"Aku tidak tahu dimana harus memulainya, tapi .. Aku tidak percaya bisa mendapatkan rumah ini." Perempuan bersurai biru kelabu itu tersenyum, lantas keluar dari mobil dan berdiri dengan tegapnya menghadapi rumah besar berwarna vanila nan indah itu. Suaminya keluar dari mobil sambil mengamati pekarangan rumah baru mereka dengan senyum, sebuah pengarangan yang besar, bukan hal yang buruk.
Rumah ini dikelilingi banyak pepohonan dan kota hanya beberapa blok jauhnya dari sini.
"mama, aku boleh memilih kamarku kan?" seorang anak lelaki berusia 4 tahun turut keluar dari mobil, berlarian memeluk ibunya.
"tentu saja, Tetsuya sayang." lantas mereka tersenyum. Keluarga kecil itu tertawa dengan bahagia, Kuroko Tetsuya, seorang bocah berusia 4 tahun tertawa senang mendapat kamar baru plus krayon baru dari papanya.
Kuroko no Basuke
Tadatoshi fujimaki
Sebuah Boneka
Another Universe, Tragedy.
"selamanya takkan melihat hadirmu seperti dahulu"
"..."
Setelah menaiki tangga besar, -ia memanggilnya demikian- tubuhnya terpogoh-pogoh walaupun senang, mencari-cari ruangan kosong tempat ia menghabiskan waktunya bermain atau sekedar membaca buku, baru ia tahu bahwa rumah itu mempunyai gudang rahasia yang terletak di paling atas, dan juga pintu rahasianya.
Ruangan itu bersih, namun warna dindingnya tampak mengelupas disana sini, tidak berwarna dan sedikit bau apek, namun bocah itu tidak memperdulikannya karena ia menyukainya sebagaimana semestinya. Ia membongkar tumpukan kardus kecil, berharap menemukan buku menarik yang lainnya, kemarin ia sempat kemari sebentar lalu hari ini ia kembali lagi. Saat ia mengeluarkan benda-benda dalam kardus, sesuatu terjatuh.
Kuroko memandang sekeliling, mencari-cari benda apa yang jatuh tetapi tak kunjung ia temukan, lantas kembali asyik dengan membongkar kardus-kardus lain
sreeett...
mata biru langitnya menangkap sebuah mainan menarik diantara jam mati yang kuno dan sebuah guci besar, sebuah boneka kain manis, lebih besar dari telapak tangannya sendiri, dengan mata yang tetutup, rambut dari benang kasur berwarna merah pendek, menenteng buku dan mengenakan pakaian bagus. Baru kali ini Kuroko menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada buku.
Lantas ia keluar ruangan dengan membawa boneka itu ditangan.
Ia berlarian ke kamarnya lalu mendudukan boneka itu diatas tempat tidur "Hai" sapanya riang pada boneka itu "Namaku Kuroko Tetsuya, senang bertemu denganmu. Ayo berteman!" tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya ia kembali berlarian ke ruang makan, tepat dimana ibunya berada
"Iya, aku senang, nanti aku telepon kau kembali. Baiklah, hati-hati sayang." ucapnya menyadari buah hatinya berlarian menuju ruang makan, ia menutup telepon.
Kuroko kecil menaiki kursi makan, mendekatkan vas bunga lalu dan mendudukkan mainan barunya diatas meja, "Halo sayang, mama baru buatkan makan malam, sup miso merah." ujarnya riang, Kuroko tertawa "Papa pulang?"tanya Kuroko kecil, ekor mata ibunya menangkap sesosok benda diatas meja makan.
"hmm.. besok sayang, Papa sedang menemui rekannya di kantor.. wah, bonekanya lucu sekali sayang, kau dapatkan dimana?"tanya ibunya mencoba riang, walau ada sedikit rasa perasaan tidak enak
Kuroko terkikik , "ra-ha-si-a" jawabnya , ibunya menaikkan alis mata bertanya kembali "namanya siapa?"
Kuroko berpikir sejenak, memandangi si boneka lucu ini dari kepala sampai kaki, ada sesuatu yang istimewa dari boneka ini "hmm.. karena rambutnya merah terus ia membawa buku bersampul angka empat, oh aku tahu! mungkin Yon.. tidak? Aka .. bisa Aka... Akashi? Ya, Akashi!" ibunya tersenyum senang "Nama yang bagus sayang. Nah.. Tetsuya harus menjaganya dengan baik, jangan sampai bonekanya sedih karena Tetsuya lupa main dengannya, oke?" mereka kembali tertawa "nah. sekarang Sup miso merah siap masuk ke dalam peruut~" .
***.
Mata kuroko terbuka perlahan, melirik ke arah jendela. Masih gelap. Ia terbangun sebentar, lantas mencari bonekanya. Tadi setelah makan malam kesukaannya tanpa Papa, ia bergegas menggosok gigi lalu pergi tidur. Ibunya membacakan sebuah cerita lucu untuknya.
Kepala mungil Kuroko menghadap ke arah kursi disamping meja belajar, ibunya telah mematikan lampu utama dan hanya membiarkan hidup lampu-lampu kecil sudut kamarnya, cahaya rembulan masuk menembus gorden tipis jendela besar itu, mata Kuroko kecil menangkap sosok boneka bernama Akashi yang tengah duduk disana, menatapnya. Kuroko tersenyum. "Halo Akashi, apa sekarang sudah pagi? sedang apa kau disana?" tanyanya, boneka itu diam saja. Kuroko sekali lagi memandang ke arah jendela, gelap. mungkin matahari belum bangun, ia harus membangunkannya,
barangkali.
"Halo Tetsuya."
Sebuah suara bergema di ruangannya, entah itu di dalam pikiran anak itu atau memang ada yang berbicara padanya? Kuroko menatap boneka itu lalu tersenyum
"Sekarang sudah pagi, tapi matahari terlalu malas untuk bangun."
Mata Kuroko mengerjap-ngerjap "Begitu ya. Akashi tidak tidur?" tanyanya polos, ia tidak membalas.
Hening.
"Tetsuya, kau ingin berteman denganku?" tanyanya tiba-tiba. Kuroko mengangguk semangat, tentu saja, ia ingin berteman dengan siapa saja
"kau harus mematuhi semua perkataanku dan jangan pernah membantah." Kuroko sekali lagi menangguk, menanti apa yang teman barunya akan katakan lagi
"Pertama Tetsuya, jangan banyak bertanya. Aku akan menghukummu kalau kau banyak bertanya hal." Ujarnya dingin. Udara pagi menjadi sangat dingin menusuk, Kuroko mempererat selimutnya.
"Kedua, lakukan apa yang aku katakan sesegera mungkin. kau mengerti?" tanyanya, Kuroko menangguk lagi, walau ia tidak mengerti sesegera itu apa. Ia hendak bertanya tapi kembali bungkam mengingat perkataan Akashi tentang nomor satu. Ia bisa mengeceknya nanti di perpustakaan.
"itu artinya jangan buat aku menunggu." Kuroko membuat -o- besar.
"Sekarang, kembali tidur. Aku akan membangunkan matahari sebentar lagi." Ujar Akashi. Kuroko tersenyum lalu kembali tertidur, senang mendapatkan teman baru, itu artinya temannya bertambah banyak.
Ruangan itu menjadi hening kembali, boneka yang sedang terduduk di kursi belajar memandang anak itu diam, waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Ia yakin bocah itu tidak memandang ke arah wajahnya. Mata crimson dan madu itu melirik ke arah jendela, setelah sekian lama terpejam, perpaduan spektrum warna yang mengkilat dan beberapa perasaan mati, ia bertanya-tanya kenapa. Apakah karena sistem kerja otaknya sudah mematikan berbagai perasaan emosional dalam dirinya? – atau apa wanita itu telah menjual sebagian,- tidak, semua organnya mungkin.
...
Hari itu hari minggu, Kuroko membantu ibunya menanam tanaman herbal di pekarangan. Ia mencoba menanam sebagaimana yang diajarkan ibunya, ternyata berkebun menyenangkan pikirnya. Kuroko meletakkan Akashi dekat pohon ek tidak jauh darinya. Ketika ia hendak pindah untuk menanam tanaman yang lain, seketika Akashi menghentikannya
"berhenti Tetsuya."
Kuroko berhenti, memandang ke arah suara yang menyebut namanya. Akashi tengah duduk tenang, tetapi kali ini matanya telah terbuka, ibu Kuroko terheran-heran karena terakhir kali –tepatnya tadi malam- ia melihat di meja makan, mata boneka itu tertutup rapat, tetapi Kuroko menyanggahnya, menyangkal bahwa matanya memang terbuka dari awal.
itu perintah dari Akashi.
Kuroko tidak mendapati ibunya, mungkin sedang mengambil beberapa bibit tanaman lagi di dalam.
"kenapa?"tanyanya dirasa bukan pertanyaan aneh dan wajar.
Gundukan tanah dan rerumputan di hadapan Kuroko Tetsuya biasa saja, tidak banyak tanaman disana, sedikit gambur dan kering. Kuroko kecil menyimpan bibit yang ditanamnya di samping tanaman Acalypha, masih menatap Akashi
"Ayahku sedang tidur disana." jawabnya
Kuroko menangguk, oh itu sebabnya. "maafkan aku paman," matanya memandang ke bawah, seolah membenarkan ada orang yang sedang tertidur disana, Ia berdiri mengibas-ngibaskan celana hijaunya lalu berlari menuju boneka surai merah. "Seharusnya kau tunjukkan rasa hormatmu pada ayahku, Tetsuya. Bawa aku ke kamarmu sekarang." perintahnya, Kuroko kecil mengambil Akashi berlarian, ibunya memandang heran ke arah anak mungil kesayangannya lalu melanjutkan langkahnya ke taman yang belum selesai ditanam.
Sesampainya mereka di kamar Kuroko, Akashi menyuruh anak itu mengunci kamarnya lalu meletakkan dirinya di atas meja. Kuroko duduk di kursi belajar, berdiam diri menunggu Akashi berbicara.
"Tetsuya, simpan kedua tanganmu di meja." perintahnya, Kuroko menuruti tanpa curiga, tetapi ia salah meletakkan tangannya, sikut dimeja dan kedua tangannya saling memegang, bersidekap. "Ulurkan tanganmu, simpan di meja." ulangnya.
Kuroko melakukannya lagi dengan patuh, tanpa bertanya.
"Jangan berteriak atau melepas tanganmu dari meja, kau ingin hukumanmu tambah berat?" – Jadi, Kuroko dihukum?-oh tidak. Ia mengaku salah karena tidak menghormati ayahnya Akashi tadi, tapi bukankah tadikan dia sudah meminta maaf?
Perlahan Kuroko merasakan panas, tangannya seperti terbakar, panas dan sesuatu tak terlihat mengirisnya. Kuroko mengaduh menangis perlahan, meminta berhenti. Rasa bakarnya menyebar ke telapak tangan, biru kehitaman dan luka sayatan yang menggores jarinya, kelima jari tangan kanannya. Ia ingin berontak, tetapi sesuatu tidak membiarkan tangannya bergerak menjauh "ma-maafkan aku." ia menangis "berhenti- berhenti berhentii maaf maaf-maafkan aku –berhentiiiiii" ia terisak, mencoba tidak menangis
jarinya mulai menghitam dan mengeluarkan darah, meja belajar krem milikknya ternodai darah yang berceceran. Akashi melepaskannya.
Kuroko menangis berlari ke kamar mandi, bergumam perlahan "Kuroko anak nakal, Kuroko anak nakal.."
suaranya menghilang bersama tertutupnya pintu.
