I feel I'm walking a fine line but I'm traped in the hands of fate
At the wrong gate
Malam bergelayut pada purnama. Sendiri, Jongin menelusuri sebuah gang kecil dalam keheningan yang pekat, menapaki sisa hari ini. Menghitung waktu dalam sepi. Menghibur diri dalam lamunan tanpa arti. Mengabaikan para penghuni yang telah lelap dalam belaian mimpi yang lekat. Semilir angin menyapa tubuh dengan halus membawa kesejukan dalam alunan keheningan yang tiada berarti bagi dirinya yang telah terbiasa sendiri.
Bertabur bintang laksana intan, membuat ia merasa mendapat kawan. Tak banyak cerita yang terurai. Hanya cerita lelah raga menjalani hidupnya. Melalui cahaya sesenti demi sesenti waktu. Dan merangkai episode-episode jiwa. Dalam suara hati yg tak terdengar, ingin rasanya menyingkap tirai kelam yang membelenggu jiwa. Yang telah memenjarakan hati. Ingin senderkan sejenak lelah yang terasa mendera, dalam indah mimpi yang menggoda, namun hanya langkah goyah yang pudarkan rencana.
Sebagaimana doa para dewa yang menyertai degub jantungnya, ia tak nampakkan gurat kesedihan diantara lekukan wajahnya. Sebagaimana harapan ayahnya yang berada jauh di atas sana, ia sembunyikan derita dibalik ketegaran jiwa. Sebagaimana doa ibunya yang menjadi bayangannya, ia sembunyikan keluhannya dibalik lapang dadanya.
Wajah rupawan yang mampu menyejukkan hati gundah itu, menyimpan seribu misteri yang mematahkan hati. Dibalik senyum yang membawa kebahagiaan itu, tertoreh sajak yang menyayat hati.
Kim Jongin, hanya seorang bocah yang ingin hidupnya berjalan dengan biasa, hanya pemuda kecil yang ingin dipandang biasa oleh orang lain, hanya ingin semua berjalan seperti umumnya manusia biasa. Hanya rangkaian keinginan sederhana tetapi dewa seolah tak mengijinkannya.
Ia tidak menyalahkan siapapun atas hidupnya yang porak poranda. Ia hanya kecewa pada diri sendiri yang masih mengeluh dalam hati. Hati yang masih rapuh. Hati yang butuh penopang. Hati yang butuh sandaran. Tapi ia tak kunjung dapatkan.
Sejenak ia terdiam dalam langkah yang terhenti. Menatap kosong pada persimpangan yang sunyi. Teringat masa lalu diujung jalan buntu yang hingga kini menghantui. Apa arti hidup ini yang sesungguhnya.
Kim Jongin berusia 13 kala itu. Anak yang sedang beranjak menuju remaja itu menapaki jalan bersama senja musim semi yang menemaninya. Bersiul kecil dengan riang seperti kenari yang menyambut mentari. Sesekali ia akan berputar dalam langkahnya seperti seorang penari. Lalu tertawa dengan polos tanpa arti yang menarik perhatian sang burung hantu untuk ikut tertawa. Entah bagaimana, angin seolah ikut menyertai siulan bahagianya. Pepohonan seolah merunduk menyambut langkah riangnya. Suasana terasa begitu bahagia dalam hatinya. Bukan karna ia mendapat peringkat satu di kelasnya dalam ujian kelulusan, tetapi ia memang selalu bahagia sebagaimana para dewa mendoakannya.
"Tuhan memberkatimu, sayang," sesosok makhluk melewati Jongin, berbisik begitu lembut padanya. Segerombol dedaunan yang tertiup angin melambaikan tangan dengan sebuah senyum mengembang. Jongin bereaksi dengan membalas lambaian tangannya, melontarkan ucapan terima kasih dan senyum yang lebar. Manis sekali. Membuat peri pohon itu tertawa kecil lalu menghilang di angkasa.
Ketika ia melewati sebuah jembatan diatas arus sungai yang kecil, senyum yang mengalihkan perhatian alam sekitarnya itu kembali mengembang ketika sebuah wajah dengan garis abstrak muncul di permukaan air sungai dan menyapanya dengan lambaian tangan. Membalas lambaian peri air yang berlalu mengikuti arus tenang itu, lalu melanjutkan perjalanannya. Dan ketika kaki kecilnya menelesuri tepian sungai, beberapa ikan mengikutinya dengan riang.
Walau langkahnya sendirian, tiada siapapun di sampingnya, bukan berarti ia benar-benar sendirian. Ia ditemani alam. Ia ditemani oleh makhluk-makhluk yang tidak disadari orang biasa.
Bocah belia itu memang seperti kelihatannya. Ia memiliki paras yang manis dan lembut. Jika ia tersenyum, ia terlihat begitu mempesona. Ketika ia tertawa, siapapun yang melihatnya pasti merasa ikut bahagia. Alam seperti memperkenalkan siapa itu Kim Jongin. Alam disekitarnya menyertai langkahnya. Kim Jongin memiliki aura tersendiri yang menarik perhatian. Membuat ia mudah disukai orang lain bahkan hanya dalam pandangan pertama. Ia memiliki sesuatu yang tidak akan pernah di sangka orang biasa, ia memiliki identitas yang tidak akan terpikirkan oleh orang biasa.
Hanya orang yang melihat dengan hati kepadanya yang akan mengetahui misteri di balik senyum yang indah dan wajah yang rupawan itu. Hanya mereka yang memiliki nurani sebiru lalutan yang dapat mengerti tentang keadaannya yang sesungguhnya.
Ctak!
Sebuah batu tiba-tiba melayang dan menghantam belakang kepala Jongin. Membuat tawa itu seketika terhenti. Peri air dan para ikan yang semula menemaninya berlarian dalam sekejap mata.
Jongin mengaduh sakit memegangi belakang kepalanya. Ketika ia melihat jemarinya, merahnya darah telah melumurinya.
"Dasar gila!"
Karna rasa cinta tak beralasan yang sering orang-orang tujukan padanya, membuat sebagian orang merasa muak karna dirinya yang tak tahu apa-apa telah mengambil alih dunia dari yang mereka sayangi. Ia yang hanya mengumbar senyum justru mengundang kebencian dari sebagian orang yang memiliki iri dengki dalam hatinya. Kenaifannya telah membuat sebagian orang ingin mencelakainya.
"Kau bocah memuakkan! Karna dirimu, Ravi tidak mau lagi bersamaku," Gadis pelempar batu itu menatap marah padanya yang bahkan masih polos untuk mengetahui apa itu percintaan masa remaja. Yang ia tahu hanya, seniornya dari kelas 3 yang bernama Ravi sering sekali mendatanginya untuk mengajaknya makan bersama saat bel istirahat. Yang ia tahu, Ravi sering sekali menemuinya dan menawarkan diri untuk menemani dirinya.
Bagi Jongin, semua itu hanyalah pertemanan semata. Tapi ia tidak tahu jika seniornya yang katanya adalah kekasihnya Ravi malah membencinya. Ia juga tidak tahu jika Ravi mengabaikan kekasihnya demi dirinya. Dunia Ravi teralihkan pada dirinya tanpa ia sadari sendiri.
Selama ini Jongin bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa jika ada seseorang yang menyukainya, maka ada seseorang yang berbalik membencinya. Ia pernah mendapat jawaban dari kakeknya, bahwa di dunia ini tidak ada yang hakiki. Sudah hukum alamnya jika ada satu orang lain yang menyukai, maka akan ada orang lain yang membenci. Kakeknya selalu memperingatkan tentang kesombongan yang telah melekat dalam diri manusia. Kakeknya selalu berkata padanya, jangan menyombongkan diri hanya karna banyak orang yang menyukai atau bahkan mencintaimu, karna orang yang membenci akan lebih banyak dari itu.
Bahkan saat ia berdiam diri dan hanya menikmati nyanyian para peri, orang-orang telah timbul kebencian itu akan datang menghakimi. Ketika beberapa orang yang memiliki rasa cinta terhadapnya datang untuk membelanya, perasaan benci itu semakin membara.
Jongin mengamini perkataan kakeknya dalam hati. Dan ia merasakan sendiri bahwa apa yang selalu kakeknya nasehatkan padanya adalah kebenaran. Dalam setiap diri manusia, terpendam kesombongan, kedengkian, dan rasa iri yang kapan saja dapat menyeruak menutupi nurani dan menumbuhkan rasa benci.
Ia melihat dengan matanya sendiri, bahwa api kebencian dalam diri Eunji telah berkobar sedemikian besar terhadapnya hanya karna seorang Ravi. Dan kemudian dalam suara tercekat dan mata yang sayu menahan cekikan di lehernya, Jongin mengetahui sebuah fakta yang sungguh nyata bahwa rasa cinta yang terlalu besar itu mampu membelokkan hati manusia yang masih buta kedalam neraka. Cinta yang berkobar di hati Eunji untuk Ravi telah memunculkan dorongan untuk memusnahkan Kim Jongin dari muka bumi. Dan cinta yang seharusnya indah itu, telah menghilangkan rasa belas kasih Eunji.
"T-tolong..."
"Tidak akan ada yang mendengar rintihanmu!" Suara tawa bak dewi kematian bersama antek-anteknya itu menggema, membentur dinding-dinding bangunan. Menyusur penjuru gang sempit nan buntu yang menjadi saksi bisu peyeretan Eunji yang kasar pada bocah itu. "Kau memang seharusnya tidak ada di dunia ini," para peri yang melihatnya hanya mampu menjerit dalam hening tanpa bisa menolong Jongin dari cekikan seorang gadis manis yang telah berubah menjadi iblis. "Aku muak melihat senyuman yang di puja semua orang itu!"
"Dasar lemah!" sebuah suara berat tiba-tiba menggema dalam kepala Jongin, menghinanya dan mengejeknya yang tidak dapat menang melawan seorang perempuan biasa. Sepasang mata biru dengan manik berbentuk vertikal menyala dalam sebuah ruangan gelap dalam diri Jongin.
Dan ketika Jongin hendak menanyakan siapa dirinya dengan suara yang hampir hilang tertelan cekikan Eunji, kesadarannya hilang seketika. Ketika matanya telah tertutup sepenuhnya, diiringi kekehan kemenangan Eunji atas tergeletaknya tubuh Jongin di tanah dengan tanpa daya, sebuah makhluk yang telah bersemayam lama dalam diri Jongin telah terbangun dengan sebuah pekikan memaki.
"Dasar bodoh, jika kau mati, aku juga mati! Kau tahu itu, hah?!"
Secepat Jongin jatuh ke tanah, secepat itu pula matanya terbuka kembali dan bersinar. Menampilkan pola mata bak serigala yang menyalang mencari mangsa. Memandang keji pada Eunji yang terpekik kaget bukan main saat Jongin tiba-tiba telah berada di depan matanya. Suasana berubah menjadi mencekam dengan drastis seiring purnama yang telah duduk angkuh diatas singgahsana. Desir angin terasa begitu dingin seperti membawa relikui kematian. Wajah yang biasa membawa kesejukan itu seketika berubah menjadi menyeramkan bagai malaikat pembawa pesan kematian.
Eunji dan teman-temannya berteriak ketakutan seketika, berbanding terbalik dengan kesombongan yang bebrapa menit lalu brrtengger angguh menghias wajah rupawannya.
"Kesombonganmu akan aku musnahkan bersama dirimu,"
Bahkan para gadis yang tergabung dalam sebuah geng amatir sekolah itu mendengar bahwa suara lembut seorang Kim Jongin berubah menjadi suara yang sangat berat dan mengancam. Seperti seekor monster yang telah di bangunkan dari tidur panjang. Meremas adrenalin menjadi serpihan-serpihan kecil. Menciutkan keberanian yang sempat berlaga pada puncak tertinggi pohon keangkuhan.
"S-siapa k-au s-be-be-narnya,"
"Aku adalah mimpi burukmu,"
"S-s-s-silum-an!"
"KYAAAAAAAAA!"
Bayang-bayang yang terlukis di salah satu dinding itu, menampilkan bagaimana seorang Kim Jongin yang disukai banyak orang itu berubah menjadi seekor monster yang buas dan bringas. Melukiskan tarian kematian yang indah bagi mereka yang mencintai seni kegelapan. Bahkan teriakan para gadis itu seolah menjadi melodi pengantar kematian yang merdu.
Tanpa mengetahui bahwa seorang pemuda telah mematung menyaksikan sebuah peristiwa mengerikan itu. Yang tak lain adalah... Ravi. Berdiri layaknya orang gagu. Menatap ngeri pada sosok rupawan yang menghabisi gadis-gadis itu dengan sekali sayatan. Seperti hanya sekelepar bayangan yang berlarian dari satu tubuh lain ke tubuh lainnya. Dalam hatinya ia sulit percaya bahwa kini, Kim Jongin yang amat disayanginya telah berubah menjadi monster yang haus darah. Berubah menjadi seorang pembunuh.
Dan inilah sebuah misteri yang tersembunyi dibalik kehidupannya yang diliputi bahagia. Bahwa kenyataannya dia adalah seorang monster. Atau... Yang kini orang-orang yakini bahwa Kim Jongin yang berparas rupawan itu adalah jelmaan siluman.
Rupanya Ravi menjadi profokator utama tersebarnya berita bahwa ia yang manis itu adalah siluman serigala. Dan seorang prmbunuh!
Dan karena semua itulah, kini ia telah dibenci banyak orang. Tidak hanya yang telah mengenalnya, bahkan yang baru pertama kali ditemuinya sudah menumbuhkan rasa benci karna termakan gosip-gosip murahan yang meluncur secepat kilat bak pesawat tempur yang membelah angkasa.
Dimana ia berada, kini hanya akan ada caci dan maki yang terlontar dari para manusia yang menganggap diri mereka lebih suci daripada ia. Hidupnya yang semula lebih baik, kini terjungkir balik 180 derajat menjadi sangat buruk. Kehidupan yang tidak akan pernah diinginkan orang lain. Kehidupan terburuk, telah mulai ia jalani sejak peristiwa itu terjadi.
Ravi atau siapapun yang pernah jatuh cinta padanya telah berbalik membencinya. Kebenaran tentang perkataan kakeknya telah terbukti dengan nyata. Di dunia ini tidak ada yang hakiki. Bahkan sekalipun itu rasa cinta.
Sekali lagi ia mendapat fakta, manusia adalah makhluk yang tak dapat di percaya. Perasaan mereka tidak memiliki bentuk, maka dapat berubah-ubah kapanpun. Dan perasaan cinta yang sempat mereka berikan padanya hanyalah sementara. Hanya sebuah topeng belaka untuk sembuyikan diri mereka yang sebenarnya. Sesungguhnya, manusia juga memiliki monster dalam hatinya yang tak kasat mata. Monster bernama kesombongan, iri, dan dengki, yang tanpa sadar membawa mereka pada pengkhianatan.
Jongin mengingat nasehat kakeknya bahwa roda kehidupan akan terus berputar. Terkadang di atas, terkadang dibawah. Dan Jongin menyadari bahwa mulai dari hari itu, roda kehidupannya tengah berputar pada titik terbawah. Jika memang hukum alamnya begitu, maka tiada usaha yang pantas selain memutar kembali roda itu kembali keatas.
"Mengapa kau ingat lagi peristiwa itu. Kau seolah terus menyalahkanku setiap kali kau mengingat peristiwa itu."
Jongin mendadak tersadar dari lamunan ketika sebuah suara menyusup dalam kepalanya.
"Maaf, bukan maksudku begitu," Jongin bergumam menyesal dan menunduk dalam.
"Akulah yang harusnya meminta maaf,"
"Ani, gwenchana. Aku paham situasi waktu itu kok,"
"Kau benar-benar kebalikan dari Poseidon,"
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak. Aku hanya menggumam sesuatu yang tidak penting,"
"Dasar tidak jelas," Jongin menggerutu dengan bibir manyun. Membuat beberapa peri angin yang melihatnya tersenyum geli.
Ya setidaknya alam tidak menaruh benci kepadanya. Karna alam selalu tahu mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, tidak ada rasa takut yang menyergap Jongin karna ia tidak benar-benar sendirian. Ia memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain.
"Kau tahu, Sello? Dunia ini telah terbalik," Jongin mendesah dalam langkahnya yang tenang. Seekor serigala yang memiliki 9 ekor itu tiba-tiba terlihat berjalan di samping Jongin seirama dengan langkah pemuda berusia 16 tahun itu. "Kebanyakan dari manusia telah kehilangan nurani karena keegoisan yang semakin menjadi. Keadaan berbalik, yang benar-benar monster justru menjadi kawan. Tidakkah dunia ini lucu?"
Siluman itu hanya bungkam mendengar keluhan Jongin. Ia hanya mampu memandang wajah Jongin dari samping dalam hening suara langkah yang samar. Makhluk yang Jongin panggil Sello itu melihat ada luka tak kasat mata di wajah manis pemuda di sampingnya itu. Menggambarkan hati yang terluka, terluka oleh takdir.
Jika aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa ketika masih berada di Edelwais. Serta melihat kau bahagia disana bersama orang-orang yang kau sayangi. Aku tidak akan membiarkan siapapun merenggut kebahagiaanmu. Maafkan aku Jongin, gara-gara aku hidupmu menjadi berantakan. Aku berjanji, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap disisimu walaupun itu beresiko untukku. Aku akan menjagamu walau dengan nyawaku yang dipertaruhkan.
.
.
.
THE HALLOWS
A fanfiction story by Winter AL Yuurama
HunKai/Sekai
Ini adalah ff remake dari 9 Tailed Wolf and Saint Demon sekaligus buat ff comeback.
Pertama, aku mau terima kasih banyak buat Oxehun, Ohkim8894, melizwufan, My Jeje sama oviee yang ngrecokin di PM karena tahu ff nya aku hapus. Dan bilang buat republish atau remake. CicimotLee juga gak ketinggalan langsung kirim message via BBM pas tau ff nya dihapus. Walau udah lama banget, tp aku masih inget. Sayang deh sama kalian!
Sign:
Winter AL Yuurama
See ya guys~~ :*
