PART 1 - But you, still love him
Bath and Bed, Saturday, Night
"Kenapa kau tak memaksaku seperti pria lainya?" tanyaku ketika dia membasuh rambutku yang penuh dengan busa sampo yang kugunakan untuk membersihkan rambut pirangku yang terasa gatal.
Kulihat dari kaca dia ada di belakangku hanya tersenyum sambil tetap berkonsentrasi dengan rambutku dengan sorotan mata seperti ayah yang mencoba sabar menghadapi kenakalan anak pertamanya. Aku mendecak kesal sambil menggaruk bagian rambutku yang gatal. Dengan lembut dia mengalihkan jariku dan memijat kulit kepalaku yang terasa gatal tadi sambil berkata, "Jangan kau garuk, infeksi." Ucapnya. Suaranya yang berat inilah hal yang pertama aku sukai darinya.
Dia bukan pria yang suka merokok sepertiku. Aku tahu, dia benci dengan asap rokok tapi ia coba alihkan dengan meminum wine merk Drwyncklo roller II kesukaanya itu yang harganya 3 bulan gaji kotor pekerjaan sekretaris di kantorku yang bisa untuk membeli 2 mobil sedan yang seharga setengah milyar.
"Apa ada yang masih gatal?" tanyanya.
Tersadar dari lamunanku dan membuang putung rokok sembarangan. Aku bangkit dari bathtub, "Tidak ada," ucapku singkat sambil menyalakan kran showerku untuk membilas rambutku dari busa shampo. Rasanya kepalaku segar, semua beban pekerjaan dari kantor tadi ikut luntur bersama busa sabun itu.
Sambil masih menutup mata ketika tanganku mencoba meraih kran untuk mematikanya, aku menyentuh tanganya yang memutar kran dan tepat saat kubuka mata, tangan satuya mengalihkan wajahku untuk ke arahnya. "Mmmhhh…" bibirnya juga ikut menutup mulutku. Aku dapat merasakan tembakau dan anggur yang bercampur menjadi satu. Tanganya yang sedari tadi memelukku kulonggarkan, kumenunduk dan berkata padanya, "Im Hard," aku meraih nafasku, "Disini," dan "Sekarang."
Lagi-lagi, dia hanya menjawabku dengan senyuman khasnya itu. Kenapa dia harus seperti itu?! Aku bukan perawan yang pantatku belum pernah dimasuki pria! Seharusnya, kau menyantapku dengan kasar seperti nafsu pria kebanyakan yang pernah masuk di diriku dan mencampakanku begitu saja setelah tahu rasanya bercinta dengan kaum sejenisnya!
"Ne… Kiyoshi-san. Apa di pikiranmu aku ini wanita?" tanyaku iseng. Aku menyandarkan punggungku di dadanya. Aku masih bisa mencium parfum hugo boss white-nya walau selesai kami mandi. "Agghh…" keluhku ketika lidahnya menggelitik telinga kiriku.
"Kau kekasihku… Kise," ucapnya pelan tapi memberiku efek terangsang yang makin dalam. Dan karena hal itulah aku keluar.
Tangan kirinya yang besar itu sebelumnya ada di bawahku dan dua jarinya kupegang, kuarahkan ke mulutku sendiri dengan perlahan kuhisap seperti aku menghisap kejantananya. Dapat kudengar deru nafasnya mulai berbeda terdengar lebih cepat. Kulepas kedua jarinya dan ku ayunkan ke dada kiriku sambil berkata, "Kekasihmu ini sayangnya tak punya dada seperti mantan istrimu itu," aku tertawa kecil. "Tapi, hebatnya kekasihmu ini siap dimasuki kapan saja," ucapku sembari tertawa palsu mencoba memancing pria beralis tebal itu seperti apa reaksinya.
Namun, tak kusangka dengan hanya satu tangan dia menaikan kedua kakiku dari lekuk lututku, aku kaget. "He..Hei, aku hanya bercanda.." aku mencoba tetap berpegangan dengan jubah mandinya yang kupegang. "Akhirnya, kau lepas juga topeng sok baikmu itu huh?"
Dia ada di atas dan ada di tengah kedua kakiku yang terbuka. "Apa salah jika aku mempersiapkanya sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada menghiburku.
"Bodoh, aku bukan perawan yang belum pernah bersetubuh dengan pria. Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit itu," ucapku santai.
"Tapi, ini pertama kalinya bagiku dan aku tak mau kau merasa sakit karena aku bukan pria-pria yang pernah kau kenal dulu." Ucapnya yakin.
"Bodoh," aku menjenggungkan kepalanya. "Kau terlalu banyak bicara, memangnya kita sedang syuting apa?" kubalikan tubuhku hingga punggungku yang sekarang terlihat di matanya.
Kenapa?
Dia tak menggunakan tanganya untuk menyentuh dan membelai tubuhku. Kedua tanganya yang besar itu hanya ia gunakan untuk menjaga keseimbangan tubuhku. Yang kurasakan di kulitku hanya
bibirnya,
hidungnya,
deru nafasnya,
dan lidahnya…..
Yang seolah mencoba menandai di seluruh bagian tubuhku. Aku pria, kau tahu itu! Kau tak perlu mencoba membuatku terangsang dengan foreplay yang lama ini!
Kuambil botol lotion yg tergelatak malas di endtable itu dan terengah-engah membentaknya, "Aku sudah keluar, apa kau ingin membuatku merasa bersalah lagi karena kau belum keluar sama sekali?!" aku tak berani melihat wajahnya. Biasanya, dia langsung akan membuang botol lotion itu dan menyiksaku lagi dengan rasa bersalah dari kenikmatan yang ia berikan dengan hanya menyentuh tubuhku tapi tidak di bagian kejantananku. Apa maksudnya?
"Ini terlalu bany—" dia menutup mulutku dengan bibirnya ketika berkomentar tentang botol lotion yang setengah habis. Dan kurasakan sesuatu mengelus di sela lubangku, "Tunggu, aku harus membalikan tubuhku atau kau akan kesusahan," cegahku dengan paksa keluar dari mulutnya.
Bukan senyuman mengalah yang ia keluarkan, tapi kedua alisnya mengerut dan berkata, "Kise, apa kau mencoba mengelabuiku lagi? Aku sudah katakan padamu kalau aku tak suka melihat wajah kesakitanmu." Tegas tapi tak membentak tambahan lagi dengan tampangnya yang seperti itu.
"Kau bodoh! Memang wajar khan kalau ini terasa sakit!" kubentak dia dengan nafas yang terengah-engah.
Dia hanya menaruh kedua tanganku ke lehernya. Dengan wajah yang dekat sekali dia memulai aksinya. Aku kaget dan ototku langsung menegang. Oh, sial! padahal, aku sudah berlatih berkali-kali untuk tidak kaget karena bakal membuat ototku susah mengendur lagi.
Dia berhenti mencoba memasukanya. Padahal, aku bisa merasakan baru setengah dari kepalanya masuk membuka lubangku untuk beradaptasi denganya. Dia mengelus rambutku ketika melihat tatapan wajahku yang seperti berkata, "Kenapa?"
Matanya terlihat lelah, dia coba masukan lagi tapi aku menahan nafasku. Kenapa? Biasanya aku bisa menahan rasa sakit itu kenapa kali ini aku merasa takut sekali menghadapi rasa sakit yang tidak pertama kali aku pernah merasakanya?
Terengah-engah nafasnya yang terasa di wajahku. Keringatnya jatuh di pipi kiriku. Dengan bibirnya dia menghapus keringatnya sendiri yang jatuh di pipiku. "Aku senang, bisa bersatu denganmu, Kise…" dan dahiku di kecupnya.
Kenapa?
Bodoh banget dirimu! Kejantananmu itu hanya baru masuk secuil dan kau sudah merasa senang? "Jangan tahan rasa sakit itu sendiri. Yang bercinta disini bukan hanya dirimu sendiri,"
Aku termenung beberapa saat. Dia benar, aku yang bodoh.
"Apa kau mau mencobanya lagi?" tanyaku. Aku tahu, kau merasakan ototku yang mulai mengendur dengan hanya sebuah kalimat tolol yang kaukatakan tadi.
"Jangan simpan rasa sakit itu sendiri," ucapnya di hidungku.
"Aaahh..Kiyo..,shi..arrrhh…san…!Aggg….!" dengan pelan tapi pasti aku dapat merasakanya… Masuk sesuai jalurnya. Seperti ada jalan yang sudah dipersiapkan khusus untuknya, masuk ke dalam diriku.
Aku tahu, dia ada sepenuhnya di diriku. Lampu yang tadi masih dapat kulihat dari atas sekarang tertutupi oleh rambut cokelatnya yang menutupi cahaya yang menerpa seluruh tubuhku. Dan..aku merasa penuh.
"Terima kasih, Kise… terima kasih…" dia memelukku. Menciumku. Dan menjilati seluruh keringat yang ada di wajahku.
Aku hanya tersenyum kecil dan mencoba menggerakkan pinggulku. Ini sudah saatku untuk membuatnya keluar. Tapi,
"Bisakah kita untuk tetap seperti ini untuk beberapa saat?"
"Tapi, kau belum—"
"Aku keluar tepat saat semuanya masuk." Ucapnya dengan nada pelan.
Aku hanya tersenyum, yeah aku tahu… "Ah, kau EDI*." Usilku. (*Ejakulasi Dini)
Dia baru mau mendongakan wajahnya, "Tunjukan padaku pria mana yang kuat menahan ereksi lebih dari setengah jam," erangnya.
Aku tertawa, dan dia mulai ikut tertawa bersamaku. Aku jadi semakin tertawa terbahak melihat ekspresi terangsangnya yang tertawa. Dan tawaku berhenti saat dia menghisap bibir bawahku dan berkata, "Aku mencintaimu, Kise…"
Kupeluk kepalanya dengan kedua tanganku dan membalasnya dengan ciumanku. Dan tertidur dalam kelelahan percintaan pertama kami.
Office, Monday, morning.
Bukan karena aku pelupa, tapi aku memang selalu mencatat segala kegiatan yang akan kukerjakan tiap hari ke sebuah agenda yang sudah seperti kitab hidupku saat bekerja. Dan lebih sialnya lagi, aku lupa membeli obat penghilang rasa sakit untuk bekas operasi sialanku itu!
"Bisa aku lihat hasil akhirnya?" Tanya bosku dengan kedua alisnya yang selalu beradu ingin ke tengah.
Aku sudah punya firasat buruk. Sebenarnya, dia hanya kepala tim untuk sebuah proyek baru di kantorku yang bekerja di bidang game computer, proyek kami ini ada karena banyaknya keluhan dari pihak kalangan orang tua yang mengkritik permainan buatan kami yang terlalu vulgar untuk anak mereka. Padahal, kami sudah jelas-jelas membuat tanda untuk umur 21 tahun keatas yang dapat memainkanya.
Vulgar disini sebenarnya lebih menitikberatkan grafik detail pembunuhan yang bisa kau rencanakan sendiri. Yeah, permainan yang kami buat memang untuk kalangan pria dewasa. Bahasa inggirisnya, mature bukan adult.
Dia mengerutkan ke dua alis biru gelapya yang runcing itu, "Hanya ini?" dia membuka halaman sebelumnya, "Kenapa hasil analisamu sama saja dengan kepunyaan Leo?"
Aku diam, ingat jika bos berkelakuan seperti ini lebih baik kau diam dan membiarkan dia meluapkan emosi padamu. kumohon, jangan berdecak…. Jangan berdecak… jangan…
"Apa kau benar-benar menganalisanya?" dan, "Ck." Ya, boss-ku baru saja mendecak.
Seluruh ruangan kelompok kami langsung terdiam semua setelah mendengar suara itu. Suara yang bunyinya seperti tanda kematian yang harus segera kau hadapi.
Dia bangkit dari kursi dan mengambil tas kerjanya, "Kumpulkan semua anggota proyek BN-4 untuk rapat dadakan, saya tunggu di ruang meeting indoor lantai 21 tepat setelah makan siang." Dan berlalu dari hadapanku.
Semua orang menatap kepergianya yang menuju lift. Aku bahkan bisa mendengar suara derap langkah sepatu merk italianya itu yang seolah membuat lantai marmer tempat kami berpijak ikut menggetarkan kami yang masih berdiri.
TING! Suara pintu lift terbuka.
Dia memakai jas-nya lagi dengan gaya tak peduli dengan tatapan orang banyak dan dia masuk sebelum pintu lift itu tertutup.
"DAAMMNN!" teriakku sambil membanting laporan itu ke meja kerjaku. Aku mengurut dahi dan mengendorkan dasi kemejaku yang terasa terlalu kencang. Teman-teman senasibku langsung berkumpul menghampiriku untuk mengetahui bencana apa yang kali ini akan kami hadapi sebagai anak buah.
Seseorang menepuk bahu kiriku ketika ku berbalik ternyata Kamiko, "Ah, sudahlah… jangan bertingkah seolah kau tak pernah melihat wajah bos kita di akhir bulan? Ini Cuma lagi hari sialmu saja harus mengumpulkan laporan di akhir bulan." Dan dia memberiku sekaleng kopi.
"Daripada kau mengeluh terus menerus, mending kita semua berkumpul dan memulai bekerja sungguh-sungguh agar bos 'tersayang' kita tidak memecat kita semua." Ucap pria berjenggot, Ivan, yang satu team denganku.
Aku hanya menatap sengit pada Ivan, "Yeah, aku tahu. Well, lets work!" semua orang mulai duduk di kursi masing-masing dan aku berpindah di depan sambil membawa gulungan data dari berbagai toko sebelum kubuka di meja agar mereka semua dapat melihat, "Oke, seperti biasa 5 menit untuk membandingkan, 15 menit untuk saling debat, dan 15 menit untuk mencari solusi." Aku menerima dan memberi data analisa pata tiap-tiap anggota untuk mulai membandingkan analisa dengan yang lainya. "Tak ada tambahan waktu kalau kalian tak ingin melewati jam makan siang." Tambahku. Dan, akhirnya setelah mengorbankan bolpen yang patah dan steples yang terbelah dua kami sudah menemukan jalan keluar tentang masalah analisa yang tak sama. Ternyata, ada perubahan dari toko buku yang terlambat melapor data mereka.
Men Restroom, Breaks.
Ssrrrshhh….!
Suara kran air yang mengalir dari wastafel toilet pria terdengar lumayan keras olehku yang sedang merokok, aku harus menenangkan mukaku dengan kubangan air yang kuciptakan supaya aku dapat menenggelamkan kepalaku sejenak dan meluapkan emosiku jadi kututup lubang wastafel agar bak itu terisi penuh. Sambil menunggu aku lepas jam tangan rolex-ku.
CKLEK
Pintu itu terbuka. Dapat kulihat dari kaca ternyata dia yang datang. Seorang pria yang berambut biru gelap klimis yang tertata rapi itu terlihat tegap berjalan dengan masih memakai kacamata dan menenteng jasnya itu menyadari kehadiranku, tersenyum kecil dengan bibirnya yang tipis itu dan berjalan menuju tempat kencing.
Aku hanya pura-pura tak menanggapi kehadiranya dengan tetap merokok menunggu air itu penuh untuk merendam mukaku.
"Kau tak lupa menebus obat untuk minggu ini khan?" tanyanya di sebelahku mencuci tanganya ketika aku sedang merendam mukaku di wastafel yang kubuat penuh dengan air itu tadi.
Aku diam karena kepalaku sudah setengah tenggelam di bak yang sudah terisi air, pura-pura tak mendengar ucapanya. Walau sebenarnya aku lupa membeli obat penghilang rasa sakit untuk bekas operasi di perutku. Memang sih, terasa sakit ketika aku terlalu banyak berpikir, anehnya hanya saat bercinta aku tak merasakan sakit itu.
Tunggu, dia menyentuh rambut pirangku. "Kemarin kau habis mencuci rambut?" tanyanya lagi. Aku tersentak kaget karena sentuhanya membuatku teringat masa lalu yang ingin kulupakan.
Kepalaku bangkit, dan membuat tanganya lepas dari rambutku. Kuusap mukaku dengan sapu tangan sambil berkata, "Setelah bekerja saya akan ke apotek. Terima kasih, telah mengingatkan saya Aomine-san." Aku masukan lagi sapu tanganku yang terasa agak basah lalu menghadap mukanya melanjutkan kalimatku, "Dan, persiapan untuk rapat membahas analisa bulan Oktober sudah disiapkan." Oh, apa aku lupa kalau bos-ku ini mantanku dulu? Yang dulu pernah berkata padaku, dia ingin menikahiku di Canada. Tapi, karena alasan jabatan dia meninggalkanku untuk menikahi seorang wanita, anak pemilik saham utama di perusahaanku? "Permisi. Saya harus mengumpulkan anggota lain." dan kakiku mulai melangkah mencoba untuk segera pergi dari jebakan yang akan siap menyergapku.
"Kise, kupikir menjadi bos sebuah alasan yang bagus agar kita bisa sering bertemu." Oh, kau melimpahkan kesalahan yang kau buat 3 tahun lalu padaku?
Aku berhenti melangkah dan dapat mendengar suara sepatu yang melangkah, "Dia hanya ingin anak yang dikandungnya punya ayah. Jadi,"
Apa? Kau menyesal sekarang?
"Beri aku kesempatan kedua, Kise. Aku akan menceraikanya."
Menurutmu? Kalau kau dalam hal ini tidak bisa konsekuen, lalu bagaimana kelanjutan diriku? Kau juga akan berpaling kepada yang lain dengan mudah tepat seperti dulu yang pernah kau lakukan padaku.
"Maaf, tapi saya harus segera kemb—," ucapanku terpotong karena kedua tangan berkulit coklat yang melingkar di pinggulku. Tidak ada gerakan akan memeluk, hanya diam seolah tak yakin dengan tindakanya sendiri.
"Aku tak mengancam dan tak pernah menekanmu jadi," aku bisa mendengar hembusan nafas kesal, "Tolong pikirkan baik-baik, Kise." Kali ini kedua tangan pria berkacamata itu terasa aneh di pinggulku.
Tanganku terasa mengepal dengan keras. Tidak! Aku harus segera keluar dari sini, sebelum kedua tanganya benar-benar berniat melingkar di tubuhku dan hatiku untuk kedua kalinya...
BRAKK!
Suara pintu toilet yang tak sengaja kubanting lumayan keras. Aku kesal! Sungguh! Kenapa…? Kenapa kau datang di saat seperti ini? Kenapa kau harus menghantui perasaanku lagi untuk kedua kalinya…? Disaat aku sudah akan menggapai kebahagianku?!
-TO BE CONTINUED ON PART II "But please, don't blame him"-
