UPDATE SETIAP HARI SABTU ATAU HARI MINGGU


9/9/17 & 20.33

All characters' name of Naruto belong to Masashi Kishimoto

SOMEWHERE THE WIND IS BLOWING

By Kohan44

For #FID_9


"Tante, aku boleh ajak Sasuke ke rumah lagi kan?"

Anak ini tumbuh dengan alamiah, seperti kecambah biji tomat yang tumbuh tanpa disengaja. Terjatuh dari sisa makanan ke hamparan bumi. Matahari dan hujan telah membesarkannya menjadi sesuatu yang orang-orang cintai. Tiap hari mereka sinari dan sirami. Mereka ajari perasaan hangat dan dingin, mereka pun ajari bagaimana menjadi mandiri, tanpa pernah meminta timbalik balik. Aku rasa, hanya matahari dan hujan yang mampu membesarkan sesuatu tanpa pamrih.

"Err, udah dibilang berapa kali, jangan panggil Tante di sekolah!" kataku. Aku bukan matahari atau pun hujan. Aku punya banyak hal yang kukeluhkan. Harus kuapakan lagi anak ini? Sudah dicubit, dipukul pantatnya, dibeginikan, dibegitukan, masih saja dia memanggilku Tante. Aku kan gurunya di sekolah.

"Aduh! Adududuh… sakit! Sakit! Sakit!"

"Kalau kamu janji gk akan panggil tante lagi, baru aku lepas!"

"Asal Sasuke boleh main ke rumah, aku janji!"

Panas terik membakar seisi sekolah, mengubah daun hijau menjadi coklat, lalu angin menghempasnya menjadi debu, dan matahari pun menghapus jejak air di wastafel menjadi uap. Aku mengernyit dan meringis ngeri saat tak sadar aku melewati wilayah tanpa bayangan. Cahaya matahari rasanya membuat kulitku mengelupas, sementara anak-anak dengan riang bebas bermain di lapang serbaguna. Aku selalu punya anggapan anak-anak itu jenis berbeda dari manusia. Mereka nampak baik-baik saja terhadap sesuatu ekstrim. Salah satunya anak ini, yang kubesarkan dengan keringat dan cintaku, meskipun dia tak terlahir dari darahku. Kendati dia memiliki banyak hal yang bertolak belakang dariku, aku tetap ingin membesarkannya, sebagaimana aku menghindari panas terik padahal setiap hari matahari bersinar.

"Deal."

Dia tersenyum lebar sampai gigi-giginya nampak berderet, seolah tak merasa nyeri sehabis ku cubit keras-keras dan meninggalkan jejeka kemerah di pipinya. Mungkin dia terlalu senang kuizinkan sahabat karibnya, Uchiha Sasuke, berkunjung ke rumah kami setelah sebelumnya sering kutolak.

"Naruto!"

Seseorang memanggil, membuat Naruto menengadah ke lantai 2. Anak itu melambai, dan Naruto membalasnya gembira.

Aku bukan matahari dan hujan yang membesarkan sesuatu tanpa rasa cemas. Aku bukan mereka yang menyinari tanpa pamrih, dan menyebar kesejukkan tanpa upah. Aku memiliki harapan yang kusimpan dan kutanam dalam diri anak ini. Aku memiliki keinginan supaya harapan ini menjadi kenyataan, dan aku akan melakukan apapun ketika sesuatu berusaha mengacaukan harapan ini.

Oh, anak itu¸ batinku menghela nafas sembari menonton anak di lantai 2 dengan perasaan was-was. Padahal sudah sangat sering bertemu, tapi sensasi tiap kali melihatnya selalu membuat hatiku melayang turun, bagai menaiki wahana permainan.

"Sasuke, aku bakal kamu traktir, kan?"

Tanpa permisi dan sopan santun, Naruto melesat meninggalkanku, membuatku berfikir apakah matahari dan hujan bersedih ketika sesuatu yang mereka besarkan meninggalkan mereka?

Aku rasa bukan hanya aku yang menyadari kedekatan Naruto dan Sasuke di sekolah. Melihat mereka tumbuh bersama dalam kedekatan seperti itu, terkadang membuatku mengira-ngira berapa lama mereka akan bertahan? Dulu aku juga punya sahabat yang seperti itu, tapi kami berpisah karena kehidupan yang memisahkan kami. Apakah mungkin mereka pun sama? Suatu hari akan datang perpisahan karena sebuah pertemuan, atau apakah mereka berdua berbeda? Karena… bagaimana aku harus menjelaskannya?

"Awas kamu! Nilaimu kuberi kecil, baru kapok!" aku berseru berpura-pura geram, meskipun Naruto sama sekali tidak nampak mendengarkan. Dia sibuk menyalami Sasuke dan tenggelam dalam candaan.

Ah, pokoknya mereka itu…

.

SOMEWHERE THE WIND IS BLOWING

.

.

"Sasuke, kamu emang yang terbaik!"

Naruto menyampirkan lengannya di bahu Sasuke seraya menggandeng sahabatnya itu masuk ke rumah kami.

"Bilang gitu karena sudah ditraktir."

"Nggk kok! Kamu selalu terbaik. Jangan bilang-bilang Tante ya! Dia suka marah kalau tahu kamu traktir aku hihihi. Ayo, langsung naik aja ke kamar. Aku bawa minuman dulu." Katanya ketika mereka di dalam.

Sementara Naruto pergi ke dapur, Sasuke tahu dimana harus melepas sepatu dan menyimpannya bagai rumah sendiri, lalu menaiki tangga dan berbelok di lorong yang benar menuju kamar Naruto tanpa diberitahu. Tentu saja, siapapun bisa menebak seberapa sering anak itu berkunjung ke rumah kami.

Tak lama, Naruto yang masih menenteng tas membawa nampan berisi minuman dan camilan ke kamar. Dia membuka dan menutup pintu menggunakan kaki.

"Sasuke, Tante belum belanja bulanan. Jadi, cuma ada air putih dingin saja."

"Tidak apa-apa. Lagian, buat apa dibawain ke sini. Aku bisa ambil sendiri."

Naruto menyimpan nampan di meja belajar, lalu menaruh tasnya di sebelah tas Sasuke. Sasuke duduk di dekat ranjang dan mengambil sembarang buku yang terbuka di dekatnya.

"Kamu baca buku?" kata Sasuke setengah mendengus lucu.

"Bukan, itu punya Tante. Semalam Tante tidur di sini."

"Eh, kamu masih tidur bareng Tante?"

Naruto duduk bersebelahan dengan Sasuke. Tanpa rasa penasaran, lehernya menjulur melewati bahu Sasuke untuk menengok isi buku tersebut sambil berkata, "kadang-kadang. Kalau Tante lagi pengen aja."

"Seranjang?"

Naruto tak langsung menjawab. Dia terdiam sambil menonton bukuku. Matanya melirik Sasuke takut-takut, dan Sasuke menangkap lirikan itu. Aku tidak tahu apa yang mungkin dipikirkan Sasuke. Terkadang raut wajahnya membuatku kesulitan membaca isi pikirannya. Barangkali, karena itulah Naruto tak menjawabnya.

"Memang kenapa?" Naruto balik bertanya.

Sasuke beringsut menaiki ranjang, menjatuhkan tubuhnya di sana dan mengambil posisi nyaman sembari membaca buku dengan mulut tertutup rapat.

"Kenapa?" tanya Naruto lagi.

Hening.

"Kamu gk pernah tidur bareng Kak Itachi?"

"Pernah." Sasuke langsung menjawab tanpa ragu.

"Yaa... sama aja kan tidur dengan Tante atau Kakak?"

"Beda." Jawabnya cepat, dan secepat itu pula Naruto mendelik ke arah Sasuke. Tapi, Sasuke tak melepas pandangannya dari buku.

"Bedanya?"

"Coba saja."

"Coba apa?"

"Tidur di sebelahku."

Jentik-jentik embun air merayap enggan di gelas dingin. Satu demi satu bersatu menjadi gumpalan besar, dan meskipun sudah sebesar itu, mereka nampak takut terjun ke dalam pelukan bumi. Lalu angin dari jendela mendorong mereka sampai tergelincir jatuh. Bagai Naruto yang bergerak ragu merebahkan tubuhnya di sebelah Sasuke, di kasur yang seharusnya hanya muat untuk satu orang saja.

Gorden siang tersapu sangin, menari-nari membuat gelombang besar dan kecil. Terkadang membuat suara, nyanyian merdu untuk hati yang gelisah. Jentik-jentik air itu akhirnya turun semua dan membanjir di pangkal gelas. Rupanya, jatuh bukan hal yang buruk. Jatuh terasa melegakan. Begitupun berbaring di samping Sasuke, pikir Naruto.

Sasuke manjatuhkan bukuku, kemudian berbalik menghadap Naruto.

"Bagaimana rasanya?" kata Sasuke sambil menatap langsung dan menghujam jantung Naruto, membuatnya kesulitan bernafas, dan mengacaukan seisi sistem otaknya.

Mata itu seringkali terlihat tegas dengan hitam yang penuh dan bersih. Sorot matanya tajam, seolah mencerminkan kepribadiannya yang teguh, dan bentuk alis hitam sempurna memperjelas keindahan mata itu. Aku tak akan kaget jika suatu hari Sasuke tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tampan.

"Apa kamu mau cerita kenapa pipi kamu bercodet?" kata Sasuke lagi. Tadinya aku kira Sasuke akan menunggu Naruto menjawab pertanyaan sebelumnya.

Sasuke mengusap pipi itu perlahan, merasakan tiap gores bekas luka di sana, dan menyadari betul-betul perubahan rona merah di pipi itu.

"Kecelakaan." Akhirnya Naruto menjawab. "Kecelakaan mobil bareng Papa dan Mama. Aku gk tahu gimana persisnya. Sejak hari itu, luka ini ada, dan Papa-Mama gk ada."

Tangan Sasuke berhenti sesaat, matanya berlari ke mata Naruto, dan Naruto menghindarinya. Satu hal lagi yang Sasuke ketahui tentang Naruto. Di balik wajah riang Naruto, kini Sasuke sadar tersimpan luka dan rasa sepi tanpa kehadiran kedua orangtua. Lalu kata-kata menguap di antara mereka. Bahkan kali ini, angin nampak enggan membuat bunyi-bunyian.

Sampai Sasuke menariknya dan mereka saling bertabrakan, membuang jarak. Pandangan mereka saling terkunci, dan segalanya mengalir seakan air sungai yang menuju hulu, pun jentik air di gelas yang turun ke bumi, atau matahari dan hujan yang menumbuhkan sesuatu.

Oh, apakah ini yang kucemaskan? Ketika mereka hanya berdua di rumah kami, tanpa jarak dan tanpa mata lain yang melihat, diam-diam menuai kasih, begitulah jika harus kuceritakan dengan jelas. Dengan tubuh yang beranjak dewasa dan pikiran yang masih mudah tergoyahkan, mereka bergerak seirama menindih salah seorang. Menekannya sampai dia melenguh. Kemudian salah satunya tersadar, sesuatu terbangun dan membuatnya menjadi tak terkendali. Erangan demi erangan lolos, peluh menetes sebanyak nikmat yang mereka rasakan, dan ciuman pun merajalela di bibir.

Ciuman pertama mereka. Tanpa lidah, sebagaimana ciuman pertama yang lain, sederhana dan polos, tapi anehnya ada hal yang bertolak belakang terjadi. Perasaan panas dan berkecamuk, antara membingungkan dan begitu membuat ketagihan.

Saat kubuka pintu rumah dan kutemukan sepasang sepatu yang bukan milik Naruto, aku mendengar gaduh dari lantai atas.

"Akh! Nngghh…"

Aku tak ingin tahu, tapi aku harus tahu.

"Naruto, sudah makan belum?" panggilku dari bawah, lalu terdengar suara jatuhan dan derap langkah kaki. Aku menunggu di dekat tangga kedatangan seseorang dengan suara langkah bak dikejar api.

Aku kira orang itu bakal Naruto, tapi bukan. Anak itu tergesa-gesa menuruni tangga. Matanya menghindari mataku. Kemeja sekolahnya nampak berantakan, dan tentu saja aku menyadari sesuatu tidak beres di antara selakangannya. Hanya dengan anggukan pendek dia menyapa kemudian berlalu.

Ketika usia mereka hampir mencapai kelas 3 SMP, kecemasanku bertambah dan aku tak mengira bahwa itu hanya awal dari kecemasan lain. Anak-anak tumbuh dengan cepat.

.

SOMEWHERE THE WIND IS BLOWING

.

.