Hallo! :D Perkenalkan, saya author baru yang abal, ingin menyumbangkan satu ceritanya ke fandom ini.

NOTES :

o Hanya sebuah cerita dengan tiga hingga lima chapter

o Ini AU, dengan tema fairy tale

o Mengambil beberapa tema dari Snow White, Sleeping Beauty, dan Cinderella

o Diceritakan dari PoV Narator

o Kalau enggak tahu Narator itu yg mana, author anjurkan untuk mencari di Wiki


¤X¤


Happy ending… dua kata yang sudah 'tak lazim menghiasi akhir sebuah dongeng

Dongeng indah di mana cinta selalu berpihak kepada sang pangeran dan sang putri

Namun, apa jadinya apabila cinta ternyata berlabuh pada seekor bebek malang dan seorang ksatria keras kepala?

Akankah happy ending menghiasi penghujung kisah bagi keduanya?


¤X¤


~ Not Your Average Fairy Tale ~

[Chapter one : Narator, Duck, and Knight]

Princess Tutu © Mizuo Shinonome

Peringatan terhadap typo(s), ke-abal-an, OoC, dan keanehan


¤X¤


Narator….

Aku Narator. Jelmaan hampa dari kumpulan gelombang suara. Wujud kasat mata, suara menggema tertangkap indra pendengaran.

Narator….

Aku Narator. Nama 'tak lazim bagi setiap insan penggemar cerita. Rentetan kata dan narasi kubacakan. Layaknya namaku, itulah tugasku.

Narator….

Aku Narator. Wujud semuku mungkin 'tak dapat dielakkan untuk terlupakan. Bagaimanapun, peranku tetaplah dibutuhkan dalam pengiringan dongeng ini.


¤X¤


Suatu dongeng—bahkan keseluruhannya—pasti dimulai dengan sebuah awal. Awal di mana dongeng indah itu masih berupa sepucuk kuntum mungil, namun siap untuk mekar merekah, menebar sejuta pesona kepada siapa saja yang mampu meresapi tiap goresan katanya.

Kali ini, benih-benih kuntum itu telah menetapkan tujuannya. Tepat di suatu kerajaan…. Ya, kerajaan….


¤X¤


"Fakir! Kau tidak bisa seperti ini terus!"

Ia hanya bisa berdecak kesal seraya terus menghela nafas.

"Mytho benar, Fakir. Kau sudah berumur 18 tahun. Sudah sepatutnya seorang wanita mendampingimu."

Sang pemuda yang diceramahi malah berkacak pinggang. "Mytho, Rue, kalian ini berisik sekali. Aku akan baik-baik saja," ujarnya ketus dan hambar, layaknya ekspresi yang kini ia tunjukkan.

"Tapi—"

Fakir mengangkat tangan kanannya, menghentikan protes yang baru saja akan keluar dari bibir Mytho. "Aku ini seorang ksatria, Mytho. Bukan seorang pangeran yang membutuhkan wanita sebagai pendamping hidup."

"Lagipula…." Sebuah jeda dari Fakir. Ia menghela nafas kemudian melanjutkan, "kerajaan ini 'tak butuh seorang ksatria dengan putri. Cukup seorang pangeran dan putri saja."

"Tapi 'tak ada salahnya, kan?" Rue dengan cepat membalas argumen Fakir.

Kesal dan lelah bercampur jadi satu, membawa Fakir mencapai puncak kesabarannya. Ia lalu menggelengkan kepalanya sebagai respon dari argumen Rue. Merasa malas, ia pun memutuskan untuk mengakhiri perdebatan ini dengan berlalu pergi meninggalkan Mytho dan Rue yang cemas bukan main.


¤X¤


"Ahiru! Kenapa kau lama sekali di dapur?"

"Sebentar!

"Ahiruuu! Mana minumanku?"

"Sebentar lagi siap!"

"AHIRUUU!"

Ahiru, Ahiru, dan Ahiru…. Selalu saja begitu. Malangnya nasib gadis jelita ini. Di usianya yang tergolong begitu belia, gadis berambut oranye cerah ini bukannya bersenang-senang, pekerjaan rumah tangga yang menumpuk malah didapatinya.

"Ah…," desahnya lelah. Kedua manik biru miliknya beralih lirih. Kedua tangan rampingnya sibuk bertaut dengan teko dan cangkir-cangkir keramik. Embun dan gumpalan tipis asap putih mengepul hingga ke udara; aroma teh yang menenangkan harum tercium.

"Semuanya siap," gumamnya lirih kepada diri sendiri.

Di depannya, berdiri satu set teh di atas sebuah nampan perak, ditemani oleh beberapa cemilan kecil. Semua lengkap. Ahiru pun tanpa basa-basi beranjak pergi meninggalkan dapur dengan nampan silver bertumpu pada kedua telapak tangan.


¤X¤


"Ini teh anda, ibu," ujar Ahiru sopan seraya meletakkan set teh tadi ke atas meja—meja megah yang bersemayam di ruang makan megah lebih tepatnya.

Sang ibu—bukannya membalas dengan sopan dan santun—malah mendaratkan tatapan sinis ke arah Ahiru. Sebuah dengusan kesal, ia kemudian berkata, "kau tahu aku 'tak suka dipanggil "ibu" olehmu." Jemari-jemari keriput miliknya menyugestikan Ahiru untuk menuangkan teh ke cangkirnya. "Panggil aku Nyonya Maeryl!" Bentakannya tegas.

Ahiru tersentak. "Ba-baik, Nyonya Maeryl…." Perasaan tertegun sontak membuatnya menuangkan teh sang ibu tiri dengan gesit.

Suara cekikikan yang centil 'tak lama kemudian menggema, mengisi ruang makan nan megah itu. Ekor mata Ahiru sontak saja beralih lirih ke kanan. Di sana, dua saudara tirinya duduk, tertawa layaknya dua gadis belia yang bahagia—di atas penderitaan orang lain.

"Hei… Ahiru, kenapa kau tidak ke pasar saja hari ini?" yang pertama menyugestikan dengan nada mengejek.

"Ya! Belikan aku dan Pike cemilan dan makanan yang banyak!" yang kedua pun 'tak tahan untuk tidak menimpali dengan perintah yang menyengsarakan. Centil dan kekanak-kanakkan menjadi ciri khas gadis berambut pirang ini.

"Hm… Pike dan Lilie benar," gumam sang ibu tiri kepada diri sendiri. "Ahiru!" Yang dipanggil sontak menoleh ke arah ibu tirinya. "Pergi ke pasar, sekalian beli sayur dan bahan-bahan lain yang sudah mau habis. Ini uangnya," perintahnya tegas. Beberapa lembar uang diserahkannya cuma-cuma.

"Baik, bu—nyonya." Hampir saja kata yang dianggap tabu oleh sang ibu tiri terselip dari bibir mungil Ahiru. Namun, gadis polos itu dengan cepat mengusir gangguan kecil itu. Dengan uang di tangan, kaki-kaki rampingnya langsung saja beranjak pergi meninggalkan rumah—menuju tempat di mana pembeli dan penjual mendominasi.

Pasar….


¤X¤


Di sisi lain, seorang pemuda terlihat melangkah kecil. Sosoknya yang terbaluti kerudung coklat nampak kontras termakan kerumunan orang. Riuh dan hiruk-pikuk suasana pasar tentu akan mendominasi telinga. Namun, segala tetek bengek itu 'tak mampu menggapai sang pemuda.

Mengapa?

Karena sang pemuda—yang ternyata adalah Fakir—kini tengah termenung. Bayang-bayang semu mengenai perkataan Rue dan Mytho masih menggema jelas dalam pikirannya.

"Kalau kupikir-pikir… Rue dan Mytho ada benarnya." Semakin lama dipikirkan, batinnya terasa semakin bimbang.

Ekor matanya tajam, beralih lirih dari kiri ke kanan, memandangi sosok wanita-wanita muda yang kini tengah berlalu lalang. "Wanita…." Satu kata itu—walau hanya satu kata sederhana—nyatanya mampu membuatnya menguras otak.

Satu kata itu benar-benar ajaib, hingga Fakir pun dibuatnya bengong. Namun, satu kata itu seketika terhapus saat suara seorang perempuan menjamah telinganya. "Um… permisi, tuan." Ia pun reflek menolehkan kepala.

Figur perempuan belia tampak remang diperhatikan dari balik bayang-bayang kerudung. Namun, dapat terlihat rambut oranye yang kontras terikat satu. Manik biru lautnya memancarkan kebingungan ke arah Fakir.

Gadis itu—'tak lain dan 'tak bukan—adalah Ahiru. Namun, tentu saja Fakir 'tak mengetahuinya.

"Oh… maaf," gumam sang ksatria pelan, kedua kaki dengan segera melangkah ke samping untuk memberi ruang bagi Ahiru.

Sebuah senyuman simpul, dan Ahiru pun melangkah ke depan. Fakir—di lain sisi lain—spontan menerawangi tindak-tanduk Ahiru. Dan bodohnya, baru disadarinya bahwa ia sedaritadi berdiri di depan sebuah kios sayur, menghalangi jalan pembeli-pembeli lain.

Menyadari kebodohannya membuat Fakir dengan segera beranjak pergi dari kios tersebut. Dan ini—entah mengapa—membuat batin Ahiru terisi dengan tanda tanya.

"Ada apa dengan orang itu, yah? Kenapa pula ia memakai jubah hingga ke kepala di siang hari yang terik begini?" Dua pertanyaan pertama kini bersemayam dalam batinnya. 'Tak lupa ia pandang lekat-lekat sosok Fakir yang sayup-sayup mulai menghilang tertelan kerumunan orang banyak.

Namun, akankah sesi tatap-menatap ini berlangsung lebih lama? Tentu tidak.

'SLEP'

Suara samar-samar layaknya menangkap angin. Dan seperti mendapat isyarat, Ahiru spontan memalingkan pandangan ke arah dompet yang berada di genggamannya. Dipandang, benda yang disebut kasat mata. Diraba pun sama saja, benda yang disebut sama sekali 'tak terdeteksi oleh indra peraba.

Lima detik berlalu, dan pada saat itulah bel yang ada di otak Ahiru berbunyi.

"PENCURI!" Teriakannya keras, meresonansi hingga riuh dan hiruk-pikuk pasar pun berubah senyap.

Fakir—di lain pihak—seketika terhenti langkahnya saat teriakan keras itu menyentuh gendang telinganya. Mendengar kata "pencuri" telah lebih dari cukup untuk membuat ksatria gesit satu ini untuk mengambil tindakan.

Tanpa berpikir dua kali, kedua kakinya dengan cepat mengempaskan angin. Tangan kanan telah bersiap siaga mencengkram pedang yang bersemayam pada pinggangnya. Kedua manik emerald mengunci rapat target yang berada beberapa kaki di depannya.

Disusul oleh Ahiru yang terengah-engah dari belakang, keduanya dengan serempak mengejar pencuri yang ternyata adalah…

…anak kecil?


[T.B.C]


O.K, chapter satu selesai sampai di sini. Maaf kalau abal dan pendek ;_; Akhir kata, author hanya berharap ada yang membaca karya abal ini. Kalau bisa, sekalian kasih concrits-nya, yah ;) *plak.