Semenjak ribuan tahun yang lalu, masa di mana berakhirnya pertumpahan darah terbesar dalam sejarah.

Iblis-Iblis telah terbabat habis, menyisakan sebagian kecil dari mereka untuk merayap menuju celah-celah bebatuan dalam ngarai. Sedangkan mereka para Malaikat yang membentangkan sayap perlindungan mulai berguguran bagai kelopak mawar yang kering, jatuh dalam kegelapan menuju jurang kutukan dosa.

Sisa-sisa dari mereka yang berhasil bertahan dalam kekacauan besar yang menerbangkan debu dan abu memulai untuk bangkit, mencoba menegakkan diri bagai pasak yang kokoh.

Hingga waktu telah berlalu merubah banyak hal dalam ikatannya. Bebatuan yang kokoh telah berlubang oleh tetesan air, terkikis oleh hembusan angin dan yang sebelumnya merangkak untuk merayap menuju puncak permukaan kini telah sanggup melihat cakrawala.

Segala hal berubah, itu merupakan hal yang tak sanggup untuk disangkal. Namun pada akhirnya terdapat suatu hal yang terulang, hal yang secara terus menerus terjadi meski waktu telah berlalu.

Dan untuk itu, hal yang terus berulang. Dia menunggu. Menunggu untuk dibangkitkan dari tidurnya, menunggu seseorang memanggil keberadaannya untuk menuntun dan membimbingnya dalam melihat dunia yang dia tolak untuk berpaling kepadanya.

.

.

.

-o0o-

-The Bloody Angels-

Disclaimer: This is all isn't mine, except the fan fiction.

Rate: +13/ +18.

Genre: Supernatural, Adventure (Etc)

Warning: Typo, Out Of Character, Alternate Universe (Etc)

-o0o-

.

.

.

-Prologue-

Pada awal pagi hari-hari yang tenang, di mana hembusan angin membawa kabut dingin ke bawah sinar Matahari yang menghangatkan.

Helaian bulu berwarna bersih berayun lembut dalam ombang ambing angin yang menyejukkan dan nafas yang menghangatkan berhembus dalam keheningan.

Keberadaan yang berada di balik zirah besi yang kokoh itu benar-benar diam bergeming dalam upayanya mengawasi dan mengamati isi dari tanah yang telah dihamparkan oleh Sang Pencipta.

Namun, keheningan yang telah terbangun semenjak waktu yang sebelumnya mulai runtuh ketika keberadaan lain mencoba untuk mendekatinya dalam hembusan nafas lembut.

"Tanah ini bersih, tanaman tumbuh dengan subur dan hewan-hewan beraktivitas tanpa pernah sekali pun terasa terusik. Bahkan untuk para Manusia di sini." Suara itu terdengar sangat tenang dan ramah tanpa adanya niatan untuk saling mencaci satu sama lain, namun sebagai pendengar yang baik, seharusnya akan menyadari bahwa setiap kalimat dan kata yang diucapkan pasti memiliki tujuan dan alasan tersendiri untuk diucapkan.

Bahkan meski seseorang bermonolog tanpa arti dan tujuan yang jelas, mereka pasti dengan jelas memiliki sebuah alasan mengapa hal tersebut dilakukan meski dengan alasan bahwa semua itu dilakukan hanya untuk hiburan bagi dirinya sendiri.

Namun meskipun dapat dengan jelas dan bersih mendengar hal yang telah dilontarkan, tak ada alasan baginya untuk dengan sigap menjawabnya sebagai tanda balasan.

Dirinya, sosok yang sedari tadi mengamati segala hal yang sanggup untuk diamati, tidak akan memprioritaskan hal lain yang tak pantas untuk melewati prioritas utamanya.

Dan setelah dalam diam dirinya mengamati hal-hal yang telah terlewat, dirinya yang berzirah mulai menggerakkan kepalanya dengan sangat pelan untuk menoleh kepada objek lainnya. Dia tengah mengalihkan fokus pengamatannya pada hal lain dari yang sebelumnya.

Untuk mengamati keberadaan yang mendekatinya sebelumnya.

Waktu-waktu telah berlalu, segala anomali mulai diciptakan oleh pikiran orang-orang yang memasuki situasi ini. Waktu yang singkat benar-benar menjadi terasa sangat lambat dan waktu yang telah berlalu seakan baru saja terjadi dalam hitungan jari.

Bagi Azazel yang baru saja berhadapan secara langsung dengan sosok yang telah lama tak dia temui dan harapkan, ini merupakan sesuatu yang sangat langka dengan menjumpainya dalam situasi seperti ini.

Bahkan dengan menghitung sebuah persentase dalam upayanya memperkirakan segala kemungkinan yang memungkinkan akan dia hadapi selanjutnya, keberadaan sosok didepannya jelas berada dalam urutan terendah bersama dengan yang terendah.

Dirinya sama sekali tidak memperkirakan hal ini akan benar-benar terjadi, ini sebuah kejutan.

"Azazel ..."

Suara itu .. dapat dipastikan dengan jelas oleh dirinya sendiri bahwa keberadaan didepannya benar-benar orang yang sama seperti yang sebelumnya dirinya kenal.

"... Ini sudah sangat lama."

Apa yang sebenarnya didengar Azazel ketika suara itu dilontarkan padanya? Pernyataan .. keluhan .. penantian? Atau hal lain yang tidak bisa diungkapkan olehnya? Azazel tidak begitu mengerti, namun dirinya mentolerir hal tersebut.

Suatu misteri tidak dapat dikatakan sebagai misteri jika hal tersebut dapat dipahami dan dimengerti dengan mudah. Azazel menerimanya dengan jelas.

"Ribuan tahun ..." Meskipun kalimat yang dikeluarkan menerawang dengan sangat jauh, namun matanya terpaku pada sosok yang berada dihadapannya.

"... Ya .. itu cukup lama, waktu yang panjang untuk dilalui ..." Itu sama sekali tidak diragukan, bagaimanapun juga, meski mampu untuk hidup panjang namun kenangan yang dilalui bersama waktu masih tetap akan sama. Satu hari yang dirasakan oleh orang lain juga dirasakan oleh mereka, sama sekali tak ada perbedaan.

"... Waktu yang lama untuk menyendiri, memang benar. Jadi kemana saja kau selama ini? Tidak mungkin kau sudah berada di sini semenjak pertama kali gedung ini dibangun bukan?" Azazel bertanya, kadang kali kelakar yang salah tempat kerap saja keluar meski telah diketahui oleh dirinya sendiri itu bukanlah waktu yang tepat. Bagaimanapun juga, dia adalah Azazel.

Dan begitu pula dengan lawan bicaranya.

Mereka saling mencoba untuk mendominasi satu dengan yang lainnya meski dengan ketetapan bahwa mereka tidak bisa dan menerima untuk didominasi.

"Aku beristirahat, .. menunggu waktu yang tidak ditentukan." Tertidur tanpa mengetahui kapan dirinya akan terbangun, hal-hal tanpa adanya harapan mengenai apa yang akan dan telah terjadi sebelumnya. Hanya sanggup menunggu namun tidak untuk berharap.

Dan dengan itu Azazel mengerti, mengerti bahwa telah adanya sebuah alasan untuk membawa sosok dihadapannya bangkit dari penantian panjang tanpa celah yang selama ini telah menemaninya dalam gelap.

Namun, untuk alasan apa yang digunakan oleh sosok dihadapannya, Azazel tidak mengerti atau setidaknya masih belum mengerti. Dan untuk hal apa dirinya bangkit, itu juga akan menjadi permasalahan lain di lain waktu.

Dengan melupakan segala hal yang menganggu pikirannya terlebih dahulu, Azazel mulai mencoba menggali kembali untuk mencari hal lain yang mungkin akan berharga jika didapatkan olehnya.

"Dan untuk apa kau di sini? Di bawah sana ada makanan yang mungkin belum pernah kau rasakan sebelumnya, jadi daripada memperhatikannya dari tepi puncak gedung pencakar langit ini, lebih baik turun ke sana dan makan bersama sembari bernostalgia. Di sini berbahaya kau tahu?"

Menikmati hembusan angin dari sayap-sayapnya, sosok berzirah itu masih tetap dalam posisinya. Berlutut menggunakan satu kaki serta penggunaan bilah pedang sebagai bahan tumpuan olehnya, tak ada yang berubah darinya, bahkan hingga sepasang sayap yang kokoh itu pun masih nampak terbentang membiarkan angin menghembuskan bulu-bulunya.

Mendengar itu, sosok berzirah mulai menunjukkan responsnya. Dimulai dari gerakan pada lehernya sebelum bahu mengikutinya, suara zirah besi mengiringi setiap gerakannya bahkan hingga dirinya bangkit dari posisinya.

Melihat pemandangan yang terjadi dihadapannya, Azazel tidak sanggup menebak isi pemikiran sosok berzirah di sana yang sama sekali tertutup rapat. Karena bagaimana pun juga mungkin saja keberadaan dihadapannya ini lebih memilih untuk diam merahasiakan segalanya untuk dirinya sendiri dibanding membagikannya dengan yang lain. Pada akhirnya itu memanglah suatu hal yang wajar.

Namun apa yang terjadi selanjutnya benar-benar hampir membuat jantung Azazel terlepas dari tempatnya sebab sosok yang selama ini dia selalu coba untuk diajak berbicara secara mengejutkan menghempaskan dirinya sendiri dari puncak gedung pencakar langit ini tanpa adanya peringatan yang jelas.

Dan dalam hitungan tercepat yang sanggup untuk dicapai, Azazel merasakan segala hal mulai melambat. Hentakan mantap dari otot kakinya membawa dirinya menuju tepi atap gedung pencakar langit ini dengan segera.

Nafas yang berderu, jantung yang berdetak dan darah yang berdesir, segala hal yang terjadi disekitarnya dapat dirinya rasakan. Dan ketika dirinya telah sanggup mencapai tepi dari atap gedung pencakar langit ini, Azazel telah kembali mencapai visual yang telah menghilang dalam hitungan nol koma sekian detik dari pandangan matanya.

Dan tanpa adanya sedikitpun keraguan yang tercium, Azazel turut menghempaskan dirinya untuk membiarkan tubuhnya terseret oleh gravitasi dengan sayap yang telah dia bentangkan.

Sehingga setelah apa yang terjadi sebelumnya, Azazel mulai mendapatkan kembali waktu yang sebelumnya seakan telah melambat.

Hembusan angin ini begitu kuat, namun begitu juga dengan tekadnya yang tak akan pernah membiarkan sosok yang memimpin didepannya ini keluar dari jangkauan pandangnya lagi.

Ketika semua tekad itu telah terkumpul, lingkaran sihir tercipta di bawah mereka berdua hingga sebelum pada akhirnya hancur dalam kepingan ketika Malaikat berzirah menghantamkan dirinya pada lingkaran tersebut dan menghilang dalam dalam pecahan cahaya lingkaran sihir dan mantra-mantra yang telah hancur.

Namun dirinya adalah Azazel, dalam tingkat kecepatan pola pikirnya yang cepat, segala hal seakan kembali melambat.

Melihat kepingan lingkaran sihir dan mantra-mantra yang berserakan, dirinya sanggup membangun kembali lingkaran sihir yang rusak tersebut menggunakan algoritme sihir rumit dengan tingkat keserupaan yang mendekati 45% hingga 80%.

Memanfaatkan mantra-mantra yang terpecah dan belum sepenuhnya terurai, Azazel mendapatkan kembali lingkaran sihir perpindahan dengan tingkat keserupaan tinggi pada posisi yang sama seperti yang sebelumnya.

Dengan membiarkan dirinya tertarik oleh gravitasi dan kembali menjalani kecepatan normal dalam perspekstif otaknya, Azazel menghantam, tertelan serta menghancurkan lingkaran sihir tersebut dalam kurun waktu yang bersamaan.

Dan pada akhirnya, mereka berdua menghilang dengan cara yang sama serta menuju tempat yang sama. Meninggalkan keramaian kota yang cukup asri dan tenang dalam diam.

.

.

.

Lonceng berdenting, kerumunan mulai menyebar. Akhir dari jam sekolah yang dinantikan telah datang dan murid-murid menyambutnya dengan gembira.

Anak-anak menikmati masa dan waktu mereka sendiri, para remaja mendapatkan banyak pelajaran untuk dipelajari dan orang dewasa mendapatkan pekerjaan untuk memberi nafkah kepada keluarga mereka masing-masing.

Dan seakan tidak ada celah, kemerdekaan telah sanggup dideklarasikan.

Tidak diragukan lagi jika ini merupakan kedamaian yang menyejukkan bagi siapapun yang merasakan dan melihatnya, namun ...

... namun apakah benar hal yang terlihat merupakan hal yang benar-benar tengah terjadi?

Tidak, tentunya dirinya tidak akan ragu lagi untuk menjawab 'tidak!'.

Keadilan, kesetaraan, kebebasaan dan segala hal yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kedamaian, itu semua palsu, sebuah kebohongan yang menjijikan. Tidak diragukan lagi bagaimanapun juga.

Semakin lama dan semakin sering dirinya melihat orang-orang berlalu lalang tanpa adanya kekhawatiran dan beban yang berarti serta anak-anak yang bermain dengan penuh tawa dan cinta tanpa adanya ketakutan akan teror yang terjadi, semakin dirinya merasa muak dengan apa yang tengah terjadi.

Ketenangan ini .. kedamaian, kebahagian serta tawa dan cinta yang dirasakan oleh mereka yang tidak mengetahui, benar-benar sangat tidak pantas dan layak untuk mereka rasakan.

Karena apa yang mereka telah dapatkan bukanlah hal yang seharusnya mereka dapatkan dan apa yang seharusnya mereka dapatkan tidak pernah mereka dapatkan karena segala halnya telah direbut dari mereka.

Rasa muak ini datang karena mereka, orang-orang yang yang masih sanggup untuk tertawa dan berbagi cinta meski dengan kedamaian yang sama sekali tidak pernah mereka miliki. Mereka masih saja terpaku pada kedamaian semu yang diberikan kepada mereka tanpa mengetahui bahwa mereka semua telah dipermainkan dan diperalat oleh keberadaan yang tak disadari.

Dan itu semua benar-benar memuakkan, menjijikan dan segala hal yang buruk untuk dikatakan.

Dirinya benar-benar berharap bahwa ini semua akan segera berakhir, seperti lembar akhir dari buku cerita yang menyedihkan.

Bagaimanapun juga, anak-anak Tuhan ini bukanlah Kunang-Kunang yang terkurung dalam wadah melainkan bintang-bintang yang indah berkilau di langit angkasa yang luas.

Begitu menawan dan cantik seperti yang seharusnya.

-To Be Continued-

.

.

.

Author Note's: Yaa .. akhirnya, prologue ini selesai juga. Meskipun juga tidak yakin apakah cerita ini akan diterima dengan baik atau tidak kedepannya, tapi Author berharap jika cerita ini cukup layak untuk dibaca dari awal hingga akhir.

Pada akhirnya Author sendiri tidak tahu apakah chapter selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutya akan terlahir atau tidak karena bagaimanapun juga fan fiction ini tercipta karena keisengan Author sendiri. (Belum lagi typo dan kesalahan lainnya yang menunjukkan jika sebenarnya Author ini masih amatir hingga membuat fan fiction ini tidak direkomendasikan)

Dan jika terdapat sebuah kritik dan saran yang ingin diberikan serta kesalahan ingin Author perbaiki kedepannya, tombol review tepat berada di bawah ini!