Disclaimer: Masashi Kishimoto

Tittle: Heart and Love

Pairing: Naruto x Hinata

Genre: Drama, Romance

Rate: T

Warning: AU, OOC, typo(s), DLDR, minim deskripsi, minim konflik, dan lain-lain

Mohon maaf bila ada kesamaan cerita, latar, dan sebagainya, tapi cerita ini murni dari ide gaje saya yang sudah tidak diragukan lagi

Summary: Hukum kekekalan energi juga berlaku untuk cinta. Seperti cinta Naruto pada Hinata yang tidak dapat diciptakan dan seperti cinta Hinata pada Naruto yang tidak dapat dimusnahkan. Bagaimana perjalanan hidup mereka yang penuh dengan tangisan, air mata, dan... tanpa cinta?

Happy Reading ^^

Check it out

.

.

.

Bagian 1: Kenyataan

Helaan napas lelah terdengar dari seorang pemuda yang baru saja keluar dari sebuah ruangan besar. Raut wajahnya benar-benar terlihat seperti orang frustasi. Lihatlah penampilannya, rambutnya sudah seperti benang kusut, dasi yang sudah longgar terlihat turun dari kerah bajunya, dan lengan kemeja yang ia lipat asal-asalan sampai sikunya. Sungguh mencerminkan bahwa ia sangat lelah dan ingin segera sampai di rumahnya agar ia bisa sejenak mengistirahatkan tubuh dan pikirannya terutama.

"Tenanglah Naruto, ini tidak akan sulit," ucap pemuda itu entah pada siapa. Ia mencoba menyemangati diri sendiri atas apa yang akan terjadi padanya beberapa bulan ke depan. Sapaan dari beberapa staff kantor yang kebetulan lewat pun tak dihiraukannya, ia hanya membalasnya dengan senyuman. Senyuman miris yang menyimpan keresahan akan hidupnya.

Sejenak pemuda itu menampakkan iris birunya sebelum kemudian dipejamkannya kembali. Mencoba membayangkan bagaimana kehidupan yang akan ia jalani. Tidak lama lagi ia akan menjalani kehidupan dengan seorang gadis yang telah menjadi tunangannya sejak setahun yang lalu.

Seorang gadis Hyuuga yang mungkin sangat sempurna dan merupakan incaran bagi para kaum adam, tapi tidak baginya. Entah mengapa meskipun sudah 1 tahun bertunangan, pemuda dengan 3 goresan di kedua pipinya ini tak merasakan perasaan cinta pada gadis itu. Bukannya gadis itu tidak cantik, oh ayolah siapa yang tidak kenal kenal seorang Hyuuga Hinata yang memiliki paras bak seorang bidadari.

Cantik, manis, anggun, pintar, baik hati, dan jangan lupakan kekayaan keluarganya yang hampir tidak akan habis sampai tujuh turunan itu. Namun, tak ada satu pun yang mampu membuat pemuda ini jatuh cinta padanya.

"Kau hanya perlu menikahinya dan hidup bersamanya–" pemuda yang ternyata bernama Namikaze Naruto itu kembali berucap, " –tanpa perlu mencintainya."

Jangan menganggap bahwa pemuda 23 tahun itu membenci tunangannya sendiri. Jika ia membencinya, sungguh tidak mungkin mereka akan bertunangan bukan? Terdengar kembali helaan napas dari pemuda itu. Entah itu sudah keberapa kalinya.

Pemuda itu_Naruto_ hanya tidak bisa mencintai gadis yang menjadi tunangannya itu. Selama setahun ini Naruto belum merasakan perasaan cinta seperti yang Hinata rasakan padanya. Ia tak pernah menyangkal dengan sikap peduli Hinata padanya. Bahkan sikap gadis itu terbilang terlalu baik baginya_seorang pemuda yang tak mampu mencintainya. Awalnya ia mengira dengan bertunangan, mungkin rasa itu akan tumbuh. Namun, sampai sekarang, ia tidak mencintai Hinata.

Apa yang salah dengan dirinya?

Ia sudah tidak bisa lagi memaksakan diri untuk mencintai gadis itu. Satu tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencoba menumbuhkan rasa cinta bukan?

Langkah besar kakinya ia percepat, tak mau lagi memikirkan hal ini. Biarlah ini menjadi bagian dari hidup yang dijalaninya.

.

*** Heart and Love ***

.

"Tadaima," sapa Naruto ketika sampai di rumahnya. Setelah pintu terbuka, yang ia lihat adalah senyum manis Kushina, ibunya. Rasanya, kelelahan yang ia rasakan langsung sirna hanya dengan melihat senyum satu-satunya orang yang sangat disayanginya saat ini.

"Kau sudah pulang, Naruto," balas sang ibu dengan tetap menyunggingkan senyumnya dan hanya dibalas dengan gumaman kecil Naruto. Segera ia sambut putra kesayangannya itu. Tangannya terulur mengambil tas kerja yang sedang dibawa Naruto.

Memang terlihat seperti menyambut suami setelah pulang kerja. Kushina semakin melebarkan senyumnya, tak lama lagi kegiatan yang kini tengah dilakukannya akan digantikan oleh Hinata_calon menantunya. Ah, rasanya ia tak sabar menunggu hari itu tiba.

"Aku langsung ke kamar saja, Ka-san."

Naruto melemparkan pandangan heran ketika mengetahui sang ibu tengah mengerling padanya. Kalau tidak salah, ia tadi melihat ibunya sempat menyeringai padanya. Hhh, ada apa dengan ibunya itu?

Mengesampingkan pikiran itu, Naruto berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya. Ia mendengar pertanyaan pelan ibunya, "Kau sudah merindukannya ya?" Dan sang pelaku langsung berjalan ke pintu ruang tengah rumah itu tanpa berniat memberikan penjelasan atas pertanyaan_yang dianggap aneh oleh Naruto_ pada semata wayangnya itu.

'Merindukan apa? Kalau kasur sih iya' pikir Naruto. Jangan lupa bahwa pemuda itu sudah sangat lelah dan ingin segera istirahat. Dan satu demi satu anak tangga itu dilaluinya dengan malas. Masih tersisa puluhan anak tangga lagi.

.

*** Heart and Love ***

.

Sejak pertama menginjakkan kakinya di kamar itu, senyum manis tak kunjung lepas dari bibirnya. Iris amethystnya mengamati seluruh bagian kamar dengan luas 6 kali 6 meter persegi itu. Cat putih dindingnya, lantai marmernya, langit-langitnya yang biru. Hm, rasanya gadis Hyuuga itu sedang melihat langit cerah di luar.

"Kamar Naruto-kun berantakan," gumamnya saat selesai dengan rasa kagumnya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

Pandangannya kembali beredar ke isi ruangan tersebut. Tempat tidur yang berada di sebelah kanan kamar itu terlihat memang terlihat rapi, tapi lihatlah meja kecil disampingnya. Ugh, berantakan! Jam waker dengan posisinya yang tertidur, dan gelas air yang sudah terpisah dengan tutupnya. Ada lagi sebuah pigura yang akan jatuh jika terkena sedikit saja guncangan di meja itu.

Di dalam pigura itu ada foto Naruto_tunangannya_ dengan sang ibu. Terlihat Naruto tersenyum sangat lepas di foto itu. Terlihat sangat bahagia. Senyum tulus yang tak pernah dilihatnya dan tak pernah ditujukan padanya. Salama ini, Naruto memang tersenyum padanya, tapi itu lebih mirip dengan senyum miris dan terkesan dipaksakan.

Apa itu artinya Naruto tak bahagia dengan pertunangan mereka?

"Naruto-kun," gumam Hinata lirih meratapi nasibnya. Iris seindah bulan miliknya terlihat berair. Tangannya terangkat mengusap sosok Naruto di foto itu. Jangankan cinta Naruto, senyum tulus pun tak penah ia dapatkan dari tunangannya itu. Tapi ia tak boleh menyerah, ia akan terus berusaha agar Naruto bisa mencintainya.

Srek! Srek! Srek!

Buru-buru Hinata mengusap air mata di pipinya ketika mendengar langkah kaki seseorang menuju ke kamar itu. Dengan gerakan yang tergesa, ia meletakkan pigura itu kembali, tentunya dengan posisi yang lebih aman daripada sebelumnya walaupun tadi ia hampir menjatuhkan pigura itu karena gugup.

'Apa mungkin itu Naruto-kun?' terkanya gusar.

Ia tidak mau mendapat teguran dari sang pemilik kamar karena telah lancang memasuki kamarnya. Sebenarnya tidak bisa juga disebut lancang karena tadi Kushina sendiri yang menyuruhnya menunggu Naruto disana.

.

Cklek!

Pintu kamar itu terbuka. Menampakkan sesosok pemuda tinggi dan berkulit tan dengan ekspresi terkejut, tak kalah terkejutnya dengan gadis manis yang tengah berdiri di samping tempat tidur yang Naruto tuju sejak dari kantornya.

Mata beriris biru saphire itu terbelalak. Tunangannya ada disini. Setengah mati ia berusaha menghindari tunangannya itu selama seminggu ini. Dan sekarang ia malah bertemu disini, di kamarnya. Hhh, tempat yang sulit untuk menghindar.

"M-maaf Naruto-kun," ujar sang tunangan memecah keheningan di kamar itu setelah lama aksi saling terkejut dan saling diam dari kedua belah pihak.

"Tak apa, Hinata," sergah Naruto tak ingin membuat Hinata merasa tak enak hati.

Pemuda itu melangkah, memasuki kamarnya. Hinata terlihat berpindah dari posisinya saat ini. Berniat keluar dan membatalkan usahanya untuk berbicara dengan Naruto saat melihat raut kelelahan di wajah tunangannya itu. Melihatnya sungguh membuat Hinata sedih, Naruto memang sering lupa waktu jika sudah berurusan dengan pekerjaan. Sudah berkali-kali Hinata menasihatinya, tapi tetap saja tunangannya itu tak mematuhinya walaupun sudah berkata 'iya'.

.

Langkah Hinata terhenti ketika suara Naruto menginterupsinya. Tubuhnya menegang setelah mendengar ucapan Naruto. Waktu terasa berhenti seolah memaksanya untuk fokus pada pertanyaan itu.

"Tidak bisakah kau menolak pernikahan ini?"

Suara itu merambat melalui udara, menggetarkan gendang telinga Hinata. Sel saraf olfaktorinya menangkap impuls itu dan entah mengapa terdengar begitu pilu. Menyebabkan respon saraf motorik tubuh dan matanya perih. Berair dan sedikit lagi akan jatuh.

"Jika kau menolaknya, Jiraiya oji-san akan membatalkan pernikahan ini Hinata," ucap Naruto lagi. Melangkahkan kakinya, ia mendekati Hinata dan berdiri tepat dihadapannya.

"Hanya kau yang bisa menyelamatkan kita Hinata, kita tidak perlu menderita lagi." Kedua tangan tan itu mencengkram lemah bahu mungil Hinata yang kini bergetar. Dan suara Naruto dalam jarak yang sedekat ini justru terdengar begitu menyedihkan bagi Hinata.

Menyelamatkan? Menyelamatkan dari apa? Penderitaan karena cintanya?

Apa sebegitu menderitanya Naruto selama ini?

Tak ada kata yang keluar. Kata-kata yang ingin Hinata ucapkan seolah terperangkap di dalam jaring tak kasat mata. Tapi, air mata yang mati-matian ia tahan justru keluar dengan begitu lancarnya. Hatinya perih, sakit mendengar Naruto menderita karenanya. Cinta yang selama ini ia berikan justru menyakiti Naruto. Ia merutuki kebodohannya.

'Bagaimana ia bisa seegois ini?'

Deg

Lagi-lagi Naruto membuatnya menangis. Mengepalkan sebelah tangannya, Naruto sudah tidak ingat ini keberapa kalinya ia membuat Hinata menangis. Itulah mengapa ia tidak menginginkan pernikahan ini. Ia tidak ingin membuat mereka menderita lagi. Cinta yang Hinata berikan tidak bisa ia balas. Ia sungguh tidak bisa memaksakan perasaannya.

"Apa Naruto-kun membenciku?" Dengan tetap berurai air mata, iris seindah bulan itu menatap sedih pemuda di depannya. Bertanya-tanya apakah selama ia berbuat kesalahan sehingga membuat tunangannya itu menderita begini dan tidak menginginkan dirinya seperti ia menginginkan Naruto.

Gelengan dari kepala kuning itu menandakan bahwa pemuda itu tidak membencinya.

"Tidak, aku tidak membencimu Hinata–," ujar Naruto pelan. Kali ini ia harus jujur dengan perasaannya. Detik ini juga Hinata harus tau yang sebenarnya. Ia tidak mau menderita lagi.

"–aku hanya tidak mencintaimu, maaf." Terdengar nada penyesalan dari ucapan Naruto itu. Pemuda itu melangkah keluar tak ingin lagi mendengar isak tangis Hinata yang sangat menyiksanya.

Tubuh rapuh itu pun akhirnya jatuh terduduk, kakinya tak mampu lagi menopang berat tubuh yang bahkan tidak lebih dari 45 kilogram itu. Kedua tangan Hinata menyentuh lantai yang terasa dingin itu, menopang tubuh bagian atasnya agar tak ikut ambruk. Air matanya sudah jatuh pertanda telah dipengaruhi medan gravitasi. Suara tangisannya tak keluar, serasa tercekat di tenggorokan dan hatinya? Sudah menjadi serpihan kecil.

Adakah beda antara membenci dan tidak mencintai, Naruto-kun?

.

.

TBC atau OWARI?

.

.

.

A/N:

Hiks :'( satu lagi fanfic dari saya :(

Readers: Ini fanfic apa curhatan kamu Thor? #plak!

Huwaaaaa... :0

Adakah yang berkenan untuk review?

.

Salam Gaje,

Yui Kazu