Aku bukanlah seseorang yang mudah menyerah disaat aku mengalami keterpurukan.
Aku bukanlah seseorang yag mudah diajak bicara dengan intonasi yang menyenangkan jika ada orang lain yang ada di dekatku.
Aku biasa dengan keadaan dimana banyak orang yang datang dan pergi di dalam hidupku.
Aku sudah terbiasa.
Aku bukan orang yang lemah dan biasa menangis di depan siapapun atau dimanapun.
Aku bukanlah sosok seperti orang-orang seumuranku yang mudah berbaur dengan siapa saja dan mengikuti arus jaman mereka.
Karena aku memiliki cara hidupku sendiri.
Aku, Park Jimin yang biasa hidup dalam kesesakkan dan masalah yang kupendam seorang diri.
Aku, Park Jimin yang selalu ingin berjalan di jalan sesuai keinginanku sendiri tanpa ada orang lain yang menghalanginya.
Aku, Park Jimin yang ingin membuktikan kepada mereka yang telah meremehkanku dan membuat mereka mendongak ke atas menatapku dengan penuh kehormatan bukan kerendahan.
—SIMPLE—
Park Jimin, adalah seorang pemuda yang hidup di dalam lingkup kesederhanaan. Tidak dalam keadaan kekurangan pun juga tidak dalam kelebihan materi. Ia sudah merasa cukup dan bersyukur dengan hidup yang selalu ia lalui dengan senyum manisnya. Park Jimin adalah Putra bungsu keluarga Park yang memiliki 2 seorang kakak, kakak laki-laki dan kakak perempuan serta ayah dan ibu-nya masih sama-sama sehat dan hidup bahagia bersama di dalam rumah yanh tidak begitu besar. Tautan umur Jimin dengan kedua kakaknya yang bisa di bilang tidak begitu jauh. Dua tahun selang Jimin dengan kakak perempuannya, Park Yunjin dan lima tahun dengan kakak laki-lakinya, Park Tae Il. Ketiga saudara ini menjalin hubungan yang sangat dekat dan erat satu sama lain. Saling membantu jika salah satu dari mereka mengalami masalah dan menghadapinya bersama-sama. Iku serta juga dengan kedua orang tua mereka yang mana sang ayah selalu membuat acara liburan bersama keluar kota di setiap akhir Bulan. Sang ibu yanh selalu menyiapkan segala sesuatu keperluan anak-anaknya jika mereka sedang berlibur. Tertawa bersama di kota orang, bersuka cita menikmati berbagai hidangan bahkan menikmati cuaca yang meskipun musin dingin telah tiba. Tak urung pula di saat Natal mereka juga menghias pohon bersama bernyanyi lagu Natal serta tahun baru tak lupa juga untuk menyalakan kembang api. Bahkan, disaat Jimin ataupun kedua kakaknya ulang tahun mereka selalu merayakannya bersama-sama meskipun dengan perayaan kecil-kecilan. Tersenyum dan tertawa bersama, merasa bangga di saat bersamaan dimana saat waktunya datang hari kelulusan Jimin menduduki bangku SMA. Seluruh keluarganya datang, kakak laki-lakinya dan ayahnya yang mangacungkan jempol kebahagiaan serta ibunya yang tanpa henti mengangis di pelukan sang kakak perempuan, kala Jimin menjunjung tingga diploma yang ia terima.
Tunggu,
Ini bayangan yang terlalu berlebihan bagi Jimin. Sangat berlebihan dan sangat memuakkan. Jimin tersenyum miring membayangkan hal konyol yang tidak mungkin terjadi. Oh, ayolah fakta mengenai anggota keluarganya ini memang benar. Akan tetapi, cerita liburan, Natal, hari kelulusan, dan apalah itu—itulah hanyalah omong kosong belaka. Tidak benar-benar nyata. Tapi, siapa yang tidak ingin memiliki keluarga seperti itu? Keluarga seperti di drama biasa yang biasa kakak perempuannya itu tonton di televisi. Bukankah itu semua hanyalah fiksi? Wake up dude, semua hidup manusia itu cacat, not perfect. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi karena kau tidak akan tahu bagaimana sakitnya saat jatuh dari ketinggian itu. Karena, bagaimanapun juga kau akan tetap kembali ke kehidupannya yang semula. So, stop dreaming for your life!
Mungkin, hanya kata itulah yang Jimin yakini. Ia bukan lagi anak laki-laki berumur enam tahun yang mudah dibohongi. Catat, dia sudah dua puluh tiga tahun. Dia sudah cukup dewasa bung! Apalagi untuk mengetahui bagaimana keadaan keluarganya yang sebenarnya.
"Oi!" panggil Taehyung, sahabat Jimin seraya melambaikan kedua tanganya di hadapan wajah sahabatnya itu. "Kau melamun lagi? Ada apa? Apa kau mendapat pukulan dari ayahmu lagi? Berkelahi dengannya? Siapa yang menang? Ayolah, jika kau menang kau harus mentraktirku!" Jimin tersenyum kecut.
"Keparat kecil!" umpatnya yang justru direspon gelegar tawa dari Taehyung.
"Jadi, ada apa?" tanya Taehyung seraya menyeruput coffee late-nya yang sudah ia diamkan hampir lima menit itu. Jimin membalas dengan senyum miring.
"Tae Il menghamili orang!"
BRUUUUSH!!!!
Taehyung menyemburkan kopi yang ia minum tepat di wajah Jimin membuat Jimin menatapnya tajam dan berdecak keras. Tangan Jimin mengambil tisu dan segera membersihkan air kopi yang mengenai wajahnya.
"Kau benar-benar jorok Tae!" sinis Jimin yang hanya dibalas cengiran dari Taehyung.
"Mianhae! Lalu, bagaimana orang tuamu?" tanya Taehyung penasaran.
"Tentu saja appa langsung tidak mengakuinya!" balas Jimin santai.
"Apa ayahmu memukul hyung-mu?"
"Kenapa kau senang sekali jika ada orang yang layang tangan?"
"Mianhae, ayahmu tidak akan seru jika tidak ada aju tonjok!"
"Bodoh! Dia tidak hanya memukul, bahkan melempar TV padanya!"
"WOW! Ayahmu benar-benar mengagumkan! Lalu?"
"Tentu saja, eomma menyelamatkan si brengsek itu!"
"Mwoya? Lalu?"
"Kau tahu, malam itu adalah malam yang tak akan pernah aku lupakan. Dimana baru aku tahu jika anak pertama tetaplah anak pertama!"
"Maksudmu?" Taehyung memincingkan matanya tak mengerti.
"Tae Il sudah dimanja appa sejak kecil. Bukan kemungkinan besar jika karena dimanjakan Tae Il menjadi semakin menjadi dan berbuat seenaknya! Terlebih eomma juga selalu melindunginya!"
"Lalu, bagaimana dengan Yunjin noona?" tanya Jimin.
"Yah, seperti itulah! Dia tidak jarang pulang kerumah sejak ia dipaksa untuk kuliah!"
"Jadi, ia tetap menjadi model?" Jimin mengangguk.
"Bukankah noona-ku itu sangat cantik dan seksi?" Jimin menyeringai.
"Bodoh!" kini giliran Taehyung yang mengumpat.
"Apa kau pernah melihat noona-mu telanjang?" Taehyung tertawa menggoda.
"Yak! Kenapa kau malah membahas noona-ku bodoh?"
"Bolehkah aku mengencaninya?" Taehyung tak hentinya menggoda Jimin yang kini akan memukul kepala sahabat kecilnya itu.
"Yak jika kau berani kupotong kebanggaanmu itu! Kim keparat!!! Mau kemana kau?" seru Jimin seraya mengejar Taehyung yang berlari seraya mengejeknya tanpa henti.
Setidaknya aku tidak perlu menceritakan hidupku yang sesungguhnya. Biarkan, hanya aku dan Tuhan yang mengetahuinya. Dan, biarkan ku simpan rapat-rapat beban yang ada di dalam hatiku.
—SIMPLE—
"Yoongi-ya, dengarkan aku!" seru seorang gadis berparas cantik yang tengah mengejar kekasihnya itu. "Min Yoongi! Aku bisa menjelaskannya!" ujarnya berusaha untuk mengimbangi langkah kekasihnya itu yang membuat seorang pemuda yang bernama lengkap Min Yoongi itu berhenti di tempatnya dan berbalik badan. Menatap malas kekasih cantiknya yang berdiri merengek.
"Pulanglah, Yunjin! Aku lelah!" ucap Yoongi datar.
"Ani! Kau harus mendengar penjelasanku terlebih dahulu~" kekeh gadis cantik yang bernama Yunjin itu tetap menggelayut manja di lengan Yoongi. Perlahan Yoongi menurunkan tangan Yunjin dan menatapnya malas.
"Hentikan sikap kekanakanmu dan cepatlah bicara!" titah Yoongi dingin.
"Apa yang kau lihat itu bukanlah seperti yang kau lihat it—"
"Kau pikir aku buta?" bentak Yoongi.
"Yoongi kau membentakku!" lirih Yunjin. Yoongi tertawa sinis.
"Persetan aku membentakmu atau tidak! Aku lelah, dan kita lebih baik putus! Akhiri hubungan kita sampai disini!" putus Yoongi tanpa mau menatap gadis yang detik ini juga sudah menjadi mantan kekasihnya itu.
"Apa? Putus? Tidak-tidak! Kau tidak bisa memutuskanku begitu saja Yoongi-ya! Kau salah paham!" seru Yunjin yang mencoba untuk meminta Yoongi untuk memahaminya.
"Bukankah seharusnya kau senang? Kau bisa berkencan, berciuman atau bahkan tidur dengan siapapun. Tanpa ada aku yang menghalangimu! Jadi, untuk apa kau mempertahankan hubungan ini Park Yunjin?"
"Sungguh, aku tidak pernah tidur dengan siapapun Yoongi-ya! Kau salah paham!" Yunjin masih mencoba untuk menjelaskan.
"Sudahlah Yunjin aku lelah!" Yoongi hendak membuka pintu mobilnya namun kembali ia urungkan saat Yunjin dengan keras menarik tangannya dan membuatnya kembali berhadapan dengan sang mantan kekasih.
"Jika kau ingin tidur denganku katakan saja! Bahkan, aku siap jika kau mau melakukannya disini!"
"Yunjin-ah! Apa yang kau lakukan?" tanya Yoongi membulatkan kedua matanya saat tangan Yunjin hendak membuka dress minim yang ia kenakan. "Yunjin-ah! Hentikan! Ini tempat umum!"
"Aku tidak peduli Yoongi-ya! Aku tidak pernah mencampakkanmu! Kenapa kau tidak mempercayaiku?" isak Yunjin pecah bahkan dress yang ia kenakan sudah robek dibagian lengan pendeknya.
"Yunjin hent—"
"NOONA!!!" Keduanya menoleh saat tiba-tiba saja ada dua orang pemuda yang berlari kearah Yoongi dan Yunjin berdiri.
"Ji-Jimin-ah~apa yang kau lakukan disini?" tanya Yunjin terkejut.
"Apa yang kau lakukan? Kau gila akan membuka bajumu disini? Dihadapannya?" tanya Jimin tak habis pikir.
"Ini bukan urusanmu, Jimin-ah! Lebih baik kau pulang dan urusi urusanmu sendiri!" bentak Yunjin.
"Noona, jangan bertingkah konyol!" Jimin masih berusaha untuk berbicara baik-baik dengan kakak perempuannya itu.
"Aku bilang ini bukan urusanmu Jimin! Lebih baik—"
"Lebih baik kau pulang sekarang!" potong Jimin menarik tangan Yunjin. "Tae, maaf sepertinya kita mencari bukunya lain kali saja! Aku pulang dulu-nde?" pamit Jimin yang hanya diangguki oleh Taehyung seraya menatap bagaimana sahabatnya itu memberikan jaketnya untuk dikenakan Yunjin.
Taehyung beralih menatap Yoongi yang agensinya juga menatap kakak-beradik itu. Tapi, siapa yang menyangka jika Netra Yoongi justru mental punggung adik dari mantan kekasihnya itu?
.
.
.
"Kau mau menemaniku membeli buku?" pinta Taehyung saat setelah ia dan Jimin berhenti berkenjaran beberapa saat yang lalu.
"Untuk apa? Aku kira kau tidak bisa membaca!" ejek Jimin yang membuat Taehyung seketika memukul kepalanya.
"Jangan mengejekku pendek!"
"Yak! Kau memanggilku apa?" sungut Jimin tajam.
"Pendek, wae? Aku kan hanya bicara fakta!" Jimin terkekeh.
"Aish, akan lebih baik kau bicara opini dibandingkan fakta. Karena, fakta itu lebih menyakitkan!" Taehyung yang merasa tahu arah bicara Jimin ini kemudian mencoba untuk mencari topik pembicaraan yang lain.
"Kau tidak berniat untuk kuliah?" Jimin terdiam tapi tetap mendengarkan apa kata Taehyung seraya mengikuti arah kaki sahabatnya berjalan menuju toko buku. "Dulu saat SMA, kau semangatnya bukan main,"
"Kau sendiri?" Jimin justru balik bertanya.
"Aku diterima di Sekolah Kepolisian Gangnam!" lirih Taehyung.
"Benarkah? Berita yang sangat bagus! Aku turut senang mendengarnya!" Jimin tersenyum singkat. "Eomma-ku menyuruhku kuliah, begitupun juga dengan appa. Tapi, bukan ini yang aku inginkan,"
"Eoh? Lalu? Bagaimana keputusanmu?"
"Aku sudah cukup selama ini menuruti apa mau mereka. Tapi, aku tidak yakin kali ini aku akan menuruti keinginan mereka dengan mudah! Cha, bukankah seharusnya kita membeli buku untukmu? Kajja, setelah itu bagaimana jika kita makan siang? Aku sangat lapar Tae!" Taehyung tersenyum ringan.
"Hm, arra! Apapun untuk sahabatku tercinta!"
Dan, apakah saat kau pergi kau akan tetap menganggapku sebagai sahabatmu? Aku tidak yakin, karena tidak ada orang yang bisa kupercaya saat ini. Maafkan aku Tae, jika aku selama ini hanya memasang topeng dihadapanmu! Mianhae...
"Eoh, Jimin!" pekik Taehyung tiba-tiba saat keduanya terlibat keheningan selama beberapa menit sebelumnya.
"Wae?" tanya Jimin heran.
"Lihatlah itu, bukankah itu Yunjin noona? Apa yang sedang dia lakukan? Omo! Kenapa ia hendak—" Taehyung menghentikan ucapannya saat Jimin yang tiba-tiba berlari menuju ke arah dimana noona-nya berdiri bersama dengan seorang pemuda.
NOONA!!!" dapat Jimin lihat keduanya menoleh saat tiba-tiba ia berseru dan berlari kearah mereka.
"Ji-Jimin-ah~apa yang kau lakukan disini?" tanya Yunjin terkejut.
"Apa yang kau lakukan? Kau gila akan membuka bajumu disini? Dihadapannya?" tanya Jimin tak habis pikir.
"Ini bukan urusanmu, Jimin-ah! Lebih baik kau pulang dan urusi urusanmu sendiri!" bentak Yunjin.
"Noona, jangan bertingkah konyol!" Jimin masih berusaha untuk berbicara baik-baik dengan kakak perempuannya itu.
"Aku bilang ini bukan urusanmu Jimin! Lebih baik—"
"Lebih baik kau pulang sekarang!" potong Jimin menarik tangan Yunjin. "Tae, maaf sepertinya kita mencari bukunya lain kali saja! Aku pulang dulu-nde?" pamit Jimin yang hanya diangguki oleh Taehyung seraya menatap bagaimana sahabatnya itu memberikan jaketnya untuk dikenakan Yunjin.
Yunjin hanya diam saja menerima perlakuan dari adiknya dan menurut saat jimin berteriak menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan menyuruh Yunjin untuk masuk bersamanya. Yunjin terisak, tentu saja itu membuat telinga Jimin berdengung. Ayolah, dia benci dengan orang yang cengeng.
"Noona, bisakah kau diam?" pinta Jimin dingin. Yunjin menurut meskipun masih sesenggukan.
"Kenapa kau melakukan ini Jimin-ie?" tanya Yunjin.
"Kenapa? Tentu saja karena aku adalah adikmu!"jawab Jimin dingin.
"Jimin-ah~"
"Sudahlah noona aku sedang tidak ingin bicara!" potong Jimin mengalihkan pandangannya keluar jendela dan membiarkan noona-nya yang masih menatapnya dengan tatapan terluka sekaligus menahan tangisnya.
Jimin memberikan uang sesuai dengan kalkulasi yang tertera di bawa kaca spion tengah mobil kepada sang supir. Tanpa berbasa-basi lagi ia segera turun dari taksi itu diikui sang noona.
"Jimin-ah!" panggil Yunjin menghentikan langkah Jimin yang memang berjalan mendahuluinya. "Apa kau akan mengatakan semua pada eomma dan appa?" tanya Yunjin ragu.
"Akan lebih baik jika kau mengatakannya sendiri karena aku tidak ingin ikut campur dalan urusanmu!" ujar Jimin dingin.
"Benarkah, kau tidak akan mengadukanku?" Yunjin kembali memastikan. Jimin berbalik badan dan menatap noona-nya dengan malas. "Lalu, apa yang harus aku katakan soal jaketmu?" Jimin mendengus.
"Katakan sesukamu! Aku tidak peduli! Apa justru kau ingin jika aku meminta jaketku sekrang juga? Kau hanya bisa berdoa semoga saja eomma dan appa sedang tidak ada dirumah!" setelah itu Jimin benar-benar meninggalkan Yunjin yang kini juga menyusulnya melangkah di belakang adiknya itu.
"Jimin-ie, kau sudah pulang?" sapa ibunya tepat saat Jimin membuka pintu rumah diikuti Yunjin yang berada di belakang, menunduk menyembunyikan wajahnya. "Ah, kau pulang bersama Yunjin? Bagaimana bisa?" tanya sang ibu menatap anak perempuan semata wayangnya yang menunduk bersembunyi di belakang punggung Jimin. "Kebetulan, ibu sudah menyiapkan makan siang dan appa kalian juga sudah pulang!"
DEG!
Seketika Yunjin mendongak.
"Jimin-ie..." lirihnya yang pasti mendengar apa yang diucapkan kakaknya padanya. Jimin melengos pergi begitu saja tanpa memperdulikan tatapan melas dari kakaknya.
"Hey, Jinie-ya kenapa kau mengenakan jaket Jimin-ie?" dan saat itulah Jimin menghentikan langkahnya tepat saat di depannya berdiri sosok angkuh dan tegas yang paling di segani di seluruh keluarganya sekaligus sosok yang paling Jimin benci dan selalu umpati dalam hatinya.
"Itu Jimin-ie anu—" Yunjin tergagap dan lebih gugup lagi saat sang ayah ikut menghampirinya dan berdiri di sisi ibunya.
"Ada apa?" tanyanya keras. "Kenapa kau menggunakan jaket Jimin?" tanya penuh selidiki saat melihat Yunjin memilin ujung jaket Jimin serta menunduk memikirkan apa kiranya yang harus ia jawab. "Kenapa kau diam saja Park Yunjin?" geram sang ayah yang sementara Jimin masih setia berdiri memunggungi kedua orang tuanya dan mendengar apa yang akan Yunjin utarakan sekarang.
GREP!
"Eomma!!!! Hiks!" Yunjin berhambur memeluk sang ibunya dan menangis sekeras-kerasnya.
Cih, drama!
"Ada apa sayang?" tanya sang ibu seraya mengelus surai panjang Yunjin.
"Hiks! Eo-eomma... A-aku—Jimin hampir melecehkanku~"
DEG
BRENGSEK!
Jimin tersenyum miring meskipun tetap berada di posisinya.
"Apa?" sang ayah meminta penjelasan lebih lanjut.
"Ia datang—hiks! Di pemotretanku bersama teman-temannya dan menyuruhku untuk—hiks! Membuka bajuku! Dia diam saja melihatku diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya dan tiba-tiba ia memberikan jaket ini padaku! Hiks! Eomma~"
BAJINGAN!
Jimin mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
SHIT!
Dia yang berulah kenapa aku yang disalahkan?
"JIMIN!" panggil sang ayah keras yang tidak kunjung diindahkan oleh Jimin. Membuat sang ayah terpaksa menghampirinya dan tanpa ba bi bu lagi ia melayangkan bogemnya tepat pada wajah Jimin.
Jimin tersungkur dan menyeka darah segar yang mengalir melalui sudut bibirnya.
"Apa yang kau lakukan pada kakakmu!?" bentak sang ayah. Jimin diam. "Park Jimin!" masih diam. "Apa yang kau lakukan pada kakakmu? Kau membiarkannya dilecehkan oleh temanmu dan memberikan jaketmu seolah kau adalah penolongnya begitu?" tepat sasaran seperti apa yang Yunjin rencanakan. Tapi, Jimin tetap diam. "Kenapa kau diam saja?" geram sang ayah mencekeram kerah kemeja Jimin dan menatapnya garang dengan kedua mats tajamnya. "Bahkan, kau lebih menjijikkan dari Tae Il!" lirih sang ayah yang justru mendapat respon yang tidak mereka bertiga duga. Jimin tertawa dengan keras seolah mengejek sang ayah dan menantangnya tanpa rasa takut sedikitpun.
BUAGH!
"Anak tidak tahu diuntung!" umpat sang ayah kembali memukul Jimin dan membuat pemuda itu kembali tersungkur ke lantai ruang tamu di rumahnya.
"Appa sudahlah!" Yunjin meraih lengan ayahnya mencoba untuk menenangkan.
"Kau lihat! Kakakmu yang tidak kau lindungi, kini justru membelamu?" seru ayah Jimin masih geram. Dan Jimin kembali merespon dengan tawa ejeknya.
"Anak kurang ajar!" kembali ayah Jimin hendak melayangkan bogemnya sebelum tiba-tiba saja Jimin bangkit dan menahan tangan sang ayah.
"Aku diam saat kau menghinaku, aku diam saat kau menuduhku, bahkan aku diam saat kau memfitnah apa yang tidak aku lakukan! Aku menerima semua perlakuan dirumah ini. Bahkan, aku ragu jika aku adalah anak kandung di kelurga ini!" ujar Jimin tenang.
"Park Jimin!" seru sang ibu yang merasa tersayat dengan ucapan Jimin itu.
"Aku diam saat kalian hanya mementingkan Tae Il hyung dan Yunjin noona. Aku diam saat kalian menyuruhku ini dan itu. Bahkan, aku juga tetap menurut tentang keputusan kalian. Dan, sekarang? Aku akan tetap sama—aku akan diam tapi bukan berarti aku pengecut. Aku diam, melainkan aku memang harus diam!" Jimin melepaskan tangan kekar ayahnya dan segera melangkah menuju kamarnya, membanting pintu dan menguncinya.
Jimin melangkah gontai seraya memegang pelipisnya, sedikit merintih dan berjalan tertatih menuju nakas di dekat ranjangnya. Membuka laci dan mengobrak-abrik isinya guna mencari tabung kecil yang berisi kapsul. Ia membuka penutupnya dan mengambil dua butir kapsul guna untuk meringankan rasa sakit kepala yang terus menderanya.
"Bertahanlah, Park Jimin~" erang Jimin tanpa ada orang yang mengetahui keadaannya.
Jimin menarik nafas mencoba untuk tetap tenang dan mengatur rasa sakit yang mendera kepalanya.
"Darahmu semakin rendah, jauh di batas normal. Kau harus bisa makan teratur jangan terlalu banyak pikiran jika tidak akibatnya akan fatal!"Pandangan Jimin tiba-tiba saja mengabur. Dia benci situasi ini. Dia benci harus mengonsumsi obat-obatan sialan itu. Dengan mata terpejam, tangannya menuju ke sakunya guna untuk meraih ponselnya dan mendial nomor seseorang.
"Hyung~" lirihnya setelah mendengar nada jawab dari seberang.
"Jimin-ie? Ada apa? Apa kau sakit lagi?""Hyung, kau dimana sekarang?" Jimin menahan rasa sakitnya agar tetap berbicara dengan normal.
"Aku ada dirumah sekarang! Apa perlu aku jemput?"
"Tidak-tidak hyung! Aku akan kesana sekarang!" Jimin memutuskan sambungannya secara sepihak. Dengan cepat ia meraih jaketnya yang lain dan segera berlari keluar rumahnya mengabaikan tatapan dari kedua orang taunya dan juga Yunjin. Yunjin menunduk tanpa sadar ia meneteskan air matanya.
Maafkan aku, Jimin-ie~
—SIMPLE—
Jimin mencoba untuk berlari lebih cepat saat langkahnya hampir sampai di pagar sebuah rumah bercat biru. Dapat ia lihat ada seorang pemuda yang lebih tua darinya tengah berdiri di depan teras yang Jimin ketahui adalah rumah sekaligus kliniknya.
"Jimin-ie..." panggilnya bergegas membukakan pagar saat melihat pemuda bersurai hitam legam mana orang yang memang sudah ia tunggu-tunggu kedatangannya. "Ada apa? Omo!"pemuda itu mengatupkan bibirnya saat melihat luka lebam di area wajahnya. "Apa yang terjadi? Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya panik.
"Aku tidak apa-apa hyung!" jawab Jimin datar.
"Masuklah-masuklah biar hyung obati!" dengan penuh Kasih sayang ia menuntun Jimin masuk kedalam rumahnya. Jimin menurut dan mengikutinya untuk masuk kedalam.
"Apa yang terjadi?" tanyanya cemas seraya mengobati luka lebam di wajah Jimin.
"Hyung sudah berapa kali kau menanyakan hal yang serupa? Aku lelah!" jawab Jimin.
"Mianhae, Jimin. Tapi, kenapa kau menghubungiku?"
"Ah, obatku habis hyung!" jawab Jimin langsung membuatnya seketika menghentikan aktivitasnya mengobati lebam Jimin.
"Setelah ini selesai aku akan mengukur tekanan darahmu! Arra?" Jimin mengangguk nurut. Tak membutuhkan waktu lama untuk seorang dokter muda bernama lengkap Kim Seokjin yang tengah meniti karirnya di Rumah Sakit ternama 'Severance Hospital' serta membuka klinik kecil di rumahnya selama ia tidak berada di rumah sakit. Ia menatap Jimin lembut. "Kau ingin minum sesuatu?" tawarnya dan hanya ditanggapi Jimin dengan gelengan. "Baiklah, aku akan mengambil tensinya terlebih dahulu!" Seokjin beranjak dari ranjang pasien untuk mengambil alat tensi untuk mengukur tekanan darah Jimin.
Seokjin kembali dan dengan telaten ia melilitkan kain tensi ke lengan Jimin semetara Jimin hanya diam tanpa membantah.
"Omo! Kenapa tekanan darahmu bisa turun? Terakhir sudah 90/80 kenapa sekarang 90/60? Kau tidak makan secara teratur ya? Jaga kesehatanmu, Jimin~"
"Hyung—aku tidak apa-apa!" lirih Jimin.
"Tidak apa-apa apanya? Darahmu rendah. Kau memiliki banyak gangguan di dalam tubuhmu. kau juga banyak pikiran bukan?"
"Hyung—kenapa kau tidak mempercayaiku?"
"Kau memang tidak bisa dipercaya Park Jimin! Aku akan mengurus surat kontrol rutin untuk dan kau harus datang. Jika tidak, aku akan mengubahnya menjadi rawat inap. Bukan lagi rawat jalan! Mengerti?" tegas Seokjin
"Nde!" jawab Jimin yang membuat Seokjin menatapnya tak mengerti.
"Ada apa? Apa kau ada masalah? Tidak biasanya kau pendiam seperti ini, biasanya kau akan menolaknya," Jimin tersenyum tenang.
"Aku tidak apa-apa hyung. Sungguh!"
"Aish, anak ini keras kepala sekali! Baiklah, hyung akan meresepkan obatnya untukmu. Kau tunggu disini, arra?" dan Jimin hanya membalas dengan anggukan.
Jimin menatap layar ponselnya, ia tersenyum kecil saat mana wallpapernya menampakkan seluruh keluarga bahagianya, mungkin harus digaris bawahi jika foto itu dulu. Kehidupan Jimin yang dulu. Bukan kehidupannya yang sekarang. Jimin menarik nafasnya mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Jimin-ie... Ini obatmu!" Seokjin kembali dan menyerahkan obat itu pada Jimin. Jimin menerimanya.
"Terima kasih hyung, aku berhutang padamu!"
"Aigoo, aku ini sepupumu kau tak perlu sungkan begitu! Tapi, kenapa kau melarangku untuk mengatakan semua ini pada Park ahjumma dan juga Park ahjussi?" tanya Seokjin, Jimin hanya mengulum senyum.
"Aku tidak ingin membuat mereka khawatir toh penyakit ini juga tidak parah! Kau berjanji tidak akan memberitahu mereka kan hyung?" pinta Jimin dan Seokjin mengangguk nurut.
"Tentu saja, asalkan kau mau rawat jalan aku tidak akan memberitahu siapa-siapa!"
"Arraseo, aku mengerti hyung! Kalau begitu aku akan pulang sekarang!"
"Apa perlu hyung antar?" Jimin menggeleng.
"Tidak perlu hyung! Aku bisa pulang sendiri!"
"Benar tidak apa-apa?" Jimin mengangguk.
"Sampai jumpa hyung! Terima Kasih untuk semuanya!"
.
.
.
Jimin berjalan menelusuri trotoar jalan, menelisik kesana kemari entah apa yang ia lihat. Jimin menghentikan langkahnya tepat di sebuah taman yang bersebelahan dengan panti asuhan. Kedua matanya mengarah pada sekerumunan anak kecil dan seorang gadis remaja yang tengah berdiri dibawah pohon apel yang berada di pusat taman. Entah inisiatif darimana Jimin berjalan mendekati pusat taman itu.
"Yoonsa! Kau tidak apa-apa?" seru seorang gadis kepada anak laki-laki yang Jimin ketahui berada dibatas pohon.
"Noona aku takut~" rengek bocah yang bernama Yoonsa itu.
"Bertahanlah, noona akan segera menolongmu okey?" gadis itu mencoba untuk menenangkan Yoonsa.
"Noona~"
"Turunlah, aku akan menangkapmu!" ujar Jimin yang tiba-tiba bergabung dengan kerumunan itu dan berada di antara mereka membuat semua atensi tertuju padanya.
"Noona, Yoonsa tidak berani—"
"Hey, kau tidak perlu takut! Aku berjanji aku akan menangkapmu! Kau bisa lompat dalam hitungan ketiga okey?" titah Jimin yang mendapati ekspresi keraguan dari bocah itu, namun bocah itu mengangguk perlahan. "Satu... Dua... Ti—"
BRUK!
"ga!"
"Yoonsa, gwenchana?" tanya gadis itu langsung menghampiri Yoonsa dan Jimin yang terjatuh di atas tanah. Yoonsa mengangguk dan bangkit dari perut Jimin seraya berhambur memeluk gadis di hadapannya.
"Kamsahamnida!" gadis itu membungkukkan badannya 90 pada Jimin. Jimin tersenyum sekilas kemudian berlalu begitu saja. Namun, tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya saat dirasa seseorang menahan tangannya tiba-tiba. Jimin menoleh dan mencoba untuk menunduk guna mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang menahan pergelangannya.
CUP!
"Kamsahamnida Oppa! Oppa sangat baik!" pujinya yang lagi-lagi hanya Jimin tanggapi dengan senyum simpulnya. Jimin melambaikan tangannya berniat untuk pergi berpamitan kepada mereka semua hingga tanpa ia sadari ada sebuah mobil yang tengah mengintai gerak gerik Jimin sedari Jimin keluar dari rumah Seokjin tadi.
—SIMPLE—
"MWOYA? Kau putus dengan Yunjin?" seru Namjoon terlihat girang sementara Yoongi si pelaku pemutusan mengulas senyum bangga.
"O! Itu benar! Bahkan kau tidak tahu bagaimana dia saat hendak membuka bajunya di tempat parkir, dia benar-benar tidak punya harga diri!"
"Yak! Kau itu keterlaluan hyung!" Kali ini, bukan Namjoon yang menimpali tapi Taehyung. Ya, benar itu Kim Taehyung. Kim Taehyung sahabat kecil Jimin dan sekaligus adik kandung Namjoon. Lalu, apa hubungannya dengan Yoongi?
Min Yoongi adalah senior di SMA Namjoon, teman kuliah Namjoon, dan sekarang ia tinggal di apartement yang sama. Apartement yang besar dan mewah yang begitu luas dan terkesan sepi karena hanya dihuni oleh tiga orang saja. Min Yoongi yang tak lain adalah seorang polisi detektif bersama rekannya Kim Namjoon. Polisi detektif di distrik Gangnam. Sementara Taehyung? Ia baru lulus SMA dan sebentar lagi akan masuk di Sekolah Kepolisian Gangnam.
"Nde, itu benar! Bagaimana bisa kau membodohinya dengan menyewa seseorang agar bersedia bermesraan dengannya di depan matamu?" tanya Namjoon tak habis pikir.
"Yak, seharusnya kau tahu betapa sulitnya mengakhiri hubungan dengannya. Tapi, Taehyung-ah—siapa tadi lelaki yang bersamamu?" tanya Yoongi.
"Park Jimin! Dia sahabat semasa aku kecil hyung! Wae?" Taehyung balik bertanya.
"Apa hubungannya dengan Yunjin?" Yoongi kembali bertanya.
"Dia kakaknya. Kakak keduanya!" jawab Taehyung.
"Oh-ya, berbicara mengenai keluarga Park. Bagaimana keadaan Tae Il? Aku sudah lama tidak berjumpa dengannya?" tanya Namjoon.
"Kata Jimin, ia sudah tidak diakui oleh ayahnya karena dia menghamili seorang wanita!" jelas Taehyung.
"Wow! Mengesankan, keluarga angkuh itu benar-benar hancur, aku penasaran bagaimana nasib Yunjin sekarang!" gumam Namjoon. "Taehyung-ah bukankah kita sudah terlanjur masuk ke dalam lingkaran hitam mereka?"
"Maksud hyung?" tanya Taehyung tak mengerti.
"Aku tak akan pernah melupakan bagaimana ayahnya dengan angkuhnya memecat aboji sepuluh tahun yang lalu, disaat kita baru saja berdukaberduka atas kehilangan eomma!" Namjoon menyeringai. "Hyung, bukankah menurutmu kita bisa kembali bermain-main?"
"Eoh?" Yoongi menatap Namjoon penuh arti, kemudian ia ikut menampilkan smirk-nya. "Keluarga Park? Keluarga yang sangat menyenangkan, bukankah begitu Taehyung-ie?" Taehyung mengulum senyum kemudian ia ikut serta memamerkan senyum dinginnya yang tidak pernah ia tunjukan kepada siapapun.
Bersiaplah hancur, Park Jimin!
TBC
