Title: Sun Burns Down
Characters: Ichigo Kurosaki, Rukia Kuchiki, Renji Abarai, Tatsuki Arisawa.
Warnings: Typos, OOC, OC, Violence
Summary: Rasanya sudah lama sekali, sejak dia terakhir kali 'memegang' control dirinya sendiri. Hidupnya sendiri. (gomen bad summary (シ- -)シ)
Note: Fanfiction ini saya edit dari chapter 1…. Banyak yang saya ubah, maaf karena menyusahkan, tapi tolong baca dari chapter 1 ^^
Credits to 'abang' Tite Kubo. I just have the plots and 'cera', an acer who accompany me to type this. Thanks for my forever love BlackWind1001 who beta-ed this.
.
.
.
Dia tidak tahu bagaimana kehidupan dibalik dinding ini, putih dan tebal. Dia pun tak dapat mendengar apapun dari ruangan ini. Tidak ada jendela. Hanya ada sebuah pintu mengilap dari baja yang mengisolasinya. Sebenarnya keadaan ini tidak begitu buruk baginya. Tetapi dia tidak tahu apapun. Yang hanya diketahuinya hanyalah perbedaan siang dan malam dari langit-langit ruangan yang berupa kaca, hanya tahu bagaimana untuk berbicara karena Ukitake-sensei mengajarkannya, hanya tahu bagaimana dirinya terlihat dari pantulan lemah di pintu baja.
Ukitake-sensei belakangan ini sudah jarang mengunjunginya, dia menyerahkan tugas pengamatan harian dan tes ke salah satu bawahannya. Tetapi tiap kali Ukitake-sensei datang sambil tersenyum. Dia senang karena Ukitake-sensei adalah dokter yang paling mengerti dirinya dan selalu mengajaknya bicara dengan santai.
Terkadang ia bertanya karena rasa penasaran mendorongnya, "Bolehkah aku melihat dunia luar hari ini?" yang dijawab oleh Ukitake-sensei dengan tawa lemah, alis berkerut, dan "Disini lebih aman dari di luar sana, Rukia." Dan dia tahu namanya karena Ukitake-sensei memberitahunya.
Ukitake-sensei tidak datang hari ini. Tapi bawahannya, Arisawa Tatsuki yang ia panggil dengan Arisawa-sensei juga baik hati. Walaupun kadang-kadang ia bisa jadi sangat tidak sabaran. Hari itu, Arisawa-sensei membawanya ke salah satu laboratorium di gedung itu dan Rukia bisa merasakan perutnya sakit. Dirinya gugup – Ukitake-sensei pernah bilang perasaan seperti perut melilit ketika akan melakukan sesuatu disebut kegugupan. Terakhir kali Rukia berada disini, Rukia hampir membakar tubuhnya sendiri. Tidak parah, namun kulit di lengan kanannya masih terlihat aneh.
"Jangan khawatir, Rukia. Kau akan baik-baik saja." Kata Tatsuki pada Rukia yang berdiri diatas tanda X di atas lantai. Ada banyak manekin yang dipasang disisi lain ruangan itu, lebih banyak dari biasanya, beberapa memiliki tanda berwarna merah. "Aku minta kau untuk mencoba dan mengenai target yang bertanda merah." Tatsuki menepuk pundaknya. "Hanya yang bertanda merah, oke?"
Rukia mengangguk. "Ya. Akan kucoba Arisawa-sensei." Tatsuki tersenyum dan berjalan menuju ruang pengamatan yang dipisahkan kaca pengaman.
"Fokus pada target." Suara Tatsuki terdengar melalui speaker. "Konsentrasi penuh, dan jangan marah atau panik jika kau tak bisa melakukannya."
"Aku belum pernah marah." Jawab Rukia. Penyataan simpel yang berdasarkan fakta. Ia tahu apa itu kemarahan, dalam perumpamaan kata, tetapi ia belum mengerti karena belum mengalaminya.
Suara Tatsuki terdengar lagi, kali ini dengan sentuhan tawa. "Ya. Kau benar Rukia."
Dia lalu melakukannya tepat seperti apa yang dikatakan padanya. Memfokuskan semua pikirannya dan energi pada manekin-manekin yang bertanda merah, untuk alasan tidak lain karena 'itu merupakan apa yang diminta darinya' , dia menginginkan manekin-manekin itu terbakar. Kejadian selanjutnya hampir seperti pertunjukan hipnotis, api tiba-tiba keluar dan mengkonsumsi manekin-manekin bertanda merah. Rukia tersenyum melihat hasil dari kesuksesannya.
Gas pemadam api otomatis menyala ketika api membesar dan Rukia mendengar pintu ruang pengamatan terbuka. "Perfect." Ujar Tatsuki, menepuk-nepuk punggung Rukia. "oke, kau tahu prosedurnya. Reset, Ayo ulangi lagi."
.
"Arisawa-sensei selalu bilang supaya jangan sampai marah." Kata Rukia dengan tenang sambil mengikuti Tatsuki ke ruangan putihnya. "Kenapa?"
Tatsuki kelihatan ragu untuk menjawab pada awalnya, tetapi dokter muda itu pada akhirnya menjawabnya. "Kau memiliki kemampuan, tetapi kau bukan satu-satunya. Masih belum mendekati harapan kami." Katanya, "Terkadang perasaan pribadi mereka menguasai diri mereka dan ketika mereka akan menggunakan kemampuannya, mereka ragu, dan keadaan menjadi tidak terkendali. Kami tidak ingin kau menjadi seperti itu."
Rukia mengangguk, menunduk memandang lantai lalu mengangkat kepalanya untuk menatap Tatsuki kembali. "Apakah itu alasan Ukitake-sensei bilang lebih aman disini?"
"Ya. Mari menganggapnya begitu." Tatsuki berhenti di depan pintu, mengetikkan kode ke lock pad untuk membukanya dan menunggu pintu itu bergeser terbuka.
"Tapi itu tidak berarti semuanya hal buruk, bukan?" tanyanya sambil melangkah memasuki ruangannya. "berarti ada hal baik juga diluar sana."
Rukia kaget ketika Tatsuki tiba-tiba memukulkan tangannya dengan keras ke dinding. "Kau harus berhenti bertanya tentang banyak hal." Ucapnya dengan suara pelan. "Kau tidak boleh terlalu banyak ingin tahu." Rukia memandang Tatsuki sampai ia pergi, dan menutup pintu baja dibelakangnya. Itu mungkin hal teraneh yang pernah diberitahukan padanya – dan itu juga menyangkut tentang diberitahu untuk membuat sesuatu terbakar hanya dengan pikiran.
.
Keadaan disini aneh banginya. Jalan-jalan yang kecil, bangunan-bangunan serta rumah, dan penerangan indah seperti yang sering dibicarakan orang dewasa ketika mengenang sesuatu tentang masa lalu indah mereka. Jika informasi yang dimilikinya benar, kota ini lebih terkontrol dari pada kebanyakan tempat lainya. Orang-orang kaya membangun rumah mereka jauh dari hiruk pikuk kota. Orang-orang yang terlihat berjalan di trotoar melalui kaca mobilnya setidaknya kelihatan waras, tapi mabuk pada saat liburan musim panas dan terlihat masih di bawah umur membuatnya menggelengkan kepala.
Dia menghentikan mobilnya di sebuah tempat parkir di sebelah hotel dengan sebuah papan nama neon benderang didepannya. Hotel itu kelihatan nyaman dan agak mewah.
Wanita dibelakang meja check-in tersenyum cerah padanya. "Selamat datang." Ucapnya sambil membungkuk, rambut yang dikuncir dengan styleponytail turun dari pundaknya. "Apa sudah pesan kamar?"
"Ya." Jawabnya, merogoh kantung jeansnya mencari kertas konfirmasi. "Atas nama Kurosaki Ichigo." Wanita itu dengan cepat mencari namanya, mengecek apapun yang menyangkut nomor konfirmasi di tangan lelaki dihadapannya, sebelum berbalik dengan senyum yang telah dilatihnya.
Kamarnya berada pada lantai tiga. Ruangan yang lebar dengan tempat tidur besar dan televisi, tapi itu bukan alasan ia memesan kamar ini. Dengan asal ia menaruh tasnya di kaki tempat tidur dan berjalan lurus ke jendela. Menyibakkan gordennya untuk melihat jalan diluar, orang-orang yang berjalan di trotoar, dan sebuah klub diseberang hotel ini, pintu masuk utama dan pintu masuk darurat terlihat dengan sempurna dari sini.
Seperti apa yang ia perlukan. Sempurna.
.
.
Entah sekarang sudah larut malam atau belum, Rukia tidak yakin, tapi dia cukup mempercayai dokter-dokter ini untuk melakukan apa yang diberitahukan mereka padanya. Lebih baik tidur, pikirnya, ruangan tersebut sunyi dan tenang dengan dengungan pelan sistem ventilasi yang memecah keheningan, cukup untuk membuatnya merasa rileks di dunia mimpi selama yang ia inginkan.
Malam ini, walaupun ia tidak begitu mengerti mengapa, ia ditarik dari ranjangnya sebelum dia benar-benar bangun untuk mengerti apa yang terjadi padanya. Dia samar-samar mendengar suara Tatsuki berkata, "Cepat! Kita tidak punya banyak waktu."
"Arisawa-sensei?" Rukia bergumam, mengusap matanya. "Kemana kita pergi?"
"Tempat yang… aman." Jawab Tatsuki dengan suara yang tidak terlalu yakin.
Rukia tersandung kakinya sendiri saat Tatsuki membuka sebuah pintu yang belum pernah dilaluinya. "Tapi Ukitake-sensei selalu bilang lebih aman disini."
"Tidak sekarang." Jawab Tatsuki pendek. "Tidak bagimu." Jawaban yang samar-samar dan tidak jelas itu membuat Rukia langsung diam untuk bertanya apa maksudnya. Dengan patuh, ia mengikuti Tatsuki dalam diam, mencoba untuk melihat-lihat keadaan ruangan yang mereka lewati. Tatsuki menarik lengan Rukia ketika mereka sampai di depan sebuah pintu yang menggeser terbuka dan mereka memasuki ruangan yang agak kecil di sisi lain pintu itu. Dokter muda itu menekan sebuah tombol di dinding dan ruangan itu bergetar, mulai bergerak secara vertikal. Rukia menatap sekitar dengan tatapan bingung. "Ini adalah lift, Rukia." Tatsuki menghela napas. "Benda ini bergerak naik dan turun. Kau baik-baik saja." Rukia mengangguk seperti dia mengerti, walaupun ia tidak tahu apa artinya.
Ketika pintunya terbuka kembali, disisi lain terdapat sebuah ruangan gelap dengan penerangan yang minim. Tatsuki membawanya ke sebuah mobil, Rukia pernah melihat gambar benda ini, tetapi ia belum pernah punya kesempatan untuk melihat yang aslinya. Dia naik, seperti apa yang diberitahu Tatsuki padanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya. Akhirnya merasa sudah sepenuhnya bangun.
Tatsuki menggeser tubuhnya untuk berbalik ke kursi belakang, menarik sesuatu dari tumpukan pakaian-pakaian. Ia mengambil sebuah jas lab, dan memberikannya pada Rukia. "Pakai ini. Ini akan membuat security tidak curiga." Tatsuki hampir selalu terlihat serius, dan sedikit frustasi, tapi ada sesuatu pada Tatsuki yang tak bisa digambarkannya saat itu yang membuat Rukia tidak nyaman.
Dia diam saat Tatsuki mengeluarkan mobil itu dari garasi pegawai. Dan memperhatikan Tatsuki sedikit tegang saat mereka sampai di gerbang security. Tetapi lelaki itu hanya mengecek kartu identitasnya sebelum membiarkan mereka lewat. Tatsuki menghembuskan napas berat ketika mereka sudah agak jauh, lalu merilekskan punggungnya. "Kita pergi?" Tanya Rukia, dahinya menempel di kaca jendela mobil yang dingin dan mengamati keadaan tanah lapang yang kosong, bangunan besar dibelakang mereka tampak seperti motif alam buatan manusia bagi Rukia. Dia belum pernah keluar sebelumnya, belum pernah melihat tanah selapang ini ataupun langit saat matahari akan terbit. Bagi Rukia pemandangan itu sangat menabjubkan.
"Ya. Kita pergi." Jawab Tatsuki, membuka jendela untuk sirkulasi udara di dalam mobil. Rukia mengambil napas, Udaranya terasa lebih segar.
"Apakah kita akan kembali?" tanyanya lagi, dirinya tertarik dengan bagaimana angin menerbangkan rambutnya dengan anggun.
"Tidak."
Jawaban itu mengambil perhatian Rukia kembali dari kehebatan udara yang bergerak ke Tatsuki yang sedang fokus pada jalan. "Kenapa tidak?" Ada rasa aneh di dalam hatinya akan pikiran itu. Memang tempat itu membosankan, tidak terdapat banyak benda, dan tidak terjadi banyak kejadian disana. Tapi tempat itu rumah baginya.
Pada awalnya Tatsuki hanya diam, pandangannya terarah kedepan seperti ia tidak mendengar pertanyaan itu. "Kau sebuah kegagalan, Rukia." Akhirnya Tatsuki angkat bicara.
Rukia mengangkat kedua alis matanya, berkedip dengan ketidak mengertian. "Gagal?" Tatsuki mengangguk. "Tapi… Arisawa-sensei dan Ukitake-sensei selalu bilang aku melakukan hal dengan benar."
"Kau memang selalu melakukan semuanya dengan benar. Tapi," ucap Tatsuki pelan, menatap sekilas Rukia dengan mata simpati. "Kepribadianmu. Itu bukan apa yang mereka inginkan."
"Jadi, apa artinya?" Tanya Rukia. Pertanyaan yang sangat simpel, tetapi Tatsuki menggerang sebelum menjawabnya, kepalanya membentur jok mobil.
"Mereka tidak menginginkanmu lagi." Jawab Tatsuki dengan suara rendah dan serius. "Ketua sudah menandatangani kertas pernyataan menghentikan kau hidup. Mati. Kau tahu apa itu artinya?"
Rukia tidak menjawab. Dia hanya bisa membalas tatapan Tatsuki.
"Artinya… kau akan pergi selamanya, mengerti? Kosong, hampa." Jelas Tatsuki walaupun sebenarnya masih belum jelas bagi Rukia. "Ukitake-sensei tidak menginginkan kau untuk mati."
Pernyataan terakhir Tatsuki adalah kalimat yang paling bisa dimengertinya. Rukia mengangguk pelan, sejumput poni panjang yang menutupi matanya ditepisnya, sebelum kembali mengagumi dunia di luar kaca mobil Tatsuki yang bergerak.
.
Pemandangan matahari terbenam sangatlah indah, seperti apa yang diberitahukan padanya, langit seperti terbakar dengan semburat pink, jingga dan kemerah-merahan. Rukia memperhatikan langit yang kemudian berubah secara perlahan-lahan menjadi warna biru tua, malam membuat permukiman terdekat mulai terlihat dari kejauhan dengan cahaya yang berkelap-kelip. "Tatsuki-sensei?" Tanya Rukia dengan lembut, bersandar pada jok yang didudukinya dan mempelajari ekspresi Tatsuki yang berkonsentrasi namun tetap terlihat khawatir. "Apa yang terjadi diluar sana?"
"Hari sudah mulai gelap, itu artinya malam akan segera tiba." Jawabnya sambil menghela napas, seolah-olah ia telah menjawab seribu pertanyaan Rukia.
Rukia tertawa refleks, namun berhenti sesaat kemudian. "Bukan. Maksudku, Ukitake-sensei selalu bilang lebih aman didalam gedung itu. Kenapa?"
"Hanya saja…" Tatsuki mengerutkan alisnya, berpikir. "Ada sebagian orang yang agak… aneh. Menjauhlah dari orang-orang yang berperilaku aneh." Rukia menatapnya kosong. Dia yakin dia tidak tahu bagaimana orang normal berperilaku.
Mobil perlahan-lahan berhenti, Tatsuki mematikan mesinnya lalu menatap Rukia. "Keluar."
"Apa?" Suara Rukia terdengar terluka sekaligus bingung disaat yang sama.
"Ada sebuah kota di ujung jalan – kau lihat cahaya-cahaya itu? Pergilah ke sana." Tatsuki menunjuk ke arah daerah pemukiman, dan Rukia memicingkan mata, mencoba melihat dengan lebih jelas keadaan disana.
"Rukia." Dia merasa sesuatu menyentuh lengannya, Tatsuki menyerahkannya sebuah tas. "Didalamya terdapat baju ganti, sepatu, uang, dan sebuah hand phone. Aku tahu seseorang yang suka membantu orang-orang yang sedang kesusahan. Tunggulah dia di stasiun kereta, orang itu akan membawamu ke tempat yang aman."
"Aku…" Rukia memperhatikan Tatsuki membuka pintu mobilnya dan berjalan memutar untuk membuka pintu di sebelah Rukia lalu ia menarik Rukia keluar dengan pelan. "Apa itu stasiun kereta? Aku tidak tahu harus apa."
Untuk pertama kalinya di perjalanan yang membingungkan ini Tatsuki tersenyum padanya. "Kau pintar, Rukia. Kau pasti bisa. Ukitake-sensei bilang good luck." Tambahnya sebelum dia menutup pintunya lagi. Mobil itu berbalik arah sebelum kembali ke arah darimana mereka datang. Meninggalkan Rukia sendiri di sisi lain jalan, dengan sebuah jas lab dibawah pakaian 'normal'nya ya, dan tas itu dipeluknya dengan erat didadanya.
Seharusnya dia merasa bingung ditinggalkan di sebuah tempat yang tidak familiar baginya, tapi itu bukan apa yang ada dipikirannya saat itu. Dia berada di suatu tempat yang belum pernah didatanginya. Suatu tempat dengan udara terbuka dan angin yang berhembus pelan, tanah lembut dibawah kakinya memberi kesan lain dari yang biasa diinjaknya – besi dan keramik. Untuk waktu yang sebentar, dia berdiri disana, menatap langit di angkasa yang gelap sebelum pergi kearah yang ditunjukkan Tatsuki, mengikuti jalan kearah cahaya-cahaya berasal. Benar-benar sendirian untuk pertama kali dalam hidupnya.
.
.
Hand phonenya bergetar didalam saku celananya, sengaja didiamkan. Lebih aman seperti itu. Dia meraba jeans warna gelapnya sebelum mengeluarkannya, membiarkan si penelpon berbicara terlebih dahulu. "Ichigo?" Suara itu familiar baginya, membuatnya merasa sedikit aman dan rileks, menurunkan sedikit kewaspadaanya. "Ini Renji. Kau tidak sibuk, kan?"
Pandangan Ichigo jatuh ke tanah, ia lalu menendang tangan pucat yang menyembul dari tumpukan plastik-plastik besar sampah. "Aku baru saja selesai." Ucapnya pada Abarai Renji di sisi lain telpon dengan nada yang tenang seakan ia tidak melakukan apa yang barusan ia lakukan. Tapi, dia sudah biasa dengan ini. "Kenapa? Ada kerjaan baru untukku lagi?"
"Jangan terlalu berharap." Renji menghela napas. "Tapi, yeah. Mungkin."
"Oke." Ichigo mengedarkan pandangannya keseluruh arah lorong tersebut. Meyakinkan dirinya tidak ada siapapun yang melihatnya dan dapat melaporkannya pada polisi. "Aku mendengarkan."
"Aku butuh kau untuk menjemput seseorang."
"Salah satu pacarmu?" canda Ichigo.
"Bukan. Seorang… teman – jangan berfikir yang aneh-aneh!" Tambah Renji seakan-akan ia bisa membaca pikiran Ichigo. "Butuh seseorang untuk menjemput seorang bocah, kau ada di tempat ia berada dan aku tidak."
Ichigo mulai berjalan ke arah jalan yang ramai, kembali ke hotelnya untuk berganti baju dan membuat semua darah yang menempel ditubuhnya hilang. "Apakah bocah ini… Apa aku harus berhati-hati padanya?"
"Aku tidak tahu." Aku Renji. "Dia tidak bilang apa-apa. Tapi tak ada salahnya untuk waspada."
Ichigo tahu itu benar, dan dia mengangguk. "Jadi, dimana aku harus menjemputnya?"
.
Kakinya terasa sakit karena dipaksa berjalan jauh sampai akhirnya ia sampai di kota yang jauh tersebut. Rukia belum pernah berjalan sejauh ini sebelumnya. Dia yakin tidak ada jarak sejauh ini di lab walaupun ia berjalan keseluruh ruangannya. Pemandangan yang di lihatnya mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit di kakinya, setidaknya untuk sementara.
Gedung disini terlihat aneh, berwarna-warni bukan putih atau abu-abu dengan arsitektur yang menarik perhatian, setidaknya bagi Rukia. Orang lain berjalan melewatinya begitu saja, seperti buta akan pemandangan disekitar mereka, seolah-olah terlihat biasa dan tidak menarik. Dia berhenti di ujung jalan trotoar, sekarang terpesona dengan lampu jalan yang menerangi malam seperti 'kunang-kunang' yang diceritakan Ukitake- sensei.
Dia terus memperhatikan sekelilingnya dengan seksama sampai sesuatu menumburnya dan dia hampir kehilangan keseimbangan. Seorang lelaki memandangnya marah. "Apa liat-liat!" hanya itu saja yang dikatakan kepadanya. Orang-orang diluar ternyata tidak ramah dan sopan.
Stasiun kereta. Rukia mengingatkan dirinya sendiri. Apa itu, ia masih belum tahu, tapi dia harus mencarinya. Ternyata sulit untuk mencari sesuatu yang tidak kau ketahui. Dia berjalan menelusuri jalan dengan pelan, berhati-hati agar ia tidak meghalangi jalan orang-orang yang lewat sambil membaca palang nama toko-toko dan klub malam yang dilewatinya. Walaupun ia tidak mengerti arti dari semua itu, ia bersyukur Ukitake-sensei mengajarkannya membaca walaupun hanya kata-kata dan frasa-frasa sederhana. Ini rahasia, kata Ukitake-sensei padanya. Karena dapat mengerti sesuatu yang tertulis di lembar yang biasanya dibawa dokter-dokter itu saat memeriksanya adalah hal terlarang baginya.
Dia berhenti di depan sebuah gedung. Dia bisa membaca kata 'stasiun', tapi Rukia tidak mengerti apa itu sebuah 'kereta' atau huruf yang mengeja kata 'kereta'. Mungkin tempat ini.Duganya ia mengambil semua resiko dan masuk melewati gerbang besar ke sebuah koridor dengan beberapa konter menempel di dinding. Tidak banyak orang disini. Semua hal asing ini membuat Rukia merasa gugup, ia merasa dirinya berkeliaran di tempat yang tidak seharusnya.
Rukia duduk disebuah bangku, mencoba tidak menarik perhatian dan mengamati orang-orang yang lalu-lalang melewatinya. Kebanyakan orang yang lewat adalah pasangan, berpegangan tangan atau meletakkan kepalanya di atas bahu pasangannya. Yang lain sendirian, terlihat sibuk, buru-buru, atau dengan santai berjalan ke arah konter.
"Hey." Rukia menoleh ke arah suara dan menemukan sekelompok remaja lelaki berdiri dihadapannya dengan senyum yang membuatnya tidak nyaman. "Apa yang kau punya?" Rukia menoleh kesebelahnya, berharap bukan ia yang mereka ajak bicara.
"Aku?" Tanya Rukia dengan suara pelan. Menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk.
Salah satu remaja itu mendecakkan lidahnya lalu menarik tas yang digenggamnya. Rukia memandang bingung. Ia mencoba mengambi kembali tas itu, yang langsung didorong jatuh terduduk oleh salah satu remaja sedangkan remaja yang lain menjarah isi tasnya. Tas itu bukan miliknya. Itu milik Tatsuki-sensei atau siapapun dari lab itu. Tapi dia merasakan sesuatu yang aneh, teraniaya. "Jackpot." Ucap salah satu remaja itu yang menarik keluar beberapa lembar uang kertas.
"Aku butuh itu." Rukia mencoba berdiri, dan menarik tas itu. Sebuah tamparan mendarat di wajahnya, dan membuatnya terjatuh sekali lagi.
Rukia sudah diberitahu berulang kali setiap kali ia dibawa ke ruangan lab itu oleh Ukitake-sensei atau Tatsuki-sensei jangan sampai ia merasa marah, jangan sampai emosi menguasainya, tapi ia tidak tahu kenapa. Ia belum pernah marah. Tapi sekarang ia mulai mengerti. Para remaja itu tertawa ke arahnya dan mulai berjalan pergi membawa barang-barangnya. Sesuatu terasa terbakar didalam dirinya. Dia mengumpulkan tenaganya, berdiri, dan mengikuti mereka. "Kembalikan!" Teriaknya sambil menarik lengan remaja yang memegang tasnya. sebagian dirinya terasa heboh karena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Tapi Rukia dengan cepat didorong menjauh. Remaja yang paling tinggi dari kelompok itu maju dan mencengkeram kuat bahunya. "Kau pikir kau siapa? Hah?" ucap salah satu remaja yang terlihat seperti ketua mereka. Ia tertawa lalu membuat kontak dengan perut Rukia. Rasanya sakit, bagian yang terasa sakit tidak sebanyak saat ia mendapat luka bakar saat latihan, tapi rasa sakit semuanya sama. Jika mereka tidak menahan Rukia, Rukia pasti sudah jatuh ke tanah.
Apa yang terjadi selanjutnya, ia tidak terlalu yakin, tapi ini pasti hal yang telah diperingatkan para dokter. Apa yang ia lakukan selanjutnya hanya memandang marah orang yang berdiri dihadapannya. Otaknya melakukan kerjanya untuk membuat api pada kerah remaja dihadapannya yang mengangkat lengannya untuk tamparan yang lain. Remaja yang memegangnya seketika berteriak, melepaskannya dan Rukia jatuh ke lantai.
"Sial! Dia seorang-" umpat salah satu dari mereka, tapi kata-kata selanjutnya tidak terdengar oleh Rukia, Kepalanya terasa sangat sakit dengan jenis rasa sakit yang baru dan membuatnya menaruh salah satu lengannya dikepalanya. Tas yang para remaja itu rebut dilempar dengan kasar ke arahnya. Rukia bisa mendengar teriakan lain yang bukan berasal dari remaja-remaja itu, bisa merasakan rasa panas dari sisi lain ruangan itu. Dia membuka matanya yang berat, melihat dengan tidak nyaman ke arah konter yang terbakar dengan api yang besar dan tidak terkontrol, api yang samasekali berbeda dengan yang biasa ia buat. Selanjutnya terjadi beberapa ledakan dari bagian dalam gedung tersebut. Menakutkan, saat ia mencoba menggambarkannya. Orang-orang berlari panik keluar gedung tersebut.
Dia merasa dirinya ditarik menjauh dari kekacauan, oleh sesuatu yang tidak disadarinya sampai ia duduk bersender ke sebuah dinding. Sebuah suara berbicara kepadanya, asing dan terdengar tidak jelas pada awalnya.
"Rukia?" Orang asing itu bertanya padanya, dengan tenang dan lembut. "Apa bocah ini Rukia? Dia cocok dengan informasi yang kupunya." Bisiknya, mungkin gumaman untuk dirinya sendiri.
"Siapa kau?" Rukia pikir ia berhasil mengeluarkan suara walaupun serak, mencoba mencari gambaran blur lelaki disebelahnya, Rambut warna terang dengan alis berkerut. Sebelum ia jatuh pingsan.
.
.
To be continued
.
.
Author's tea time!
SAYA MAU NANGIS. ini pertama kalinya saya ngetik fict dengan unsur sedikit 'action' dan 'super power' super deg-degaan untuk publishnya! *gelindingan*
Membuat sebuah tempat yang seperti 'danger zone' itu ternyata butuh ke-getar-getir-an yang besar dalam hati… yah… namanya juga mencoba. :D
awalnya karena saya ditantang ga bikin fict yang angst… 'masa lo mau dikenal sbg author galau'-katanya. -_-
nah! Makanya itu saya buktikan saya bisa! DID YOU SEE THIS GIRL!? (maap jiwa yakuzanya keluar karena ditantang *geplak diri sendiri*, dan mohon pengertian authornya emang aslinya gak 'nyantai' orangnya. Teriak-teriak melulu kerjaannya. Jadi di lain waktu author pake caps itu karena dia histeris. ._. )
Dan….. terimakasih banget uda mau bacaaa~! { } sampai jumpa lain kali~
