a/n: gara-gara pas kemarin di acara kampus saya jadi tukang pegangin lampu, lahirlah benda ini www btw, karena seseorang bilang mending saya translate ke bahasa inggris juga, versi english-nya ada di ao3 saya (penname sama kok) ya kalau ada yang mau baca (´・ω・`)
Joker Game © Yanagi Koji
saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.
.
stars and lights
theater!au. 1970!setting. tukanglampu!sakuma/actor!miyoshi.
buat suki dan alice yang menemani saya di fandom mata-mata ini /o/
Act I
Ruang pementasan senyap.
Sakuma nyaris mendengar sentakan napas-napas yang tertahan—termasuk miliknya sendiri—meskipun secara praktis ia bukanlah penonton, matanya tetap sama seperti mereka, tertuju ke satu titik yang disorot lampu di panggung.
Berdiri di tengah bundaran cahaya putih, Maki Katsuhiko—oh, bukan, sekarang ia adalah Hamlet—membawakan monolog, menyampaikan pada dunia tentang kesedihan dan kegundahan si pangeran Denmark.
Di teater itu, Maki adalah aktor yang paling terkenal, tiket drama yang dimainkannya selalu habis terjual, dan bunga yang dikirimkan ke gedung pementasan dalam tiga pertunjukannya mungkin cukup untuk menutupi seluruh lapangan di depan gerbang utama kompleks istana kekaisaran. Dalam bar-bar lokal yang Sakuma datangi, atau bahkan di antrian kereta bawah tanah pada sela-sela jam yang sibuk, ia bisa mendengar orang-orang membicarakan si aktor. Maki-san yang memainkan ini, Maki-san yang memainkan itu—Maki, Maki, Maki.
Rasanya hampir memuakkan semua yang dikenalnya selalu membicarakan lelaki itu, tapi sejak Yuuki-san menugaskannya untuk membantu mengatur lampu di pertunjukan si aktor, ia mengerti kenapa ia begitu dielukan. Sakuma sebenarnya tidak mengerti banyak soal seni drama, tapi dari semua aktor yang pernah dilihatnya bersandiwara, Maki adalah kesempurnaan. Setiap gerakan, setiap ucapan; ia meniti panggung kayu seolah tiap senti dari tempat itu adalah dunianya dan mengucapkan baris dialog seakan tiap perkataan karakternya adalah miliknya sendiri—tidak, kalimat-kalimat itu memanglah miliknya. Ketika ia berada di atas sana, tidak ada Maki, yang ada hanyalah Hamlet.
Awalnya ia sama sekali tidak tertarik dengan bagian teknis teater, tapi sekarang Sakuma selalu menunggu sore, menanti-nanti waktu ia bisa pergi bekerja dan melihat Maki di panggung—menyerukan dialog, menyihir penonton dengan gerak tubuh, meremas hati dengan raungan. Sakuma telah menyaksikannya memerankan Hamlet berulang kali dan ia tidak pernah jenuh, semakin banyak ia memainkan karakter itu, semakin Maki memilikinya—mereka adalah satu—Hamlet yang bermonolog, Maki yang menolak Ophelia, Hamlet yang melihat hantu, Maki yang beradu pedang dengan Laertes dan mengembuskan napas terakhirnya di bawah lampu sorot. Di akhir pertunjukan, aplaus menggema bersama seruan serta tangisan; ia melakukannya lagi, ia membuat semua orang tidak bisa melihat apa pun selain dirinya lagi.
Maki Katsuhiko adalah bintang, yang ditutup tirai lalu menghilang.
.*.
Ia tidak pernah berada dekat lelaki itu selain beberapa kali berpapasan di koridor-koridor; Sakuma membawa lampu-lampu pengganti atau gulungan kabel, Maki dengan setengah lusin buket bunga di tangan dan hujan pujian.
Terkadang mata mereka bertemu. Di lain waktu si aktor mungkin tidak menyadari kehadirannya, namun Sakuma tetap akan menggunakan seluruh kesempatan yang ia punya untuk menyerap semuanya; poni yang ditata dengan gaya, mata cokelat bundar yang tajam serta tak terbaca, senyum kecil yang selalu mengundang tanda tanya; segalanya tentang Maki membuatnya penasaran. Ia hanya bisa melihat dari dekat sekilas saja. Kemudian si aktor akan lenyap di balik pintu ruangannya, kembali tidak tergapai, sementara Sakuma menampar pipinya sendiri dalam imajinasi, berusaha meluruskan pikirannya dan mengingat tugas apa yang sedang dilakukannya.
Hari itu si lelaki menaiki tangga dengan sekotak lampu sorot besar di depan dadanya, tidak yakin apakah ia sudah membawa filter yang diminta Odagiri di dalamnya atau belum—tadi warna apa yang dimintanya untuk diganti, merah? Biru? Atau mungkin cokelat marun ya, seperti setelan yang sering dikenakan Maki setiap kali ia datang ke tea—bukan Sakuma, ini teater, bukan drag club, ia mengutuk diri sendiri, mana perlu filter lampu warna itu.
Di ruang kontrol, ia menemukan staf yang bergerak seperti semut-semut yang terprogram, membenahi barang-barang dan mematikan peralatan sembari menyerukan, "Otsukaresamadeshita!" Beginilah setiap malam harinya berakhir; penonton yang berangsur meninggalkan ruangan, petugas yang merapikan perlengkapan, lampu-lampu dipadamkan; Sakuma pulang dengan kereta terakhir atau mampir ke bar mana pun yang ditemuinya, terkadang sendirian, terkadang bersama rekan kerja.
"Oh, Sakuma." Odagiri melambaikan tangan dari salah satu sudut, sedang menggulung kabel. Yang namanya dipanggil segera menghampiri, meletakkan kotak dan hendak membantu, tapi seniornya itu memberi tanda untuk berhenti. "Tidak, aku bisa sendiri, sebenarnya, aku butuh bantuanmu untuk mengerjakan hal yang lain," ia mengangkat wajah untuk menatapnya dengan pandangan yang agak menyesal, "maaf, tapi boleh kau mengecek satu lampu ini dulu sebelum pulang?"
Sakuma tidak punya alasan untuk menolak, apartemennya tidak sejauh itu sehingga harus mengambil kereta, jadi ia tidak pernah terburu-buru pulang. Ia mengangguk dengan penuh minat; Sakuma baru beberapa bulan bekerja di sana, dan sampai kapan pun tidak berniat mengecewakan senior ataupun bosnya.
Odagiri memintanya untuk pergi ke ruangan Maki Katsuhiko.
.*.
Setelah berulang kali ragu, Sakuma akhirnya mengangkat tangan dan mengetuk pintu, lalu seketika menyesal karena merasa ia telah mengetuk terlalu keras. Toh sebelum ia bisa mengucapkan apa pun untuk permiso atau yang semacamnya, suara si aktor sudah menyahut dari dalam, "Masuk."
Ia membuka pintu dengan sehati-hati mungkin, berusaha tidak menimbulkan suara. Ruangan itu tidak begitu terang, Sakuma refleks melirik lampu di langit-langit dan berpikir apakah mungkin lampu itu yang rusak. Ketika telah sepenuhnya masuk, dilihatnya lelaki berambut cokelat itu duduk membelakanginya, bersandar di kursi yang menghadap meja rias, melirik Sakuma dari sudut mata lewat pantulan kaca. Bahkan tanpa riasan yang biasa dipakai untuk menegaskan karakter yang sedang dimainkannya pun, wajah Maki tetap tanpa cela.
"Konbanwa," ia menunggu hingga Maki berdiri dan menghadap ke arahnya sebelum melanjutkan, "Odagiri-san berkata ada lampu yang rusak."
Lelaki itu menyandarkan punggung ke dinding, tubuhnya kini dibalut kemeja putih dan rompi cokelat, dasinya tidak terpasang. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Kau tidak membawa lampu penggantinya."
"A-ah, tidak?"
"Jelas tidak. Kau juga tidak membawa peralatan apa pun," kata Maki tanpa emosi, memiringkan kepalanya sedikit sementara matanya memerhatikan dengan saksama, "kupikir kau di sini untuk memperbaiki lampunya."
"Aku…." Sakuma ragu sebentar, sama sekali tidak siap ketika ditanya seperti itu (meski nada bicara si aktor memang sama sekali tidak interogatif). Ia tidak pernah merasa dilihat Maki sebelumnya, apalagi membayangkan bisa punya konversasi dengannya. Sekarang ketika si aktor ternama itu benar-benar bicara padanya, ia mendapati dirinya kesulitan menjawab. Sifat tajam lawan bicaranya juga sama sekali tidak membantu; Sakuma menelan ludah, sadar kalau ia datang ke sana tanpa benar-benar tahu lampu mana yang sebenarnya rusak. "Aku akan melihat yang rusaknya dulu, sebelum tahu lampu atau peralatan mana yang harus dibawa."
Aktor itu memandanginya untuk beberapa detik, lebih lama dari batas kenyamanan Sakuma, tapi kemudian ia menolehkan kepalanya ke samping. "Yang itu."
Yang dimaksud Maki adalah bohlam putih yang menerangi sisi cermin di meja rias. Sekali lihat pun Sakuma tahu mana yang rusak, karena Maki meninggalkan semuanya menyala dan salah satu dari lampu-lampu itu padam. Ia berjalan mendekati meja tanpa kata-kata, menekan sakelar dan memegang pangkal bohlam yang mati dengan hati-hati, lalu memutarnya. Sakuma mengerutkan dahi ketika menyadari lampu itu tidak terpasang dengan benar, kemudian memutarnya kembali ke arah berlawanan dan mengembalikannya ke soket. Ia menekan sakelar lagi, semua lampu itu menyala.
"Maki-san?"
"Hmm?"
"Tidak ada yang rusak dengan lampunya," ia menoleh ke arah si lelaki yang masih bersandar di tembok, "hanya longgar."
"Aku tahu."
"Eh?" Sekarang badan Sakuma ikut berbalik, tambah bingung dengan situasi. "Lalu kenapa—"
Maki Katsuhiko mempertemukan mata mereka, tersenyum untuk yang pertama kalinya sejak ia memasuki ruangan. "Karena aku butuh alasan supaya mereka mau mengirim Sakuma-san ke sini."
