Aku Mau 100 Juta Yen!
Disclaimer: Adakah yang percaya jika saya bilang Kubo Tite orang Jawa? Tidak ada ya? Itu berarti beliau memiliki hak sepenuhnya atas manga kesayangan kita yaitu BLEACH
Summary: "Pokoknya aku mau SERATUS JUTA YEN!"/"Ta-tapi..."/"Tidak ada 'tapi' seratus juta, atau tidak sama sekali!"/"Tapi itu uang yang terlalu banyak untuk kami!"
Warning: Bahasa kaku, cerita berantakan, diskripsi kurang, alur sangat lambat, AU, OoC, typo(s), gaje, Ichiruki fic.
DON'T LIKE, CLICK BACK IMMEDIATELY
»«
.
«»
.
Pagi hari yang cerah, seperti biasa sarapan adalah hal pertama yang dilakukan keluarga kecil ini sebelum memulai segala jenis aktivitas. Tiga orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan gadis mungil yang cantik itu menikmati apa yang tersaji di depan mereka dalam diam sebelum suara anggota keluarga termuda memecah keheningan.
"Tou-san, hari Minggu besok kita jadi pergi ke Seireitei Zoo, kan?" tanya sang anak pada orang yang ada disamping kirinya dengan penuh harap.
"Maaf Rukia, hari ini tou-san akan pergi ke Karakura dan tiga hari lagi baru pulang." jawaban yang diberikan pria berambut hitam panjang tak pelak membuat gadis berumur sepuluh tahun itu menatapnya tidak percaya.
"Tapi, bukankah tou-san sudah berjanji padaku dua minggu yang lalu," Rukia mengatakan sambil menundukkan kepalanya.
"Tou-san tahu. Tou-san 'kan sudah minta maaf."
Belum puas dengan jawaban sang ayah, gadis itupun menoleh pada ibunya —meminta pembelaan. "Lain kali saja ya, Rukia-chan. Akhir-akhir ini kami memang sibuk," bukan jawaban seperti itu yang ingin dia dengar dari orang yang sangat mirip dengannya.
'Ya, menjadi seorang Presiden Direktur di sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat, setiap hari kau pasti akan selalu sibuk. Tak peduli hari libur atau tidak, kalian tak pernah punya waktu untukku.' batin Rukia miris.
Kuchiki Group yang sekarang dipimpin oleh generasi ke-28 memang sedang dalam puncaknya dalam beberapa tahun terakhir ini. Tak heran jika Byakuya jarang sekali berada dirumah, lebih banyak menghabiskan waktu dikantor ataupun perjalanan dinas.
Rukia mendesah panjang, mengaduk-aduk sisa makanan yang sepertinya enggan ia santap. Selalu saja seperti ini. Hanya permintaan maaf dan kata lain kali yang sering didengarnya. Padahal gadis mungil itu sudah membuat daftar apa-apa saja yang akan dilakukannya saat berlibur ke kebun binatang nanti.
"Cepat habiskan sarapanmu, dan duduklah dengan tegak," teguran dingin dari sang ayah membuat Rukia tersadar dari lamunannya.
.
.
.
Seorang pria dengan tubuh tinggi besar dan juga jambang yang cukup lebat, tergesa-gesa masuk ke dalam taksi yang telah diberhentikannya tadi.
Sambil mendekap erat sebuah koper berwarna hitam— seolah seluruh persediaan nyawanya tersimpan di sana, ia segera memberitahukan tujuannya pada sopir taksi.
Namun setelah berjalan kurang lebih lima menit, pria tadi mulai merasa sedikit tidak nyaman dengan jalan yang diambil si sopir.
"Ini jalan alternatif paling cepat untuk sampai ke rumah sakit, Pak." pria dengan rambut hitam sebahu dan tatapan mata yang sayu itu menjawab seolah mengerti kegelisahan yang dialami oleh penumpangnya.
Bagaimana orang yang bernama Kurosaki Isshin itu bisa tenang jika jalan yang dilewati jauh dari keramaian dan keluar-masuk gang-gang kecil.
"Sepertinya Anda bukan warga disini," tanya sopir taksi mencoba memulai pembicaraan. "Dan panggil saja saya Tsukishima."
"Iya, saya kemari menemani istri berobat. Dan rencananya uang yang baru saya ambil ini untuk biaya operasinya minggu depan," jawaban yang dilontarkan Isshin itu tak pelak membuat Tsukishima menyeringai tipis.
.
.
.
Rukia's PoV
Membosankan. Setiap hari selalu saja seperti ini, tak adakah sedikit tantangan dalam kehidupanku?
Hari ini sepulang dari latihan karate, aku berjalan memutar untuk mencari angin segar dan mengganti pemandangan yang sudah sangat sering aku lihat.
Jarak antara dojo dengan rumahku tidaklah terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Tapi hal itu tak lantas membuat kedua orang tuaku rela membiarkan anak semata wayangnya ini pergi sendirian. 'Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?', 'Bagaimana jika nanti kau tersesat?', atau yang paling memalukan kaa-san pernah bilang 'Bagaimana kalau nanti kau menangis karena tersandung Rukia-chan?' Astaga! Aku tidak akan menangis hanya karena hal seremeh itu kaa-san! Lagipula apa gunanya aku berlatih karate jika aku menjadi anak cengeng seperti itu.
Bagaimana jadinya jika beliau melihatku berlatih karate . Memukul dan dipukul. Atau saling membanting adalah hal yang biasa kami lakukan di dojo.
Untunglah sore ini kedua orang tuaku sudah berangkat ke Karakura, jadi aku bisa pergi sendiri. Tak mudah juga meyakinkan Ichimaru-san ‒orang yang dipercaya tou-san menjadi pengawalku‒ agar aku diizinkan berangkat jalan kaki ke dojo. Meskipun aku harus 'merayu'nya dan mencium pipi kiri dan kanannya, tapi itu semua sebanding dengan kebebasan yang hanya sebentar ini.
Mendiang jii-san yang memperkenalkanku pada bela diri ini, dan aku langsung ketagihan mempraktekkan gerakan-garakan dasar yang diajarkannya. Beliau bilang untuk jaga-jaga jika ada yang macam-macam pada seorang gadis manis dan cantik sepertiku—jii-san yang bilang seperti itu, bukan aku. Tapi sepertinya tak akan ada hal semacam itu mengingat kemana-mana selalu ada yang menjagaku. Oh, kecuali kali ini tentu saja.
Huft. Ternyata jalan memutar cukup melelahkan juga. Saat aku bermaksud membeli sekaleng jus di mesin penjual minuman otomatis di sekitar taman kecil, aku mendengar sesuatu gemerisik aneh di sekitar semak-semak yang tak jauh dari tempatku berdiri. Karena penasaran akupun mencoba memeriksanya. Begitu menyibak tanaman yang sedikit lebih tinggi dariku, manik ungu-gelapku membulat sempurna dengan apa yang ada di depanku ini!
"KYAAA!"
End Rukia's PoV
.
.
.
Lorong bercat putih yang cukup panjang itu relatif sepi, hanya segelintir orang yang berjalan melewatinya. Juga terdapat dua orang beda usia memanfaatkan bangku kosong disana untuk melepas lelah. Tidak ada salah satu dari mereka mau membuka mulutnya. Sang ayah sibuk menekan-nekan wajahnya dengan kompres berisi es batu, sedangkan si anak menundukkan kepalanya memikirkan hal-hal yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Lima belas menit berlalu dalam kebisuan. Suara derap kaki para perawat yang sedang lewat menjadi musik pengiring terapi diam mereka, seolah kehilangan kemampuan untuk berucap.
Jenuh dengan sikap ayah yang tetap tidak mau membuka suara, bocah laki-laki itu mulai mengepalkan kedua tangannya erat. Mencoba menahan segala emosi yang ingin sekali ia keluarkan, mengingat dirinya masih berada di rumah sakit. Tempat yang sangat diharamkan untuk membuat keributan barang sekecil semut. Namun hatinya sudah tidak bisa untuk tidak berteriak pada pria disampingnya.
"Bagaimana bisa kau kehilangan uang itu tou-san! Kita benar-benar membutuhkannya untuk kesembuhan kaa-chan!" teriak seorang pemuda berambut oranye seterang mentari pada pria di samping kirinya dengan suara yang sepelan mungkin.
Isshin hanya bisa menghela napas sambil terus menekan kompres es batu pada kening dan rahangnya yang lebam secara bergantian. "Maafkan ayah Ichigo, mereka terlalu banyak dan ayah tidak bisa berbuat apapun."
Ibu sekaligus istri dua orang tadi sedang dirawat di sini—Seireitei Medical Centre. Divonis menderita kanker hati stadium 3.
"Jadi apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan uang sebanyak itu? Waktunya semakin sempit, jika tidak segera diopersi kaa-chan akan—"
"Ayah tahu! Ayah juga sedang berpikir cara yang paling cepat untuk mendapatkan sepuluh juta yen!" teriak Isshin frustasi pada anaknya.
Ichigo sedikit berjengit kaget mendengar ayahnya membentak seperti itu. "Maaf."
"Tidak, ayahlah yang seharusnya meminta maaf. Situasi seperti ini membuat ayah menjadi sedikit lebih gila," ucap Isshin sambil tersenyum kecil dan mengacak rambut unik bocah berusia dua belas tahun itu. "Jadi, apa kau punya rencana jagoan?"
"Punya sih, tapi..."
.
.
.
"Kau menggemaskan sekali! Aku akan merawatmu dan membesarkanmu sampai gemuk dan siap kusantap nantinya!" ucapan gadis beriris violet yang sedang memegang seekor kelinci didepan wajahnya itu membuat mamalia berwarna kecoklatan tersebut langsung memberontak—seolah tahu apa artinya.
"Hahaha, aku hanya bercanda sayang. Tidak mungkin aku tega memakan makhluk seimut dirimu ini," kata Rukia sambil mecium hidungnya dan kemudian meletakkan peliharaan barunya itu dipangkuan dan membelainya lembut.
Ya, Rukia menemukan kelinci berbulu cokelat itu diantara semak-semak sekitar taman ini. Kedua kaki belakangnya tersangkut tenaman rambat yang juga tumbuh menjalar disana. Melihat hewan yang sangat dikaguminya tidak bisa bergerak dan sedikit kesakitan membuat Rukia dengan hati-hati melepaskannya.
"Hei, apa kau tersesat? Atau kau lari dari toko hewan? Itu berarti kau anak yang nakal makhluk mungil!" candanya pada hewan yang kini meringkuk nyaman dipelukannya itu.
Sambil mengangkatnya kembali dan mensejajarkan mata, Rukia mengamati kelincinya yang terus saja menggerak-gerakkan hidung hitamnya. "Ngomong-ngomong aku akan menunggu sebentar disini, siapa tahu majikanmu sedang mencari. Dan untuk sementara kau kuberi nama Chappy, bagaimana? Nama yang bagus bukan, aku yakin kau juga menyukainya." Chappy hanya mengangguk samar dan mulai mengendus-endus jempol Rukia.
"Apa kau lapar? Maaf tapi aku tidak membawa apapun sekarang," Chappy menurunkan telinga panjangnya—kecewa. "Tapi jika lima menit lagi tidak ada yang mencarimu, kau akan kubawa pulang dan kau bisa makan sepuasmu!" perkataan Rukia seperti sihir yang mampu membuat kelinci bermata merah menyala itu kembali sedikit bersemangat.
"Kau tahu, sepertinya aku akan dikira orang kurang waras karena terus berbicara padamu." Rukia kembali meletakkan Chappy di pangkuan dan kembali membelai bulu cokelatnya yang lembut.
.
.
.
"Apa kau yakin dengan apa yang akan kita lakukan ini anakku?" tanya Isshin tanpa menoleh kesamping kanan, tempat dimana bocah laki-laki duduk di dalam mobil bututnya.
"Tou-san, kau ingin jawaban yang ingin kau dengar atau jawaban yang jujur dariku?" sang anak malah balik bertanya.
Sesungguhnya Ichigo juga tidak yakin dengan rencananya kali ini. Menculik seorang anak untuk meminta tebusan kepada orang tua mereka. Tapi mau bagaimana lagi, uang tabungan sudah habis terkuras, begitu juga sertifikat tanah dan rumah yang sudah dipakai untuk jaminan meminjam uang di bank.
Salah satu cara yang paling cepat adalah ini—menurut otak kriminalnya. Segala resiko siap mereka tanggung nanti, hal itu adalah urusan nomor dua. Yang paling penting dipikiran mereka sekarang adalah kesembuhan istri sekaligus ibunda tercinta.
Dan di sinilah mereka sekarang. Sedang mengamati sosok gadis berambut hitam pendek yang berada di taman di kawasan cukup elit di Seireitei. Untunglah keadaan taman kecil tersebut cukup sepi. Mungkin hanya satu atau dua orang yang melewatinya. Sambil menunggu dan memastikan tak ada satu orang pun saksi, mata kedua orang itu tak lepas dari target yang telah terkunci.
"Apa kau siap, Nak?" Isshin kembali bertanya yang hanya dijawab dengan gumaman lirih dan anggukan kepala berwarna oren.
Menarik napas yang cukup panjang dan menahannya sebentar baru kemudian menghembuskannya lewat mulut. Ichigo melakukan hal itu berulang kali untuk menenangkan jantungnya yang berdetak di atas normal . Tak lupa mereka memakai saputangan untuk menutupi sebagian wajah masing-masing.
"Apa kau sudah berdoa sekalian? Mengingat apa yang akan kita laku—"
"Sudahlah cepat jalankan saja mobilnya!" bentak Ichigo sedikit lebih keras untuk menutupi suaranya yang mungkin bergetar karena takut.
Perlahan namun pasti dan juga sedikit gugup, Isshin menjalankan mobilnya menuju gadis kecil yang sedang duduk di bangku taman sambil memangku kelinci berbulu cokelat di pangkuannya.
.
.
.
Rukia's PoV
Entah mengapa perasaanku menjadi sedikit tidak nyaman. Seperti ada yang memperhatikanku. Kutengok kanan dan kiri, tak ada seorangpun disini. Oh kecuali sebuah mobil yang cukup tua yang berjalan pelan kearahku. Aku perhatikan mobil itu sampai berhenti tepat di depanku. Secara tiba-tiba seorang pria dengan sebagian wajah tertutup kain keluar dari sana dan langsung menatapku tajam. Eh?
Tanpa berkata apapun dia menarik pergelangan tanganku, membuat Chappy terlonjak kaget. Tentu aku tak akan diam saja, reflek aku memutar balik pergelangan tangannya. Memelintir kebelakang punggungnya dan kemudian menendang betisnya dari belakang hingga dia jatuh tersungkur kedepan.
Hah! Kau lihat itu pria tua, jangan pandang remeh tubuhku yang hanya—mungkin—kurang dari sepertiga ukuran tubuh besarmu itu!
"Tou-san!"
Kini kudengar suara cempreng anak laki-laki dari dalam mobil. Apakah dia juga akan ikut menyerangku? Majulah bocah, aku belajar karate bahkan sebelum aku bisa berjalan bukan hanya untuk menghabiskan waktu senggang belaka!
Oh yeah! Inilah saat yang kutunggu-tunggu selama sepuluh tahun dalam hidupku! Mempraktekkan di lapangan apa-apa saja yang kupelajari di dojo. Mungkin Kami-sama mendengarkan doaku tadi untuk menambahkan tantangan dalam hidupku.
Sejenak aku merasa ada yang menggelitik saraf tertawaku begitu melihat warna rambutnya. Oranye? Ya Tuhan, itu adalah warna paling konyol yang pernah aku lihat! Tentu saja selain warna merah bodoh milik Renji, temanku di dojo.
Begitu menginjakkan kakinya di trotoar, bocah oren itu langsung melayangkan pukulan tangan kanannya kearah wajahku. Entah karena sudah terbiasa membaca gerakkan lawan atau dia yang terlalu lambat, dengan mudah aku bisa menundukkan kepalaku untuk menghindarinya.
Tak menyerah karena pukulannya berhasil kuhindari, kini kakinya yang ambil bagian. Kutahan tendangan yang tak terlalu keras itu dengan kedua tanganku. Dia terbengong melihat tendangan terbaiknya—kurasa—dipatahkan dengan mudah oleh seorang gadis. Akupun tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kutendang saja kakinya sebelah yang dijadikannya pijakkan. Debuman cukup keras terdengar saat punggungnya menghantam trotoar. Ouch, pasti sakit sekali.
Aku tidak menghajarnya habis-habisan karena menyerangku tanpa alasan. Ukitake-sensei pernah bilang, bahwa bertarung itu untuk melindungi bukan menyakiti. Jadi selama mereka tidak berlebihan menyerangku, aku masih bisa menahan diriku.
"Kalau kalian mau bertarung lihat dulu siapa lawanmu, Tuan!" aku membentak mereka dan berbalik mencari kelinci cokelatku yang bersembunyi karena ketakutan. Kuharap dia tak pergi jauh dari sini. Ah, itu dia. Kembali meringkuk tepat dimana aku menemukannya tadi.
Kuambil Chappy lalu mulai melangkah menuju rumah.
"Ternyata kita sama sekali tidak berbakat melakukan kejahatan, tou-san" kudengar bocah jingga itu berbicara pada orang yang ternyata adalah ayahnya.
"Iya kau benar, menculik seseorang lebih sulit dari yang kubayangkan."
Langkah kakiku terhenti, belaian pada bulu lembut Chappy juga ikut berhenti, telingaku bergerak kesumber suara, seolah tertarik pada apa yang mereka bicarakan lebih lanjut.
"Apa kalian berdua berniat menculikku?" sambil menunduk dan menatap tajam, kutanya mereka yang ternyata masih setia terduduk di trotoar.
"I-iya Nona, tapi tidak jadi. Maafkan kami!" si ayah kemudian bangkit dan menundukkan kepalanya meminta maaf.
Hei, kupikir tak ada salahnya mengikuti rencana mereka itu. Bukankah ini juga salah satu tantangan dalam hidup? Lagipula aku ingin melihat bagaimana reaksi kedua orang tuaku nanti begitu mendengar kabar bahwa putri mereka diculik. Jika mereka benar-benar menyayangiku, mereka pasti akan segera pulang dan menyelamatkanku. Yah, kecuali perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi dan juga asuransi peninggalan kakeknya kakek dari kakek buyutnya kakek buyutku itu jauh lebih penting dariku. Waw, aku tidak menyangka hanya memikirkan apa yang akan terjadi semakin membuat perasaanku menjadi berdebar-debar.
"Tuan, aku bersedia Anda culik," aku berucap sambil tersenyum semanis mungkin.
Kulihat mereka memandangku tanpa berkedip dan juga mulut yang sedikit terbuka. Err, apa perkataanku tadi sulit dimengerti artinya? Bukankah tadi aku menggunakan bahasa Jepang? Kenapa reaksi yang mereka berikan seolah aku mengatakannya dalam bahasa alien—yang aku sendiri masih sangsikan keberadaannya.
"A-apa maksudmu, Nona?" pria berjanggut lebat itu bertanya setelah pulih dari keterkejutannya dan membantu anaknya berdiri.
Tuh 'kan ternyata mereka memang sulit memahami lima kata yang kuucapkan tadi.
"Sudahlah, ikuti saja apa mauku."
Tanpa persetujuan, aku melenggang masuk ke dalam jok belakang mobil. Mereka terus memperhatikanku yang sudah duduk dengan nyaman ini. Ya Tuhan, kenapa cara kerja otak kedua orang ini payah sekali sih?! Apa aku harus menggunakan bahasa isyarat baru mereka akan paham?
"Tuan, apa kalian akan terus berdiri di situ? Bukankah tujuanmu menculikku? Aku bersedia dan dengan senang hati kalian bawa kemanapun." sekali lagi aku meyakinkan mereka.
"O-oh iya, baiklah Nona,"
Hei, kenapa dia malah terdengar seperti sopir yang siap mengantar kemanapun aku pergi? Dasar pria aneh.
End Rukia's PoV
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung...
Selamat siang! Saya nubie disini, jadi mohon bimbingan para author senior sekalian jika ada kesalahan dalam cerita diatas. Dan maaf kalau ceritanya ada kesamaan dengan karya lain, karena saya BELUM membaca semua archive di FBI ini ^^. Jadi... sudikah meninggalkan jejak reviu?
