A Day to Remember

By: J. Meredith

Warnings: Adult Theme, Violence, Sexual 15+

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Chapter 1 : A Bloody Night

Ada sesuatu dari malam hari ini yang terasa berbeda. Miyako memejamkan matanya sesaat. Kelopak matanya yang sudah keriput kemudian terbuka kembali, menampilkan dua bola mata yang sudah diselimuti oleh katarak. Kakinya yang renta membawanya mengelilingi koridor sebuah rumah dengan desain tradisional Jepang yang sepi. Suara deritan lantai kayu di bawah kakinya mengikuti setiap langkah yang ia buat. Miyako adalah seorang dayang di kediaman keluarga terhormat di Uzushiogakure, atau lebih tepatnya keluarga pimpinan klan Uzumaki yang sangat disegani. Ia sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga ini; mengikuti dan mengetahui setiap sejarah perkembangan keluarga Uzumaki. Dan malam ini, sama seperti malam-malam yang sebelumnya, ia sedang menjalankan tugas yang telah dilakukannya selama puluhan tahun, yaitu beronda malam mengelilingi kediaman tersebut sambil membawa sebuah pelita kecil di tangannya.

Tidak hanya Miyako, semua dayang yang bekerja di kediaman ini juga melakukan hal yang sama setiap malamnya. Mereka bergantian dalam melakukan pekerjaan ini, tetapi si tua Miyako ini tak pernah mau bergantian dengan mereka. Ia selalu melakukan pekerjaannya semalaman penuh, selalu siap tatkala tuan dan nyonya-nya akan membutuhkan bantuannya. Miyako sedang berjalan melewati kamar nyonya-nya ketika ia merasakan ada sesuatu yang janggal. Beberapa saat yang lalu, ia masih melihat cahaya yang keluar dari kamar tersebut. Ia tahu bahwa Nyonya Kurumi Uzumaki memang suka membaca buku sebelum pergi tidur, tetapi ia tidak pernah sekalipun memadamkan lampunya. Karena merasa khawatir, Miyako memutuskan untuk memeriksa kamar tersebut.

"Kurumi-sama, apakah Anda sudah tertidur? Atau jika Anda masih terjaga, apakah ada sesuatu yang salah?"

Cukup lama tidak terdengar balasan apapun dari dalam kamar. Dan sebagai orang yang sudah berumur, Miyako memiliki sifat yang tidak sabar. Ketidaksabaran yang dimilikinya itu bercampur dengan rasa khawatir, sehingga tanpa berpikir lagi ia segera membuka pintu geser kamar itu dengan sekali hentakan.

"Kurumi-sama! Kurumi-sama! Oh, Kami-sama! Apa yang terjadi?"

Hal pertama yang disaksikannya begitu ia membuka pintu membuat jantung tuanya berhenti berdetak selama beberapa saat. Sebuah pemandangan yang sungguh menyayat hati tua Miyako. Gulungan segel fuinjutsu terpencar-pencar di seluruh sudut ruangan. Pecahan guci-guci porselen kesayangan Kurumi berserakan di atas tatami. Meskipun begitu, pemandangan yang paling menyakitkan bagi Miyako adalah menyaksikan Kurumi terkapar di atas tatami. Tubuh nyonya-nya tampak mengenaskan, tulang-tulangnya patah menembus kulitnya dan banyak luka sayatan dimana-mana. Bau amis darah langsung menusuk hidung tuanya saat ia menghambur ke arah jasad nyonya-nya.

"Kurumi-sama! Kurumi-sama! Ya, Kami-sama! Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan hal kejam ini?!"

Miyako menjerit-jerit dengan panik. Air mata tumpah keluar dan suaranya mulai terhambat oleh isak tangis. Tangan-tangan keriputnya mendekap tubuh yang sudah dingin itu dengan gemetar.

"Aku."

Mata Miyako terbelalak. Sekujur tubuhnya menjadi kaku seketika itu juga. Nada suara yang berat itu membuat atmosfir di dalam ruangan seketika menjadi sangat menyesakkan baginya. Miyako dapat merasakan keringat mulai bercucuran dari keningnya. Ia begitu kaget dengan keadaan Kurumi sampai-sampai tidak menyadari kehadiran sosok lain di dalam kamar itu.

Dengan sisa nyali yang masih dimilikinya, Miyako menoleh perlahan dengan gemetaran ke arah asal suara tersebut. Mata tuanya kemudian menangkap satu sosok yang bersembunyi di balik bayangan. Orang itu kemudian maju ke arah cahaya sehingga Miyako mulai bisa mengenali siapa dirinya.

"K-Kau!"

Rasanya Miyako tidak bisa percaya lagi dengan mata tuanya yang sudah katarak. Di dalam hati, ia berharap pengelihatannya memang sudah kabur sehingga sosok yang ada didepannya itu bukanlah siapa yang terpikirkan olehnya. Sosok tersebut lalu menyeringai lebar. Seperti iblis. Dan seringai itu adalah hal terakhir yang dilihat Miyako sebelum ia menyusul nyonya-nya ke dunia yang berbeda.

Sosok itu kemudian berjalan mendekati kedua jasad yang ada di depannya. Ia lalu berjongkok dan meraih pelita yang tadi dibawa Miyako. Disaat yang sama, sesosok bayangan lain muncul di belakangnya.

"Semua sudah siap", bayangan itu berkata.

"Segera jalankan", balasnya.

"Baik."

Kemudian bayangan tersebut menghilang kembali.

Sosok itu menatap hasil perbuatannya untuk terakhir kali, sebelum ia melempar pelita Miyako ke atas tatami dan berbalik meninggalkan ruangan yang mulai terbakar tersebut.

-000-

Di luar kamar, keheningan yang tadinya menyelimuti kediaman Uzumaki sudah lenyap. Suara jerit dan tangis para dayang memenuhi lorong-lorong rumah dan membangunkan penghuni rumah lainnya. Terdengar juga bunyi rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan di atas genting. Hujan sepertinya ingin bergabung meratapi kemalangan yang tiba-tiba muncul di rumah keluarga Uzumaki.

Sementara itu, puluhan bayangan hitam mulai menyerbu rumah tersebut. Mereka melompati tembok, berlari di atas genting, dan menerjang masuk ke dalam rumah. Ketangkasan mereka dalam melakukan penyerbuan membuat seisi rumah sama sekali tidak siap. Mereka membunuh setiap orang yang mereka temui dengan kunai dan katana. Mereka melakukannya dengan keji dan tanpa ampun, serta tidak melihat usia dan jenis kelamin. Kemampuan membunuh mereka setara shinobi, tetapi mereka tidak bisa menggunakan jutsu. Para shinobi 'jadi-jadian' ini kemudian mulai membakar seisi rumah.

Kushina terbangun ketika ia mendengar suara jeritan keras dari seorang dayang yang berada di depan kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya dan mendapati rumahnya sedang diserbu dan dalam keadaan setengah terbakar.

"Kami-sama! Apa yang terjadi?!"

Gadis berambut merah panjang itu panik. Wajahnya sangat pucat dan pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan tentang bagaimana hal ini bisa terjadi. Sungguh, ini adalah sesuatu yang sangat mengejutkan bagi seorang anak seumuran dia. Melihat rumah sendiri hangus terbakar dan tumpukan mayat bergelimpangan dimana-mana bukanlah pemandangan yang biasa dilihat oleh seorang bocah berusia 8 tahun. Kushina mendekap dirinya sendiri yang masih berbalut kimono tidur. Ia berlarian kesana kemari, berusaha menghentikan orang-orang yang sedang berlarian dengan panik, hanya sekedar untuk mendapatkan jawaban. Namun, tampaknya mereka sudah tidak peduli lagi dengan dirinya dan hanya ingin menyelamatkan diri mereka masing-masing saja.

Tidak ada gunanya bertanya pada orang-orang ini. Rasa ketakutan telah mengalahkan rasionalitas dalam diri mereka. Tidak ada pilihan lain. Ia harus mencari tahu sendiri nanti, tapi sekarang ia harus menemukan anggota keluarganya yang lain terlebih dahulu.

"Okaa-san! Otou-san! Onii-chan! Oji-san! Kalian ada dimana?!"

Kushina berlari melawan arus orang-orang yang ingin menyelamatkan diri. Orang-orang itu menubruknya dengan keras. Mereka adalah para pelayan dan dayang yang seluruh inderanya telah dilumpuhkan oleh rasa takut. Rasa takut akan kematian yang mengejar di belakang mereka jika mereka berhenti berlari.

Langkah Kushina terhenti di depan kamar ibunya. Ia begitu terkejut melihat kondisi kamar ibunya yang sudah dilalap api besar.

"KAA-SAN!"

Kushina berteriak sekuat tenaga. Air matanya tumpah dan membasahi pipinya. Ia berharap semua ini hanya mimpi buruknya saja. Sungguh, ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk saja. Kushina terus meneriaki nama ibunya dan mulai menangis meraung-raung. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa masuk ke dalam sana dan menyelamatkan ibunya.

"Aaargh!"

Kushina menjerit karena pilar kayu besar di atasnya jatuh dan menghalangi pintu masuk ke dalam kamar ibunya, membuat semuanya terasa semakin mustahil baginya untuk bisa menerjang masuk.

"Tidak-kk.. Kaa-san.. Hiks.. Hiks.. Kaa-san.. Hiks…", suara Kushina begitu lirih. Ia tidak sanggup lagi berteriak. Kekuatannya ditelan oleh kesedihan dan keputusasaan yang begitu dalam. Kushina jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu. Bahunya gemetar dan suara sesenggukan meluncur keluar dari bibirnya.

"Hush. Hush. Gadis kecil yang manis, kenapa kamu menangis?"

Suara berat dengan nada mengejek itu membuat isak tangis Kushina berhenti. Bunyi deritan lantai kayu dibelakangnya mengiringi langkah orang tersebut yang semakin mendekat. Kushina langsung beranjak dari duduknya dan berbalik dengan cepat. Dengan jemarinya, ia mengusap kedua matanya yang dibasahi oleh air mata. Mata violetnya yang bundar kemudian bertemu dengan mata hijau tua yang memancarkan aura membunuh. Pemilik mata itu lalu menyeringai lebar. Ia berjalan mendekati Kushina. Setiap langkah yang ia ambil untuk mendekatkan dirinya pada Kushina membuat Kushina ikut mengambil satu langkah mundur menjauh darinya. Menyadari hal ini, laki-laki itu terkekeh. Lalu, ia lanjut menjawab sendiri pertanyaannya yang tadi.

"Ah! Aku tahu! Kau pasti menangisi ibumu dan dayang tuanya yang telah terbunuh itu, ya? Menyedihkan sekali. Di usiamu yang masih muda, kau sudah mengalami hal yang seperti ini. Hmph. Tapi jangan khawatir. Karena aku akan membantumu agar tidak perlu merasakan derita atas kehilangan seseorang yang kita cintai. Aku akan mengantarmu langsung kepada ibumu. Jadi, jangan menangis lagi, ya?"

Kushina terbelalak. Orang ini akan membunuhnya. Oh, itu sudah pasti. Aura membunuh orang ini begitu kuat. Ia akan segera mengakhiri hidupnya. Kushina gemetar hebat. Suhu tubuhnya menurun drastis dan kakinya melemas. Ia tidak tahu kenapa ia seperti ini. Sepertinya ia benar-benar takut mati. Kushina yang dikenal oleh semua orang selama ini adalah Kushina yang sangat berani. Ia tidak takut jatuh, tidak takut terluka, pokoknya ia dikenal tidak takut pada apapun. Tetapi, sekarang saat berdiri di hadapan orang ini dan sedang menemui ajalnya, Kushina merasakan ketakutan yang sangat besar. Yang sama sekali belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kau gemetaran? Hahaha… Kasihan sekali kau, Ojou-sama! Tenang saja. Akan kubuat sakitnya seminim mungkin. Kau akan pergi bahkan sebelum kau menyadarinya. Tidak perlu berterimakasih padaku." Laki-laki itu berjalan semakin dekat sembari mengeluarkan sebuah kunai dari kantung celananya.

Lari, Kushina!

Itulah yang diperintahkan otaknya. Namun seluruh otot di tubuhnya mengejang kaku dan tidak merespon perintah apapun. Tidak ada satupun bagian tubuhnya yang bergerak seperti keinginannya. Syaraf-syarafnya tidak berfungsi. Kushina mengutuk dalam hatinya.

Sial. Haruskah ia pergi dengan cara seperti ini?

Kushina memejamkan matanya dengan erat. Ia tak rela harus mati begini, tapi ia juga tidak bisa sanggup berbuat apa-apa. Ia merasakan orang itu semakin mendekat. Tapi tidak juga terjadi apa-apa. Ia tidak merasakan apapun.

Apakah semuanya sudah selesai? Secepat itukah?Apa ia sudah mati?

Kushina menunggu tetapi tidak merasakan apapun juga, akhirnya ia membuka matanya. Tidak. Ia belum mati. Karena ia masih bisa melihat kobaran api sejauh matanya memandang. Kushina lalu menyadari kalau orang tersebut sudah tidak lagi berdiri dihadapannya, melainkan tergeletak di atas tanah dalam keadaan sudah tak bernyawa. Sebuah sosok yang berbeda sekarang berdiri menggantikannya di posisinya tadi. Sosok itu kemudian berjalan mendekati Kushina.

"Kushina! Syukurlah aku tepat waktu! Apa kau baik-baik saja?"

"Genki-san! Kau masih hidup! Ya! Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan ayah dan kakak? Apa mereka baik-baik saja?"

Laki-laki yang disapa Genki itu menghampiri Kushina. Tangannya yang besar dan berbulu memasukkan katana kembali ke sarungnya. Genki Uzumaki adalah sepupu dari ayah Kushina, Hakushi Uzumaki. Karena tidak berkeluarga, maka Genki menghabiskan kehidupannya bersama-sama dengan keluarga Kushina. Ia sudah seperti paman bagi Kushina. Genki berperawakan tinggi besar, kulit sawo matang dan berbulu lebat di sekujur tubuhnya. Ia mengikat rambutnya seperti samurai dan mempunya jenggot yang dirawat dengan baik.

"Tidak ada waktu untuk itu. Aku yakin mereka baik-baik saja. Ayo, kita harus segera keluar dari sini, Kushina." Genki meraih tangan Kushina dalam genggamannya dan mulai menarik Kushina berlari bersama.

"Tidak, Genki-san! Kita harus menemukan mereka dahulu! Aku tidak ingin mereka mengalami hal serupa seperti Kaa-san!", Kushina melepaskan tangannya dari Genki. Genki menghentikan langkahnya.

"Kurumi? Apa yang terjadi dengan Kurumi?"

"Kaa-san.. I-ia..", mata Kushina kembali berkaca-kaca. Genki mengerti arti dari wajah itu, maka tanpa berkata apapun lagi, ia meraih tangan Kushina dan membawanya berlari ke sisi lain dari rumah itu. Mengikuti kemauan Kushina untuk menemukan sepupu dan kemenakan laki-lakinya.

-000-

Hiruzen sedang duduk di kantornya seperti biasa malam itu. Meresapi ketenangan yang akhirnya mampu ia dapatkan untuk dirinya sendiri setelah melalui kesibukannya sebagai Hokage pada siang hari tadi. Dinginnya udara malam merasuk sampai ke dalam tulangnya. Membuat Hokage paruh baya itu merapatkan jubahnya dan meraih pemantik api untuk menyalakan cerutu. Hiruzen bukanlah penggemar berat rokok, akan tetapi kebiasaan menghisap cerutu itu menurutnya telah terbukti berhasil membantunya menyelesaikan segala persoalan di Konoha karena menolongnya untuk bisa berpikir dengan jernih.

Hiruzen biasanya paling tidak suka diganggu oleh siapapun pada jam-jam seperti ini. Karena ini adalah waktu baginya untuk beristirahat. Tetapi, kemunculan anggota ANBU dibelakangnya ini pasti punya alasan yang tidak sepele. Hiruzen beranjak dari kursinya dan menganggukkan kepala ke arah ANBU tersebut, mengisyaratkannya untuk segera menyatakan isi berita yang ia ketahui.

ANBU itu mengangguk dan menjawab isyarat itu dengan nada suara yang mantap. "Hokage-sama, aku mendapat informasi kalau kediaman pimpinan klan Uzumaki di Uzushiogakure baru saja mengalami penyerangan. Waktu penyerangan sekitar 2 jam yang lalu. Kediaman mereka hangus terbakar tanpa sisa."

Hiruzen mendelik ke arah ANBU itu. Ini adalah berita dukacita dari salah satu sekutu besar Konoha. Kemalangan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terantisipasi sebelumnya.

"Identifikasi penyerang?"

"Segerombolan shinobi. Mereka cakap dalam ilmu pedang dan taijutsu. Tapi kelihatannya mereka tidak bisa menggunakan ninjutsu."

"Bagaimana dengan korban jiwa?"

"Sampai saat ini dilaporkan bahwa hanya ada 6 orang yang selamat. Hakushi Uzumaki. Kushina Uzumaki. Haruda Uzumaki. Dan sisanya adalah pelayan mereka. Tuan Haruda Uzumaki dikabarkan mengalami luka parah dengan pendarahan hebat. Mereka kekurangan suplai obat-obatan."

"Jadi, hanya itu yang masih hidup. Baiklah. Dimana lokasi mereka sekarang?"

"Mereka sedang dalam perjalanan ke salah satu kediaman Uzumaki yang lain di perbatasan Uzushiogakure dan Kirigakure. Tepatnya di wilayah yang terkenal dengan sumber air panasnya."

"Aku mengerti. Aku memberimu misi untuk memberitahu Hakushi-sama kalau Konoha akan segera mengirimkan bantuan. Katakan bahwa bantuan akan tiba saat senja besok hari."

"Baik, Hokage-sama." Seketika itu juga, ANBU tersebut menghilang seperti asap.

Alis Hiruzen berkerut. Ia menghirup dan menghembuskan asap cerutu selama beberapa kali, sebelum ia akhirnya mengambil sebuah keputusan.

"Panggilkan aku, Jiraiya."

"Baik, Hokage-sama." Terdengar sahutan dari luar pintu Hokage dan suara derapan kaki yang semakin menghilang.

Hiruzen berbalik dan menghadap jendela. Kepulan asap kembali dihembuskan keluar dari mulutnya. Untuk saat ini, ia hanya bisa membiarkan mereka menunggu. Ia akan segera menugaskan sebuah tim untuk menolong mereka besok pagi. Semoga saja perkiraannya tidak meleset. Semoga saja semuanya dapat segera teratasi.

To Be Continue…

Catatan:

Pelita : lentera berisi lilin yang dibawa untuk menerangi jalan

-sama : kata akhiran dalam pemanggilan nama orang yang terhormat dalam bahasa Jepang, seperti tuan atau nyonya

Kami-sama : panggilan untuk 'Tuhan' dalam bahasa Jepang

Fuinjutsu : jutsu penyegelan

Tatami : alas lantai yang ada di rumah bergaya tradisional Jepang

Katana : pedang samurai

Shinobi : ninja

Kimono : pakaian tradisional orang Jepang

Update akan menyusul setiap ada 8 reviews baru.

Dimohon saran dan kritiknya. Terimakasih.

Best Regards,

J. Meredith