Herculaneum, musim dingin 35 M

Seorang wanita berjalan dengan lemah di jalan besar antara Herculaneum dan Nola. Musim dingin di Campania sangat berkebalikan dengan musim panas; benar-benar dingin. Ujung jari wanita itu sudah mati rasa, mungkin hampir beku. Keadaan diperparah dengan kondisi perutnya yang besar dan tubuhnya mulai lemah. Dirasakannya sakit yang amat sangat.

Gerbang Herculaneum berjarak beberapa ratus meter lagi tapi kakinya sudah tak kuat. Wanita itu, Kushina, akhirnya menyerah dan bersandar pada sebatang pohon kenari dengan akar banir yang terlihat nyaman. Rasa sakit yang luar biasa memaksanya untuk menetap di sana selama berjam-jam, sampai akhirnya nyawanya serasa ditarik.

Kushina melahirkan anak keduanya di jalanan tanpa ada yang membantunya. Bayinya lahir saat udara tiba-tiba menghangat, entah karena tangisan bayi yang amat keras itu atau darah hangat yang membanjir di bawah tubuh sang ibu. Perasaan bahagia membuat air matanya mengalir disertai doa-doa pada Isis –Kushina adalah budak Romawi dan dia tidak menyembah dewa-dewa Bangsa Romawi, agar si bayi laki-laki setidaknya dapat hidup sampai usia remaja.

Sepertinya Isis tidak hanya menjaga bayi itu sampai dewasa. Si bayi yang terlahir sebagai budak itu mendapatkan apa yang tidak pernah dibayangkan oleh ibunya, yaitu sekeping Aureus.

Disclaimer:
All characters belongs to Herr Kishimoto

AUREUS: Story of A Slave
Chapter 1. Amfiteater

Terinspirasi dari kisah Trimalchio

Don't like? Why not keep reading? You may like this story

Herculaneum dipimpin oleh empat orang yang dinamakan magistratus. Tugas mereka adalah menjaga dan bertanggung jawab dalam pemeliharaan kota dan menampung apresiasi penduduk di sana. Keempat magistratus ini berasal dari empat keluarga yang paling berpengaruh di kota itu, salah satunya adalah Uchiha.

Fugaku Uchiha bisa dikatakan sebagai magistratus yang paling berbeda. Ia memiliki kekayaan yang biasa saja bila dibandingkan dengan pejabat lainnya, tetapi ia memiliki hobi yang juga biasa, yaitu memelihara gladiator. Fugaku memiliki 28 pasang gladiator dan dia cukup aktif dalam mempertandingkan gladiatornya.

Pada suatu siang di hari Matahari (eng: Sunday) di musim semi yang masih dingin, ia mengundang Hyuuga Hiashi yang juga seorang magistratus. Fugaku mengundang Hiashi dan istrinya, Inori, sementara ia sendiri bersama istrinya. Mereka akan mengadakan sebuah acara makan siang di amfiteater kecil milik Fugaku.

Mereka berempat duduk di sofa-sofa empuk berwarna merah. Sepiring besar daging bakar dan keju panas serta makanan lainnya dalam porsi kecil mendarat di meja panjang yang terbuat dari kayu beech. Fugaku dan Hiashi bersalaman dengan ekspresi jumawa.

"Ah, cocok sekali dengan cuacanya. Aku selalu suka lada putih di udara yang tanggung ini," komentar Hiashi pada makanan-makanan yang disajikan oleh budak rumah Fugaku.

"Kemarikan gelasmu." Fugaku mengangkat sebuah amphora yang berisi anggur terbaik untuk acara kehormatan itu. Sekian volume cairan berwarna merah pekat pun mengalir ke piala perak yang dipegang oleh Hiashi. "Ini belum seberapa. Aku ingin memamerkan gladiatorku."

Para istri diam saja dan menikmati kentang bakar dengan aroma daun parsley yang memikat lidah mereka. Mikoto, istri Fugaku, tersenyum amat tipis seolah memaklumi perkataan Fugaku barusan. Inori yang masih muda dan cantik memejamkan matanya, lalu memutuskan untuk mengambil sebutir buah zaitun yang berwarna hitam.

"Hei, keluarkan sepasang gladiator!" perintah Fugaku pada seorang budak rumahnya. "Tiro dan Musa." Perintah itu membuat Hiashi tersenyum miring. Menerima ajakan makan siang di rumah Keluarga Uchiha memang tak bisa dilewati begitu saja, tapi baru kali ini Fugaku merelakan seorang gladiatornya untuk memeriahkan acara itu. "Tidak, Minato saja. Keluarkan Tiro dan Minato."

Seorang budak rumah yang menunggui para tuannya makan terhenyak. Budak itu biasa untuk mengantar makanan untuk tuannya tapi kali ini dia akan mendapat pemandangan mengerikan. Mikoto segera menyadari apa yang terjadi dan segera angkat suara untuk memprotes suaminya. "Kushina ada di sini, Fugaku."

"Diamlah, wanita!" Hanya dengan satu kalimat pendek itu, Mikoto bungkam sebungkam-bungkamnya. Wanita itu hanya melepas napas berat ketika Fugaku meneggak anggurnya dan kemudian menjentikkan jarinya untuk memanggil Kushina yang berdiri dengan kaki yang amat gontai. Pria itu menunjuk ke arah babi hutan bakar yang disajikan di atas piring perak yang sangat besar. Kushina segera mengambil sebuah pisau dan garpu lalu memotong makanan itu dengan cara yang tidak anggun sama sekali.

Beberapa potong daging babi dipindahkan ke piring-piring yang lebih kecil. Kushina susah payah menyingkirkan rasa khawatirnya begitu sebuah pintu di amfiteater dibuka dan dua orang gladiator pun muncul di sana. Matanya langsung fokus pada sosok gladiator yang memiliki rambut pirang dengan perisai persegi dan gladius, serta sebuah lempeng besi pelindung tangan kanan. Minato akan bertanding hari ini, siang ini, detik ini juga.

Hiashi tertawa setengah meledek pada dua gladiator itu. Ia mengangkat piala peraknya sembari menahan agar tak mengkomentari peliharaan Fugaku itu terlalu dalam. "Murmilo itu," kata Hiashi seraya mengusung piala peraknya ke arah Minato. "Dia seperti anak bawang."

Fugaku meneggak anggurnya dengan cepat. Gladiatornya sudah memposisikan diri mereka untuk bertarung di tengah-tenagh amfiteater. Ada obrolan singkat di antara keduanya, namun tak sedikit pun dipedulikan oleh Fugaku. "Minato kalah tiga kali berturut-turut dan membuatku kehilangan banyak uang. Tiro memang bukan gladiator andalanku, tapi dia thraex yang cukup handal."

Sebuah dengusan keluar dari pernapasan Hiashi. Ia bukan meremehkan, bukan juga menganggap Fugaku sebagai sosok menyedihkan. Dia hanya tidak habis pikir bagaimana cara kawannya ini membuang gladiatornya. Mengajak seorang teman yang terhormat untuk menemaninya makan siang dan disuguhi acara tanding, hanya untuk menyingkirkan salah satu gladiatornya yang dianggap tidak menguntungkan. Mata tajam Fugaku tak lepas dari interaksi dua manusia yang diletakkan dalam satu arena itu, mengkomentari dan menilai pergerakan mereka.

Tak kuat menahan pemandangan yang berdarah itu, Kushina segera berlari meninggalkan amfiteater. Ia segera mendatangi anak-anaknya yang ada di tempat para budak. Di sana, Kurama, si anak pertama yang berambut merah seperti dirinya sedang menggendong adiknya yang menggeliat tak nyaman karena dinginnya udara. Kushina pun memeluk mereka seolah kedua anaknya bisa saja diletakkan di tengah amfiteater oleh Fugaku, persis seperti ayah mereka.

To be continued