1 : Belum berakhir

.

.

Hinata menatap pantulan bayangannya di cermin. Tangannya lalu mengusap bekas luka yang menghiasi dadanya. Bekas luka ini tidak akan pernah pudar, setiap kali Hinata melihatnya maka ia akan selalu teringat malam dimana ia nyaris kehilangan semuanya.

Hinata lalu menghela nafas sambil mengancingkan kembali pakaiannya. Sudah satu bulan ia tersadar dari 'komanya' dan tidak banyak hal yang berubah selama ia tidak sadarkan diri di rumah sakit.

Dan tentang Obito… Hinata tidak tahu persis apa yang terjadi padanya. Yang ia tahu adalah polisi menembaki Obito dan ketika dalam perjalanan ke rumah sakit, Obito menghembuskan nafas terakhirnya. Hinata tidak pernah membahas mengenai Obito, ia tidak ingin melihat wajah Sasuke yang berkabut amarah setiap kali mendengar nama itu.

Semua yang terjadi biarlah terjadi… Hinata hanya ingin membuka lembaran hidup baru.

Tentu saja bersama Sasuke! Hahahaha…

Saat ini ia sudah sepenuhnya menjadi Hinata Hyuuga, ah bukan, saat ini ia sudah sepenuhnya menjadi Hinata Uchiha sehingga yang perlu ia lakukan di dunia ini adalah hidup bahagia sampai akhir nafasnya!

Itu adalah cita-citanya.

Namun kenyataannya adalah… akhir-akhir ini ia dilanda kegalauan.

Karena Sasuke!

Jadi seperti ini ceritanya, di malam dimana Obito datang hendak menghabisinya, Hinata mengungkapkan perasaannya pada Sasuke sambil terisak-isak dan beruraian air mata karena menganggap ajalnya telah dekat sehingga ia harus mengungkapkan semuanya selagi masih ada kesempatan. Dan apa yang dijawab oleh Sasuke? Pria itu mengatakan padanya untuk bertahan dan menyuruh Hinata menunggu jawaban darinya. Pria itu menggantungkan jawabannya!

Hingga detik ini juga Hinata masih menanti jawaban yang tidak kunjung diberikan oleh Sasuke. Itu membuatnya galau! Sebenarnya Sasuke mencintainya atau tidak?! Hinata butuh ketegasan!

Ketika dipikir-pikir lagi, Sasuke memang mengatakan jika ingin selalu bersama Hinata dan membesarkan anak-anak mereka kelak. Itu artinya dia mencintai Hinata kan?

Tapi kemarin ia menonton TV yang menayangkan kabar perceraian selebriti yang telah menikah selama 30 tahun! Bayangkan saja, 30 TAHUN! Menurut kabar yang beredar, perceraian itu terjadi karena selama pernikahan itu sang suami tidak mencintai istrinya dan hanya mempertahankan pernikahan itu demi anak-anaknya. Sang suami memutuskan menggugat cerai istrinya karena pria itu akhirnya jatuh cinta pada seorang wanita setelah sekian lama.

Berita itu membuat Hinata ketakutan setengah mati!

Bagaimana jika Sasuke dan pria itu sama?! Bagaimana jika ternyata Sasuke bersama Hinata bukan karena cinta namun karena ingin mempertahankan janji pernikahan yang telah dia ucapkan dulu?! Bagaimana jika suatu hari nanti Sasuke bertemu dengan cinta sejatinya dan memutuskan untuk mendepak Hinata dan anak-anaknya keluar dari kehidupannya?!

AAARRRGGGHHH!

Dan mengapa sampai detik ini juga Sasuke belum mengatakan jawabannya?! Apakah Sasuke lupa? Apakah Sasuke tidak sadar jika sampai detik ini ia belum mengatakan apapun pada Hinata?!

Ataukah… jangan-jangan… Sasuke tidak mencintai Hinata?!

Itu adalah kemungkinan yang menakutkan.

.

.

"Sasuke…" Panggil Hinata saat mereka berdua sarapan di meja makan.

"Hm?" Jawab Sasuke sambil menatap Hinata.

"Um… a-ano… a-apakah k-kau tidak me-merasa melupakan… sesuatu?" Pancing Hinata.

Sasuke nampak berpikir sejenak. "Melupakan apa?"

Melupakan jawaban yang telah kau janjikan padaku!

Hinata berusaha tersenyum. "Coba kau ingat-ingat lagi."

"Sepertinya tidak ada yang kulupakan." Jawab Sasuke sambil meraih ponselnya yang ia letakkan di meja. "Aku pergi dulu." Kata Sasuke sambil bangkit berdiri.

"O-oh.. oke…" Hinata menundukkan kepalanya. Tidak ada yang dilupakan huh…

Sebuah ciuman lembut lalu mendarat di kepalanya. "Baik-baik di rumah."

Hinata kembali mengangkat wajahnya. "Aku akan menantimu pulang." Setelah mengatakan itu sebuah senyum manis terukir dibibirnya. Ini adalah refleks! Hinata tidak bisa mengendalikan senyuman yang selalu muncul setiap kali berada di dekat Sasuke.

"Mm. Tunggu aku pulang."

.

.

Setelah keluar dari rumah sakit, Hinata kembali ke rumah yang ia tempati dulu. Namun sekarang ia tidak sendirian lagi di rumah besar ini, ada Toshiko dan tiga orang maid yang kini turut menemaninya di rumah. Nampaknya Toshiko baik-baik saja meski harus dioperasi karena terkena tembakan di perutnya. Ah ya, Lee dan Gai kini juga menetap di rumah ini .

Rumah ini tidak banyak berubah, hanya saja ada beberapa benda yang absen dari tempatnya karena dirusak oleh Obito dulu. Termasuk pula foto pernikahan ekstra besar kesayangannya yang hancur dan sudah dibuang entah kemana. Aish… padahal Hinata sangat menyukai foto itu. Semua pernak-pernik rumahnya yang imut dan lucu juga turut dihancurkan Obito. Tidak ada lagi snowglobe kesukaannya, patung kelinci dan kucing lucu dari keramik, bahkan bantal berbentuk kepala kucing favoritnya kini turut hilang.

Dan juga kebunnya… kini telah hilang dan berganti dengan halaman rumput dan tanaman bunga. Hinata harus merelakan tanaman tomat dan sayur-sayuran kesayangannya musnah untuk selamanya. Ah, Hinata juga kehilangan semua pot-pot gantung dan patung kurcaci imut yang menghiasi taman depan.

Semuanya kini kembali seperti sedia kala seperti saat awal-awal Hinata menikah.

Ah, setidaknya tanaman kaktus mungilnya selamat. Mungkin itu karena efek pasir Suna yang ajaib.

.

.

"Apa maksudmu, Sasuke?" Tanya Kakashi dengan tidak percaya.

"Obito pasti memiliki rekan. Tidak mungkin dia hanya sendirian. Pasti ada seseorang yang telah melindungi Obito selama ini." Kata Sasuke sambil mengetuk-ngetukkan tangannya ke atas meja.

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"Pikirkan saja Kakashi, seseorang seperti Obito sangat sulit ditemukan meski polisi dan agen-agen rahasia kita telah mengerahkan semuanya demi mencari jejaknya. Kita sangat sulit menemukannya karena ada seseorang yang menyembunyikannya."

Kakashi mematung. Obito memang telah mati, namun itu tidak menghentikan Sasuke mengorek semua hal tentang Obito. Bisa dibilang Obito adalah seseorang yang misterius, tidak ada informasi yang mampu digali. Tidak diketahui dimana Obito tinggal selama ini atau apa saja yang dikerjakan Obito untuk menyambung hidupnya.

"Dan tentang kematian keluarga Uchiha…" Ekspresi Sasuke terlihat menggelap. "Polisi bahkan tidak bisa mengetahui jika dalang dibalik itu semua adalah Obito. Benar-benar tidak berguna! Seseorang pasti telah membantu Obito dalam kejahatannya. Aku yakin itu."

Jika dipikir-pikir lagi semua memang masih terasa janggal. Bagaimana bisa Obito melakukan kejahatannya tanpa diketahui siapapun? Kematian Madara Uchiha mungkin bisa dianggap sebagai hal yang natural. Namun bagaimana dengan kebakaran keluarga Daichi dan kecelakaan keluarga Fugaku? Tidak mungkin Obito bisa lolos dari semua itu hanya dengan mengandalkan keberuntungan belaka…

"Apakah Obito berhasil melarikan diri dari penjara karena…" Kakashi tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

"Karena ada seseorang yang membantunya. Tidak mungkin satu orang Obito bisa melumpuhkan puluhan polisi bersenjata lengkap. Terlebih lagi sistem keamanan penjara sangatlah canggih, bagaimana bisa tidak ada yang mampu menangkap Obito?"

"Dan Obito juga langsung tahu dimana Hinata berada." Kata Kakashi perlahan. "Obito tidak mungkin bisa tahu dimana keberadaan Hinata kecuali ada orang yang sengaja membocorkannya."

"Dia juga memancingku untuk keluar dari rumah itu dengan menciptakan masalah di perusahaan yang membuatku harus turun tangan secara langsung. Obito tidak mampu melakukan semuanya seorang diri."

"Semuanya telah diatur…"

Sasuke memijat dahinya. "Obito melakukan semua ini karena ingin membalas dendam kepada keluarga Uchiha. Namun keuntungan apa yang didapatkan orang itu karena telah membantu Obito?"

"Kekayaan Uchiha?" Tebak Kakashi.

Sasuke tertawa perlahan. "Jika dia menginginkan itu mengapa dia mengincar Hinata? Akan lebih mudah menguasai kekayaan Uchiha dengan cara membunuhku secara langsung."

Kakashi diam. Itu benar, jika tujuannya adalah mengincar kekayaan Uchiha pasti orang itu sudah menghabisi Sasuke yang notabene adalah si Uchiha tunggal sejak lama.

Apa yang diinginkan orang ini sebenarnya?

"Ini semua masih belum berakhir." Bisik Sasuke perlahan.

.

.

Bisa kembali mengikuti kelas yoga adalah salah satu kebahagiaan bagi Hinata. Setelah sebulan diwajibkan beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang melelahkan, kini ia bisa kembali mengikuti kelas ini bersama teman-teman yang terpaut usia lebih tua darinya.

Setelah selesai mengikuti kelas Yoga. Rombongan ini lalu pergi ke restoran favorit mereka yang menyediakan menu vegetarian. Berada di tengah-tengah suasana yang penuh keakraban seperti ini membuat hati Hinata terasa hangat.

Bercanda dan bergosip ria bersama Temari, Kushina, Tsume dan Yoshino adalah hal yang sangat menyenangkan bagi Hinata. Siapa yang bisa mengira jika rombongan ibu-ibu itu jauh lebih modis dibandingkan Hinata?

"Kerutan di wajahku semakin lama semakin banyak." Keluh Tsume Inuzuka.

"Tidak begitu kentara kok." Kata Kushina. "Kau masih terlihat awet muda."

"Mudah saja kau bicara begitu! Kau bahkan tidak memiliki kerutan, kau tidak akan bisa memahami perasaanku!"

Tanpa sadar Hinata menyentuh ujung matanya sendiri. Kerutan huh? Apakah Hinata juga memilikinya?

Temari melirik Hinata lalu tertawa perlahan. "Jangan mengkhawatirkan itu."

Cepat-cepat Hinata menurunkan kembali tangannya. Pipinya bersemu merah karena telah ketahuan.

Pembicaraan lalu beralih kepada cucu pertama Tsume yang kini baru berusia seminggu.

"Dia sangat lucu." Komentar Kushina sambil mengamati foto-foto yang diambil Tsume di ponselnya. "Mirip dengan ibunya."

Yoshino mengangguk setuju. "Dia secantik Hana."

Kushina lalu menghela nafas. "Aku jadi ingin memiliki cucu."

"Kushina-san harus menyuruh Naruto menikah secepatnya." Kata Temari sambil tertawa.

"Tenang saja! Aku sudah mengatur semuanya." Jawab Kushina dengan riang.

Huh?

"Naruto-san sudah memiliki calon?" Tanya Hinata dengan heran. Apakah Naruto memutuskan untuk meminang Sakura?

Kushina menyeringai licik. "Aku akan menjodohkannya dengan seseorang."

Melihat seringaian itu, bulu kuduk Hinata meremang.

.

.

Hinata mengigit ujung jarinya sambil menatap layar ponselnya.

Haruskah ia menghubungi Naruto?

Apakah si kuning itu tahu jika ibunya berniat menjodohkannya dengan seseorang yang bukan Sakura?

Sebenarnya bagaimana hubungan Naruto dan Sakura saat ini? Sedekat apakah mereka? Apa Naruto masih mencintai Sakura?

Hinata selalu berharap agar Naruto bisa berakhir bersama Sakura. Perasaan cinta pemuda itu pada Sakura sangat dalam. Mereka berdua juga serasi dan saling melengkapi.

Ponsel Hinata berbunyi. Panggilan masuk dari Naruto.

Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya. Apakah Naruto memiliki kemampuan telepati?

Hinata mengangkat panggilan itu. "Halo."

"Hinata, bisakah kita bertemu sekarang?" Naruto terdengar panik. "Aku membutuhkan bantuanmu."

.

.

Hubungan Hinata dan Naruto kini semakin membaik. Mereka berdua bukan teman, namun juga bukan musuh.

"Hinata!" Naruto melambaikan tangannya sekilas ketika Hinata memasuki café yang menjadi tempat pertemuan mereka.

Sebelum Hinata sempat duduk, Naruto langsung berbicara. "Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu, Hinata. Komohon tolonglah aku." Pintanya dengan memelas.

"A-ada masalah apa?" Tanya Hinata.

"Kaa-san ingin menjodohkanku dengan seseorang!" Kata Naruto dengan setengah berbisik. Mata birunya memancarkan kekhawatiran yang amat sangat.

"Oh." Jadi tentang ini huh?

Naruto memicingkan matanya. "Kau tidak terlihat terkejut." Ia lalu menudingkan tangannya ke arah Hinata. "Kau sudah mengetahui ini sebelumnya?!"

"Bisa dibilang begitu."

Naruto mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sementara itu pelayan datang untuk mengantarkan minuman.

"Huh? Kau sudah memesankan untukku?" Hinata menoleh ke arah Naruto. "Terima kasih."

"Apa saja yang dikatakan oleh Kaa-sanku?"

"Tidak banyak. Kushina-san hanya mengatakan jika dia berniat menjodohkanmu dengan seseorang agar kau lekas menikah dan memberinya cucu."

"Apakah kau tahu siapa yang telah dipilihkan Kaa-san untukku?"

"Tidak, Kushina-san tidak mengatakan apapun." Hinata lalu meraih minumannya. "Mengapa? Apakah dia jelek?"

Naruto mengusap-usap wajahnya dengan frustasi. "Bukan itu masalahnya!"

"Aa, pasti kau ingin menolak perjodohan ini karena kau hanya mencintai Sakura." Setelah mengatakan itu Hinata meneguk minumannya.

"Sudah jelas kan." Bisik Naruto perlahan.

"Tapi Sakura tidak mencintaimu."

Naruto menggebrak meja. "Tidak perlu mengatakannya secara blak-blakan!"

Hinata menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya dengan iba. "Kejujuran memang menyakitkan. Kau harus belajar menerimanya."

"Ugh." Naruto membuang wajahnya.

Hinata meletakkan minumannya yang tersisa separuh. "Lalu, apa yang kau inginkan dariku?"

"Bantu aku menggagalkan perjodohan ini." Kata Naruto sambil menatap Hinata dengan serius.

"Tidak mau." Tolak Hinata secara langsung. "Hubungan kita memang telah membaik, namun itu bukan berarti aku memaafkan semua kesalahan yang kau perbuat padaku dulu."

"Diam-diam ternyata kau seorang pendendam."

Hinata hanya tersenyum manis. Ia memang berharap agar Naruto bisa bersama dengan Sakura, namun itu bukan berarti ia sudi menjadi agen cinta Naruto.

"Kumohon bantu aku, Hinata." Naruto kini memasang ekspresi memelas.

"Memangnya apa yang bisa kulakukan?"

"Bujuklah Kaa-sanku untuk membatalkan perjodohan ini."

"Tidak mau. Kushina-san benar-benar menginginkan cucu. Jika aku menjauhkannya dari keinginan terbesarnya maka Kushina-san akan mengamuk padaku." Hinata lalu meletakkan jarinya di dagu dan memasang ekspresi sedang berpikir serius. "Akan lebih baik jika kau mengatakan pada Kushina-san jika kau memiliki seseorang yang kau cintai."

"Aku… tidak bisa mengatakan itu."

"Huh? Mengapa?"

"Hubunganku dengan Sakura-chan sedikit merenggang. Jika aku mengatakan itu, aku takut Kaa-san akan turut campur dan mengusik Sakura-chan. Aku tidak ingin Sakura-chan menjauhiku karena ini."

"Mengapa hubunganmu dengan Sakura merenggang? Kupikir kalian berdua tidak bisa dipisahkan seperti permen karet bekas yang menempel di sol sepatu."

Ujung mata Naruto berkedut sebagai pertanda bahwa ia jengkel dengan perkataan Hinata yang mengibaratkan ia dan Sakura sebagai permen karet bekas dan sol sepatu. "Dia ingin berhenti menjadi beban bagiku. Dia ingin berhenti bergantung padaku. Itulah mengapa Sakura-chan menciptakan jarak dariku."

Hinata menganggukkan kepalanya. "Aa… Sakura sangat dewasa."

"Aku berusaha menghormati keputusannya." Naruto lalu tertawa perlahan. "Tapi aku tidak bisa jika harus menikahi orang lain."

"Tapi Sakura benar-benar tidak mau denganmu."

"Berhenti mengatakan hal-hal yang pesimis!" Teriak Naruto.

"Cih, kau hanya sedang berusaha mengingkari kenyataan." Kata Hinata sambil memutar bola matanya.

Naruto memijat kepalanya. "Oh astaga, bicara dengamu membuat tekanan darahku naik."

Hinata menghela nafas. "Jika Sakura tidak mencintaimu maka kau harus membuatnya jatuh cinta padamu. Sederhana kan?"

"Apanya yang sederhana?! Aku telah mencobanya selama bertahun-tahun namun hasilnya nihil!"

"Apa yang telah kau coba? Apa kau mendekatinya sebagai seorang pria ataukah kau mendekatinya sebagai seorang teman?"

Alis Naruto berkerut.

Ckckck… Naruto benar-benar tidak memahami hati wanita.

"Kau harus banyak-banyak menonton film dan drama romantis." Kata Hinata dengan bijaksana. "Sebagai pembelajaran agar bisa mendapatkan hati Sakura."

.

.

"Kau pulang larut." Hinata menatap Sasuke sambil cemberut. "Lagi."

"Maaf." Sasuke mengelus pucuk kepala Hinata. "Akhir-akhir ini aku banyak pekerjaan."

Hinata mengangguk tanda paham. Selama Hinata berada di rumah sakit, Sasuke selalu setia menemaninya dan itu membuat pekerjaannya sedikit terbengkalai. Kini pria itu harus bekerja ekstra agar tidak muncul kekacauan di perusahaan.

Hinata membenamkan kepalanya di bantal sambil memeluk boneka singa kesayangannya. Matanya kini menatap Sasuke yang kini terlihat sibuk mengeringkan rambut hitamnya yang basah.

"Naruto akan dijodohkan dengan seseorang. Apa kau tahu itu?"

"Mm. Dia tadi menelponku sambil mengomel."

"Lalu?"

"Aku langsung mematikan panggilannya sebelum telingaku tuli karena mendengar teriakannya yang tidak jelas."

Hinata cekikikan. "Naruto benar-benar panik."

Sasuke berjalan menghampiri Hinata lalu mencubit pipi bulatnya. "Jangan menyebut nama pria lain saat berada di atas ranjang kita."

Hinata menepis tangan Sasuke sambil bangkit duduk. "Ja-jangan me-mengatakan se-sesuatu yang membuatku merasa canggung!" Teriaknya dengan pipi merah merona.

Sasuke tertawa pelan.

"K-kau menyebalkan!" Teriak Hinata sambil melempar bantak ke arah Sasuke.

Sayang sekali si menyebalkan itu menangkapnya.

Buk!

Dan melemparkannya kembali.

"Ouch!"

Tepat mengenai wajah Hinata.

"K-kau adalah suami yang jahat!" Tuding Hinata. "Aku akan membalas perbuatanmu!"

Mendengar ancaman Hinata, Sasuke tertawa semakin keras.

Hinata mengambil bantal dan mulai memasang posisi siap menyerang. "Aku akan membuatmu memohon ampun! Persiapkan dirimu, Uchiha!"

.

.

Ini sudah jam sebelas malam, namun kediaman Uchiha masih dipenuhi teriakan dan tawa.

Ah, lebih tepatnya suara teriakan dan tawa itu berasal dari kamar si tuan dan nyonya Uchiha dan menggema ke seisi rumah.

Hey, hey… tuan dan nyonya, ini sudah jam sebelas malam dan para maid ingin tidur. Mereka sangat senang karena hubungan tuan dan nyonya Uchiha sangatlah dekat, namun bisakah mereka berdua sedikit mengurangi volume suara mereka? Para maid juga butuh istirahat, suara teriakan dan tawa membuat mereka tidak mampu jatuh tertidur.

Sebenarnya apa yang mereka berdua lakukan?!

.

.

Kebahagiaan seorang author adalah ketika tulisan mereka disukai oleh para pembacanya.

Jangan lupa komen ya… itu adalah sumber semangat saya.