Itu terjadi pada suatu hari, di sebuah cermin tua. Terdapat pantulan gambar anak laki-laki. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang 'penyihir'— tertawa, senyumnya benar-benar sama seperti milikku.
「 Takdir kita mulai berputar, kehidupanku berubah 」
「 魔法の鏡 - 鏡の魔法 」
「 Magical Mirror x Mirror's Magic 」
.
.
.
Disclaimer
Vocaloid
- Yamaha Corp x Crypton Future Media -
Magical Mirror (song)
- Hitoshizuku x Yama -
.
.
.
Note :
Maaf kalau gaje, songfict ini udah mainstream, ooc, typo, etc. Akhir kata, Selamat membaca!~
.
.
.
Chapter 1
" Magical Mirror "
魔法の鏡
.
.
.
.
.
Di atas loteng— dalam sebuah ruangan kecil. Dimana tak ada satupun orang yang pernah berkunjung. Aku diam-diam memasuki ruangan tersebut— dengan kesusahan menyeret kedua kakiku.
Aku memang anak yang penyakitan. Kedua kakiku yang lumpuh ini membuatku begitu menderita. Memang, orang-orang melarangku untuk keluar dari kamar— bahkan, mereka menganggapku sebagai sumber kesialan bagi mereka. Aku bosan akan hal itu, aku ingin sesekali mencari hiburan— Aku mengimpikan sebuah kebahagiaan nantinya.
Sepasang mata biruku memperhatikan isi ruangan ini dengan cermat. Ruangan kecil ini kotor, penuh debu dan sarang laba-laba. Yah, ruangan ini memang tidak pernah dibersihkan. Ku lihat berbagai tumpukan buku-buku usang, kayu-kayu lapuk, dan furnitur yang sudah cukup tua.
Berhenti— aku mendapati sebuah cermin antik besar yang berdebu. Segeralah kuambil kain— kemudian mengelap permukaannya dengan hati-hati.
Aneh— setelah dibersihkan, aku tidak mendapati pantulan bayanganku sendiri. Aku mengedipkan mataku berulang kali. Menatap dengan tidak percaya— pasalnya, cermin itu memantulkan gambaran seorang pemuda yang mirip denganku, lengkap dengan rambut blonde dan manik aqua yang persis seperti diriku.
Aku terkejut, namun berusaha untuk meredam teriakanku— seraya mundur beberapa langkah ke belakang. Akan tetapi, pemuda dalam cermin itu tersenyum dan tertawa kecil.
"Hey, tidak apa-apa nona. Jangan takut,"— pemuda itu mulai berbicara. Mencoba menenangkanku.
"Si.. siapa kamu?" tanyaku gugup— dengan penuh keraguan.
"Namaku Len—" jeda sejenak. "Aku adalah seorang penyihir," pemuda itu menunduk memperkenalkan dirinya dari dalam cermin.
"Penyihir?" aku bertanya sembari menaikkan alisku— tidak percaya dengan kata-katanya. Pemuda itu hanya membalas dengan anggukan pelan. Perasaan bingung kian menyelimutiku.
"Uhm.. Len? Bolehkah aku mengangapmu sebagai teman pertamaku?" seruku pelan. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Tetapi, tidak ada salahnya kan untuk berteman dengannya?
"Tentu saja, nona," jawab sosok di hadapanku dengan senyuman ramah. Senyumku makin melebar.
"Bisakah kau memanggil namaku? Aku Rin," kali ini aku yang memperkenalkan diri padanya.
"Baiklah.. senang bertemu denganmu, Rin," tangan Len menyentuh sisi lain cermin. Aku ikut melakukan hal yang sama sepertinya. Rasanya hangat— seakan-akan jari-jemarinya benar-benar bersentuhan dengan milikku. Akhirnya, air mataku mulai mengalir. Tidak apakah aku menahanmu disini? Tidak apakah kita tetap seperti ini?
.
「 Takdir kita mulai berputar, kehidupanku berubah 」
.
xxx
"Rin, apakah kamu mau melihat sihirku?" ujar pemuda dalam cermin antik. Aku mengangguk pelan sembari mengernyitkan dahi— penasaran akan perkataannya.
"Kamu ingin sembuh kan?" tanyanya. Aku segera mengangguk mantap. Itu memanglah harapanku sekian lama ini.
"Kalau begitu berdirilah," ujar Len. Posisinya seakan mengajakku untuk berdiri. Kedua tanganku bertopang pada sisi cermin— berusaha menegakkan kedua kakiku dengan susah payah.
Tak lama, kedua kakiku dapat berdiri tegap. Akhirnya, aku bisa berdiri. Kemudian kucoba melangkahkan kakiku perlahan-lahan— mencoba untuk berjalan. Tetesan air hangat keluar dari kelopak mataku.
"Terimakasih, Len," ruangan kecil ini dipenuhi oleh tangisan haruku.
.
「 Penyihir itu mengabulkan permintaanku 」
「 Aku bisa berjalan, penyakitku akhirnya sembuh 」
.
xxx
Sejak pertemuanku dengannya, aku menjadi lebih sering menghabiskan waktu di loteng. Len selalu setia menungguku di sisi lain cermin. Kami mengobrol dan bercanda gurau tak kenal waktu, bahkan sampai larut malam.
Hari ini juga, aku mengunjunginya di loteng. Kami kembali melanjutkan aktivitas yang biasa kami lakukan— berbincang kecil.
"Len, bagaimana keadaan negaramu di seberang sana?" tanyaku seakan membuka topik pembicaraan.
"Baik-baik saja, bagaimana denganmu?" jawab Len dengan senyuman khasnya.
"Buruk," ucapku sembari menghela nafas panjang. Kulihat Len menaikkan alisnya— bertanya-tanya apa sebabnya.
"Disini, sudah lama terjadi perang. Perang ini tak kunjung berakhir bahkan sampai sekarangpun," jelasku.
"Kau tahu, yang namanya perang selalu membuat kami— para warga menderita. Tak jauh dari sini, berbagai ranjau dan bom dilemparkan. Disini tidak aman— kami tinggal dengan terancam," sorot mataku semakin meredup.
"Rin... Dengan sihirku, aku bisa mengabulkan permohonanmu," kedua tangan Len menyentuh permukaan cermin.
"Jadi, ucapkanlah permohonanmu itu padaku," pinta Len.
"Aku ingin perang segera berakhir," ku tempelkan kedua tanganku pada sisi cermin. Kami berdua berhadapan, saling memandang.
"Pergilah— lihatlah keluar. Disana sudah aman,"
.
「 Penyihir itu mengabulkan permintaanku 」
「 Perang yang sudah lama terjadi ini, akhirnya berakhir 」
.
xxx
Perang telah berakhir, kehidupanku mulai membaik. Suara tawa dan canda gurau kami di atas sini semakin keras. Aku bahagia. Tidak ada hal yang paling menyenangkan selain berdua dengan Len.
"Len, kemarin malam aku bermimpi,"
"Apa itu? Ceritakan, Rin," ujar Len seraya terkekeh pelan.
"Aku teringat akan ingatan masa kecilku dahulu di kehidupan sebelumnya, di sebuah kerajaan yang indah dan megah aku adalah seorang putri raja," aku mulai bercerita.
"Itu bukanlah sekadar mimpi, Len. Aku bisa mengingatnya dengan jelas. Dan hal itu, membuatku rindu," ucapku terisak. Air mataku mulai menetes. Suasana menjadi hening.
"Rin," Len memanggilku memecah kesunyian. Raut wajahnya berubah, tatapannya menjadi sayu— ia khawatir denganku.
"Janganlah sedih, karena hal itu sudah menjadi kenyataan sekarang," ujar Len, lagi-lagi dengan tersenyum.
Ku pandangi sekitarku. Seketika, tempat tinggalku ini berubah menjadi istana. Ruangan yang kecil nan kotor ini menjadi kian luas dan megah. Hiasan emas mengkilap terpasang di sekujur dinding. Pakaianku berubah menjadi gaun cantik bak gaun menawan putri-putri dalam dongeng. Semua ini persis seperti dalam mimpiku. Dan sekarang, hal itu menjadi kenyataan.
.
「 Penyihir itu mengabulkan permintaanku 」
「 Segala hal yang aku inginkan dalam mimpiku, telah diberikan olehmu 」
.
xxx
Semua impianku berangsur-angsur menjadi kenyataan. Ini semua berkat sang penyihir— Len. Meskipun demikian, aku merasa sedikit hampa— terasa seakan-akan aku kehilangan sesuatu.
Yaitu, apa yang ada tepat di depan cermin, sihir yang hanya dirimu di seberang sana yang dapat melakukannya. Aku berharap, bahwa kita bisa tetap seperti ini selama-lamanya. Tidak butuh orang lain lagi, tidak butuh aku bertemu dengan siapa-siapa lagi, selain hanya dirimu seorang.
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Berkali-kali aku berusaha memejamkan mataku, tetapi tidak berhasil-hasil juga. Aku kesepian, sampai-sampai tak bisa tidur. Sesegera mungkin, aku berdiri beranjak dari kasur empukku. Tak kuhiraukan kulit telapak kakiku yang menyentuh dinginnya lantai keramik. Berlari menuju loteng atas— aku ingin segera bertemu dengan Len.
"Len?" panggilku. Seperti biasa, setelah kupanggil, Len akan muncul di balik cermin.
"Maaf Rin, tapi aku harus segera pergi..." tatapannya sedih. Aku sedikit kecewa.
"Sedang sibuk di dunia sana? Baiklah, kamu akan kesini lagi kan nanti? Aku akan menunggu, kok!" aku mencoba tersenyum, lagipula Len pasti juga punya kesibukan tersendiri di dunianya sana.
"—Tidak" jawab Len cepat. Aku sedikit terkejut mendengarnya.
"Kalau besok?" tanyaku lagi.
"Dengar, Rin. Aku akan pergi untuk selamanya. Aku tidak akan pernah kembali lagi,"
"Ke... kenapa, Len?" ucapku tersendat-sendat.
"Kau tahu, Rin. Sebenarnya dunia kita ini berbeda, dunia yang saling berlawanan takdir. Duniaku adalah bayanganmu. Di satu sisi cermin ini, adalah dunia dimana semuanya sudah disediakan— Di balik penderitaanmu, terdapat kebahagiaanku. Begitu pula sebaliknya. Dunia kita berlawanan takdir, yang seharusnya tak boleh diseberangi,"
"Aku kesini hanya untuk mengembalikan apapun yang telah kau berikan padaku sebelumnya," ucap Len dengan penuh rasa bersalah.
"Tolong, jangan pergi Len," pintaku seraya mengenggam erat sisi cermin— berharap bahwa sosok di dalam itu takkan bisa beranjak pergi, walau selangkahpun.
"Sihirnya akan menghilang jika aku tidak segera pergi. Jadi, aku harus segera mengucapkan selamat tinggal padamu..."
"Jangan katakan itu. Aku mohon, tolong," ucapku dengan penuh isakan. Aku tak kuat lagi menahannya, bulir-bulir air kian jatuh dari kelopak mataku. Aku menangis lagi dihadapannya.
"Jangan menangis," jemari lembut Len di balik cermin seakan menyeka air mataku— hangat, hal itu membuatku nyaman. Aku tak ingin ini berakhir.
"Jangan pergi," lirihku pelan.
"Rin, senyuman di wajahmu. Dan juga wajahmu ketika menangis. Aku tidak akan pernah melupakannya sekalipun,"
"—Jadi, itu sebabnya aku mohon kepadamu. Bahkan ketika aku pergi nanti, dan tak akan pernah bisa menemuimu lagi. Tolong jangan lupakan aku," untaian senyum terpampang di wajahnya— berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Len, bahkan jika dirimu tidak punya sihir. Bahkan jika semua sihirmu padaku hilang. Aku ingin selalu bersama disisimu,"
"Jadi sekali lagi, mari kita bertemu pada suatu hari nanti di suatu tempat. Aku akan selalu membersihkan cermin ini dan senantiasa menunggumu. Tidak peduli berapa lama waktu berlalu,"
"Aku akan selalu, menunggu disini untukmu... Len... "
"Sayonara, Rin..."
Setelah kata itu terucap dari mulutnya. Sosoknya mulai meredup— menghilang seutuhnya. Cermin itu tidak lagi memantulkan gambaran seorang laki-laki yang selalu tersenyum dengan senyuman khasnya. Kosong— cermin yang dulunya penuh sihir itu, kini tak lain hanyalah cermin tua biasa.
.
.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
.
.
A/N
Halo~ terimakasih banyak sudah membaca fic ini :" Sebenarnya ceritanya sudah selesai, kok. Tapi kalau jadi, saya mau buat answer dari sebab dan misteri tentang kenapa Len harus pergi meninggalkan Rin dari sudut pandang Len sendiri di chapter 2 nanti. Adakah yang minat?
Thanks,
Euclair
