sekarang ia tak memperdulikan apapun kecuali satu hal.
Sekali ia mendengar seseorang memanggil namanya, tapi ia bahkan tak berhenti untuk menoleh. Di benaknya berputar beberapa kata yang tadi disampaikan oleh suara berat sang penelepon.
Sasori. Mati. Dibunuh. Darah. Pisau. Apartemen. Polisi. Pembunuhnya… BELUM DITEMUKAN !
Sakura menggeram, membuat beberapa orang menoleh kepadanya dengan heran, tapi Sakura tak peduli. Setitik kemarahan bercampur dalam kubangan kesedihannya.
TIN – TIN !
Sakura terkesiap kaget, ia tak menyadari bahwa ia sedang menyeberangi jalan raya yang ramai. Sakura lebih kaget lagi ketika melihat sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang ke arahnya.
Ia berusa menghindar, tetapi kakinya terasa berat…
BRAK !
Sakura tersungkur ke aspal yang keras, beruntung ia hanya terserempet sisi mobil. Lengannya berdarah, menambah luka – luka yang dialaminya sejak lahir. Sakura sadar tas selempangnya sudah tak tersampir di bahunya lagi, pasti jatuh saat ia melewati kerumunan orang tadi. Mungkin dia bisa mencarinya lagi jika sempat…
Lututnya lemas, tapi Sakura bersikeras untuk berdiri dan terus berlari, letak tujuannya sudah tak jauh lagi. Ia mengacuhkan panggilan pemilik mobil hitam tadi.
Sakura memasuki sebuah apartemen yang cukup megah, ia melirik mobil polisi yang terparkir dengan cemas. Sakura berlari memasuki lift yang kosong dan menekan – nekan tombol angka 5 dengan gusar.
Sakura bersandar pada didinding lift dan terisak pelan. Tak lama, pintu lift pun terbuka,tetapi Sakura tak bergeming sedikit pun, matanya membelalak. Tadi sekelebat ia melihat bayangan orang berambut merah di sebelahnya sebelum pintu terbuka.
Sasori, Sasori, Sasori. Nama itu terus keluar masuk dalam pikiran Sakura. Menggenggam erat ponselnya-satu – satunya benda yang ia bawa-dan melangkah keluar dari lift.
Jantungnya berdegup makin kencang ketika melihat banyak orang-sebagian besar dalam seragam polisi-yang berkerumun di depan sebuah kamar. Dan Sakura tahu benar bahwa itu adalah kamar milik Sasori.
Ia mendesak kerumunan itu dengan kasar, pandangannya mulai kabur, ia mungkin akan segera pingsan. Tetapi sebuah tangan menahannya untuk tidak melangkah lebih jauh lagi, dengan nekad Sakura mencakar tangan yang menahannya dan sejurus kemudian ia mendengar seseorang menggerung kesakitan. Ia kan bisa minta maaf nanti…
Sakura berhenti setelah melangkah sekali melewati ambang pintu, sesaat ia berpikir bahwa ia salah masuk kamar, karena sebagian besar ruangan itu berbercak darah merah.
Tapi itu benar, perabotannya masih sama seperti yang diingat Sakura. Ia menoleh ke bawah dan langsung terhuyung mundur.
Mayat Sasori tergeletak di tengah ruangan dengan tubuh sudah terpisah – pisah.
'Kring… Kring… Kring…'
Mendadak semua terasa hening, hanya ada suara dering ponselnya yang terasa memukul – mukul gendang telinganya.
'Kring… Kring… Kring…'
Suara ini, pembawa berita buruk, berita kematian. Sakura menatap tak percaya ke layar ponselnya dengan nama seseorang tertera di situ.
Incoming Call
'Akasuna no Sasori'
'Kring… Kri-'
Sakura benar – benar tak percaya ! Ia bahkan tidak menekan tombol hijau tersebut, panggilan itu tersambung dengan sendirinya.
"Sakura ?"
Dengan suara keras seolah memakai loudspeaker, terdengar suara milik seonggok tubuh tak bernyawa di depannya yang seharusnya sudah tak bisa Sakura dengar lagi.
"TIDAAAK !"
Sakura meronta – ronta di tempat tidurnya, memaksa matanya terbuka untuk mengakhiri mimpi buruknya. Ia menendang – nendang tak karuan, tangannya menggapai – gapai udara kosong.
Kelopak mata Sakura terbuka, ia megap – megap, dadanya terasa sesak. Barulah ia sadar bahwa selimutnya melilit kencang dirinya sendiri.
Pikirannya benar – benar kacau, mimpi buruknya bisa membuat dirinya gila. Perlahan Sakura turun dari tempat tidurnya, dengan tangan gemetaran, Sakura mencoba melepaskan selimut yang masih melilit dirinya.
CKLEK !
Tepat pada saat ia berhasil melepaskan diri, pintu kamarnya terbuka dan ibunya masuk dengan wajah khawatir.
"Ada apa Sakura ? Kenapa teriak – teriak sepagi ini ? Kamu mimpi buruk lagi ?" serentetan pertanyaan meluncur keluar dari mulut ibunya. Tetapi Sakura hanya menggumam tak jelas, ia sibuk melihat penampilannya di depan cermin.
Ibunya menghela napas, "Sarapannya sudah siap." Ucapnya dan ia langsung keluar sambil menutup pintu kamar Sakura.
Sakura menatap dirinya sendiri dengan agak panik, ia benar - benar terlihat seperti orang sakit. Matanya merah dan sembab, ada kantung mata gelap di bawahnya. Rambut merah mudanya berantakan dan mencuat ke berbagai arah.
Wajahnya bermandikan keringat dan napasnya masih tersengal – sengal, seolah ia benar – benar berlari seperti di dalam mimpimya. Sakura melirik ke arah tempat tidurnya yang sangat berantakan. Apakah ia benar – benar tidak sadar saat melakukannya ?
Sakura menunduk menatap keadaan piyama miliknya yang kusut. Ia mendesah dan berjalan tersaruk – saruk menuju tempat tidur dan berusaha merapikannya.
Kamar Sakura cukup rapi sebetulnya, didominasi dengan warna pink. Sakura mempunyai banyak boneka, kebanyakan adalah hadiah dari Sasori untuknya–yang ia buat sendiri dengan keahliannya.
Dulu, Sakura sangat menyukai boneka – boneka itu. Tapi sekarang ia malah tak tahu harus berbuat apa terhadap benda – benda itu.
Sakura ingin menyimpannya sebagai kenangan terakhir dari Sasori. Tapi di sisi lain, Sakura takut boneka – boneka itu hanya akan meninggalkan kenangan buruk, menambah luka di hatinya yang belum sembuh total.
Setelah bergulat beberapa menit dengan bantal dan guling, Sakura sadar bahwa ia menggigil. Ia melirik ke arah jam dindingnya, pukul 05.15. Mungkin berendam dengan air hangat bukan ide buruk, pikir Sakura. Ia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi sambil mendekap tubuhnya sendiri.
Tapi nyatanya Sakura hanya terbengong – bengong di dalam bath up. Ia melamun memikirkan mimpinya tadi.
Waktu itu Sakura pingsan setelah melihat mayat Sasori. Ia sadar beberapa jam kemudian di rumahnya, Sakura benar - benar terguncang. Dan setelah itu, hampir setiap malam Sakura bermimpi buruk.
Semakin hari, Sakura merasa mimpi buruknya makin mendetail. Ia bisa merasakan panasnya suhu udara ketika berlari, merasakan kerasnya aspal tempat ia terjatuh, merasakan kerasnya pegangan tangan orang yang memeggangnya-Ah, Sakura lupa untuk meminta maaf…
Setiap Sakura terbangun dari mimpinya-biasanya karena teriakannya sendiri, Sakura mendapati matanya merah dan sembab. Ia tak tahu bahwa ia menangis saat tidur dan selalu mengompres matanya dengan menggerutu.
Dan juga, setiap ia terbangun, kepalanya terasa sangat pusing. Seperti ada yang menyurukkan ponselnya yang berdering di dekat telinganya.
Sakura juga mendapati dirinya cemas dan berkeringat dingin ketika mendengar bunyi dering telepon. Jadi ia selalu mematikan ponselnya dan menyalakannya hanya jika berada bersama orang lain.
Ingatannya melayang pada saat dirinya melihat tubuh Sasori dan ia bergidik ngeri. Air matanya merebak. Seharusnya ia sudah melupakan kejadian mengerikan itu…
TOK… TOK… TOK…
"Sakura ? Kamu di dalam ?" suara ibunya terdengar dari luar. Sakura tersentak dan tersadar dari lamunannya.
"Sakura ?" seru ibunya lagi.
"Iya, kaa-san" jawabnya. Beberapa saat kemudian, ia mendengar langkah kaki ibunya menjauhi kamar mandi.
Sakura mendesah pelan, ia mengusap matanya, melangkah keluar dari bath up, menyambar handuk, kemudian melilitkan sekenanya. Ia keluar dari kamar mandi masih dengan air menetes – netes dari rambutnya, menyebabkan jejak – jejak air di lantai keramik.
Beberapa kali Sakura menguap ketika berpakaian. Ia masih sangat mengantuk, jelas saja, dengan mimpi buruknya, ia biasa terbangun dengan gelisah saat tengah malam.
Ia melirik jam dindingnya lagi, sudah pukul 6 tepat, rupanya ia berendam cukup lama.
Sakura berusaha menyisir rambutnya yang kusut dan berantakan, ia menekan kuat – kuat sisirnya dengan paksa, menyebabkan beberapa helai rambut pinknya rontok dan berserakan di lantai.
Sakura menyambar tas ranselnya dan memasukkan buku pelajarannya dengan cepat. Ia menoleh ke arah cermin besar di kamarnya untuk memastikan penampilannya. Setelah dirasa cukup rapi, Sakura keluar dari kamarnya dan turun ke lantai 1.
Sakura POV
Aku berhenti di depan kulkas dan mulai menyusun magnet – magnet yang ada di situ menjadi satu garis lurus. Mungkin aku mengidap kelainan jiwa obsesif-kompulsif.
Dua magnet terakhir–magnet - magnet hitam bundar yang merupakan magnet favoritku karena mampu menahan sepuluh lembar kertas ke kulkas dengan mudah–menolak bekerja sama. Medan magnetnya bertolak belakang, setiap kali aku mencoba menyejajarkan magnet terakhir, yang lain melejit keluar barisan.
Entah untuk alasan apa–keranjingan, mungkin–hal ini benar – benar membuatku kesal. Kenapa magnet – magnet ini tak mau menurut ?
Sudah tahu tak bisa, tapi aku tetap keras kepala, aku bolak – balik menyatukan mereka seolah – olah berharap keduanya tiba – tiba menyerah. Aku bisa saja menyingkirkan salah satunya, tapi rasanya itu sama saja dengan kalah.
Akhirnya, kesal pada diriku sendiri ketimbang pada magnet – magnet itu, kulepas keduanya dari kulkas dan kudekatkan satu sama lain dengan dua tangan. Agak susah melakukannya–magnet – magnet itu cukup kuat untuk melawan–tapi kupaksa keduanya berdampingan.
"Betul, kan." seruku dengan suara keras–berbicara dengan benda mati bukan pertanda baik–"Tidak terlalu buruk, kan ?".
Sejenak aku berdiri seperti idiot, enggan mengakui bahwa aku takkan bisa mengubah prinsip – prinsip ilmiah. Kemudian, sambil mendesah, kukembalikan magnet – magnet itu lagi ke kulkas, saling berjauhan.
"Tak perlu ngotot begitu." gerutuku pelan.
"Apa yang kamu lakukan di situ Sakura ?" tanya ibuku dengan heran. Ia keluar dari dapur membawa sepiring ikan bakar yang harum–jika indra penciumanku masih berfungsi dengan benar–kemudian melewatiku menuju ruang makan.
Aku berjalan mengekori ibuku ke ruang makan dan duduk pada salah satu kursi dan meletakkan tas ranselku ke kursi kosong yang lain.
"Kamu kelihatan seperti orang sakit, Sakura." komentar ibuku saat mengamati wajahku.
"Aku baik – baik saja, kaa-san. "jawabku pelan dan mulai mengambil sup miso yang telah dingin karena terlalu lama menungguku berendam
End of Sakura POV
"Kapan si Debidara itu ke sini ? Nanti ?" tanya ibu Sakura.
"Besok, kaa-san. Kami hanya akan jalan – jalan. Oh, ya, namanya Deidara, bukan Debidara." jelas Sakura.
Sakura memakan sarapannya pelan – pelan, ia tak mau datang terlalu pagi ke sekolah yang jaraknya cukup dekat dari rumahnya
Ia kemudian memikirkan Deidara, pacarnya yang periang dan cerewet. Beda sekali dengan Sasori yang dingin dan pendiam. Sakura hampir tak percaya bahwa ia jatuh cinta secepat ini, baru sebulan yang lalu ia masih berkabung untuk kematian Sasori, sekarang ia sudah berstatus 'kekasih' dengan Deidara.
Deidara adalah mahasiswa jurusan seni rupa di Universitas Konoha, sama seperti Sasori.
Sakura tersenyum tipis mengingat pertemuan pertamanya dengan Deidara.
Flashback On
Sakura memeluk bantalnya sambil menangis tersedu – sedu, bayangan Sasori yang telah meninggal tak bisa hilang dari kepalanya. Tak ada keinginan sedikit pun untuk mengobati lengannya yang terluka tadi.
TING TONG ! TING TONG !
Ada seseorang yang membunyikan bel rumahnya, tapi Sakura tak begitu memperdulikannya.
TING TONG ! TING TONG !
Sakura mulai merasa terganggu mendengarnya. Kenapa belum ada yang membukakan pintu ?
TING TONG ! TING TONG !
Sedetik kemudian Sakura ingat bahwa ibu dan ayahnya sedang pergi.
TING TONG ! TING TONG !
Akhirnya, dengan terpaksa, Sakura turun dari tempat tidurnya, mengusap air matanya, dan berjalan tersaruk – saruk ke ruang depan.
TING TONG ! TING TONG !
Cklek !
"Halo, un !"
Sakura tertegun sebentar melihat rupa seseorang yang menekan bel rumahnya, seseorang itu mirip dengan dua orang temannya.
"Hei, ada yang salah, un ?" pemuda berambut pirang itu bertanya dengan khawatir.
"Maaf, tapi aku sedang tak ingin digangggu…" suara Sakura pecah saat mengatakannya, tangannya bergerak untuk menutup pintu.
"Ah, tunggu ! Aku hanya–"
"Maaf…"
"Hei, aku hanya ingin mengembalikan tasmu, un !" seru pemuda itu.
Sakura berhenti dalam gerakan menutup pintunya, ia memandang heran pemuda bermata Aquamarine tersebut. Kemudian Sakura melihat apa yang dibawa pemuda tersebut, tas selempangnya.
"Oh." ia akhirnya mengerti.
Pemuda itu lalu mengulurkan tas milik Sakura, "Aku menemukan alamat ini di dalamnya, un. Tenang saja, aku tidak mengambil uangmu kok, Sakura-chan, un." ucapnya lagi.
Sesaat Sakura ingin menanyakan darimana pemuda itu bisa mengetahui namanya, tetapi ia urungkan. Kartu pelajarnya ada di dalam tasnya, tentu saja pemuda itu tahu nama dan alamatnya.
Sakura merasa aneh, sepertinya ia mengenal pemuda yang selalu mengucapkan un-un-un aneh ini. Hanya saja, ia tidak ingat.
Alih – alih mengucapkan terima kasih–dua kata yang sudah akan meluncur keluar dari mulutnya–ia malah bertanya, "Apakah aku pernah bertemu denganmu ?".
Pemuda berambut pirang panjang itu mengangkat bahunya seraya berkata, "Namaku Deidara, un Apakah itu membantu, un ?" dan kemudian ia nyengir.
"Tidak terlalu." balas Sakura sambil ikut – ikutan tersenyum. Sesaat, ia melupakan kesedihannya.
Tetapi sejurus kemudian, raut wajah pemuda yang bernama Deidara itu berubah sendu.
"Kenapa ?" tanya Sakura dengan agak khawatir
"Bukankah harusnya aku yang bertanya begitu, un ?" sahut Deidara yang tersenyum geli sambil mengedikkan kepalanya ke arah Sakura.
"Aku tak ingin berbohong, un. Tapi jujur saja, kau terlihat jelek sekali, un." tambah Deidara.
Sakura tak tahu harus menjawab apa. Tapi ia tahu bahwa tampangnya pasti sangat mengerikan, Sakura menangis selama beberapa jam, menghabiskan stok air matanya.
Sekarang, ia sedang mempertimbangkan untuk menceritakan tentang Sasori kepada Deidara. Tapi sebelum Sakura sempat memutuskan, Deidara sudah mengatakan sesuatu. Dan ucapan pemuda itu membuat Sakura kaget.
"Aku juga ikut berduka atas kematian Sasori-danna, un.".
"Kau… Kau mengenal Sasori ?" tanya Sakura tergagap.
"Mungkin tahu lebih banyak daripada dirimu, un." jawab Deidara santai.
"Benarkah ? Ceritakan padaku !" pinta Sakura.
Begitulah, Deidara menceritkan semuanya, tentang kehidupan Sasori, tentang sekolahnya, tentang kegiatannya. Bagian yang tak sempat Sasori ceritakan pada Sakura.
Dan tahu – tahu, Sakura terbangun karena pekikan tertahan dari ibunya yang kaget karena mendapati putrinya tertidur di ruang tamu dengan orang yang sama sekali asing.
Setelah selesai menjelaskan ini itu pada ibu Sakura–juga mengabarkan tentang kematian Sasori, Deidara memutuskan untuk pulang.
"Gomen ne, Deidara-kun, kau harus pulang jam segini." sahut Sakura, ia melirik jam besar di ruang tamu yang menunjukkan pukul 17.30.
"Tak apa, un. Toh aku tak punya pekerjaan hari ini kok, un." jawab Deidara.
"Tapi, kenpa kau tak membangun–".
"Jangan bilang begitu, pinky, un ! Aku sudah berusaha membangunkanmu berkali – kali, un. Kau saja yang tidur terlalu nyenyak, un." sindir Deidara.
Wajah Sakura memerah, "Enak saja !" serunya kesal.
Deidara tersenyum, "Kalau begitu, un, aku pulang dulu ya, un." ucapnya sambil berjalan melewati pekarangan rumah Sakura yang tidak begitu besar. Sebentar saja ia sudah berada di jalanan.
"Aku pasti akan mengunjungimu lagi, un." kata Deidara, ia berbalik dan melangkah santai menjauhi kediaman Haruno.
Sakura hanya mengangguk, tak mampu berkata – kata. Sepeninggal Deidara yang periang, sekarang kesedihan merayapi hatinya lagi.
Flashback Off
Sakura telah menghabiskan sarapannya yang ia makan dengan sangat lambat, sementara ibunya seng menyiapkan bekal untuknya.
Sampai sekarang Sakura masih merasa ada yang aneh pada Deidara, Sakura merasa bahwa ia telah mengenalnya sejak lama. Sakura terkadang bertanya pada Deidara, tapi ia memilih untuk bungkam dan segera mengalihkan topik pembicaraan.
Tapi Sakura tak dapat menyangkal bahwa kedatangan Deidara dalam hidupnya sungguh membantu. Pemuda berambut blonde itu sangat perhatian padanya.
Sakura berdiri dan mengambil kotak bekal yang telah disiapkan untuknya.
"Okaa-san ! Itte kimasu !" seru Sakura sambil berjalan menuju pintu depan.
"Itte rashai, Sakura !" balas ibunya dari dalam.
Jarak antara rumah dan sekolahnya–Konoha High School atahu biasa disingkat KHS–tidak begitu jauh. Ia hanya butuh berjalan beberapa menit dan sudah tiba di sekolah.
Dalam perjalanannya ke sekolah, Sakura tak bertemu seorang pun. Mungkin ia memang berangkat terlalu pagi.
Dan ketika ia melangkah memasuki halaman sekolahnya yang lumayan besar, Sakura mendesah pelan.
'Bahkan orang seperti Deidara pun,' batin Sakura, 'Tak akan bisa menghentikan mimpi burukku…'
TO BE CONTINUE
A/N : Author masih newbie di sini, jadi mohon maaf jka terdapat banyak kesalahan XD. Ada satu bagian yang author ambil dari novel Twilight Saga : Eclipse
Gomen kalo judulnya nggak sesuai sama isinya. Author bingung mau nentuin judulnya kek gimana
Sasori : Woy, masa' gue yang imut – imut kek gini, langsung mati di chapter pertama ?
Author : Suka – suka gue dong ! XD
Hidan : Elo masih mending Sor, lha gue aja cuma ditampilin sekilas doang !
Sakura : Gue kok kelihatannya OOC banget ya ? ._.
Deidara : Un~ Un~ Un~
Author : Ini lagi ngapain sih ? Udah, nggak usah bacot di sini deh !
Keep or Delete ?
Jaa ne !
