"Lucy Heartfilia, aku menantangmu!"

Seorang gadis cantik berambut gelap panjang berteriak dengan menggenggam kartu di tangannya. Wajahnya yang percaya diri itu sedikit memerah akibat alkohol yang di minumnya. "Aku menantangmu! Bermain kartu," ia kembali berteriak.

Heartfilia Lucy, gadis pirang yang berada di meja seberang itu hanya menyunggingkan senyum meremehkan. Ia mengabaikan sosok yang tadi meneriakinya dan kembali menekuni ponselnya.

"Oh kau mengabaikanku? Sialan. Bilang saja kau takut!" gadis itu masih mengganggu Lucy, berusaha memancingnya. "Aku tahu si pirang Heartfilia hanya anak ayam," ejeknya kekanakan.

"Pergilah Kana, aku sedang tidak ingin meladenimu," jawab Lucy tenang.

"Anak ayam, kau sendiri tahu bahwa aku tidak akan berhenti. Sekarang kemarilah, aku akan mengalahkanmu kali ini," ujar gadis berambut gelap itu—Kana Alberona.

Lucy mendengus. Ia sendiri tahu bahwa Kana tidak akan berhenti sebelum Lucy menuruti keinginannya. Ia menghampiri sahabat kecilnya tersebut.

"Apa? Kau menantangku?" ledek Lucy, "padahal kau belum pernah sekalipun mengalahkanku," ujarnya sombong.

Kana mendecih, ia menghabiskan segelas birnya dalam sekali teguk. "Kali ini aku tidak akan kalah darimu. Aku juga sudah menyiapkan hadiah kalau kau menang," ia mengeluarkan tiket liburan ke pulau Caracall.

"Aku tidak tertarik," Lucy menatapnya sinis.

"Huh, lalu kau ingin apa?"

"Entahlah, ingin agar kau tidak menantangku lagi? Kita sudah dewasa, Kana. Permainan ini sudah kita mulai dari kita berumur 10 tahun. Aku. Sudah. Bosan." Lucy menekan pada akhir kalimatnya. "Kau bahkan selalu kalah," ujarnya sinis.

"Diamlah anak ayam. Baiklah, kalau kau menang, aku akan memberikan anggur favoritku padamu dan tiket ini," Kana menatap Lucy.

"Tidak."

"Novel incaranmu keluaran terbaru?"

"Tidak."

"Lukisan Mavis?

"Tidak."

"Anak kucing?"

"Tidak."

Perdebatan itu berlangsung panjang hingga, "aku akan berfoto telanjang di pemotretanku berikutnya?!" teriak Kana frustasi.

"…"

"…"

Lucy terdiam. 'Kalau dia berfoto telanjang dan malu, mungkin dia akan menyerah selamanya dari permainan konyol ini,' pikirnya licik. "Deal," putus Lucy dengan seringai di wajahnya.

Kana membelalakkan kedua mata gelapnya. "Hah? Sialan kau Lucy Heartfilia! Aku memang model, tapi berfoto telanjang adalah hal yang memalukan! Aku tidak mau!"

Lucy terkekeh. Ia tahu, di balik sikap onarnya, sebenarnya Kana adalah pemalu. "Terima itu atau tidak sama sekali?" ia mengangkat bahu acuh, "Ah, kau juga bisa menyimpan tiket itu," tambah gadis pirang itu.

Kana menggigit bibirnya, menimbang-nimbang keputusannya. "Huh, baiklah."

Lucy tersenyum penuh kemenangan. Ia mengambil tumpukan kartu dan menyiapkan permainan mereka.

"Kau akan membayar mahal untuk ini, Lucy," cibir Kana.

"Kita lihat saja nanti," jawab Lucy santai.

.

.

.

.

.

Unlucky?

.

.

.

.

.

Fairy tail (c) Hiro Mashima

Warning: AU, OOC, Typo(s), Bad Diction, Mature Content, dan segala keanehan lainnya yang menyertai

.

.

.

.

.

^DLDR^

.

.

.

Aquaflew

present

.

.

oOo

.

.

Dentuman musik tidak jelas dan memekakkan telinga bergema di ruangan yang penuh lautan manusia ini. Sorotan lampu-lampu aneka warna bergerak menyapu ruangan yang remang-remang—cenderung gelap, tidak membuat penghuninya menyerah bergerak. Tubuh mereka melikuk-likuk menari eksotis mengikuti alunan musik dari DJ. Bau alkohol dan asap rokok mengudara. Bahkan apabila di perhatikan dengan cermat, di pojok ruangan terdapat serangkaian kegiatan tidak senonoh dan tercium bau percintaan manusia.

Lucy terduduk kaku di kursi tinggi di depan bar. Di tangannya terdapat segelas minuman alkohol berkadar rendah. Iris caramel indahnya menatap lurus dengan tajam. Bibirnya yang ranum tampak berkomat-kamit merapal mantra umpatan 'Kana sialan, ku bunuh kau nanti' terus-menerus.

Kembali ingatannya memutar permainan duel kartu tempo hari. Lucy terlalu meremehkan Kana—karena Lucy selalu memenangkan duel diantara mereka berdua—hingga ia tidak menyangka Kana akan mengalahkannya. Mengalahkannya! Mengalahkannya untuk pertama kalinya.

"Kau harus ke Fairy Tail's Club pekan ini, dan buatlah laki-laki asing disana menciummu, umm… lalu bercinta denganmu!" titah Kana dengan ceria.

Dan disinilah Lucy berada sekarang, memenuhi hukuman atas kekalahannya. Lucy ingin membunuhnya. Jemarinya ingin mencekik Kana Alberona yang sedang cekikikan di sofa pojok ruangan itu—mengawasi sekaligus menertawainya.

Kana mengetahui dengan benar kelemahan Lucy. Bagi orang awam modern seperti Kana, clubbing dan sex bebas adalah perkara mudah. Tapi tidak untuk Lucy. Ia adalah gadis kolot yang memegang teguh nilai etika, moral, dan sopan santun. Dia mengatakan bercinta hanya dengan orang yang dia cintai. Ayahnya mendidiknya dengan keras.

Kana tahu, Lucy bukan perawan lagi—gadis itu memberikannya pada kekasihnya saat sekolah Menengah—namun Lucy tidak menginginkan sembarang orang menyentuhnya. Lucy sangat pemilih. Dia mempercayai ikatan suci komitmen. Meskipun pada akhirnya mantan kekasihnya mencampakkannya, gadis Heartfilia itu tetap keras kepala dengan prinsipnya.

Kana menduga bahwa Lucy sedang mengutuknya sekarang. Ia hanya terkekeh. Kana mengingat kembali ketika Lucy di campakkan kekasih pertamanya, tidak ada air mata. Namun senyuman pilu yang di berikannya menggores hati Kana. Keesokan harinya Kana memberi pelajaran pada pria brengsek itu.

Sudah hampir empat tahun, dan Kana merasa Lucy terlalu larut dari patah hatinya. Maka hari ini, Kana ingin Lucy sedikit bersenang-senang. Meskipun awalnya Kana sedikit memaksa, ternyata Tuhan mengijinkannya—dengan memenangkan duel diantara mereka. Kana berdoa agar sahabatnya yang manis tersebut bahagia. "Untuk Lucy!" ia mengangkat gelas dan meminum birnya.

Lucy Pov~

Oh, apa yang harus aku lakukan? Menjalankan hukuman dari sahabat sintingku itu berarti aku sudah sinting! Bisakah kalian bayangkan? Mencium orang asing lalu bercinta dengannya? Uhh… aku tidak ingin membayangkannya. Mengerikan! Tapi sekarang aku harus melakukannya, hal yang bertentangan dengan prinsipku selama ini.

Kami-sama, apa salahku? Aku ini gadis baik-baik, mungkin. Aku jarang minum alkohol, mungkin. Aku tidak pernah menggosip, mungkin. Aku selalu menjadi anak yang berbakti, mungkin. Aku rajin menabung—lupakan.

Melakukan hukuman ini berarti aku harus mempertaruhkan diriku. Well, Dad selalu mendidikku menjadi gadis yang terhormat. Karena itu Dad ingin aku berteman dengan teman yang baik-baik—dalam hal ini ia selalu tidak menyukai Kana. Tapi saat ini aku berada di sini karena Kana. Aku jadi ragu untuk mengkhawatirkan nyawaku atau Kana kalau Dad tahu akan hal ini.

Aku sungguh gadis baik-baik. Lupakan fakta bahwa aku bukan 'gadis' lagi, tapi di era jaman sekarang aku terhitung gadis baik-baik. Aku baru sekali—ah baik, dua kali melakukan hubungan intim dengan mantan-brengsek-ku-itu. Dua kali seumur hidup. Di umurku sekarang yang hampir 22 tahun, aku bahkan baru berkencan—secara resmi—sekali saat Menengah Atas. Setelah itu aku tidak pernah melakukannya lagi.

Apa? Kalian ingin aku membatalkan perjanjian hukuman dengan Kana? Tidak bisa begitu. Selama ini ketika dia kalah berduel dan menerima hukuman dariku, dia selalu melakukannya dengan serius. Tidak pernah mundur walaupun awalnya mengeluh. Aku mengakui Kana hebat. Dan kali ini aku yang menerima hukuman. Apabila aku mundur, mau di taruh kemana mukaku? Aku tidak lebih dari kutu.

Nah, tenangkan dirimu Lucy. Kau pasti bisa. Mungkin disini tempat dan manusianya aneh-aneh, tapi cermati… carilah yang terlihat normal. Dan hajar—ehem, goda dia.

Astaga, sudah setengah jam aku mengamati manusia disini dan mencoret mereka semua. Tidak memenuhi kriteria.

Awalnya ada yang lelaki tampan berambut jingga di area sofa kanan, memandangiku penuh minat. Tapi kemudian aku menatap tangannya menggerayangi gadis-gadis di yang duduk bersamanya. Tangannya yang lain menyusup entah dimana aku tidak ingin tahu. Lelaki yang bersama teman-temannya, coret.

Ada pria berbadan besar berambut perak di lantai dansa, coret. Badannya tidak sesuai kriteria.

Ada laki-laki berambut gelap yang sedang meminum-minumannya di sofa nyaman kanan lantai dansa. Dia sendiri. Dan tampak keren. Tapi kemudian dia melepaskan baju atasnya. Menegak minumannya, dan melepaskan pakaiannya yang lain. Dia telanjang! Aku buru-buru mengalihkan pandanganku. Pria tidak normal, coret.

Setelah berlama-lama mengamati, aku kembali menatap minumanku di meja bar. Ini gila. Tidak ada yang normal. Atau mungkin aku yang aneh? Apa kata normal dan aneh telah tertukar di dunia ini? Aku masih merenungkan aneh-normal dan menyadari isi gelasku kosong. Aku melambai pada bartender agar mengisi minumanku kembali. Dan di situlah aku melihatnya…

Tepat di sampingku. Seorang pria tampan dengan surai unik berwarna merah jambu. Tatapan tajam ke depan dengan iris maniknya yang gelap. Ia terlihat serius, entah apa yang di pikirkannya. Minumanku datang, dan aku memutuskan untuk mengamati pria ini sebentar. Menilai ia normal, atau aneh.

Tidak ada.

Tidak ada yang aneh dari pria ini. Sesekali tampak mengamati sekitar dengan tajam, kemudian terdiam memikirkan sesuatu untuk waktu yang lama. Ia terlihat memeriksa ponselnya, lalu meresap minuman di sampingnya dengan santai. Sekarang ia tersenyum sendiri entah karena apa. Wow, aku hampir terpana pada senyumannya. 'He's damn hot!' jeritku dalam hati.

Aku memeriksa kursi di sampingnya, siapa tahu ia membawa teman wanita. Lucky, sepertinya dia sendiri. Aku merutuki diriku sendiri yang seperti penguntit. Sekarang aku harus menggoda pria ini agar mau mencium dan menjadi 'one night stand'-ku. Tapi bagaimana? Bagaimana caranya? Oh Kami-sama

Aku mendengar pria di sebelahku mendengus geli. Ia menatapku dengan senyum lebar di wajahnya. 'Apanya yang lucu?' batinku.

"Aku tahu dari tadi kau memperhatikanku, Nona," ujar suara bariton pria di sampingku.

Aku terdiam. Menoleh ke belakangku. Tidak ada siapa-siapa. Apa pria itu berbicara kepadaku?

"Aku berbicara padamu, Nona pirang," terangnya dengan nada jenaka.

Skak mat.

Wajahku memerah. Sial, aku malu sekali. Aku seperti pencuri yang tertangkap basah. "M-maaf," cicitku.

"Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan gadis cantik sepertimu tertarik padaku," ia terkekeh santai. "Kau tidak menari?" tunjuknya pada lantai dansa.

Aku menggeleng. "Aku tidak pandai menari. Lagi pula tempatnya sesak," aku mengangkat bahu acuh, mencoba terlihat santai.

Ia kembali terkekeh. "Kau sendirian? Ada yang kau tunggu?"

"Tidak, maksudku— iya aku sendiri. Dan aku tidak menunggu siapapun. Kau sendiri?"

"Well, mungkin," ia tersenyum misterius, "tidak ada yang mengetahui tujuan asli seseorang di tempat seperti ini, 'kan?"

Aku membenarkan. Tapi ucapan pria itu sedikit membuatku curiga. Saat aku akan bertanya kembali ia hanya tertawa.

"Bercanda, Nona. Jangan pasang wajah serius seperti itu," ia meminum isi gelasnya kembali, "di sini tempat untuk bersenang-senang!" ia tersenyum lebar dan mengangkat gelasnya.

Aku ikut tersenyum. Well, dia lumayan aneh. Perubahan emosinya tidak stabil, oh mungkin ia mabuk.

Tunggu. Aku harus menggoda pria ini, agar urusanku cepat selesai. Eh? Dimana Kana? Semenit lalu aku masih melihatnya di sofa. Jangan bilang dia meninggalkanku?! Aku kemari dengan mobilnya Kana! Sial, tahu begini aku memakai mobilku sendiri. Argh… aku mulai panik sekarang. Tiba-tiba ponselku bergetar menandakan pesan masuk.

[From: Kana

Lucy~ aku melihat kau sudah mendapatkan targetmu. Lumayan juga seleramu. Yah, aku pamit dulu. Ada teman yang mengajakku 'menginap'. Ah jangan lupa perjanjian kita ya. Aku tahu kau bukan pengecut dan akan menepati ' janjimu'. Bersenang-senanglah… Jaa~]

Tanganku bergetar memegang ponselku. Wajahku memerah menahan ledakan amarah. Sialan! Kana mempermainkanku! Akan ku cekik dia nanti!

Benakku terus memikirkan rencana pembalasan untuk Kana saat pria di sampingku melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku sedikit terkejut. Pria itu mendengus menahan tawa.

"Auramu menakutkan," jawabnya ketika aku bertanya.

"Maaf, temanku baru saja mengerjaiku. Aku sedikit… kesal," ia mengangguk memaklumi. Aku tersenyum dan menyingkirkan sejumput rambut di sekitar wajahku. "Maukah kau menemaniku?" tanyaku spontan.

Ia hanya terdiam. Memandangku dengan intens, tatapannya tidak bisa ku definisikan. Iris gelapnya seolah menarikku ke dasar kegelapan. Menghipnotisku hingga membeku. Tubuhku bergetar. Ia seolah menyentuhku melalui tatapannya. Aku menggigit bibirku gugup.

Awalnya aku berpikir dia merasa keberatan dan akan menolak, namun tidak. Ia menyetujuinya dengan senang hati. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya. Syukurlah, semoga urusanku cepat selesai dan esoknya bisa melupakan semua ini.

"Ngomong-ngomong, aku Lucy."

"Oh, aku Natsu. Senang bertemu denganmu Lucy… Luce," senyum misteriusnya terukir saat ia menyambut uluran tanganku.

.

.

.

TBC

.

.

.

A/N:

Haloooow! :D Saya datang membawa cerita baru. Maaf belum bisa meneruskan MC saya yang sebelumnya karena belum mantap menyusun alurnya hahaha *dikubur

Maaf untuk fic aneh saya ini. Awalnya ingin membuat OS untuk menghibur diri dari tekanan di RL, tapi… ternyata saya tidak ingin fic ini berakhir kilat :')/ *plak

Ne minna, terima kasih sudah membaca. Kritik dan saran akan saya terima, flame? Hohoho Silahkan :p

RnR, please?