THE CONNECTED LINE

Gundam Seed/Destiny © Sunrise, Bandai, and their creators

This is just a fan work and no material profit taken from this

Warning:

Untuk ke depannya cerita ini mungkin akan mengandung adegan perkelahian dan pembunuhan (?) sesuai kebutuhan cerita meski tidak akan dijabarkan secara detail—karena itu rate-nya masih T (chapter ini masih clear kok *diamdiamtertawa*). Cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama per chapter-nya yang akan berganti tiap beberapa chapter dari sudut pandang karakter yang berbeda.

Hope you enjoy!


I: CAGALLI


.

Kau tahu bagaimana rasanya diantar ayahmu ke sekolah? Percayalah, itu bukan masalah besar kalau kau bukan gadis remaja kelas dua SMA. Sekali lagi, percayalah, kalau hal itu juga sebenarnya bukan masalah.

Kau tahu apa masalahnya?

Saat setiap hari kau diantar dengan sedan mewah classy bersama—bukan 'oleh'—ayahmu dengan iring-iringan motor dan mobil polisi yang berisik dengan sirinenya. Itu baru masalah. Oh, ayolah, sekalian saja kita buat parade rutin pengantaran putri presiden dengan tiupan terompet, boneka-boneka beruang besar yang melambai-lambai di atas kereta, dan beberapa aktris dan aktor dari teater kecil yang memakai gaun Cinderella dan pangeran sambil melambai dan melayangkan kiss-bye.

Aku sudah mengalah saat Ayah memaksaku masuk ke SMA Private Orb, sekolah yang seratus persen berisi anak-anak kaya raya dari tokoh-tokoh masyarakat dan pengusaha terkenal, sekolah dengan kurikulum terpantau, keamanan super ketat sampai keributan di kantin saat jam makan siang pun tidak pernah terjadi—dan jangan lupakan kamera CCTV yang bertebaran di mana-mana. Kalau Ketua Departemen Perempuan dari OSIS tidak mengajukan keberatan tentang CCTV di kamar mandi perempuan dan ruang ganti, aku yakin kamera-kamera hina itu masih akan terpajang di atap-atap. Satu hal yang kusyukuri, meski dari keluarga orang berada, tidak semua murid di sini manja dan hanya bisa merengek menyuruh ini-itu—memang ada kumpulan anak-anak manja, tapi sebagian dari mereka (haruskah aku bilang 'kami'?) tidak.

Aku menghela napas. Satu tahun pertama di sana sudah bagaikan penjara. Kurasa apa boleh buat jika ayahmu adalah Presiden Negara ini, Orb, tapi ... tidak. Aku muak. Aku mau melakukan pemberontakan!

"Tidak."

Aku mengerjap beberapa kali dengan mulut yang terbuka-tutup sambil menatap ayahku tidak percaya. "Tapi ... Ayah, aku sudah tidak tahan!" cecarku di depan meja kerjanya.

"Keselamatmu lebih penting, Cagalli."

"Tapi apa gunanya aku selamat kalau aku tidak bebas? Aku cuma minta pindah sekolah, Ayah!" argumenku lagi, ngotot.

"Apa gunanya kau bebas tapi kau tidak selamat?"

Aku terdiam. "That's harsh."

"That's fact and I know you know it. Now if you don't mind, Young Lady, I still have some works to do."

"Apa Ayah baru saja mengusirku dengan Bahasa Inggris?"

"Aku hanya menyesuaikan dengan caramu bicara, Nona Muda. Sekarang, bisa kau keluar? Atau kau ingin kita berdebat lagi dalam Bahasa Jerman?"

Aku mengangkat tanganku ke udara dan membantingnya lagi. "Mierda!"umpatku.[1]

Yang membuatku tambah kesal, Ayah hanya membalas, "Carpe diem"[2] dengan bahasa yang sama namun dengan intonasi yang lebih tenang. Ia mengangkat kepalanya untuk menatapku sejenak, "Quid pro quo,"[3] dan ia tersenyum. "Te amo."[4] Ayah melambaikan tangannya, memakai kacamata, dan mulai berkutat dengan dokumen entah apa di depannya.

Baiklah! Usir aku sesukamu, Ayah, tapi aku tidak akan menyerah!

Besok paginya aku sudah bangun pukul lima pagi dan siap melarikan diri lewat pintu belakang. Mungkin kau bertanya, kenapa tidak lewat jendela kamar? Itu yang biasa anak pemberontak lakukan, kan? Seperti Rapunzel. Jawabannya sederhana. Kamarku ada di lantai dua. Sebenarnya aku menyimpan tali di kamar dan aku bisa turun ke bawah dengan mengikatkan tali itu di pagar beranda, tapi lampu-lampu sorot penjaga a la Batman di halaman tidak akan membiarkanku melenggang begitu saja tanpa menghujaniku dengan cahaya megah mereka.

Rumahku yang sekarang memang sudah disiapkan khusus untuk presiden dari generasi ke generasi ke generasi ke generasi ... Aku yakin mereka hanya mengecat ulang dinding-dindingnya dan mengganti beberapa perabot personal, seperti kasur dan kamar mandi, sebelum dihuni keluarga presiden terpilih yang baru. Kalau dihitung bersama halamannya, kurasa luasnya sekitar tiga per empat stadion sepak bola yang digunakan untuk piala dunia dengan besar bangunan utamanya sendiri seluas sepertiganya. Bangunan utama ini masih memiliki arsitektur klasik dengan tiang-tiang tinggi sebagai pondasi yang sebagian diukir, langit-langit yang tinggi, cat warna putih polos, dan lampu-lampu gantung megah yang menampilkan sinar keemasan jika dihidupkan. Syukurlah beberapa perabot interior lain seperti sofa, kamar pribadi, dan ruang keluarga sudah diisi dengan barang-barang yang lebih modern, futuristik, dan empuk. Aku tidak bisa membayangkan harus tidur-tiduran di kursi kayu yang keras saat menonton TV di ruang keluarga.

Pintu belakang di rumah sebesar ini lebih dari satu, tentu saja, tapi aku putuskan untuk pergi ke pintu yang ada di dapur di bagian Barat rumah karena paling jauh dari kamarku. Kuharap penjagaannya lebih sedikit. Setelah menempel di dinding sejauh beberapa koridor, aku pun merapatkan diriku di dinding samping pintu belakang dapur dan mengintip sejenak melalui jendela. Aku mengumpat.

Penjaga-penjaga berseragam biru tua sibuk mondar-mandir dengan senter dan senjata api di pinggang. Aku sedikit kecewa. Yah, level satpam kediaman Presiden bukan dengan tongkat pentungan, tentu saja, apa yang kupikirkan? Padahal seandainya hanya tongkat pentungan, aku cukup yakin seandainya harus berurusan dengan beberapa dari mereka aku masih bisa mengatasinya, meski, yah, tentu saja mereka tidak akan menebakku.

Kecuali itu tembakan taser.

"Nona Cagalli?" Sebuah suara perempuan terdengar tepat dari arah tempatku datang.

Aku berbalik dan langsung menerjang si pemilik suara sambil mendekap mulutnya cepat-cepat. Pelayan malang itu hanya membulatkan matanya dan mengeluarkan pekik teredam saat punggungnya menghantam dinding. Begitu menyadari siapa dia, aku cepat-cepat mendesis, "Maaf, Aisha! Bisa kau pinjamkan seragammu?"

Wanita cantik berambut biru tua dengan sedikit highlight kuning di bagian pinggir ini adalah salah satu pelayan pribadiku yang bisa kupercaya. Selisih umur kami sebenarnya cukup besar, namun kau tidak akan menyangkanya. Sosoknya lebih mirip seorang model meski dengan seragam kerjanya—terusan hitam dengan bagian rok mengembang lima senti di bawah lutut dan apron putih. Perawakannya tinggi, badannya ramping, tapi berisi, dan gerak-geriknya anggun, namun selalu cekatan dalam bekerja. Riasan di wajahnya tidak begitu tebal, kecuali warna merah mencolok dari lipstik di bibirnya yang—lagi—sama sekali tidak terlihat menor dan pas di wajahnya yang putih.

Kembali ke masalah utama, akan jadi masalah kalau aku ketahuan berkeliaran sepagi ini.

"Ayo, ayo, pinjamkan baju seragammu." Aku memutar tubuhnya dan mulai melepas ikatan pita apron di bagian pinggang dan lehernya."Jangan bilang siapa-siapa, oke?"

Ia menghela napas sebelum berbalik menghadapku lagi sambil menggenggam tepi bawah seragamnya. "Apa Anda berniat kabur, Nona?" tanyanya sembari menarik lepas bajunya dan memperlihatkan kaos polos berwarna navy blue dan short hitam selutut yang menempel di kakinya.

"Tidak. Aku sedang kabur." Sulit melepaskan pandangaku dari pistol hitam di holder yang terikat di paha kiri dan holder lain di paha kanan yang kurasa berisi pisau. Aku tidak begitu ingin tahu.

Kurasa ia menyadari keterkejutanku dengan beberapa 'mainan polisinya' karena ia tertawa kecil saat menyerahkan seragamnya padaku. "SOPPPP—astaga, terlalu banyak huruf 'P' di sana—Standar Operasional Pelayan Pribadi Putri Presiden. Jangan terlalu dipikirkan." Ia mengibaskan tangannya sementara tangannya yang lain menerima jaketku yang kusodorkan padanya. Ia menyampirkannya di kedua bahu.

Aku hanya mengangguk. Uh, membayangkan pelayan-pelayan yang mondar-mandir di sekitarku setiap hari selama ini selalu menyimpan benda berbahaya di balik penampilan imut mereka membuatku bergidik. Kurasa aku akan berhenti mengagetkan mereka saat bekerja.

Kupakai seragam itu sebelum melepas celanaku dan menukar sepatu ketsku dengan flat shoes miliknya. Oooh! Entah karena SOPPPP atau bukan, untunglah Aisha tidak memakai sepatu hak tinggi. Kurasa aku akan memeriksanya nanti dan berterima kasih pada siapa pun yang membuatnya.

Kuikat rambutku membentuk sanggul dan mengambil bandana renda-renda di kepalanya. Dalam situasi normal, aku tidak akan memakai atribut-atribut kegadisan seperti ini. Renda? Baju terusan? Flat shoes? Mimpi buruk.

Di belakang pintu dengan tangan kanan berada di knop, aku berbalik ke arah Aisha lagi yang kini mendekap erat celana dan sepatuku di lengannya dengan jaket yang masih tersampir di bahu. "Ingat, jangan beritahu siapa pun!"

"Tapi, Nona, ini percobaan kabur Anda yang ke—"

Aku membuka pintu dan membiarkan udara dingin yang segar menyapu kulitku. Aroma rumput basah di pagi hari pun menyeruak. Ini aroma kebebasan.

"Halo, Cagalli."

Aku hampir saja tersangkut kakiku sendiri saat terlonjak mundur ketika wajah seorang pria berkulit gelap tiba-tiba muncul tepat di depan mataku. "Ki-Kisaka!"

Pria berambut gondrong yang diikat satu itu menghela napas panjang sambil melirik arlojinya. "Yap, rekor terbaru Operasi Kabur Cagalli Yula Athha kategori Paling Cepat Tertangkap." Ia melirik singkat ke arahku. "Samaran yang bagus. Saya rasa bukan ide buruk jika Anda mulai memakai pakaian-pakaian gadis, Nona." Seulas senyum kecil terpajang di bibirnya.

Aku menggertakkan gigi dan baru saja mengambil satu langkah ke depan—bermaksud menerjangnya dan mengambil celah untuk keluar—saat ia mengangkat satu tangannya tepat ke depan wajahku. "Jangan mencobanya, Nona Cagalli. Anda tahu Anda tidak punya kesempatan." Aku mengerjap dan benar-benar melihat ke depan. Melihat badannya yang besar, tegap, dan terlihat sangat kokoh dengan otot di lengannya yang besar ditambah kulit cokelat terbakarnya itu, mau tak mau aku harus mengakui kekalahan.

Ia melipat keempat jarinya yang ada di depan wajahku dan berkata, "Anda punya dua pilihan: kembali ke kamar dan tidur sampai Aisha membangunkan Anda untuk siap-siap," ia mengeluarkan satu jari lagi, "atau berlatih pertahanan diri bersamaku. Anda bolos di jadwal kemarin, ingat?"

Aku mengerang dan mengirimkan tatapan SOS sebisaku pada Aisha. Wanita itu hanya tersenyum manis dan mengangkat kedua bahunya. Baiklah, terima kasih karena sama sekali tidak membantu.

Akhirnya, aku berjalan mendekat ke arah Kisaka dan memukul lengannya kuat-kuat dengan bandana berenda. "Ayo, cepat kita selesaikan saja."

.


Aku melihat sebuah kios kecil dengan dinding dari papan kayu berwarna cokelat muda yang berderet. Bagian terasnya dipayungi oleh kanopi berwarna merah tua dan putih yang agak pudar dengan bagian yang menggantung membentuk suatu pola bergelombang. Sebuah kotak pendingin diletakkan tepat di bagian depan, hanya berjarak satu meter dari lemari display yang berisi kue-kue manis tradisional, seperti bakpao, kue kacang merah, dan dango. Suara gemericing yang indah terdengar dari lonceng kecil musim panas yang tergantung di atap-atap. Di bagian luar, tepat di sebelah kotak pendingin, seorang pemuda berambut cokelat tengah duduk sambil menenggak minuman kalengnya banyak-banyak.

Aku sedang mengambil sekaleng teh dari kotak pendingin saat menyadari aku sedang diperhatikan. Aku pun berdiri tegak dan bergeser, memberi jalan untuk Meer, Milly, dan Luna memilih. Lalu aku melihatnya, kali ini lebih jelas. Pemuda yang tadi kulihat sudah berdiri sambil mengapit jaketnya dan tak henti-hentinya membandingkanku dengan apa pun yang sedang digenggamnya—foto?

Tiba-tiba pemuda itu tersenyum dan menatapku dengan sorot matanya yang hangat dan lembut. Aku terpaku. Aku hampir bisa membaca gerak bibirnya namun kegelapan total lebih dulu menguasai pandanganku, seperti bagian akhir dari film horor dengan ending menggantung.

Aku mengerjap beberapa kali dan merasakan permukaan kaca yang dingin di kepalaku. Ah, ketiduran, rupanya. Aku menarik napas dalam-dalam dan mendesah, memperbaiki posisi dudukku di mobil dan menumpukan siku kiriku di jendela. Mimpi itu ... ada apa sebenarnya? Sudah seminggu terakhir ini mimpi yang sama selalu muncul: sang pemuda berambut cokelat. Beberapa hari ke belakang justru semakin sering saja.

Aku tidak begitu mengerti, tapi entah kenapa pemuda itu rasanya tidak asing. Tentu saja wajahnya asing. Kalau tidak salah aku hanya pernah melihatnya saat aku dan teman-teman mampir ke kios kecil untuk membeli minum, tepat seperti yang ada di mimpiku. Mimpi itu bukan hanya mimpi, sebenarnya. Itu kenyataan, sudah terjadi satu bulan yang lalu. Aku dan teman-temanku singgah ke kios itu saat pulang 'sendirian'—kau tahulah, tanpa sopir pribadi—di suatu hari di musim panas. Kabur? Tidak, kami hanya bicara dengan sopir kami masing-masing (sambil membubuhi satu atau dua ancaman dan kata-kata 'manis') dan mereka akhirnya mengizinkan (dengan terpaksa). Kembali ke topik awal tadi, entah kenapa kalau mengingat sosok pemuda berambut cokelat itu ... dia tidak terasa asing. Auranyakah?

Sungguh? Aku bicara tentang aura sekarang?

Aku terlonjak saat seorang pengendara sepeda berbaju putih muncul mendadak dari arah tikungan yang baru kami lewati—tepat berpapasan dengan jendelaku. Aku hanya sempat melihat orang itu menekan rem kuat-kuat sambil memutar setangnya ke kiri dan menurunkan kedua kakinya sebelum jarak pandangku menjauh karena mobil terus bergerak.

Aku segera berbalik ke arah kaca belakang. Orang itu—yang kuduga adalah laki-laki dari perawakannya—sedang membetulkan letak topinya. Satu kakinya menapak jalan saat ia sedikit berputar untuk melakukan pengecekan cepat kotak aluminium yang diikat di bagian belakang sepeda dan keranjang berisi sayur-sayuran di bagian depan. Tidak lama kemudian, matanya dan mataku bertemu.

"Ah," ujarku ketika mobil yang kutumpangi berbelok ke tikungan lainnya. Tiba-tiba perasaan yang aneh muncul di perutku.

"Tenang saja, Nona. Kita tidak bersenggolan dengan sepeda tadi, kok," jelas Pak Sopir di belakang kemudi.

Tanganku yang masih menggenggam tepi jok belakang terasa lembab. Kutempelkan hidungku di sandarannya. Aku tidak memikirkan soal tabrak-menabrak sekarang, tapi apa yang tadi sempat kulihat itu benar? Rambut pemuda di sepeda tadi ... cokelat, kan? Selain itu, perawakannya juga ...

Aku menggeleng. Perasaan aneh itu masih ada. Aku pun baru menyadari kalau jantungku berdegup cepat. Ada apa ini?

"Cagalli," panggil Ayah dari sampingku, "duduklah lagi. Berbahaya." Aku menurut dan hanya diam. "Kau tidak apa-apa? Wajahmu agak pucat."

Aku menggeleng sebagai jawaban dan kembali menatap dunia di luar jendela. "Aku baik-baik saja."

Aku memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya ketika Ayah tidak menjawab. Ia masih menancapkan pandangannya yang tajam dengan sebersit kecemasan yang sangat kukenal ke arahku. Aku menghela napas dan mencoba tersenyum. "Hanya sedikit kepikiran dengan abang tadi," tambahku. Aku tidak berbohong, kan? Yah, mungkin kata sedikit itu bisa diganti dengan 'sangat'.

Ayah mengangguk dan kembali membuka koran paginya tepat saat mobil kami berhenti. "Sudah sampai, Nona." Pak Sopir tersenyum dari arah kaca spion dalam sambil mengangkat topi pelautnya sedikit.

"Jangan berpikir untuk 'pergi main' tanpa izin lagi, ya, Nona," celetuk Kisaka di kursi depan. Aku memutar bola mata dan membuka pintu dengan satu entakan sambil menyampirkan tas di bahu kanan.

"Sampai ketemu di rumah, Cagalli," ujar Ayah dari kursinya. Ia melepaskan pandangannya dari setumpuk kertas penuh tulisan dan iklan itu dan melemparkan senyum hangatnya padaku. "Aku menyayangimu."

Tubuhku terasa lebih rileks seketika. Terkadang aku takjub dengan kekuatan sihir dari dua kata sederhana itu tiap Ayah merapalkannya. Aku membalas dengan seulas senyum tipis. "Aku juga menyangimu, Yah." Kututup pintu itu dan melambai singkat saat iring-iringan kembali berjalan.

Aku berbalik dan menatap gerbang tinggi berwarna hitam dengan jalinan bunga dari besi di bagian atas yang membentuk lekukan. Di kanan dan kirinya terlihat pagar bata yang tak kalah tinggi dan sangat lebar sejauh mata memandang. Aku malas mengira-ngira panjangnya. Kalau tidak salah saat orientasi dulu di pamflet tertulis ratusan meter sekian—yang pasti murid laki-laki tidak pernah pusing gantian lapangan kalau mau main sepak bola. Aku tahu beberapa penjaga berdiri sesuai posnya masing-masing di balik pagar—terlalu mencolok kalau di depan dan membuat risih pengguna jalan lain, kalau tidak salah kata Yzak dulu. Sebuah bangunan tiga tingkat bercat putih bersih dengan jam dinding sederhana berukuran besar menempel di bagian puncak menyambut siapa pun yang masuk seolah berkata, "Selamat datang di SMA Private Orb! Anda masih punya delapan jam penuh untuk mati kebosanan di sini. Bisa kita mulai?"

Helaan napas panjang untuk kesekian kali keluar dari mulutku. Kakiku baru mengambil satu langkah saat seseorang memanggilku dari kanan. Aku menoleh dan tersenyum. Jantungku sedikit melakukan loncatan saat melihat sosok pemuda berambut biru tua di pinggir jalan melambai sambil berlari kecil ke arahku setelah menutup pintu sedan merah yang langsung pergi tidak lama kemudian.

Namanya Athrun Zala, putra dari salah satu anggota dewan pusat, Patrick Zala. Pemuda berkulit putih dengan iris emerald di depanku ini terlihat sangat rapi dengan kemeja biru tua yang dimasukkan ke dalam celana satin putih. Blazer yang juga berwarna putih dengan lambang almamater yang rumit di bagian dada kiri pun malah membuatnya terlihat semakin elegan. "Pagi, Cagalli. Kau terlihat lebih segar. Habis olahraga?" tanyanya disertai senyum ramah yang, kata Meer, sih, bisa menaklukkan sebagian besar populasi wanita normal di sekolah ini. Meski berat, kuakui memang benar.

Apa? Aku juga normal, tahu!

Aku mengibaskan tanganku asal, berharap rona merah memalukan tidak mulai muncul di wajahku. Seandainya pun muncul, aku berharap dia mengira aku sedang berkipas karena kepanasan. Aku cukup bangga dengan kemampuan berdalihku. "Olahraga pagi. Latihan pertahanan diri. Tertangkap Kisaka—rutinitas."

Ia meringis. "Kurasa aku tidak mau dengar." Pembicaraan kami terpotong saat lonceng besar sekolah yang ada di atas jam dinding berdentang dengan tempo lambat namun gaungnya tidak dapat diremehkan. Athrun mengangkat kedua bahunya dan kembali tersenyum. "Kurasa kita harus masuk sekarang kalau tidak mau kena hukuman dari Yzak."

Aku merinding membayangkannya. Bulu kudukku ikut meremang begitu melihat sosok sang Ketua Departemen Kedisiplinan yang sudah bersandar di pinggir gerbang dengan kedua lengan terlipat di depan dada, sibuk menebar tatapan tajam pada semua orang yang lewat. Penjaga gerbang sekolah aslinya ikut berdiri tegap di kedua tepi gerbang dengan pose yang sama. "Athha! Zala! Mau terlambat berapa lama lama lagi, hah?" Ia mencegat siswa lain berambut hitam yang berusaha mengendap-ngendap saat Yzak bicara pada kami. "Hei, kau! Jangan pikir bisa lepas, ya! Kau juga—oi! Elsman! Mau kuhajar, ya!?"

"Kau mau menghajar ayahku?"

"Dearka Elsman!"

Tiba-tiba lenganku ditarik ke depan dan membuatku cukup terkejut. Athrun menoleh sedikit dan berkata, "Ayo! Mumpung Dearka sedang menyibukkan Yzak!"

Aku menyeringai dan ikut berlari ke dalam, melewati Yzak yang sedang mencengkram kerah baju Dearka dan sibuk meneriaki murid-murid lain yang juga mengambil kesempatan seperti kami. Akhirnya Athrun melepaskan tangannya. Jemari kiriku meraba bekas genggaman Athrun tadi dan pipiku mulai terasa panas. Rasanya pagi ini tidak buruk juga.

Benarkah?

Kuhentikan langkahku dan menoleh ke belakang, ke arah pintu gerbang yang baru saja dikunci. Keningku berkerut dan mataku bergerak liar ke dunia luar.

"Cagalli?" panggil Athrun dari belakangku.

Perasaan aneh itu datang lagi dan hilang secepat kemunculannya.

.


To be Continued ...


[1]: Kata umpatan yang didapat dari hasil browsing di internet. Kebenaran arti dan ejaan tidak ditanggung. Karena artinya sendiri saya gak tahu jadi mending jangan ditiru, ya.

[2]: Salah satu selogan bahasa latin yang cukup sering dipakai. Arti: seize the day; nikmati harimu selagi bisa.

[3]: Juga salah satu selogan bahasa latin yang cukup sering dipakai. Arti: Sesuatu untuk sesuatu, pertukaran yang adil/seimbang.

[4]: Arti: Aku mencintaimu.


Hulo! So, this is it! My (not so) new MC project di FGSI! Yeaaaayyy.

Saya nulis ini karena terinspirasi dari karya-karyanya Oom Rick Riordan, tapi tenang, ini bukan cerita tentang dewa-dewa. Jadi mungkin kalau gaya penceritaan dan setting-nya mirip-mirip dengan serial Oom Rick you know why. Hehehe.

Untuk readers yang pernah baca fic saya yang I Found You mungkin ngerasa gak asing dengan salah satu adegan di atas tadi. Yup. Itu bisa dianggap teaser untuk cerita ini—well, just saying. Hohoho. Waktu itu saya lagi keranjingan banget nulis cerita ini dan pengen buru-buru nge-post. Cuma karena belum selese dan mengingat kebiasaan saya kalo nulis multichapter gimana dan ngerasa sayang banget kalo fic ini nantinya bakal discontinue, jadi saya tahan diri untuk nyelesein ini dulu dan buat one shot di universe yang sama sambil nahan diri untuk gak nyelipin spoiler di situ. Yup. Jadi sebenernya cerita ini yang si kakak. Ahahaha.

Oh, dan readers dear sekalian gak harus baca "I Found You" dulu kok untuk baca ini. Like I said before, IFY bisa dianggap sebagai prolog atau teaser saja.

Maaf karena beda dengan rencana saya sebelumnya yang mau selesain sampe chapter terakhir baru di-publish. Ternyata masih belum sempet selesai juga dan saya agak greget pengen publish karena targetnya bulan Juni ini udah selesai. But, rest assure, I've finished a couple of chapters so I think I'll try to update once a week, Insya Allah. So, how about next Friday night on 24th June? We'll meet again? #excited#

Makasih banyak udah mampir dan nyempetin baca sampai habis! Ditunggu kritik dan sarannyaa~

Have a nice day, minna!