BTS – Big Hit Entertainment
Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita
.
.
.
"Manis."
Seokjin mengangkat alis sambil menggerakkan sekilas bola matanya ke arah ekor, "Siapa?"
"Apanya yang siapa?" yang bersangkutan mengulang pertanyaan sembari menaikkan ujung garpu berujung krim susu dari permukaan sepotong kue, "Tidak lihat aku sedang makan?"
Tak ingin terlihat salah bicara, Seokjin melempar dengus kasar ke arah lembar-lembar resep lalu mengumpulkan semuanya untuk ditumpuk rapi dalam sebuah map berlapis mika. Kaki diluruskan di bawah meja. Dapur asrama sedang sepi. Tak ada dengung berisik maupun suara-suara dramatis dan samar didengarnya pria itu kembali bergumam, "Terlalu manis."
"Kau berpikir dengan lutut atau bagaimana? Kalau ingin yang tidak bergula, makan saja nasi kare."
"Begini ya," Namjoon mengetukkan kepala garpu ke tepi piring, keningnya berkerut tak terima, "Sebelum kukatakan bahwa aku sama sekali tak butuh komentar, biar kuingatkan kalau seharusnya yang dibawa Taehyung adalah muffin kopi tanpa pemanis dan bukannya kue potong bersiram cokelat. Makhluk itu pasti berpikir yang penting warnanya sama dan memesan seenak jidatnya. Dan omong-omong, nasi juga mengandung gula, kalau kau ingin tahu."
Sudut bibir Seokjin membentuk garis datar selagi tangan kanannya membagi tumpukan resep menjadi dua, "Tidak ada yang memaksamu menyuruh Taehyung belanja ke toko kue. Lagipula pergi sendiri tak akan membuatmu terlihat seperti anak perempuan."
"Aku sungguh tak butuh komentarmu, hyung," dahi Namjoon terlipat tiga, garpunya diletakkan sementara satu kakinya berputar menyamping dan disilangkan di atas kaki lainnya, siku bertumpu di sandaran kursi, "Untuk orang yang tak pernah mau ikut dalam pembagian tugas harian dan memilih menguasai dapur, kau tak pantas memberi wejangan."
"Dan untuk ukuran anggota yang usianya lebih muda, kau terlalu berani lho, Namjoon. Sadar tidak?" balas Seokjin tak mau kalah, menjentik bolpoin sekuat tenaga hingga tersentak membentur lengan pria di hadapannya, "Jangan lampiaskan kesalahan Taehyung padaku dengan kalimat penuh nada tinggi. Kalau tak ingin makan, tinggalkan saja. Jungkook akan sukarela memakannya nanti."
"Setelah mengerjakan banyak hal, aku berhak meminta segalanya sempurna di jam istirahat."
"Dan kenapa tak ada insting untuk memberi catatan pada makhluk yang disebut tadi? Terlalu capek untuk mencari kertas? Pantatmu terlalu berat? Atau ponsel barumu tercebur lagi di wastafel?" Seokjin menyambar pedas, pun melengos mendapati kekeh berat disertai piring yang tersodor pelan ke arahnya.
"Aku lupa Taehyung punya pengacara paling hebat sedunia," Namjoon mengulum garpunya sinis, "Ini bukan soal kau berusaha membelanya, kau terlalu protektif, kau sedang ingin marah-marah, atau apapun itu. Yang jelas—boleh kita putar setir ke topik semula?"
Melirik pada objek yang dimaksud, Seokjin menggerakkan bola matanya ke atas, "Kau ingin minta ganti rugi?"
"Ping pong."
Berdecak, lengan pria berambut pirang itu hendak merogoh dompet di saku belakang celana, tepat saat Namjoon kembali terkekeh dan mengalihkan pandangan pada gelas kertas berisi kopi yang belum tersentuh. Diteguknya sekilas seraya tersenyum miring, "Maaf. Tapi itu sama saja menyuruhku pergi ke tempat yang sama dan aku menolak mengulang sesuatu yang harusnya dikerjakan untukku."
"Astaga Namjoon, memangnya kau bocah berumur lima tahun?" Seokjin beranjak sewot dari kursinya, berjalan cepat memutari sisi meja makan, kemudian memaksa pria itu duduk berputar usai menaruh tiap lengan di masing-masing sandaran. Kepala direndahkan, mata menatap Namjoon tajam, "Aku juga menolak pergi membeli bahan-bahan dan membuang waktu di depan oven hanya untuk membuatkanmu sepotong muffin."
"Ayolah hyung, aku juga tak mau keracunan makanan karena, yaaaah, siapa tahu kau berniat mencampurkan sesuatu di dalamnya sebagai bentuk balas dendam," bahu bidang Namjoon berkedik menyebalkan. Tubuhnya ditegakkan hati-hati, membuat Seokjin bergerak selangkah ke belakang dan menjulang menjajari seniornya sambil memandang langit-langit.
"Lalu apa maumu?"
"Hanya ingin bertanya," satu tangan kokoh Namjoon menyangga berat badan sembari berdiri agak membusung, menyamakan pandangannya dengan Seokjin yang balas memiringkan kepala tak paham, "Menurutmu, apa kau manis?"
Spontan, Seokjin mengerenyit galak, "Tentu saja tidak! Aku tampan!"
Alih-alih membalas, lima jari Namjoon tertangkup menyambar dagu Seokjin yang tak sempat menghindar, pun lebih gesit mencegah lengan lain yang berniat menepis pergelangan yang—sialnya, jauh lebih kuat dari kelihatannya.
"Kebetulan sekali," seringai Namjoon, terlalu lebar dan mengerikan untuk dianggap sebagai lelucon. Sejenak, Seokjin mampu mendengar otaknya mengirim sinyal tanda bahaya, "Aku memang kurang suka yang manis-manis."
"T, tunggu, Namjoon—"
"Selamat makan."
.
.
