Disclaimer: All characters belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.
Warning: alternate timeline, miss-typo(s), drabble conten, plotless, and other stuffs.
Note: special for NaruSaku Japanese Official Day 2016. Does anyone here still remember our NaruSaku? Karam tak berarti hancur, kan? :)
.
insomnia
.
Hela napas terdengar di antara detakkan jarum jam yang mendominasi.
Naruto menoleh ke samping, kepada Sakura yang baru sedetik menutup mata dan menaikkan selimut hingga dada. Jam menunjuk angka dua belas kurang sedikit, tengah malam hampir tiba, namun Naruto menemukan dirinya masih ingin membuka mata lebih lama.
Ia ingin membangunkan Sakura kembali—karena ia yakin istrinya itu belum terlelap sepenuhnya, sebab belum ada dengkur halus dan napas teratur yang biasanya ia dengar ketika Sakura tengah lelap tertidur. Tapi … kasihan juga. Shinachiku sangat rewel hari ini, dan Sakura sudah kelelahan karena batita mereka yang terlampau hiperaktif itu. Tapi, lagi, mungkin ia akan mendapat quality time jika berhasil membangunkan Sakura untuk menemaninya yang tengah insomnia ini. Mungkin dengan beberapa konversasi ringan yang sudah lama tak mereka jalani karena terlampau sibuk akan pekerjaan masing-masing. Naruto di gedung Hokage, dan Sakura di rumah sakit.
Maka, Naruto memutuskannya, "Sakura-chan."
Panggilan pertama tak digubris, sebab Sakura hanya menggumam tak tentu dan memilih untuk memunggungi Naruto.
"Sakura-chan,"
Pun panggilan kedua. Sakura semakin menaikkan selimut tebalnya, hingga menutupi wajah dan menyisakan helai merah mudanya saja yang terlihat.
Naruto mendesah kecil. Memutar kedua netranya dan menatap langit-langit.
Apa lagi yang harus ia lakukan?
Lelaki itu ikut membalikkan tubuh, membuatnya dapat mengatensi punggung kecil Sakura dengan jelas. Helai merah mudanya terjuntai ke beberapa sisi, membuat Naruto dapat melihat leher jenjang Sakura yang putih bersih, yang sudah lama tak ia kecup.
Kepala pirang itu menggeleng pelan. Menguapkan pemikirannya yang mulai terlalu jauh—dan terlalu menyedihkan. Tapi … tapi itu, kan, benar, monolognya lagi dalam hati. Semenjak Shinachiku menginjak usia tiga tahun, ia jarang sekali memiliki waktu-waktu intim dengan Sakura. Jangankan kecup-kecup, peluk-peluk saja bisa dihitung dengan jari kuantitasnya setiap hari.
Dan daripada malam ini ia mati kebosanan karena insomnia … lebih baik waktu ini ia manfaatkan untuk—uhm, ya, untuk itu.
Maka, dengan tendensi yang lebih besar dari sebelumnya, Naruto merapatkan tubuh ke arah Sakura. Lengan kekarnya terulur untuk melingkar pada pinggang ramping itu. Tubuh Sakura sedikit bergerak tak nyaman, mencoba melepaskan pelukan suaminya itu yang terlalu tiba-tiba.
"Narutooooo." Suaranya teredam di antara bantal putih di atasnya. "Sudah larut malam. Aku ingin tidur."
Yang ditegur tak menanggapi, malah semakin merapat dan menenggelamkan wajahnya di tengkuk Sakura, dan memberinya kecup-kecup kecil.
"N-Naruto!"
"Ya, Sakura-chan?" Satu kecup, dua kecup, tiga kecup.
"S-sudah malam! Besok aku harus ke rumah sakit pagi-pagi."
"Mmm-hm."
"Jadi, tidurlah, Naruto."
Naruto menghela napas, mulai mengabaikan gerakan Sakura yang mendistraksi kegiatannya. Ia menggumam kesal, dan menahan tubuh Sakura untuk tetap menempel erat padanya.
"Tapi, Sakura-chan,"
Ia menahan tubuh Sakura, merenggutnya dengan intensitas lembut sehingga membuat wanita itu berbalik dan menangkap tatapannya.
"Apa?"
Safir menaut giok hijau, seringai nakalnya muncul perlahan-lahan.
"Sudah lama kita tak bermain di malam hari, kan?"
.
.
|end|
