Disclaimer: Nitroplus dan DMM. Tiada mengambil keuntungan materiil dan bukan merupakan fanfiksi hasil komisi.
A/N: Ini mungkin akan menjadi fanfiksi pertama dan terakhir saya di fandom ini. Saya cuma numpang lewat. Maaf jika OOC atau banyak kesalahan lainnya.
.
.
SOGAI
.
"Garda baru telah terbuka."
Mutsunokami menatap Tuannya dalam diam. Hasebe dan Munechika sama diamnya, tak berani mengutarakan isi pikiran mereka. Kata Sang Tuan lagi, "Aku bahkan bingung bagaimana bisa—"
"Maksudmu apa, Aruji?" Mutsunokami memutar-mutarkan ibu jarinya dengan gelisah. Raut was-was Tuannya menulari ketiga pria di depannya yang sengaja orang itu panggil untuk mendengarkan ketakutan hatinya. Sang Tuan lurus menatap Mutsunokami, setelah itu sebentar membalas tatap Hasebe dan Munechika, "Pasukan musuh entah bagaimana menemukan jalur waktu menuju era Showa. Mereka memanfaatkan kesempatan ketika pasukan Kantai sedang dalam kehancuran di Perang Pasifik."
Sang Tuan menjentikkan jarinya, memunculkan hologram terang di depan ketiganya, "Showa 20, 4 Agustus."
"Mereka mengincar pengeboman itu?" Entah bagaimana caranya Munechika tetap terlihat tenang di depan dua rekan serta Sang Pemilik yang sama-sama mulai kalut itu. "Pengeboman di Hiroshima dua hari setelahnya?"
"Ya." Sekali lagi ia menjentikkan jarinya, memperlihatkan sebuah insiden pahit yang takkan pernah mereka lupakan meski beratus tahun telah berlalu. "Anggota Kantai yang tersisa sudah bisa mengatasi mereka yang bergerak di lautan dan kepulauan. Laporan dari pemerintah bahwa musuh mencoba menggagalkan penerbangan B-29 dari Tinian, tapi bisa dicegah. Yang tersisa adalah pasukan yang berada di Hiroshima. Karena tak pernah terjadi sebelumnya, aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan."
"Tentu saja, Aruji-sama. Tidak ada yang tahu. Keterlaluan." Hasebe akhirnya berkata gusar. Ia mengalihkan pandangan dari hologram di depannya, merasa ngeri melihat insiden itu. Untuk kali itu entah Hasebe mengumpat pada siapa dan karena apa.
"Aku sudah diberikan izin membuka portal ke era Showa mulai besok. Kita tak tahu kekuatan musuh sebesar apa, tapi aku akan mengerahkan orang-orang terbaikku." Ia sendiri pun merinding melihat artikel di depannya sehingga dengan cepat ditutupnya tampilan hologram itu. "Aku berencana untuk membagi tiga gelombang pasukan dan akan kukirimkan ketika aku merasa waktunya tepat. Dan kalian bertiga kupilih sebagai ketua dari masing-masingnya."
Ketiganya sama-sama menelan air liur. Menjelajahi tanah asing yang tidak mereka kuasai itu menakutkan, jauh lebih menakutkan daripada melawan sekelompok kebiishi terkuat sendirian.
"Tidak biasanya, Aruji—" Mutsunokami menatap lurus ke wajah Sang Tuan, "—apakah karena ini sangat tidak terduga?"
"Benar, Mutsunokami-san. Aku selalu percaya bahwa kalian bisa mengalahkan musuh dalam sekejap tanpa perlu bala seperti ini. Tapi—untuk kali ini aku merasakan firasat yang buruk."
Suara kekeh pelan Munechika terdengar. Seolah mencoba mencairkan ketegangan sesaat bagi tiga orang lain yang ada di ruangan itu. Matanya menyipit saat ia tertawa, "Aruji, aku tahu taktikmu selalu berhasil dan aku selalu mempercayai rencanamu. Sisanya kau bisa menyerahkannya pada kami."
.
Ikatan tali topi jerami di leher Sayo dibenarkan oleh Souza sebelum kepala bocah itu dielus si merah muda dengan lembut. Tatapannya sayu, luyu, dan ada kekhawatiran di binar heterokrom itu. "Berhati-hatilah, Osayo. Aku akan segera menyusulmu nanti."
Kousetsu Samonji berdiri di samping adik merah mudanya, matanya sipit seperti biasa dengan tangan kirinya mengulur pada adik bungsunya. Diberikannya senyuman tipis pada sang adik sebelum ia berkata, "Osayo, kau meninggalkan jimatmu. Jangan kau lupakan."
Bocah berambut biru itu mendongak dan menerima jimat yang diserahkan sang kakak. "Aku hanya pergi seperti biasa, Onii-sama. Kalian tidak perlu mengantarkanku seperti ini."
Souza tidak menjawab. Ia hanya terus mengelus kepala sang adik dengan detak jantung yang tak normal. Ketika didengarnya langkah kaki beramai-ramai dari belakangnya, ia berdiri cepat. Menghadap Mutsunokami yang datang bersama Nihongou dan Nagasone Kotetsu.
"Mutsunokami-san, aku menitipkan Osayo kepadamu."
Pemuda Tosa itu memberikan sebuah cengiran lebar seperti biasanya. Dengan penuh kepercayaan diri dia berujar, "Tentu saja, Souza. Kau tenang saja. Lagipula, Sayo itu tantou yang kuat. Tidak mungkin dia diikutkan oleh Aruji jika dia dianggap tidak mampu. Nah, Sayo?"
Si biru hanya diam dan menunduk malu. Kousetsu tersenyum tipis dan tangan kirinya ganti membelai rambut sang adik. Nihongou di belakang Mutsunokami tertawa pelan dan katanya pada si merah muda, "Lagipula kelompok kami hanya pengintaian awal, Souza. Kau tak perlu panik. Saat kau menyusul kami nanti, kami sudah bersantai karena tugas sudah kami selesaikan."
"Tapi kita tak tahu apa yang akan terjadi." Souza memegangi dadanya kuat. Suaranya makin pelan makin gugupnya ia melepaskan sang adik pergi. "Aku berharap semuanya selesai dengan cepat."
"Souza nii-sama." Sayo tersenyum tipis. Kekhawatiran kakaknya dimengertinya. "Aku akan baik-baik saja."
"Benar, Souza." Nagasone menyimpan sebuah jimat yang sedari tadi dipandanginya. Jimat itu pemberian Urashima yang tak bisa ikut mengantarkannya karena dia dipanggil oleh Sang Tuan untuk misi yang lain. Ia menepuk pelan dadanya dimana jimat itu tersimpan dan ditatapnya si merah muda, "Lagipula, keberuntungan akan memihak kita. Ada Monoyoshi juga bersama kami."
"Lalu dimana dia sekarang?" Nihongou memandang ke belakang, mencari sosok wakizashi Sadamune tersebut. Mutsunokami mengecek sekali lagi posisi pistol di sarungnya sambil berkata, "Aruji memanggilnya. Sebentar lagi dia akan datang dan kita akan langsung berangkat."
Souza berbalik kepada adiknya. Ia berjongkok, menatap mata biru sang adik. "Osayo, kau tidak melupakan apapun lagi, kan? Ingat, jangan jauh-jauh dari timmu, mengerti? Selalu ikuti perintah Mutsunokami-san. Showa itu sangat jauh dan ada banyak orang asing di Jepang pada era itu. Dan perangnya—perangnya jauh lebih mengerikan."
"Kau terlalu mengkhawatirkannya, Souza." Mutsunokami tertawa pelan. Ditepuknya pundak pemuda itu ketika dilihatnya Monoyoshi datang menghampiri mereka. Melihat senyuman di wajah Monoyoshi sedikit membuat tenang si merah muda, entah bagaimana. Percaya bahwa nasib baik akan terus bersama mereka. Souza pun Kousetsu yang mengantarkan kepergian mereka mundur jauh dari area keberangkatan. Sekali lagi Souza berujar pada sang adik, "Tunggu sampai aku datang, Osayo. Aku akan segera menyusul kalian dengan kelompok Hasebe nanti."
Lambaian pelan oleh Mutsunokami dan anggukan Sayo sebelum kelima tsukumogami menghilang ditelan cahaya terang yang muncul dari tanah yang mereka pijak. Membuka portal yang mengantarkan mereka ke era di masa lalu yang sama sekali tak pernah mereka jelajahi sebelumnya. Serupa pulau berkabut yang memiliki banyak ancaman dari hewan-hewan buas yang tak pernah mereka temui selama ini.
Ke tanah Jepang di masa paling buruk.
.
4 Agustus 1945, Showa 20
Hiroshima
"Whoa. Aku sudah membayangkan Jepang berubah banyak sejak Bakumatsu, tapi tidak kusangka akan menjadi seperti ini." Lima menit mereka tetap berada di tempat di mana mereka diturunkan. Merasai udara berbau tak menyenangkan, racun yang membuat sesak napas mereka. Mata kelimanya menyapu seluruh tampilan yang terlihat di sekeliling mereka. Orang-orang yang mengantri untuk jatah makanan, orang-orang kurus dan malnutrisi. Ada jua gelandangan yang entah dari mana, kehilangan rumahnya di daerah lain dan mengadu nasib di bumi Hiroshima yang masih terlihat utuh kotanya.
"Mengenaskan sekali." Nihongou menelan air liurnya berat. Padahal sebelum berangkat tadi dia sudah menenggak sebotol sake bersama Jiroutachi dan Tarotachi, namun entah kenapa kini tenggorokannya terasa hambar dan kering. Nagasone menepuk dada pria tinggi itu, "Kau lupa? Dalam dua hari lagi akan jauh lebih mengenaskan. Oi, Mutsunokami, lalu bagaimana?"
Mutsunokami yang sedari tadi duduk diam di atas batu sambil mengamati sekelilingnya menatap empat anggotanya, "Aruji seharusnya sudah memberitahu Konnosuke kita sudah sampai. Kita menunggu di sini dulu."
"Konnosuke?" Sayo yang berdiri di samping sang kapten menoleh. Mutsunokami berkata sambil memberikan cengiran lebarnya seperti biasa, "Benar. Konnosuke sudah kemari lebih dulu untuk melapor pada tim Kantai di Kure, jadi kita tidak perlu menemui mereka."
Punggung wakizashi yang dipercaya membawa keberuntungan ditepuk keras oleh Nihongou. Pemuda Sadamune itu nyaris terjungkal ke depannya karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan sekeras itu. Dirinya yang sedari tadi membeku melihati penduduk Hiroshima yang beraktivitas di bawah bukit sana memaksakan diri tersenyum pada sang yari. "Ada apa, Nihongou-san?"
"Kau yang ada apa? Sejak tadi diam saja. Tidak biasanya wajahmu jadi seram begitu."
Monoyoshi menoleh pada orang-orang Hiroshima, "Aku heran, kenapa Aruji-san mengirimkanku kemari. Jika dengan kedatangan kita di sini untuk mencegah usaha penggagalan pengeboman besok lusa, bukankah justru kita hanya akan membawakan sial untuk mereka?"
Nagasone yang sedari tadi melihat kawan-kawannya mendekati Monoyoshi, berdiri di sampingnya dan sama-sama melihat apa yang menjadi kegundahan hati sang Sadamune, "Jangan lupa, Monoyoshi, insiden pengeboman itu adalah sebuah titik balik untuk Jepang terlahir kembali menjadi lebih baik. Seperti perang yang selama ini kita lalui, semuanya perlu pengorbanan. Hanya saja kali ini—lebih berat. Pengorbanan yang dibutuhkan jauh lebih besar."
"Tapi—"
"Mutsunokami-san. Maafkan aku baru bisa menemuimu." Sebuah gemerisik dari semak di dekat mereka dan sesuatu yang meloncat dari sana mengalihkan perhatian kelima orang itu. Konnosuke menggetarkan seluruh badannya, mengusir segala dedaunan dan debu yang ada di tubuhnya sebelum kembali tegak dan menghadap Mutsunokami. "Aku baru saja menemui tim Kantai dan sudah mengerti situasinya. Dan seperti dugaan Aruji, para Revisionis Sejarah berpusat di sini, di Hiroshima."
Robot rubah itu mengetukkan tanah dan menampilkan lembaran-lembaran laporan di sana. "Tadi malam tim Kantai menemukan beberapa kapal yang dipenuhi Revisionis Sejarah menuju kepulauan Mariana dan dugaan mereka akan berlabuh di Tinian, membantu Nippon Kaigun untuk menyerang pulau itu dan menggagalkan penerbangan B-29 selamanya."
Nagasone menunduk, mengusap dagunya sambil mendehem pelan, "Untunglah tim Kantai tidak bekerja sama dengan mereka untuk memenangkan peperangan ini."
"Mereka menemukan keganjilan pada Revisionis Sejarah, Nagasone-san, sehingga pihak Kantai meragukan mereka sebagai kawan dan laksamana mereka segera menghubungi pihak pemerintahan di era kita dan melaporkan kejadian ini." Konnosuke mengetuk tanah sekali dan memunculkan sebuah gambar sekelompok gadis berbaju perang menawan para revisionis sejarah.
Mutsunokami memperbesar tampilan di salah satu jendela artikel. Mengamati beberapa poto yang diperlihatkan Konnosuke sebelum berdiri tegak, puas mempelajari seluruhnya. "Lalu bagaimana?"
"Dan baru saja tadi aku mendapatkan kabar bahwa Revisionis Sejarah yang mereka tangkap menghilang dibawa portal waktu yang terbuka." Konnosuke menutup seluruh tampilan itu, "Ujung portal itu terhubung dengan portal yang ada di Hiroshima sini dan pihak Kantai di Kure tidak bisa melakukan apapun karena mereka sendiri sudah kesusahan akibat banyak kapal mereka ditenggelamkan pihak Sekutu di era ini."
"Aku ingin tahu rute penerbangan B-29 dari hari ini hingga besok lusa." Mutsunokami berujar. Konnosuke mengangguk. Dia terdiam sejenak untuk mencari data yang ia butuhkan sebelum menyalurkannya dari jemarinya ke tanah. Sebuah peta modern Jepang terlihat ditambahi dengan banyak garis panah. Konnosuke menyingkirkan banyak rute yang ia rasa tidak mereka butuhkan dan Mutsunokami diam memperhatikan peta itu.
"Bagaimana dengan—" Mutsunokami menunjuk sebuah titik kecil di sekitaran kepulauan di tenggara Jepang, "—yang di Iwojima? Mereka mungkin memikirkan sesuatu ketika pesawat mereka berpisah."
"Pihak Kantai bersedia mengawasi wilayah kepulauan dan laut, termasuk di Iwojima, Mutsunokami-san."
"Jadi kita bisa benar-benar fokus pada Hiroshima, ya." Nihongou mendesah panjang. Monoyoshi menunjuk beberapa jalur, "Lalu ini, B-29 hari ini serta besok juga melalui Hiroshima. Untuk apa?"
"Gertakan, Monoyoshi-san. Mereka juga menyebarkan propaganda."
"Kalau tidak salah—" Kapten tim tercenung, "—Enola—Enola sesuatu itu—"
"Enola Gay." Monoyoshi berujar, "Yang menjatuhkan bom itu, bukan?"
Mutsunokami mengangguk. "Berangkat dari Tinian jam dua pagi pada 6 Agustus nanti, bukan? Aku ingin keterangan mengenai Hiroshima besok lusa sebelum bom dijatuhkan."
Sekali lagi Konnosuke mengetuk tanah. Kelimanya tercenung, Nihongou bahkan meringis dan pergi sejauh mungkin saat melihat salah satu artikel yang tak sengaja keluar dari data yang disimpan Konnosuke. Sayo membeku dan wajahnya memucat. Mutsunokami serta Nagasone menutup mata mereka sementara Monoyoshi membalikkan badannya. Tak kuat.
"Maafkan aku." Konnosuke buru-buru menutup artikel yang membikin ngeri lima rekannya kali itu. Mutsunokami membacai seluruh rangkuman itu dan mengangguk mengerti.
"Hari ini tidak ada pergerakan berarti dari pihak Amerika di Jepang hingga besok. Jika pangkalan di Tinian sudah bersih, berarti kita hanya akan mengawasi Hiroshima. Aku tidak tahu kapan Aruji mengirimkan tim Hasebe, tapi kurasa dia akan melakukannya ketika menerima laporan dari kita setelah menemukan musuh."
Monoyoshi menoleh ke beberapa mobil kempeitai yang lewat di jalanan di dekat mereka. "Seperti rencana semula, kita hanya mengawasi, bukan?"
"Benar. Lokasi jatuhnya bom di rumah sakit Shima, 240 meter dari rencana sekutu menjatuhkannya di jembatan Aioi. Jadi aku akan membagi tim kita menjadi dua. Sayo dan aku akan mengawasi di Aioi dan wilayah kastil Hiroshima, Nagasone, Nihongou, dan Monoyoshi pergilah kalian amati sekitaran Naka-ku. Kita akan bertemu lagi nanti sore di Aioi."
"Akan ada sirene pemberitahuan nanti, tapi kalian tidak perlu mengacuhkannya karena itu alarm palsu hingga besok lusa. Tapi tetap bersembunyi dari pengawasan kempeitai saat evakuasi berlangsung."
Kelima pemuda itu sama-sama mengangguk dan berpisah. Konnosuke mengikuti langkah Sayo dan Mutsunokami yang mengarah pada salah satu jembatan besar yang menghubungkan beberapa distrik di Hiroshima.
"Nah, Konnosuke—" Mutsunokami tidak mengalihkan pandangannya dari sekitar meskipun ia memanggil si rubah, "—Revisionis Sejarah yang datang kemari, semuanya adalah samurai, bukan?"
"Benar, Mutsunokami-san. Kenapa?"
Pemuda berambut hitam itu terpekur sejenak. "Apa yang mereka rencanakan, sebenarnya? Ini adalah era yang sudah lama tidak mengizinkan penggunaan pedang lagi. Aku takut berfirasat bahwa akan ada pasukan yang berasal dari era ini dan mereka memiliki persenjataan selengkap pasukan militer saat ini."
"Mungkinkah itu terjadi?" Sayo mendongak menatap Mutsunokami. Sang kapten terdiam sejenak, "Siapa tahu. Selama ini memang tidak ada, tapi—entahlah."
"Lagipula sejauh ini, yang bisa menggunakan pistol hanya aku. Jika apa yang kutakutkan terjadi, sudah jelas kita akan kalah telak."
"Sejauh ini aku tidak menemukan data adanya musuh militer, Mutsunokami-san."
Jembatan Aioi sangat besar. Mungkin sebesar Ryogoku. Bersemen dan terlihat sangat kokoh. Jembatan ini, seingat Mutsunokami pada laporan yang dibacanya, adalah salah satu bangunan yang masih bertahan meskipun bom dijatuhkan di sekitar sini.
"Mutsunokami-san." Sayo menunjuk sebuah bangunan rumah sakit, "Itukah rumah sakit Shima yang kau katakan tadi?"
"Benar, Sayo. Kita ke sana dulu." Mutsunokami menatap sekitarnya terlebih dahulu. Ketika dirasanya tak ada yang aneh, langkahnya pelan-pelan menuju barat. Mereka harus segera tahu jika ada musuh di sekitarnya sehingga baik Mutsunokami pun Sayo tetap memasang mata dengan awas.
"Berapa korban yang ditemukan di rumah sakit itu?"
"Karena tidak ada sirene sebelumnya, jadi seluruh pasien dan pekerja di rumah sakit itu tewas semua, Mutsunokami-san. Data yang tercatat sekitar 80 korban."
"Tidak ada yang selamat?"
"Direktur utama dan seorang perawatnya. Mereka bertugas ke luar daerah."
Mereka hanya mengamati dari luar. Berdiri di tepi jalan, disamarkan kesibukan orang-orang Hiroshima yang berlalu lalang di jalanan. "Aku ingin meminta seluruh informasi tentang korban."
"Baik." Konnosuke terdiam sejenak sementara Mutsunokami menggaruk dagunya sambil menatap gedung rumah sakit itu hingga ke atas. "Woah, ini rumah sakit yang cukup besar. Sekutu benar-benar tidak berperasaan."
"Jika tidak ada sirene pemberitahuan, berarti serangan itu sangat tiba-tiba, bukan?" Sayo menggumam. Mutsunokami mengangguk. "Karena itu banyak yang tidak sempat berlindung dan mati di tempat. Yah, kebanyakan terbakar."
Sayo sudah melihatnya dari poto yang tidak sengaja diperlihatkan Konnosuke tadi. Mata birunya menyayu, "Itu sangat mengerikan."
Tidak ada tanggapan karena mereka bertiga mengerti. Menyakitkan rasanya ketika hanya mereka bertiga yang tahu apa yang akan terjadi di sini dua hari lagi. Mutsunokami menatap ke salah satu toko yang sibuk meruntuhkan bangunannya.
"Tunggu sebentar, Konnosuke. Bukankah toko karamel itu juga ikut terbakar? Aku melihatnya tadi di potomu." Konnosuke pun Sayo turut menatap apa yang ditunjuk sang kapten. Pembongkaran rumah dilakukan ketika pemiliknya melakukan evakuasi ke daerah pedesaan untuk mengurangi target-target serang oleh pihak Sekutu dan menghindari penyebaran api jika kebakaran saat penyerangan terjadi.
"Seharusnya begitu, Mutsunokami-san."
Dengan cepat pemuda berambut hitam itu berlari cepat ke tempat itu. Tanyanya pada seseorang, "Pemiliknya meninggalkan tempat ini?"
Seorang lelaki tua yang baru saja melemparkan papan dinding toko itu mendesah panjang, mengelap keringatnya sebelum berkata, "Ya. Selama ini Hiroshima hanya dilalui B-29 saja. Tapi memang tinggal menunggu waktu hingga tempat ini diserang juga, bukan? Ada rumor katanya musuh memiliki senjata jenis baru. Yah, penyerangan di Kure dan Kobe dulu juga. Musuh sudah mengembangkan senjata-senjata yang menyusahkan."
"Mutsunokami-san." Sayo mendongak menatap raut wajah sang kapten yang menggeram marah, "Para revisionis sejarah sudah melakukan sesuatu."
"Jangan katakan padaku mereka mencoba mengurangi jumlah korban yang jatuh dengan menyebarkan desas-desus." Mutsunokami mulai bimbang hingga didengarnya kericuhan di persimpangan jalan menuju jembatan Aioi.
"Musuh." Sayo pun Mutsunokami berlari cepat ketika dilihat oleh mereka Monoyoshi berlari cepat melalui banyak orang, mengejar sesuatu yang tak terlihat jelas oleh ketiganya. Sosok berasap dan hitam itu cepat lajunya meski akhirnya berhasil terhalang ketika sebuah bus berhenti tiba-tiba tepat di depannya.
"Nekat sekali muncul di tengah kerumunan seperti ini." Mutsunokami berlari cepat, langsung meloncat, dan menebas sosok yang langsung melebur menjadi debu dan asap itu.
"Mutsunokami, sembunyi." Nihongou berlari cepat menujunya, mengangkat tubuh Sayo yang masih berlari dan menghampiri Mutsunokami yang masih keheranan di tengah-tengah orang-orang yang berkumpul karena rasa penasaran. Nagasone di belakang si rambut biru berkata keras, "Kempeitai."
"Sial." Mutsunokami mengumpat. Dia menoleh pada sang wakizashi, "Monoyoshi!"
"Baik." Monoyoshi berlari lebih dulu, mencari jalan untuk melarikan diri dari kejaran polisi militer itu. Mencari-cari tempat berlindung. Kelimanya berlari melalui jembatan Aioi, ke timur, menuju wilayah kastil Hiroshima dan bersembunyi di belakang salah satu toko kain di dekatnya. Sepuluh menit kelimanya menanti dengan gelisah hingga sekali lagi mereka memastikan tak ada kempeitai di sekitar mereka.
Tertangkap kempeitai, habislah mereka nanti.
Nihongou menurunkan Sayo yang tak disadarinya digendongnya sedari tadi. Ia meraih gentong sakenya yang ia ikatkan di pinggangnya dan menenggak isinya alih-alih air. Jantung kelimanya perlahan menormal degupnya dan hembusan lega terdengar.
"Tiga dengan yang tadi." Nagasone menyapu keringatnya. Dirasanya hawa panas yang menyebalkan ditambah lelah berlari sejak tadi. "Kami hampir sampai ke tempat persembunyian mereka sebelum ketahuan."
"Jadi di Naka, ya?" Mutsunokami menghela napas panjang untuk mengakhiri kembang kempis napasnya. "Sekarang kita tahu rencana mereka. Mereka menyebarkan berita tentang penyerangan besok lusa dan membuat penduduk Hiroshima evakuasi sebanyak mungkin."
Nagasone, Nihongou, Sayo, Monoyoshi, bahkan Konnosuke terdiam. Rasa lelah mereka seolah lenyap, berganti keraguan di pikiran.
"Anu—aku—entah kenapa aku—"
"Tugas kita adalah melindungi sejarah, Monoyoshi." Mutsunokami berkata keras. "Jika Jepang tidak tahu tentang penyerangan besok, maka harus tetap begitu. Konnosuke—" Ia beralih pada sang rubah, "—hubungi Aruji. Untuk dugaan awal, seperti itu. Hingga keadaan sudah cukup tenang, kita pergi ke markas mereka."
.
Tak ada tanda-tanda kelompok Hasebe akan datang, namun Mutsunokami bergerak lebih dahulu. Markas para Revisionis Sejarah ada di tepian sungai Motoyashu, di Kakomachi. Entah itu markas mereka satu-satunya atau masih ada markas lain di luar sana.
"Ada sekitar kurang lebih lima puluh pasukan, Mutsunokami-san."
Sang kapten menggigiti bibir bawahnya sendiri. Jumlah yang cukup besar, terutama ketika dia tak sengaja melihat beberapa sosok yang tak diketahuinya, membawa sebuah senapan besar di punggungnya selain pedang di pinggang mereka. Bisa jadi mereka perwujudan ishin shishi. Tapi—entahlah, Mutsunokami tak berani menduga-duganya.
Ketakutannya seolah perlahan-lahan terwujud. Mereka bukan musuh biasa. Konnosuke sudah mengirimkan informasi itu secepat mungkin ke benteng mereka tadi sore. Jika tidak tengah malam nanti atau besok subuh Hasebe mungkin sudah datang dan menyokong mereka. Dilihati Mutsunokami mata keempat anggota timnya yang masih terlihat keraguan di dalamnya.
Mereka dulunya mungkin benda mati, sebelum kemudian mereka diberi rasa seperti manusia. Kemanusiaan, simpati, belas kasih. Mereka senjata, namun tidak sekedar senjata.
"Aku sangat menghormati Aruji." Tanpa diduga Mutsunokami sendiri ia berujar di tengah kesunyian kawan-kawannya. Bibirnya tersenyum tipis, "Pada masa ini, kalian ingat? Pada masa ini, orang-orang masih mempercayai kaisar sebagai perwujudan dewa Amaterasu. Mungkin aku juga memandang begitu pada Aruji kita. Menurutku dia dewa. Karena itulah aku mempercayakan diriku padanya."
"Aku—" Sayo menunduk. Ujung sendalnya mempermainkan tanah yang ia pijak, "—aku juga. Aku sangat menghormati Aruji-sama."
Kepala biru bocah itu dibelai Mutsunokami, "Begitu? Sayo kita sama ternyata—"
"—karena itu, aku selalu melakukan perintahnya sebaik mungkin. Karena itu adalah titah langsung dari dewaku. Aku percaya pada semua keputusannya."
Nihongou mendengus. Bibirnya menyengir tipis, "Kau pikir hanya kalian?"
Laki-laki tinggi itu berdiri dari jongkoknya, wadah sakenya ia tuangkan ke mulutnya sendiri, namun hanya setetes yang jatuh. Dengan kesal ia menggeliat, meregangkan urat-uratnya yang terasa tegang sejak tadi, "Aaah. Kuharap Shokudaikiri membawa sake tambahan nanti. Tenggorokanku haus."
"Tidak ada sake sebelum tugas selesai."
Sayo membelalak. Senyumannya tipis meski nyaris hilang, bahagia. Dia mendekati sekelompok orang yang tak mereka duga muncul di depan mereka saat itu jua. "Onii-sama."
-bersambung
A/N: Chapter pertama dari dua chapter. Saya mau jujur, sebenarnya saya tidak bermain game Touken Ranbu ini karena saya memang bukan tipe orang yang suka bermain game jenis elektronik (PS2, game HP, game android, apalagi game online). Saya hanya tahu ini dari anime, tapi saya merasa konsep dari game ini sangat menarik dan banyak ide yang didapat untuk membuat fanfiksi sejenis ini berhubung saya sendiri sangat tertarik pada sejarah dunia, termasuk Jepang. Keterbatasan saya adalah saya tidak bermain gamenya sehingga tidak tahu secara persis bagaimana sistem game tersebut. Satu-satunya yang jadi bahan pengamatan saya hanya dari anime dan wikinya. Jika ada kesalahan atau semacam itu, saya berharap ada yang mengoreksi. Mungkin tidak bisa saya revisi sepenuhnya, tapi akan saya jadikan catatan untuk chapter selanjutnya.
Jika ada yang berkeberatan dengan kelancangan saya membuat fanfiksi padahal saya bukan penghuni fandomnya, saya tidak masalah untuk menghapus fanfiksi ini. Saya bertekad, fanfiksi dua chapter ini adalah fanfiksi pertama dan terakhir saya di fandom ini.
Terima kasih untuk membaca.
