Langit di Seoul hari ini terlihat berduka. Cuaca di Seoul pada akhir tahun memang biasanya akan di dominasi dengan sedikit kabut dan mendung yang samar kala langit akan menumpahkan salju musim dingin yang akan menyelimuti permukaan kota metropolitan di Korea Selatan itu dengan warna putih yang indah. Namun tidak hari ini.
Langit yang biasanya tetap terlihat biru dengan hiasan awan-awan yang berwarna putih sedikit keabuan itu kini terlihat kelam. Tidak ada warna lain selain warna abu pekat, seakan waktu telah menunjukkan pada para penghuni kota tak pernah tidur itu untuk segera mengakhiri kegiatan mereka dan kembali ke rumah masing-masing –walau pada kenyataannya ini masih sore hari dimana langit seharusnya berwarna jingga kemerahan.
Seorang pemuda berambut merah jambu menatap langit sore hari itu dengan tatapan tidak suka, bibir tebalnya mengerucut dengan sebal, matanya melotot tajam pada langit seakan langit bisa melihat bahwa keadaannya yang suram membuatnya kesal setengah mati. Seharusnya cuaca hari ini cerah, tapi ia harus menghadapi langit kelam seperti ini. Pengunjung kafenya pasti akan sepi.
Kakinya melangkah dengan cepat menjauh dari keramaian, berjalan menyusuri jalanan yang lebih sempit untuk menuju tempat kerjanya yang berada di salah satu kawasan pertokoan tak jauh dari rumahnya itu. Tak lama ia pun bisa melihat bangunan yang sedikit lebih tinggi dari bangunan-bangunan lain di sekitarnya, sebuah kafe yang memiliki papan nama berwarna emas : Angels.
Sebuah kafe yang akan berubah menjadi bar di malam hari itu dimiliki oleh pasangan Kim Namjoon dan Kim Seokjin –pasangan sesama jenis yang telah melegalkan pernikahan mereka di Amerika dua tahun lalu. Pasangan yang sangat unik jika kau bertanya padanya, karena sifat keduanya yang begitu bertolak belakang namun pada akhirnya melengkapi satu sama lain.
Kling
"Oh, kau sudah kembali, Jimin-ah?"
Kim Seokjin tampak sumringah dengan senyum cantiknya terpampang di wajah tampannya. Harus ia akui bahwa bossnya itu memiliki wajah yang sangat tampan hingga bisa dikatakan sekaligus cantik. Semua orang yang pernah bertemu dengan teman hidup Kim Namjoon itu mengakuinya –membuat Kim Seokjin menjadi sangat percaya diri.
"Mengapa wajahmu cemberut seperti itu?" Tanya Seokjin begitu benar-benar memperhatikan wajahnya.
"Cuaca diluar sedang buruk!" jawabnya singkat, terdengar kesal.
"Yah, mau bagaimana lagi. Cuaca memang sedang tidak baik." Seokjin menaikkan bahunya, acuh. "Global warming tidak lagi bisa dicegah, bahkan dengan cahaya dari wajah tampanku."
Sebuah keringat imajiner mungkin akan jatuh dari kening Jimin jika ini kejadian dalam sebuah karya komik atau film komedi. Memang tingkat kepercayaan diri Seokjin selalu membuatnya kehilangan kata-kata.
"Kau tidak takut pelanggan kita berkurang atau bahkan sepi, hyung?" Tanya Jimin.
"Biar saja, toh, aku memang sengaja membeli tempat yang tidak memiliki tempat parkir seperti ini memang karena tidak ingin memiliki terlalu banyak pelanggan." Jawab si bos dengan acuh tak acuh.
Sekali lagi, Jimin hanya bisa menghela nafas –maklum. Kim Seokjin memang membuka Angels ini sebagai hobi saja, karena sebenarnya suaminya, Kim Namjoon adalah seorang CEO Sukses di Seoul dan Seokjin merasa bosan jika harus menunggu di rumah seperti seorang 'istri' pada umumnya. Akhirnya dibukalah Angels, yang walaupun tidak menyediakan lahan parkir tetap ramai didatangi oleh banyak pelanggan karena memang kemampuan memasak Seokjin yang luar biasa, juga wajah tampannya.
Mantel panjang yang dikenakannya telah tergantung di ruang ganti karyawan dan ia telah memakai seragamnya. Sebuah setelah baju bartender lengkap dengan apron hitam di pinggangnya membalut tubuhnya dengan sempurna –sesuatu yang menurut Seokjin adalah salah satu daya tarik dari bar mereka dimalam hari.
Setelah menyiapkan segala hal untuk shift berikutnya, mereka baru menyadari bahwa sebentar lagi waktu kafe mereka menjadi bar. Mata sipitnya mengedar ke seluruh penjuru bar. Mulai sekarang, yang tidak bisa menunjukkan kartu identitas mereka tidak diperbolehkan untuk memasuki Angels. Juga, menu yang ditawarkan bukan lagi beruma makanan-makanan penutup, melainkan hanya makanan-makanan yang cocok untuk dimakan sebagai pelengkap alcohol yang dipesan.
Alkohol.
Sesuatu yang menurut Jimin menjijikkan untuk di konsumsi tapi sangat digemari oleh orang-orang dewasa di Korea. Bahkan minum sesuatu yang mengandung alkohol setalah pulang bekerja telah menjadi tradisi untuk orang-orang disini. Bagi Jimin yang hanya bisa meminum susu murni, melihat orang-orang menjadi mabuk dan kehilangan akal setelah menegak minuman berbau pekat seperti alkohol sangat tidak masuk akal.
"Walaupun kau minum susu terus, tinggimu tidak akan bertambah banyak…"
Kim Namjoon melepaskan setelan jasnya dan memberikannya pada Seokjin yang ikut tertawa kecil. Bibir tebal Jimin kembali mengerucut mendengar komentar dari bosnya yang lain itu.
"Biar saja." Dengusnya, berjalan ke arah meja dimana seorang pelanggan yang baru datang duduk untuk menawarkan menu.
Jimin memang membenci alkohol namun tidak dengan orang-orang yang gemar meminumnya. Jimin suka manusia.
Mereka menarik.
Makhluk yang mengagumkan.
Jimin pernah dalam masa dimana ia membenci manusia –sangat. Baginya, manusia adalah makhluk paling tidak berguna yang diciptakan oleh Tuhan. Makhluk yang penuh dengan nafsu yang akan menjadikan mereka para pendosa. Mereka membunuh sesamanya, memperkosa anak mereka sendiri, bahagia melihat orang terdekatnya menderita. Semua hal yang bahkan iblis saja tidak pernah melakukannya. Manusia lebih buruk dari iblis.
Tapi sekarang Jimin bisa melihat manusia dari sudut pandang yang berbeda, sebagai benda yang bisa ia manfaatkan untuk keuntungannya sendiri. Ia bukan berkata mengenai menguras habis uang mereka di bar ini, sama sekali bukan.
"Hari ini cukup sepi pelanggan." Gumam Kim Namjoon sambil menyesap gin yang disuguhkan Hoseok –bartender yang merupakan teman kerja Jimin. "Mungkin karena langit seakan sedang murka diluar sana membuat orang-orang jadi takut untuk keluar rumah."
"Jimin sedari tadi merengut terus karena hal itu."
"Aku tidak merengut karena itu!" sergahnya, tidak terima dengan ucapan Hoseok.
"Lalu? Alasan lain kau menekuk wajah manismu seperti itu?"
"Hmp, tidak ada. Sudahlah."
Jimin berjalan memutar dan masuk pada ruangan kecil khusus bartender di belakang meja panjang tempat kerja Hoseok dengan kaki pendeknya menghentak-hentak gemas. Mengambil gelas susu yang ditinggalkan tadi untuk mencatat pesanan pelanggan yang memilih duduk di kursi dekat jendela kaca yang menghadap ke jalanan. Bibir ranumnya dengan rakus menelan habis minuman berwarna putih itu.
"Kau masih bertekad untuk menambah tinggi badanmu?" ujar Hoseok melihat betapa rakus ia menelan minuman manis itu.
"Tidak, ish!"
"Aku bilang juga apa, percuma saja. Usiamu sudah 25 tahun lho." Tambah Namjoon.
"Kenapa kalian semua jahat padaku?!" dengusnya, kesal. Bibirnya untuk kesekian kalinya mengecurut, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang sedang merajut. "Aku minum susu karena hanya itu yang bisa kuminum."
"Kau ini memang aneh, masak sudah usia segini tidak bisa minum hal lain selain susu. Makan juga hanya makan buah." Namjoon memutar kursinya untuk melihat kearah Jimin –Seokjin melanjutkan, "Memangnya kau ini peri?"
"Aku ini malaikat, asal kalian tahu."
Suara tawa ketiga pria yang lain terdengar ketika ia menjawab candaan Kim Seokjin membuatnya menatap ketiganya dengan datar.
"Yang malaikat itu aku, kau tidak lihat wajahku?" ujar Seokjin penuh percaya diri.
"Iya sayang, kau memang secantik malaikat. Karena itu aku memberi nama Angels untuk tempat ini." Balas Namjoon sambil mengecup sayang bibir pasangannya itu.
Malaikat. Seandainya kalian tahu wujud malaikat yang sebenarnya.
.
Ia sudah pernah mengatakan bahwa manusia itu makhluk yang mengagumkan, bukan?
Disaat terdapat manusia yang lebih buruk dari iblis, Jimin juga mengetahui bahwa ada manusia yang juga lebih baik dari malaikat. Manusia yang diinginkan Tuhan untuk menghuni surga buatannya kelak ketika mereka telah selesai menghabiskan jangka waktu hidup yang telah ditulis Tuhan untuknya di dunia.
Jung Hoseok adalah salah satunya.
Jimin yakin bahwa Tuhan akan menyukai Hoseok. Mungkin saja, ketika Hoseok mati kelak, ia akan langsung diangkat ke surga dan diberikan sepasang sayap yang indah olehNYA. Menjadikannya salah satu malaikat yang akan menemaniNYA melewatkan hari-hari membosankannya di surga sana. Mengindahkan apa yang terjadi pada orang-orang busuk yang akan menjadi kayu bakar untuk lebih mengobarkan api di neraka.
Neraka yang dihuni oleh manusia-manusia yang buruk hati dan prasangka.
Juga mereka yang memutuskan untuk mengkhianati Tuhan dengan mengakhiri masa hidup mereka sendiri.
Bunuh diri, sesuatu yang akan membuatmu langsung menuju neraka walau kau adalah makhluk paling baik sekalipun. Bahkan Jung Hoseok pun akan terbakar di neraka jika ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
"Kau akan langsung pulang?" Jung Hoseok bertanya dari depan lokernya yang berada di sebrang loker karyawan milik Jimin. Sebuah anggukan Jimin berikan padanya, "Bos memutuskan untuk menutup bar lebih awar –masih jam 11 lebih."
Jung Hoseok memang tipe periang, tidak pernah berhenti berbicara walau lawan bicaranya tidak menanggapinya sekaligus.
"Kau ingin pergi minum denganku, hyung?"
"Oh? Apakah Jiminie sedang mengajakku menghabiskan malam tahun baru bersama?"
"Lagipula, menutup bar lebih awal di malam tahun baru seperti ini sangat menggelikan bukan?"
Inilah yang menjadi sumber kekesalan Jimin sedari tadi, karena ia tahu pasti Seokjin dan Namjoon akan menutup bar mereka lebih awal. Alasan ingin menghabiskan malam berdua saja dan seluruh karyawan juga seharusnya melakukan hal yang sama –seharusnya sekalian saja katakana bahwa mereka semua libur hari ini sehingga Jimin tak harus merasakan kecewa karena tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
Manusia baik yang bisa ia mintai tolong.
"Wah, kau punya tato?"
Suara Hoseok membuyarkan lamunannya, ia bisa melihat goresan tinta hitam di punggungnya di kaca besar yang ada di ruang loker karyawan itu. Goresan tinta berupa sepasang sayap malaikat yang berada di kedua sisi punggungnya.
"Cocok untuk malaikat sepertiku, bukan?"
Ia membiarkan Hoseok melihat gambar itu lebih jelas, hal yang tidak akan pernah dilakukannya namun ia membuat pengecualian untuk hari ini. Toh, pada akhirnya Hoseok tidak akan menceritakan soal ini pada siapapun. Hoseok manusia baik, ingat?
Setelah ia merasa Hoseok sudah cukup lama mengagumi goresan tinta di punggungnya itu, ia berbalik untuk menghadap Hoseok. Matanya menatap lurus ke dalam mata Hoseok, membuat pria yang lain tertegun menyaksikan warna matanya yang terlihat lebih terang dibawah cahaya lampu ruangan itu. Kakinya melangkah mendekat ke arah pria yang lebih tinggi itu, membuat jarak diantara mereka menjadi nyaris tanpa cela. Waktu seakan berhenti hingga suara tawa Jimin membuat Jung Hoseok tersadar bahwa ia terlalu lama menatap wajah manis rekan kerjanya itu.
"Aku berubah pikiran," ujar Jimin, "Aku ingin pulang dan tidur saja."
"O-oh, baiklah." Hoseok terdengar terbata menjawabnya, membuat Jimin tertawa geli.
"Selamat tahun baru, hyung." Ujarnya kemudian seraya mengambil mantel panjangnya dan langkah kakinya seperti langkah anak kecil yang sedang senang hatinya –melompat-lompat kecil. "Tolong kunci barnya ya hyung." Tambahnya, melambaikan tangan dari pintu ruang karyawan.
Hoseok tersenyum dan balas melambai, "Jangan khawatir, aku bisa melakukannya!"
"….terima kasih." Sebuah senyuman paling cantik ditunjukkan Jimin padanya.
Jimin membuka pintu depan bar, melihat sekeliling. Tentu saja sepi, karena memang seperti itulah seharusnya. Ia menatap langit yang masih gelap dan pekat, tidak ada tanda bahwa ratusan kembang api akan menghiasinya sebagai tanda tahun telah berubah.
Telapak kaki Jimin tak lagi menapak jalanan di bawahnya. Tubuhnya dengan ringan terangkat, semakin tinggi, hingga kakinya kembali memiliki dasar untuk dijadikan alas –ujung tiang listrik yang berada tepat di seberang bar tempat ia bekerja itu. Bar yang kini telah dilahap oleh kobaran api yang seakan membuat suasana letupan kembang api di langit Seoul semakin meriah dengan sirine mobil pemadam kebakaran yang lalu lalang mencoba untuk memadamkan api yang terus berkobar, melahap habis puing-puing gedung beserta seorang manusia paling baik yang pernah dimiliki bumi.
Rest in Peace, Jung Hoseok.
Seharusnya ia merasa buruk untuk melakukan hal ini pada Hoseok, tapi ia tidak punya pilihan lain. Tahun sudah hampir berganti dan ia masih belum bisa menemukan hadiah yang bagus untuk dia.
Rambut merah jambunya kini berwarna emas, goresan tinta yang manusia sebut sebagai tato itu kini berubah menjadi sepasang sayap besar berwarna putih yang diselipi serpihan-serpihan warna emas yang senada dengan rambut dan warna matanya yang kini berkilat senang. Sebuah senyuman bahagia terpampang diwajahnya yang kini terlihat sangat tenang, terlalu tenang hingga kau tidak bisa menyimpulkan apa yang sedang dirasakannya selain dari sebuah lengkungan di bibirnya yang tebal.
Sepasang sayap besarnya melebar, bersiap mengepak untuk meninggalkan daerah dengan sisa bangunan yang telah hangus terbakar api, membawanya terbang tinggi menembus awan, mengabaikan gemuruh dan kilat yang menyambar dilangit, juga suara murka yang terus berdengung di telinganya.
.
Han River
Tempat para manusia di kota Seoul ini biasa menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih mereka. Tempat yang biasanya ramai itu mala mini tidak seperti biasanya, justru sunyi senyap. Hanya ada sesosok yang memakai jubah putih yang terbuat dari kain serupa sutera, dengan rambut dan mata emas yang menyilaukan –juga sepasang sayap putih dengan percikan perwarna emas di beberapa ujungnya.
Berdiri menghadap sungan Han, membelakangi sosok yang kini telah berdiri tak jauh dari tempatnya sendiri.
Angin seakan berhenti bertiup namun nuansa dingin yang seakan menusuk ke tiap inti tulang dalam tubuhmu sangat bisa dirasakan jika kau berada di sana. Sorang pria yang memakai setelan jas hitam berdiri dengan angkuh, menatap sosok bersayap putih itu dengan sorot matanya yang dingin. Mata yang berwarna hitam -yang paling pekat yang bisa kau temui, warna yang senada dengan warna rambutnya, juga sepasang sayap yang menyerupai sayap kelelawar yang keluar dari punggungnya yang tegap. Sosok yang mempesona, jika kau mengabaikan warna kulitnya yang seakan mati, juga bibirnya yang berwarna merah seperti darah. Warna yang sesekali juga akan terlihat dimatanya yang kelam.
"Sebenarnya, apa yang kau lakukan, Michael?"
Park Jimin, ah, tidak, Michael hanya bisa tersenyum tipis mendengar suara yang sangat dirindukannya itu. Ia berbalik, menatap penuh kekaguman pada sosok yang telah pergi dari hidupnya selama ratusan tahun itu. Sosoknya yang tidak pernah gagal membuat Michael ingin bertekuk lutut dan menyembah kesempurnaannya.
"Aku hanya ingin memberikan hadiah untukmu, Lucifer."
BLAR!
Sebuah kilat menyambar pohon besar yang tumbuh di tengah taman tak jauh dari tempat keduanya berdiri, membuat pohon yang tadinya berdiri kokoh itu hangus tak berbisa. Bentuk amarah dari DIA yang menguasai surge beserta yang berada di dalamnya –termasuk makhluk-makhluk bersayap yang dulu dicintainya itu.
Tbc.
