Disclaimer : Naruto dan kawan-kawan milik Masashi Kishimoto.

.

.

Siang itu Hinata menikmati makan siangnya sendiri. Biasanya ia makan siang ditemani teman akrabnya, Lee, namun pemuda yang penuh semangat membara itu sedang pergi ke kota untuk membeli perlengkapan ulang tahun Ibunya besok. Sebenarnya Hinata ingin ikut membantu Lee tapi temannya itu menolak halus Hinata, katanya, Lee tidak ingin merepotkan Hinata karena tempat yang hendak dikunjunginya tidaklah sedikit. Lee memiliki kantung semangat yang sepertinya tak akan kunjung habis bahkan setelah lari marathon ke seluruh benua Asia.

Itu berlebihan. Tapi itulah uniknya Rock Lee.

Berbeda dengan Hinata yang lebih cenderung pendiam dan terkesan penurut jika disuruh melakukan sesuatu. Hinata memiliki sikap segan untuk menolak, walau ia tahu belum tentu ia bisa melakukannya. Terkadang, Hinata ingin merubah sikapnya itu, ia ingin seperti Lee yang penuh semangat dan tak segan mengemukakan pendapatnya, bahkan berani berkata tidak jika ia merasa harus demikian, tidak seperti Hinata yang menurut tapi belum tahu bagaimana kelanjutannya.

Ia pun menghela napas sambil kembali melahap roti isi daging yang sempat diabaikan beberapa saat karena terlalu sibuk menggumuli dirinya sendiri. Suasana siang itu cukup cerah, cuaca yang cocok untuk menikmati kebersamaan di luar rumah. Tidak heran jika taman kota menjadi tempat yang selalu menjadi favorit keluarga untuk piknik di hari cerah, tapi karena hari ini bukan hari libur, taman kota yang biasanya ramai oleh kehadiran berbagai kalangan usia, kini hanya dikunjungi oleh orang-orang dewasa yang tidak terlalu banyak bahkan bisa dihitung dengan jari.

Hinata mengalihkan perhatiannya yang sebelumnya memerhatikan seorang wanita yang membawa anjing golden retriever berjalan-jalan, berganti setelah indra pendengarannya menangkap suara deru mesin kendaraan beroda empat. Pandangannya terpaku pada suara mencolok itu hingga tanpa disadarinya mobil sport hitam-merah itu berhenti tak jauh dari posisi Hinata duduk.

Gadis itu tetap memerhatikan diam-diam sambil menebak-nebak semahal apa harga mobil mewah itu, pasti cukup untuk membeli rumah di Konoha pikirnya. Sambil menikmati roti isi, Hinata kini menebak-nebak pekerjaan apa yang membuat si pemilik mobil itu bisa memiliki banyak uang. Zaman sekarang mendapatkan uang banyak tidaklah susah jika memiliki kemampuan luar biasa dalam bidangnya. Mungkin si pemilik mobil itu bekerja di Pemerintahan, mungkin juga seorang pengusaha di perusahaan besar. Ah, mungkin seorang selebriti!

Hinata melihat si pemilik mobil itu keluar dari mobil sportnya.

Oh, dia keren! ucapnya dalam hati, tak mengira ia bisa melihat seorang lelaki bergengsi di siang hari yang cerah. Lelaki itu mengenakan kacamata hitam dengan rambut gelap yang tertata mencuat. Tampilan pakaiannya sederhana hanya kaus putih berkerah dan celana jins, tapi Hinata sudah mencap lelaki itu keren.

Merasa haus, Hinata mengambil air mineral yang dibawanya dari rumah, tapi entah kenapa tangannya tiba-tiba ceroboh hingga membuat botol itu jatuh. Hinata pun merutuki dirinya.

Dasar payah! Ia berjongkok untuk mengambil botolnya yang menggelinding ke bawah bangku taman. Setelah didapatkan, Hinata terdiam karena ada bayangan manusia di depannya. Sontak, Hinata mengalihkan pandangannya. Ia terkejut saat mendapati lelaki pemilik mobil sport tengah berdiri di hadapannya.

Ada apa dia kemari? Hinata kembali menebak-nebak. Mungkin dia mau menanyakan di mana toilet?

Tidak mau dianggap tidak sopan, Hinata pun segera berdiri sambil menggenggam erat botol air mineralnya agar tak lagi terselip dari genggamannya.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu, um ... Pak?" Hinata merasa ragu untuk mengucapkan kata terakhirnya, mengingat lelaki di hadapannya terlalu muda untuk disebut begitu.

Lelaki itu menyunggingkan senyum di bibirnya. Hinata terpesona oleh sosok itu. Rasanya ia seperti sedang bertemu dengan seorang aktor tampan yang biasa terpampang di televisi dan spanduk-spanduk iklan. Sosoknya begitu tinggi bahkan bisa melindungi Hinata yang jauh lebih pendek dari sinar matahari. Dia seperti tempat berteduh yang nyaman.

Hei, jangan berpikir macam-macam, Hinata! sahutnya dalam hati, memarahi diri sendiri.

"Kau tidak ingat aku?" tanya lelaki itu tiba-tiba yang disambut kernyitan bingung di wajah Hinata yang memerah karena udara panas. Lalu, lelaki itu membuka kacamata hitamnya dan menatap gadis di depannya yang masih memasang wajah bingung seolah mengatakan 'Kau siapa, Bung?'.

Hinata berkedip berkali-kali mencoba mengingat lelaki tampan di hadapannya. Otaknya ia coba buat bekerja keras untuk mengingat lelaki mana saja yang pernah ditemuinya, kecuali Lee yang tidak perlu diingatkan seperti apa. Sejauh Hinata bisa mengingat, tak pernah ia melihat lelaki setampan sosok di hadapannya, kecuali aktor tampan yang pernah dilihat di televisi dalam tayangan film romansa, tapi aktor tersebut bukanlah lelaki di depannya ini

Jujur, lelaki itu benar-benar tampan!

"Maaf, memangnya kita pernah bertemu, ya?" tanya Hinata karena ia sama sekali tidak mengingat lelaki di depannya itu.

Si pemilik mobil sport mendecih, kepalanya menoleh ke samping sebelum kembali menatap gadis pendek yang tak mengingatnya.

"Tentu saja. Karena itulah aku kemari ...," ucapnya menjeda, "... Hinata."

Untuk kesekian kalinya Hinata dibuat terkejut siang itu. Kedua matanya membulat. Otaknya segera mengajukan banyak pertanyaan untuk dirinya sendiri perihal lelaki itu yang kenapa bisa mengetahui namanya.

Dia siapa? Kapan kami bertemu? Apa dia teman Lee? Bagaimana bisa dia tahu namaku? Dia orang baik, 'kan?

Lelaki itu kembali tersenyum melihat Hinata yang menatapnya tanpa berkedip dengan mata membulat seperti anak kecil yang terpesona melihat adanya rumah permen sungguhan.

"Sudah lama aku mencari-carimu." Tangan kanannya terangkat untuk menyentuh pipi kiri Hinata lalu mengusapnya lembut tanpa ada niat untuk bertindak yang tak senonoh. Ia berharap dengan tindakan kecilnya bisa membuat Hinata tidak tegang dan mengingatnya.

Hinata hendak membuka mulut, akan tetapi seseorang memanggil namanya tak jauh. Keduanya pun menoleh ke arah orang yang memanggil Hinata.

"Ya!" sahut Hinata mendapati Lee yang sepertinya kerepotan dengan barang-barang bawaannya. Dengan segera Hinata pun beranjak dari tempat itu untuk membantu Lee membawakan sebagian barang-barangnya, meninggalkan dan melupakan sosok yang sempat ditemui dan bicara sebentar dengannya.

Kau benar-benar melupakanku, huh, Hinata? Ia mendecih merutuki betapa payahnya ingatan gadis itu. Ah, lihat! Bahkan gadis itu melupakan roti yang masih tersisa setengah, serta topi jingganya dibiarkan tergeletak begitu saja di atas bangku taman. Ia mengambil topi tersebut dan membuang roti itu ke tempat sampah. Bibirnya mengulas seringai sambil menatap topi jingga kebanggaan gadis itu. Hal yang bagus untuk mencari alasan untuk bisa bertemu dengannya lagi suatu saat nanti, secepatnya.

Setelah itu, ia pun beranjak menuju mobil sportnya dengan hati yang tak sabar untuk segera menyiapkan waktu untuk pertemuan selanjutnya dengan Hinata.

.

.

"Hinata, ada yang mencarimu," sahut Sasame tetangganya yang kebetulan berpapasan di jalan. Hinata baru saja pulang setelah membeli dua roti kacang merah untuk sarapan, penjual roti itu tak jauh dari flatnya.

"Siapa?" tanyanya. Sasame mengangkat bahu kemudian melanjutkan langkahnya ke arah berlawanan. Hinata memiringkan kepalanya, mencoba mengira-ngira siapa gerangan yang mencarinya sepagi ini.

Oh, mungkin Lee.

Hinata sampai di depan flatnya dan cukup terkejut mendapati sebuah mobil sedan hitam mengkilap parkir dengan manis. Ia segera menduga mobil itu masih baru.

Mungkin Pak Hayate membeli mobil baru. Pak Hayate adalah pemilik flat yang ditempati Hinata. Kemungkinan si pemilik flat telah mendapatkan cukup uang untuk sebuah mobil impiannya setelah bertahun-tahun menabung apalagi untuk mobil semenawan itu. Pasti harganya selangit.

Hinata tersenyum ikut mensyukuri Pak Hayate atas kerja kerasnya yang membuahkan hasil baik. Lalu ia kembali disadarkan jika ada orang yang mencarinya. Ia menepuk keningnya karena lagi-lagi melupakan hal penting. Hinata pun segera mencari-cari orang yang juga mencarinya, tapi sejauh ia memerhatikan sekitar flat tak ada orang, kecuali tetangga-tetangganya yang sibuk dengan kegiatan pagi mereka. Hinata pun berinisiatif untuk bertanya pada salah satu tetangganya yang tengah menjemur pakaian.

"Bibi, apa ada orang yang mencari saya?"

"Aa, iya. Dia tadi menanyakanmu."

"Oh. Dia sudah pulang?" tanya Hinata penasaran.

"Bibi rasa belum, tadi dia masih di sini beberapa menit yang lalu. Bibi sempat berkata padanya untuk menunggu karena kamu sedang beli sarapan."

"Oh, terima kasih, Bi." Hinata memutuskan untuk masuk ke flatnya untuk menyimpan roti. Dan baru saja ia hendak merogoh kunci pintu, seseorang berdiri di belakangnya.

"Pagi, Hinata." Sontak gadis itu berjengit terkejut, tak mengira ada orang di belakangnya. Ia meletakkan tangan di depan dada untuk meringankan detak jantungnya yang sempat berdebar-debar. Alangkah luar biasanya, lagi-lagi jantungnya seakan disengat listrik saat melihat siapa gerangan orang yang menyapa tiba-tiba padanya.

Lelaki yang waktu itu!

"Ya ampun, setidaknya balas sapaanku, jangan memasang wajah seperti kau baru saja melihat hantu di pagi hari," ucap lelaki itu. Kali ini ia mengenakan kemeja biru gelap dan celana hitam panjang. Ia terlihat lebih rapi dan tampan. Rasanya, lelaki itu makin tampan sejak terakhir bertemu di hari itu.

Hei, hentikan, Hinata! bentak batinnya.

Lelaki tampan itu memerhatikan kantung plastik transparan yang dibawa Hinata, lalu ia mendecih.

"Aku kemari untuk mengajakmu pergi," ucapnya tenang. "Kau sedang libur 'kan hari ini?"

Hinata mengangguk bisu dan lelaki itu tersenyum yang makin membuat wajahnya tampan berkali lipat.

"Kalau begitu ayo," katanya sambil menarik tangan Hinata yang syok, bingung, dan panik antara ingin menolak dan menurut. Niat terbesarnya adalah menolak, tentu saja, mengingat ia tak kenal lelaki itu, tapi di lain pihak Hinata tidak merasa takut maupun perlu waspada padanya. Jika lelaki itu hendak berbuat jahat padanya, tetangganya nanti pasti akan membantu sebab mereka sempat melihat wajah lelaki itu.

Akhirnya, Hinata kembali dikalahkan oleh sifat penurutnya. Ia mengikuti langkah sang pria yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Mereka baru berhenti ketika sampai di depan mobil sedan hitam yang terparkir di depan flat.

Ah, jadi ini mobilnya? Hinata menatap lelaki itu bisu. Dugaannya salah mengira mobil itu adalah mobil baru milik Pak Hayate.

Dengan perlahan, lelaki itu membukakan pintu depan mobilnya agar Hinata segera masuk. "Masuklah," ucapnya. Hinata menurut dan masuk. Pintu ditutup lelaki itu dari luar kemudian ia duduk di kursi pengemudi. "Pakai sabuk pengamannya."

Pandangan mata Hinata beralih pada benda di sebelahnya. Hinata tidak tahu bagaimana mengenakannya, pasalnya ia belum pernah duduk di kursi depan mobil, Hinata biasa duduk di kursi bus yang tak ada sabuk pengamannya. Bagi Hinata, itu adalah pengalaman pertamanya duduk di kursi depan.

Sudah lebih dari satu menit Hinata mencoba memasangnya, tapi ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya. Sungguh payah!

"Biar kubantu."

Dengan sekejap, sabuk pengaman itu sudah terpasang di badan Hinata.

"Terima kasih," ucap Hinata yang disambut anggukan kepala dan senyuman.

Hinata duduk membisu. Di kepalanya banyak sekali pertanyaan yang meminta jawaban. Hinata ingin menjawabnya, tapi sayang ia tidak bisa menjawabnya meski pertanyaan-pertanyaan yang muncul termasuk pertanyaan sederhana. Satu pertanyaan yang mengganjal di hatinya; siapa gerangan lelaki di sebelahnya itu.

Mesin mobil telah dinyalakan oleh sang pemilik, dan setelah tuas gear digerakkan, mobil pun mulai melaju menjauh dari area flat Hinata.

Untuk ukuran orang sedewasa Hinata ketika ada orang yang tidak dikenal mengajak pergi tentu perlu diwaspadai. Jangankan orang dewasa yang sudah berpengalaman, anak kecil pun sudah diajari untuk tidak bicara pada orang asing, apalagi mau diajak pergi. Lalu bagaimana dengan posisi Hinata? Perlukah ia dikatakan orang dewasa yang super pandir atau teramat polos hingga tak bisa menolak ajakan orang asing? Mungkin lain kali ia perlu berkonsultasi dengan ahli psikologi guna memperbaiki sikapnya yang sudah keterlaluan melebihi kepolosan anak kecil.

Teriakan-teriakan peringatan tentu sudah digaungkan semenjak Hinata bertemu muka dengan lelaki di sebelahnya saat ia menyapa Hinata tadi. Tapi peringatan itu lagi-lagi tidak diindahkannya. Ada yang membisikkan pada Hinata jika ia tidak perlu takut pada lelaki itu. Lucu, karena Hinata lebih memilih mendengarkan suara bisikan tidak jelas daripada teriakan peringatan. Ibarat orang buta yang dituntun ke jurang maut, begitulah kira-kira peribahasa yang cocok untuk sikap 'luar biasa' Hinata.

"Kau pendiam sekali sekarang ini," gadis itu tersentak dari gumulannya ketika si pemilik mobil bicara padanya. Hinata masih memilih diam sebab ia bingung harus berkata apa mengingat ia baru saja dikembalikan ke alam sadarnya.

"Kau punya banyak pertanyaan, kenapa tidak kauajukan padaku?" Hinata menatap lelaki di sebelahnya.

Bagaimana dia bisa tahu aku punya banyak pertanyaan?

"Raut wajahmu menjelaskan semuanya," lagi ucap sang lelaki.

Aku harus mulai dari pertanyaan mana? Ah, iya aku tahu! Hinata meremas kain bajunya untuk memberanikan diri bertanya pada lelaki itu. Ia harus tahu siapa lelaki di sebelahnya itu.

"Anu ... Anda siapa? Apa ... kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku, mungkinkah Anda teman Lee?" Lelaki itu terdiam sejenak dengan mata sedikit membulat mendengar tiga pertanyaan sekaligus dari Hinata yang membuatnya cukup syok.

Sungguh? Dia tidak bercanda? Dia benar-benar tidak ingat padaku?!

Mobil berhenti saat lampu merah menyala di perempatan jalan. Bagi sang lelaki, ini adalah kesempatan bagus untuk menjawab pertanyaan super konyol gadis payah di sampingnya itu.

"Sungguh kau tidak ingat padaku?" tanyanya memastikan menatap sepenuhnya Hinata yang tetap memasang wajah bingung dan malu-malu.

"Anda teman Lee, ya?"

Astaga! Siapa itu Lee? Gadis itu benar-benar melupakannya!

Rambut legamnya ia usap sedikit kasar, ingin kesal pada gadis itu tapi tak bisa. Bukan salah gadis itu jika ia dilupakannya.

Dengan helaan napas penghilang kesal, ia pun berucap, "Kau ingat Sasuke?"

Gadis itu terlihat mengingat-ingat dengan kepala sedikit dimiringkan, mungkin agar otaknya tidak berat sebelah hingga bisa mengingatnya.

"Uh ..." si gadis payah bergumam masih kesulitan mengingat. Kalau saja kantung kesabaran yang dimiliki si pemilik mobil itu habis, mungkin sekaranglah saatnya ia menjitak kepala gadis itu dengan buku majalah yang tadi dibelinya.

"Sasu-key." Si lelaki mencoba mengeja namanya sendiri. Dalam hati ia merasa sebal harus mengatakan itu.

Sasu...-key...

Nama itu terdengar tidak asing di kepala Hinata. Ia pernah, bahkan sepertinya sering mendengar nama panggilan seperti itu.

Lalu ingatan-ingatan lama mulai muncul di kepalanya. Nama panggilan itu adalah milik seorang anak lelaki populer di sekolahnya saat Hinata masih SMP. Hinata bahkan ingat nama lengkap lelaki itu, Sasuke Uchiha yang lebih populer disebut Sasu-key oleh anak-anak perempuan. Dia anak lelaki dari kelas unggulan, kelas yang hanya ditempati siswa-siswi berotak pintar—Hinata tidak masuk di daftar itu. Anak lelaki yang juga menjadi siswa favorit para guru di segala mata pelajaran, menjadi kebanggaan hampir semua orang. Sasu-key yang dengan segala keberuntungan yang dimilikinya merupakan musuh besar Hinata.

Sasu-key pernah menjadi mimpi buruknya saat SMP.

Hinata tidak ingat entah sejak kapan Sasu-key mulai membuat hari-hari di sekolahnya buruk, yang ia ingat, Sasu-key tak pernah membiarkan Hinata sekolah tanpa ada tingkah jahil darinya. Tiap hari selalu saja ada 'hadiah' yang didapati Hinata, mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal menjijikkan seperti ditempeli ulat daun jeruk yang gemuk dan 'menggemaskan'. Hinata paling geli dengan ciptaan Tuhan yang satu itu, dan Sasu-key menggunakan si imut itu untuk menghadiahkannya pada Hinata.

Hinata ingat, itu adalah hari terburuk semasa SMPnya. Ia menangis sambil menggeliat berusaha menjauhkan binatang 'menggemaskan' itu dari punggungnya. Banyak siswa-siswi lain di sekitarnya, tapi sayang, bukannya menolong, mereka malah makin menertawakan Hinata yang mereka anggap sangat konyol dan lucu untuk diabaikan. Dan Sasu-key pun ikut memimpin aksi tertawaan.

Sasu-key itu sangat beruntung. Setelah kejadian Hinata yang sengaja ditempeli ulat oleh Sasu-key, si pelaku hanya diberikan teguran oleh wali kelasnya tanpa ada hukuman yang berarti. Hinata tak bisa berkutik. Ia dibuat menangis dan dipermalukan di depan banyak orang, tetapi si pelaku hanya diberikan sanksi ringan. Jika Hinata bisa membuka mulutnya dan punya sedikit keberanian, mungkin ia akan berteriak, 'Di mana keadilan?!'

"Ah, sepertinya kau sudah ingat," ucap Sasuke dengan senyuman. Kali ini ia kembali fokuskan pandangannya ke jalan sebab lampu merah sudah berganti hijau. Mobil pun melaju.

Hinata syok. Ternyata lelaki di sebelahnya ini adalah orang yang patut dihindarinya saat SMP.

Mungkinkah kedatangan Sasu-key kali ini untuk memperburuk hari-hariku lagi seperti dulu dan sekarang dia sedang merencanakan sesuatu terhadapku? Apa dia akan menggencetku lagi? Mungkinkah dia akan membalas dendam padaku?

Hinata mulai paranoid karena otaknya mulai terkontaminasi oleh kenangan-kenangan buruk akibat lelaki di sampingnya. Wajar jika Hinata trauma, sebab masa-masa SMPnya bisa dikatakan cukup kelam. Hinata tidak punya teman karena ia anak yang sangat pendiam juga pemalu, apalagi setelah ditambah adanya Sasu-key yang menjadikannya target penghilang rasa bosan di sekolah, Hinata makin terpojok, tersudut hingga berakhir pasrah. Hinata tidak bisa melawan dikarenakan Sasu-key memiliki banyak sekutu, sedangkan Hinata? Nihil!

"Kenapa kau diam lagi? Ayo, bertanyalah. Aku tidak akan keberatan menjawabnya."

Sasu-key yang kuingat dulu tidak banyak bicara, tapi kenapa sekarang dia suka sekali bicara? tanya Hinata dalam hati. Diam-diam ia melirik lelaki di sampingnya merasa sedikit heran dengan sikap Sasuke. Ia takut jika berlama-lama menatapnya, Sasuke akan marah. Akhirnya, Hinata memilih untuk menatap ke depan, pura-pura fokus.

"Hinata?"

"Y-ya?"

"Jangan makan itu," ujar Sasuke. Hinata menatap kantung plastik yang berisi dua roti kacang merah yang ternyata masih setia dibawa dan ada di pangkuannya. Sungguh, ia bahkan tidak merasa membawa sesuatu, ia benar-benar melupakannya. Hinata merasa kasihan pada makanan itu. Seharusnya ia memakannya kalau saja Sasuke tidak datang dan membawa dirinya pergi.

Tapi tunggu, apa katanya tadi? batin Hinata.

"Kenapa? Ini 'kan roti kacang merah. Kacang merah baik untuk kesehatan," jawab Hinata yang entah dari mana kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa gangguan. Memang tidak ada yang salah, toh, itu 'kan makanan yang biasa dikonsumsi manusia. Selain itu juga enak, bagi selera Hinata.

"Kau tidak bosan makan itu hampir tiap hari?" pertanyaan dari Sasuke membuat Hinata bungkam.

Dari mana Sasu-key tahu aku makan roti kacang merah tiap hari? Apa dia juga sering membelinya? Atau dia pernah melihatku membelinya?

"Kau harus makan makanan yang lebih bergizi. Lihat, tubuhmu kurus begitu," ucap Sasuke sambil menggenggam pergelangan tangan Hinata yang terlihat kecil. Hinata memang kurus mengingat ia tinggal seorang diri, jauh dari sanak keluarga. Hinata yatim piatu, keluarga yang ia miliki hanya Paman dan kakak sepupu yang tinggal di luar kota, juga jauh. Mereka tidak bisa sering bertemu Hinata karena mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Mereka orang yang cukup sibuk.

Hinata sendiri sudah bekerja, meski serabutan. Senin hingga Rabu adalah bagian Hinata untuk bekerja di tempat pengiriman barang, kadang ia mendapat tugas sebagai pengganti dengan mengantarkan barang ke pelanggan, tapi Hinata lebih sering bertugas sebagai pencatat barang-barang yang masuk. Kamis dan Jumat, Hinata akan datang ke perpustakaan kota Konoha membantu Kakek Sarutobi mencatat para peminjam buku atau ikut merapikan buku-buku, mengingat Kakek Sarutobi sudah tidak muda lagi, Hinata dengan senang hati membantunya. Selain itu, beliau orang yang sangat baik. Sabtu, ia habiskan waktunya di luar ruangan. Hinata sering terlihat di taman kota dengan alasan ia menjadi petugas kebersihan sukarela. Di sana, ia biasa ditemani Lee yang juga menjadi seorang sukarelawan membersihkan area taman, dan ada beberapa orang lagi.

Pendapatan Hinata memang tidak seberapa, tapi ia suka dengan pekerjaannya. Jadi wajar saja, jika Hinata terlihat sangat sederhana dengan segala yang ada padanya, termasuk apa yang biasa ia makan.

"T-tapi aku suka," ucap Hinata pelan.

"Suka kurus?" tanya Sasuke dengan senyum yang masih betah hadir di bibir merahnya. Jujur, ia senang sekarang ini karena Hinata sudah mengingatnya, walau gadis itu masih terkesan sangat pendiam.

"Bukan," gadis itu menggelengkan kepala. "Rotinya."

"Kau pantas mendapat yang terbaik, Hinata," kata Sasuke. Kepalanya sedikit menoleh pada gadis di sebelahnya.

Hinata kembali diam memusatkan pandangannya ke depan, tidak terlalu memerhatikan ucapan Sasuke. Walau begitu Hinata senang, karena sepertinya Sasuke tidak berniat melakukan penggencetan padanya seperti dulu lagi.

.

.

.

"Ini rumah Sasuke?" Hinata terpana pada bangunan rumah bertingkat yang terlihat begitu megah. Tidak terlalu besar tapi sangat menyenangkan di matanya.

"Bukan. Ini vila keluarga," jawab Sasuke. Kunci mobilnya ia masukkan ke saku celana setelah menekan tombol kunci. Hinata sendiri masih belum bisa berhenti mengagumi vila itu dan sekitarnya yang dikelilingi pepohonan dan berbagai tanaman bunga yang sedang mekar dengan cantiknya. Ia menerka akan seberapa menyenangkan jika berada di dalamnya jika di luarnya saja sudah sangat mencuri perhatian.

"Jangan terlalu lama berdiri, kita kemari bukan untuk menatap vila seharian," Sasuke berujar sambil menarik pergelangan Hinata memasuki villa. Jantung Hinata berdegup tidak sabar untuk melihat seperti apa bagian dalamnya.

Begitu mereka sampai di depan pintu, seorang pelayan pria membukakan pintu dan mempersilakan Sasuke dan Hinata masuk. Lalu ada seorang pelayan lagi, kali ini wanita yang mengantarkan mereka menuju ke bagian luar ruangan di belakang.

Hinata dibuat terkesima saat pintu vila dibuka. Di dalamnya begitu luas. Banyak jendela yang memungkinkan sinar matahari menerangi ruangan, dindingnya didominasi warna krem yang lembut, lalu tangga menuju ke lantai atas. Lantai marmer yang mengkilap bersih. Satu hal yang menjadi pusat perhatian Hinata adalah lampu kristal yang menggantung indah memukau di langit-langit. Hinata serasa menjadi orang kaya lalu berpikir kapan ia bisa memiliki rumah yang semewah itu.

Apa mungkin bisa? Rasanya mustahil.

Hinata lagi-lagi dibuat bungkam dengan keindahan yang tersaji di hadapannya. Kini, mereka berada di luar ruangan, tepatnya di pinggir kolam renang yang juga menghadap langsung ke laut. Kolam renang itu cukup luas dan uniknya ada gazebo yang terletak di tengah-tengahnya. Ingin rasanya Hinata menceburkan diri ke kolam. Saat ia melihat airnya yang jernih dan tampak tidak terlalu dalam, seakan menggodanya untuk segera membasahi dirinya di sana. Tapi ia ingat, ia tidak bawa baju ganti. Hingga akhirnya mata Hinata tertuju pada gazebo.

Sasuke mengerti arah pandang gadis itu lalu kembali menuntunnya karena di sana sudah menunggu hidangan makanan untuk sarapan mereka.

Ya Tuhan! Makanannya banyak sekali! teriak Hinata dalam hati melihat hidangan makanan yang tersaji di meja. Ini baru pertama kalinya Hinata melihat makanan sebanyak itu, dan lagi sepertinya terlihat sangat menggugah selera. Hinata tidak tahu apa saja nama makanan itu, yang ia tahu di meja itu tersaji telur mata sapi, roti bakar, panekuk yang sudah dibaluri selai maple, berbagai macam buah, daging ham, jus jeruk, dan entah apa lagi.

"Silakan, Tuan dan Nona," ucap pelayan wanita itu. "Ada yang perlu kami siapkan lagi, Tuan Sasuke?" tambahnya.

"Tidak. Kurasa cukup," setelah Sasuke mengatakan itu, si pelayan wanita pun beranjak masuk ke dalam namun tetap bersiap jika sewaktu-waktu sang majikan hendak memesan sesuatu.

"Hei, ayo. Jangan dilihat saja," Sasuke menggeser kursi untuk Hinata duduki. Gadis itu menurut dan Sasuke duduk tepat di hadapannya.

Dalam situasi seperti ini Hinata masih diingatkan pada dirinya sendiri untuk tidak mempermalukan diri di depan orang lain. Ia sadar jika Hinata bukan orang yang pernah dididik dalam hal sopan santun saat makan, tapi setidaknya dengan tidak bertindak yang mencolok, menandakan jika Hinata masih punya kesopanan. Maka dari itu, Hinata memilih untuk diam dengan tangan di pangkuannya. Kepalanya tertunduk. Ia tidak mau dianggap kelaparan jika menatap hidangan di hadapannya yang begitu menggiurkan lidah.

Aku tidak tahu harus apa sekarang.

"Hinata, ayo dimakan," ucap Sasuke. Ia sudah siap dengan peralatan makannya, tapi gadis di depannya sama sekali bergeming menatap pangkuannya saja sedari tadi. "Kau sakit?"

Hinata tersentak lalu menjawab, "Oh, ti-tidak." Tangannya kembali meremas kain bajunya.

Sasuke menghela napas, merasa sedikit heran dengan sikap Hinata yang benar-benar tidak disangkanya. Dia pikir, Hinata sudah merasa lebih nyaman bersamanya. Namun sepertinya belum. Dengan pelan, Sasuke meletakkan kembali garpu dan pisau makan yang semula ia pegang, sebab ia sudah mulai lapar. Namun Hinata malah bertingkah unik.

"Lalu kenapa kau tidak makan? Kau tidak suka makanannya?"

Hinata menggeleng, "Bukan begitu," jawabnya.

"Lalu kenapa?" Sasuke mengulang kembali pertanyaannya.

Kedua mata Hinata melirik gelisah tak tentu. Saat itu, ia benar-benar gugup dan tidak tahu harus melakukan apa. Pasalnya, Hinata tidak tahu cara menggunakan garpu dan pisau yang tersusun manis di antara piringnya. Dan lucunya, jumlah pisau yang ada bukan hanya satu, melainkan ada beberapa dan berbeda-beda. Hinata hanya tahu menggunakan sumpit, sendok dan garpu untuk makan. Itu pun Hinata paling sering makan pakai sumpit, bisa dihitung kapan ia makan menggunakan garpu dan sendok layaknya orang Barat.

Belum lagi makanan yang tersaji bermacam-macam. Hinata sungguh tidak terbiasa dengan sajian sarapan semewah ini. Perlu dimaklumi jika saat itu Hinata masih syok.

.

"Kita makan pakai tangan saja, tidak perlu pakai garpu atau pisau," Sasuke menyarankan. Ia juga sudah mengambil roti panggangnya. "Selamat makan."

"Se-selamat makan," Hinata membalas. Diam-diam ia memerhatikan Sasuke yang menyantap makanannya dengan tenang. Hinata sangat menghargai sikap Sasuke yang tanggap karena Hinata tak bisa menggunakan alat makan yang tersedia di sana. Sasuke bahkan memakan roti panggangnya menggunakan tangan demi Hinata agar gadis itu bisa makan dengan lebih leluasa tanpa memedulikan alat makan.

Suara deburan ombak dan nyanyian burung camar laut, menjadi iringan musik alam yang menemani sarapan pagi kedua muda-mudi itu. Dulu, Hinata pernah membayangkan piknik di pantai bersama lelaki impiannya. Suasana yang dirasakan Hinata hari itu sama seperti yang ia bayangkan, hanya yang membedakannya adalah seseorang yang sedang makan bersamanya.

Hinata tidak pernah membayangkan bisa bertemu kembali dengan salah satu teman masa SMP-nya, terlebih lagi bertemu Sasuke Uchiha alias Sasu-key, yang dulunya adalah musuh besar Hinata. Bocah lelaki paling jahil terhadapnya. Bocah yang sering membuat Hinata menangis dan dipermalukan di depan banyak orang. Anak lelaki yang ...

"Katakan, Hinata. Kenapa saat itu kau tiba-tiba pergi?" Sasuke tiba-tiba bertanya saat Hinata sedang mengingat masa-masa SMP-nya dulu.

"Y-ya?" Hinata berusaha menjawab pertanyaan Sasuke sambil melirikkan matanya ke arah lain. Sebenarnya Hinata sedikit kebingungan karena ia belum ingat kapan ia pergi tiba-tiba. Lalu ingatannya mengulang kembali ke pertemuan mereka di taman beberapa waktu yang lalu.

"Ah, itu. Waktu itu Lee memanggilku. Dia kerepotan membawa barang-barangnya, jadi aku membantunya," Hinata menjelaskan, "Maaf, waktu itu aku langsung pergi begitu saja."

Sasuke menggeleng. Roti panggangnya telah ia habiskan lalu ia memilih untuk meminum jus tomat favoritnya.

"Maksudku, bukan waktu pertemuan kita di taman," ucap Sasuke yang mendapat kernyitan bingung di kening Hinata.

"Lalu, yang mana? Kupikir yang waktu itu karena kita 'kan memang baru bertemu kembali saat itu."

"Benar. Namun yang kumaksud bukan waktu itu. Melainkan saat kau tiba-tiba tidak pernah kembali ke sekolah sehari setelah aku mengganggumu dengan ulat daun jeruk," Sasuke menatap Hinata dengan tatapan sendu, hampir seperti orang yang sedang merasa bersalah. "Apa karena tingkahku itu kau tidak kembali?"

Sekarang Hinata baru mengerti ke arah mana Sasuke bertanya. Lelaki itu ingin tahu alasan Hinata tidak kembali ke sekolah sehari setelah hari kesialan yang menimpa Hinata. Gadis itu mencoba menjawabnya, tetapi lagi-lagi ia kesulitan mengeluarkan kata-kata yang tepat sebagai jawaban.

Hinata heran, ternyata Sasuke pun ingat kejadian hari itu. Pikirnya, hanya Hinata saja yang mengingatnya.

"Hinata?" suara Sasuke terdengar begitu lembut memanggilnya.

"Ya?"

"Apa aku yang menyebabkanmu tidak lagi sekolah di sana?" tanyanya lagi. Dari tatapan matanya, Hinata mengartikan bahwa Sasuke merasa bersalah.

Ada alasan kenapa setelah sehari Hinata dijahili oleh Sasuke, Hinata tidak lagi masuk sekolah. Alasannya bukanlah Sasuke, melainkan ibunya meninggal dan Hinata diajak oleh pamannya tinggal di luar kota. Kepindahannya ke kota lain sengaja Hinata tidak beritahukan kepada yang lain, kecuali Kepala Sekolahnya dengan alasan kepergian dirinya tidaklah penting. Lagi pula di sekolahnya, Hinata tak memiliki teman satu orang pun, jadi tak akan ada yang mencari-cari atau merasa kehilangan dirinya jika ia tak ada. Setidaknya itulah yang menjadi alasannya waktu itu. Seingatnya.

"Bukan. Sasuke bukan penyebabnya," jawab Hinata .

"Lalu apa? Kenapa kau pergi begitu saja tanpa kabar?"

Hinata jadi merasa tidak enak pada Sasuke karena membuatnya merasa bersalah.

"Kau tahu, sejak hari itu aku merasa sangat menyesal karena ulahku terhadapmu. Aku akui, aku sudah sangat keterlaluan padamu. Awalnya aku tidak merasa bersalah sama sekali padamu, hingga saat aku tahu kau tidak lagi masuk hingga tiga hari kemudian, aku merasa ..."

Sasuke bingung ingin melanjutkan ucapannya. Di hari ketiga setelah ketidakhadiran target penggencetannya, Sasuke merasa kehilangan. Tentu saja, tidak ada lagi mainan yang bisa membuatnya puas saat di sekolah. Tidak ada lagi target yang bisa menjadi penghilang kebosanannya. Dan saking kehilangannya, Sasuke memberanikan diri bertanya pada wali kelas Hinata yang sayangnya, wali kelas 8-G itu tak tahu atau mungkin tidak mau memberikan keterangan apa pun mengenai Hinata. Wali kelas itu hanya mengatakan Hinata pindah, itu saja. Merasa tidak puas, Sasuke bahkan bertanya langsung pada Kepala Sekolah yang juga mendapat jawaban yang hampir sama seperti wali kelas 8-G.

Sasuke kesal betul saat itu hingga berakhir menyalahkan dirinya sendiri yang telah membuat Hinata pergi tanpa kabar. Gadis itu pasti takut pada Sasuke karena tiap hari Hinata selalu diganggunya. Dan puncaknya adalah hari itu. Hinata pasti benar-benar membenci Sasuke dan semua penghuni sekolah itu.

Uniknya, rasa bersalahnya itu ternyata tidak hilang walaupun kejadian itu sudah lewat bertahun-tahun. Entah kenapa pula Sasuke harus merasa begitu kehilangan hanya karena satu teman mainnya, padahal ia memiliki segerombolan teman-teman yang luar biasa di mana-mana dan dari segala usia. Lalu sebuah pemikiran menjawab kebimbangannya, bahwa selama ini hanya Hinata yang bisa membuatnya tertawa dan melepaskan semua ekspresinya yang biasanya kaku dan berwajah masam. Tiap kali Sasuke melihat Hinata, pasti ada saja ide jahil terlintas di otak cerdasnya untuk mengganggu gadis lemah itu. Setiap Sasuke berhasil dengan rancangan-rancangan jahilnya, ia akan tertawa lepas. Mungkin itu pula yang menjadi alasan kenapa Sasuke suka sekali menggencet Hinata. Namun satu hal yang pasti, Sasuke tidak pernah melakukan kejahilan yang membuat gadis itu patah tulang atau memar parah. Sasuke hanya membuatnya menangis, basah kuyup, dan ditertawai.

Sasuke mengira hanya dengan mengganggu mental gadis itu tak akan berpengaruh banyak dibandingkan melakukan tindakan fisik. Namun nyatanya, serangan mental darinya tentu sangat menyudutkan Hinata hingga gadis itu memilih jalan aman dengan menjauhkan diri darinya dan semua penghuni sekolah.

"Aku sungguh minta maaf atas tindakanku dulu padamu, Hinata."

Hinata sedikit gelagapan karena tiba-tiba Sasuke meminta maaf padanya. Sungguh, Hinata mengerti jika Sasuke merasa sangat bersalah padanya, tetapi bukan Sasuke yang menjadi alasan kenapa Hinata tidak lagi sekolah di SMP Konoha.

"Sasuke. Aku sudah memaafkan Sasuke sejak lama. Karena itu jangan menyalahkan diri Sasuke sendiri. Lagi pula, alasan kenapa aku tidak lagi sekolah di sana bukan karena Sasuke."

"Lalu kenapa?" tanya Sasuke penasaran. Kendati baru saja Hinata mengatakan ia sudah memaafkannya, Sasuke masih tetap merasa belum tenang.

"Ibuku ... meninggal di malam hari itu. Lalu keesokan paginya Pamanku datang dan membawaku ke Iwa. Aku pun tinggal di sana karena di Konoha, aku tidak punya sanak keluarga."

Hari itu, Hinata menangis tersedu-sedu, selain karena ditinggal oleh ibunya yang terkasih, ia pun berharap dengan kepergiannya ke kota Iwa bisa memberikan pengalaman hidup baru yang lebih menyenangkan. Juga, sedikit banyak sebenarnya Hinata cukup berat hati meninggalkan sekolahnya di Konoha. Hinata bahkan sempat berpikir mengenai Sasuke yang pasti akan segera melupakannya, atau mungkin ia malah senang karena akhirnya orang yang selama ini jadi bahan leluconnya sudah tak ada lagi. Namun Hinata memantapkan hati untuk tetap tegar dan harus siap dengan nuansa baru kehidupannya. Ia harus terus melanjutkan kesehariannya walau tanpa ada kasih sayang dari sang ibu dan kehidupannya di Konoha. Semua akan tergantikan begitu Hinata tinggal bersama sang paman di Iwa.

Sasuke tidak membalas ucapan Hinata selama beberapa saat. Ia merenung. Makanan yang masih tersaji banyak sempat terlupakan, bahkan hampir terhilang selera untuk memakannya.

Hinata melirik Sasuke diam-diam. Diperhatikannya pemuda di hadapannya yang diam seribu bahasa. Wajah Sasuke terlihat tenang, tetapi Hinata sedikit tahu kalau saat itu Sasuke sedang memikirkan sesuatu. Merenung. Hinata tidak tahu pastinya apa yang sedang Sasuke pikirkan, hanya tiba-tiba melintas di kepalanya jika Sasuke sedang merenungkan ucapan Hinata tadi.

Sungguh, Hinata menceritakan alasan itu bukan karena ingin mendapat simpati dari Sasuke. Memang kehidupan yang dialami Hinata dulu cukup membuat hati terenyuh bagi yang mendengarnya, apalagi Sasuke pun ikut ambil bagian dalam 'pahitnya masa SMP Hinata'. Akan tetapi, Hinata sama sekali tidak pernah berpikir untuk membuat Sasuke bernostalgia ke masa lalu kemudian merasa bersalah atas kelakuannya dulu terhadap Hinata.

Kali ini, Hinata menyalahkan dirinya sendiri.

"Sasuke tidak usah pikirkan ucapanku, ya. Lagi pula, aku baik-baik saja sekarang," ucap Hinata berusaha mendapatkan lagi perhatian Sasuke agar percakapan mereka bisa berlanjut ke hal-hal yang lebih bersemangat dan ceria, bukan mengingat masa lampau yang suram.

"Aku sudah bekerja di sini. Dan aku betah setelah memutuskan untuk tidak lagi merepotkan Paman dan Kak Neji. Ini keputusanku untuk tinggal di sini."

Sasuke akhirnya kembali memusatkan perhatiannya pada Hinata, kali ini wajahnya terlihat lebih tenang dengan senyum kecil.

"Sekarang, aku bisa hidup mandiri tanpa perlu merepotkan orang lain," ucap Hinata bangga pada dirinya. Selama ini yang menjadi teman mengobrolnya yang akrab adalah Lee. Ketika ia bercerita banyak dengan sobat overspiritnya itu Hinata merasa lega karena bisa berbagi cerita dengan orang yang bisa dipercaya. Akan tetapi kali ini, Hinata bercakap-cakap dengan teman SMPnya. Yang sebenarnya kurang cocok dikatakan teman sebab dulu mereka tidak pernah berteman. Kendati demikian, Hinata merasa lega bisa mengobrol dengan Sasuke.

Sasuke menggeser kursinya lalu berdiri dan menghampiri Hinata. Tanpa banyak bicara, kedua tangan Sasuke melingkar di sekitar tubuh Hinata dengan pelukan erat.

Hinata membelalakkan matanya. Tentu saja dia terkejut! Siapa yang tidak? Mungkin jika sepupunya, Neji yang memeluknya itu tidak akan terlalu bermasalah, tetapi ini Sasuke! Lelaki yang bukanlah teman akrabnya dulu. Sasuke masih Hinata anggap orang asing karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu bahkan dilupakannya, lalu mereka bertemu dalam sebuah pertemuan yang tidak pernah Hinata duga, kemudian keduanya kembali dipertemukan takdir, bercakap-cakap sambil menikmati sarapan di vila milik keluarga si Sasu-key, dan sekarang lelaki itu memeluknya erat.

Apa maksud perlakuan Sasuke?

Baik, Hinata memang tidak berpikir Sasuke hendak melakukan hal-hal berbau negatif terhadapnya, ia percaya Sasuke bukanlah orang semacam itu. Hinata meyakinkan dirinya sendiri bahwa pelukan yang Sasuke berikan adalah semacam pelukan permintaan maaf.

Benar, permintaan maaf. Mungkin setelah ini, kami bisa berteman baik.

Pelukan Sasuke memang erat, bahkan makin erat tiap kali Hinata sedikit bergerak.

Apa aku harus membalas pelukannya? tanya Hinata dalam hati. Sungguh, ia kebingungan dengan keadaan itu. Ia bimbang apakah ia harus membalas pelukan itu atau diam saja. Jika Hinata membalasnya, ada rasa malu menggerayapi seluruh tubuhnya. Ia tidak mau disangka bertindak kurang ajar. Namun jika Hinata diam saja, ia bisa dianggap orang yang sangat egois dan tidak sopan serta terkesan ingin menikmati sendiri.

Perlahan tangan Hinata terangkat dengan maksud untuk membalas pelukan Sasuke. Akan tetapi, belum sempat tangannya meraih punggung pemuda itu, Sasuke sudah melepaskan pelukannya.

Hinata malu setengah mati dengan wajah merah. Malu antara sudah dipeluk dan ingin memeluk, tetapi tidak sempat.

"Habiskan makananmu karena setelah ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan," ucap Sasuke seraya mengusap puncak kepala Hinata dengan lembut.

Hinata menatap Sasuke malu-malu yang berada tepat di hadapannya sebab Sasuke masih dalam posisi berjongkok sehingga posisi mereka setara.

"Ke mana?" tanya Hinata penasaran. Suaranya pelan, merasa gerogi ditatap Sasuke yang tersenyum kecil.

"Kau akan tahu nanti," jawabnya kemudian. Sasuke pun berdiri dan kembali ke kursinya. Perutnya sudah terasa kenyang walau hanya baru memakan dua lapis roti panggang dan minum segelas jus tomat. Mungkin karena suasana hatinya kali ini sedang berwarna-warni bagai pelangi, itulah yang membuatnya tidak lapar lagi. Semuanya berkat Hinata, tentunya.

Hinata pun merasa demikian. Rasa laparnya sudah hilang seperti tersapu ombak. Padahal makanan yang tersaji di meja masih banyak dan belum tersentuh sama sekali. Hinata berpikir, akan diapakan nantinya makanan-makanan itu, apakah dibuang atau dimakan oleh para pelayan? Hinata lebih suka para pelayan yang bekerja di vila itu memakan semua makanan itu daripada harus dibuang ke tempat sampah. Ah, jika memang harus dibuang, Hinata akan dengan sangat senang hati mau membawa makanan-makanan itu untuknya. Dan ia pun bisa membagikannya pada tetangga di flat. Sayang 'kan jika makanan seenak itu harus berakhir di tempat pembuangan.

"Kenapa lagi?" Sasuke heran melihat Hinata yang menatap meja makan tanpa berkedip, walau ia tahu Hinata bukan memandangnya dengan tatapan lapar, melainkan apa yang sedang dipikirkannya seakan adalah hal yang begitu penting.

Ah, mungkin dia sedang memikirkan makanan itu.

"Makanan ini masih tersisa banyak dan ada yang belum disentuh. Nantinya makanan ini mau diapakan?" tanya Hinata akhirnya. Kali ini ia berani menatap Sasuke, tanpa ragu-ragu. Ia harus tahu bagaimana nasib sajian-sajian enak itu selanjutnya.

Dalam hati Sasuke tertawa mendengar pertanyaan gadis itu. Ternyata benar apa yang dipikirkannya. Hinata sedang memikirkan makanan itu. Hinata lebih memikirkan makanan dibanding memikirkan Sasuke. Oh, lucu.

"Ya, pelayan di sini bisa memakannya. Kalau tidak, ya dibuang."

Mendengar kata 'dibuang' membuat hati Hinata sedih. Kedua matanya menatap sendu makanan yang masih tersaji rapi dan lezat. Tidakkah Sasuke tahu bahwa mencari uang demi mendapatkan makanan seenak dan sebanyak ini sangatlah susah? Bahkan ini adalah kali pertamanya Hinata bisa menikmati sajian luar biasa itu. Dan sangat disayangkan kalau makanan itu harus disia-siakan.

Hinata tidak rela. Sangat tidak rela dan tega.

Namun kemudian Hinata ingat siapa dirinya dan siapa Sasuke.

Hinata tentu bukanlah orang yang bisa membeli makanan sesukanya. Hinata harus mengirit uangnya demi keperluan-keperluan lain yang lebih dibutuhkan. Selagi dia bisa makan, Hinata sudah sangat bersyukur asalkan ia tidak memiliki banyak tagihan yang menggunung.

Sedangkan Sasuke, dia berasal dari keluarga yang sangat berada. Tentu sangatlah jauh perbandingannya. Sasuke bisa membeli apa pun yang diinginkannya. Makanan mungkin baginya hanya hal sepele. Ia bisa membuangnya kalau sudah tidak berselera lagi. Dan mungkin masih banyak lagi hal-hal luar biasa lain yang bisa dilakukan Sasuke, tetapi tidak dengan Hinata.

"Hei, jangan bermuram durja hanya karena makanan ini, Hinata," kata Sasuke. Ia sedikit terkekeh.

"Aku mau kok kalau makanannya diberikan untukku," Hinata menyahut. Sungguh, hati dan mulutnya sudah tidak tahan jika harus membayangkan makanan yang disia-siakan lalu berakhir di tempat sampah, sedang makanan itu enak dan masih sangat layak dikonsumsi.

Sasuke tercengang dengan penuturan Hinata. Memberikan makanan itu pada Hinata memang bukan hal yang aneh, hanya saja Sasuke dan keluarganya belum pernah membungkus makanan yang sudah tersaji untuk dibawa pulang bagi tamu. Jadi ya, memang bagi tradisi keluarga Sasuke, hal semacam itu tentu sangatlah unik.

Namun lihatlah, Hinata terlihat sangat mengasihani makanan itu. Sasuke jadi tidak tega juga.

"Begini saja," kata Sasuke,"makanan itu biar kita bawa untuk bekal kita. Dan kalau masih ada sisa, boleh kaubawa pulang. Namun jangan untuk besok, aku tidak bisa menjamin apakah makanan itu sudah basi atau belum. Sebaiknya kau habiskan saja hari ini, langsung."

Tiba-tiba Sasuke terperangah sendiri. Rasanya, ia banyak sekali bicara dan lucunya, terkesan begitu perhatian terhadap Hinata.

Hinata sangat senang karena hari ini ia tidak harus membuang uangnya. Ia mendapat makan gratis sehari penuh, enak-enak pula. Terima kasih pada Sasuke.

"Terima kasih ya, Sasuke."

"Jangan sungkan," Sasuke sudah mempersiapkan dirinya untuk mengajak Hinata pergi. "Kau sudah siap berangkat?"

Tanpa menunggu, Hinata langsung mengangguk, bahkan tak peduli ke manapun Sasuke akan membawanya.

.

.

Sasuke melihat ke arlojinya, pukul tujuh lebih lima belas menit. Matahari sudah tenggelam beberapa puluh menit yang lalu dan kini di sudut jalan dipenuhi lampu-lampu. Sasuke melirik Hinata di sebelahnya yang tertidur pulas setelah seharian mereka menghabiskan waktu bersenang-senang, membuka awal baru dari sebuah pertemanan. Sasuke akhirnya merasa begitu lega. Beban yang selama ini mengganjal sudah terkikis.

Sebelumnya Sasuke merasa begitu bersalah pada teman masa SMPnya karena sikapnya yang kurang ajar, apalagi Hinata itu perempuan. Sasuke sempat berpikir di kali pertama mereka bertemu di taman beberapa minggu yang lalu, Hinata akan mengingat Sasuke lalu segera mencaci-makinya. Sasuke sudah sangat siap dengan hal itu sebenarnya, tetapi yang terjadi ternyata tidak demikian, Hinata bahkan lupa padanya. Hinata sungguh lupa pada Sasuke Uchiha. Hingga pagi tadi Hinata baru bisa mengingatnya. Sasuke juga sudah mempersiapkan dirinya jika Hinata akan marah padanya. Namun lagi-lagi prediksinya keliru.

Hinata masihlah Hinata yang Sasuke kenal dulu. Lemah, pendiam, pemalu, penurut, dan sayangnya, pemaaf. Dia gadis yang memiliki tingkat kesabaran tinggi dan berhati tulus. Sasuke sangat salut pada gadis sederhana itu. Banyak yang Sasuke pelajari dari sosok Hinata sekarang ini. Kepribadian Hinata yang sederhana, lebih dewasa, dan mandiri.

Hinata tidak membicarakan basa-basi yang tidak berguna. Gadis itu akan diam jika memang tak ada hal yang perlu dibicarakan sampai Sasukelah yang harus membuka percakapan. Dan begitu Hinata menyahut, Hinata hanya membalas sesuai takarannya, seperti meminum obat sesuai resep dokter.

Perlahan namun pasti, Sasuke mulai merasa nyaman di sekitar Hinata. Bukan hanya karena beban yang semula mengganjal sudah menghilang, melainkan semakin lama Sasuke menghabiskan waktu bersama Hinata, ia semakin tahu bagaimana kepribadian Hinata. Sederhana, apa adanya, tetapi amat berkesan.

Sasuke memiliki banyak teman perempuan. Namun tak ada satu pun yang begitu berkesan baginya seperti Hinata. Mungkin perasaannya masih belum berubah sejak dulu, jika Sasuke bertemu Hinata, Sasuke akan menjadi dirinya yang bebas tanpa perlu berwajah datar atau cool. Sasuke terbuka di sekitar Hinata. Sayangnya, dulu Sasuke mengungkapkannya dengan tindakan salah.

Dan sekarang, Sasuke tentu tak ingin mengulang kenakalannya dulu.

.

Hinata mengerjapkan mata. Saat penglihatannya sudah mulai awas, ternyata mereka sudah dekat dengan flat yang Hinata tinggali. Ia pun membenarkan posisi duduknya untuk lebih tegap.

"Oh, sudah bangun rupanya."

"Maaf, aku benar-benar mengantuk tadi," jawab Hinata pelan dan malu.

Sasuke terkekeh kecil, "Tak masalah. Aku tahu kau pasti lelah."

Hinata tersenyum. Setelah hampir sehari penuh menghabiskan waktu bersama Sasuke, Hinata jadi banyak mengenal hal-hal baru darinya. Sasuke tidak semenakutkan dulu, jauh malah dari kata menakutkan. Sasuke yang sekarang sangat ramah dan perhatian. Kesan menakutkannya sudah hilang dari benak Hinata. Dan satu hal yang pasti tak bisa disangkalnya, Sasuke yang sekarang amat sangat tampan—sejak dulu memang sudah tampan! Wajar bukan jika Hinata mengagumi sosok Sasuke yang tampan. Itu berarti dia perempuan normal. Hanya saja, Hinata tidak berani jika harus mengatakannya secara langsung mengagumi wajah tampan si Uchiha.

"Sampai juga," gumam Hinata. Ada perasaan tidak rela ketika mereka sudah sampai di depan flat Hinata. Kalau bisa waktu diperpanjang, Hinata masih ingin mengobrol dengan Sasuke menggantikan waktunya saat ia ketiduran tadi. Tapi, mengingat waktu sudah malam dan Sasuke pun pasti kelelahan, mau tak mau mereka harus berpisah.

Sasuke mengantarkan Hinata sampai ke pintu flatnya.

"Terima kasih ya, Sasuke, untuk hari ini. Aku sangat senang kita bisa mengobrol," kata Hinata. "Dan, oh, makanannya juga. Terima kasih banyak!" Hinata mengangkat satu kantung plastik besar yang berisi makanan.

Sasuke tersenyum, "Tak masalah. Aku juga senang hari ini." Lalu tangannya terangkat untuk memakaikan topi jingga ke kepala Hinata. "Itu topimu."

"Eh? Bagaimana bisa?"

"Waktu itu kau meninggalkannya di bangku taman."

"Benarkah?" Sasuke mengangguk. Hinata menyentuh topinya dengan tangannya yang bebas. Sungguh, ia bahkan tidak tahu jika topi jingganya hilang. Padahal topi itu pemberian salah satu pelanggannya saat Hinata mengantarkan pesanan dan Hinata sangat menghargai topi pemberian itu dengan selalu mengenakannya saat hari panas.

"Sasuke, terima ka ..." Entah untuk yang keberapa kalinya, di hari dan oleh orang yang sama, Hinata dibuat terkejut. Namun kali ini, tindakan yang dilakukan si Uchiha benar-benar tidak diduganya.

Sebuah kecupan lembut mendarat di pipi kanannya. Tidak lama, hanya tiga detik, tapi cukup membuat Hinata membeku seperti terperangkap dalam balok es.

Sasuke menjauhkan wajahnya dari Hinata. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.

"Selamat malam dan selamat beristirahat," ucapnya, kemudian berbalik menuju mobil sedan hitamnya. Sedang Hinata masih tak bergerak sedikit pun.

Barulah setelah mobil Sasuke hilang dari area flatnya, Hinata mendapatkan kembali kinerja syaraf-syaraf penggeraknya yang sempat membeku.

Apa itu tadi? Sangat tiba-tiba!

Jari tangannya menyentuh di titik Sasuke mengecup pipinya tadi. Sontak, wajahnya terasa panas. Hinata merasa sangat malu sebab itu adalah pertama kalinya seorang lelaki di luar kerabatnya menciumnya, bahkan Lee yang merupakan sahabatnya pun tak pernah mencium pipinya. Menurutnya, sentuhan fisik semacam itu hanya dilakukan oleh dua orang yang punya hubungan istimewa dan hal yang tabu.

Hinata tidak mengerti kenapa Sasuke melakukan itu, tapi yang pasti diam-diam Hinata menyukainya.

Di kepalanya terngiang-ngiang nama Sasuke beserta sosoknya yang tersenyum pada Hinata. Ah, padahal baru beberapa menit mereka bertemu dan Hinata sudah merasa kehilangan. Jantungnya berdebar-debar mereka ulang kejadian saat Sasuke memberikan topi jingga dan berakhir mengecup pipinya.

Astaga, sekarang pikiranku mulai kacau! Semua gara-gara Sasu-key!

Tiba-tiba Hinata tersadar. Mungkin maksud Sasuke menemuinya memang untuk membalaskan dendam, tetapi dengan taktik lain. Jika dulu Sasuke mengganggunya dengan ejekan-ejekan, kini dengan sentuhan fisik yang membuat jantung Hinata berdetak tak terkontrol. Dan hebatnya, apa pun yang Sasuke lakukan terhadapnya selalu membuat Hinata tak berkutik.

Hinata berharap jika aksi 'balas dendam' Sasuke kali ini tidak akan memperburuk hari-harinya seperti masa-masa SMPnya dulu.

.

TAMAT

.

Halo, terima kasih udah mau mampir baca di fic saya lagi. Lama deh belom bikin lagi semenjak awal taun ini. Hihi... Semoga suka di chap awal ini, ya.

Salam manis dan terima kasih,

.

Bernadette Dei