THE ELIGIBLE VENOM

~0o0~

Di ffn banyak sekali bertebaran fanfic lumione, idk.

Kebanyakannya dalam bahasa Inggris, pas baca...OMG

Gasp... gasp... huuftt huufftt

Inhale... Exhale

Sex Appeal Lucius Malfoy ternyata H.O.T

Maafkan dengan twist fanon ini. Kalau ga suka, please leave...

WARNING :

1. Bahasa campuran tapi masih bisa dibaca dan diartikan dengan baik.

2. M Rated (banget-banget), so udah pada tahu resikonya.

3. Happy read, enjoy dan please review.

xxxxxxxxxxxxxx

Moda cerita diambil dari sebelum perang Hogwart berlangsung, saat Draco gagal mengeksekusi Dumbledore dan apa tindakan our SEXY evil villain kita a.k.a Lucius Malfoy?

Tidak ada hubungan romantis antara Ron & Hermione, so just forget about the kiss.

xxxxxxxxxxxxx

PART 1

.

.

"Kau gagal, dear boy?" desis Voldemort "Kau gagal melaksanakan tugas yang diemban padamu?" nada suaranya mengancam.

Voldemort kini mengitari Draco yang sedang berlutut—ketakutan dan kesakitan. Para pelahap maut lainnya berkumpul menonton pertunjukkan gratis ini.

"...apa hukumannya bila kau gagal—?" kata Voldemort sambil menimang-nimang tongkat sihirnya. "Harus aku akui kemampuanmu memperbaiki Vanishing Cabinet—tapi tugas utamamu adalah membunuh Dumbledore, dan kau GAGAL!"

"M—My Lord. Ampuni dia. He's just a boy" mohon Narcissa berlutut berusaha meraih ujung bawah jubah manusia berhidung ular ini dan menariknya. Narcissa tak tahan melihat putra kesayangannya seperti hendak dieksekusi. Nyawa Draco bagai tergantung di ujung tongkat pria berwajah ular ini. Air mata Narcissa sudah membanjiri matanya.

"Cissy—" cegah Lucius tercekat.

Tidak ada yang bisa dilakukan pria pengikut setia Voldemort ini, ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Tuannya menyiksa anaknya, ia bahkan harus bersikap tegar dan pasrah, jika saja Voldemort sewaktu-waktu mencabut nyawa Draco. Dan ia tidak bisa mencegah sikap Narcissa membela putranya.

Betapa tak berdayanya ia.

Voldemort melirik jijik pada pasangan Malfoy itu. Bagi Voldemort, hukuman adalah harga mutlak untuk kegagalan menyelesaikan tugas yang diberikan. Draco gagal membunuh Dumbledore, walaupun pria tua musuh terkuatnya itu tetap mati karena tugas Draco diselesaikan Snape dengan baik. Hanya saja ia kecewa—ia ingin memberi pelajaran agar anak tunggal Malfoy itu mengerti bahwa ia sedang marah. Dan Voldemort tak suka dihalang-halangi, contohnya seperti sikap Narcissa yang sedang menarik-narik jubahnya.

"Pleasure to eyeing this family drama. CRUCIO!" raung Voldemort mengarahkan tongkat sihirnya pada Draco.

Draco menggelepar kesakitan. Tubuhnya bergelung dan bergetar hebat, ia bahkan kehabisan suara untuk menjerit.

Narcissa tak kuasa melihat anak kesayangannya disiksa seperti itu, tanpa pikir panjang Narcissa mengarahkan tongkatnya pada Voldemort "AVADA KE—"

Namun Voldemort bukanlah lawan tanding Narcissa, ia segera membalasnya cepat. "AVADA KEDAVRA"

Sudah dibilang Dark Lord tidak suka dihalangi-halangi dan ia semakin meradang kala Narcissa ingin membunuhnya, memangnya siapa Narcissa itu. Berani-beraninya memberikan kutukan kematian kepada penyihir paling kuat dan berbahaya itu? Kurang ajar!

Tubuh Narcissa seketika membeku, ia jatuh ke dinginnya lantai ruang bawah tanah Malfoy manor.

"Cissy..." gumam Lucius tak percaya, melihat tubuh istrinya sudah tak bernyawa.

"Mother..." Draco shock berat. Ibunya meninggal dihadapannya demi membela putranya.

Siapa yang tahan dengan kekejaman Voldemort?

Menatap sekilas dengan angkuh dan tak perduli pada sosok mayat Narcissa, kemudian Voldemort menghilang ber-apparate. Para pelahap maut lainnya kemudian mengikuti jejak Tuannya. Meninggalkan dua pria Malfoy yang tengah meratapi tubuh kaku Narcissa.

Kedua pria itu terdiam, berlutut dihadapan tubuh kaku Narcissa. Tidak ada raungan kehilangan dan jeritan tangisan. Yang ada hanya raut wajah sedih yang mendalam, penyesalan yang terlambat dan keputusasaan atas sebuah kesalahan.

Kesalahan yang akan merubah jalan hidup mereka. Keyakinan dan kepercayaan mereka luntur sudah.

.

.

.

"Severus..." gumam Lucius kala melihat Snape berdiri di hadapannya. Pria ini bagai tak memiliki nyawa, di depan matanya, Narcissa—istri tercinta meregang nyawa. Hanya karena masalah sepele.

Ya—masalah sepele, hanya karena istrinya memohon belas kasihan agar Tuannya itu memberi pengampunan pada Draco. Narcissa tak berhak dibunuh seperti itu. Setelah kejadian itu, dia merasa hancur, terkhianati dan sangat menyesal. Seolah pergorbanannya dan pengabdian keluarganya pada Voldemort tak dihargai, tak dinilai dan tak diampuni.

Ia berbalik membenci Voldemort berikut para pengikutnya.

"Mulai hari ini gunakan occlumency dengan baik, Lucius" sarannya. "Tetaplah bersikap setia padanya. Potter boy akan memerlukan bantuanmu, waktunya akan tiba—nasib kita bergantung pada anak itu. Dan sekarang biarkan Draco kembali ke Hogwarts bersamaku"

Hanya Severus—sahabatnya, yang mendatangi Lucius, berbicara padanya menjelaskan bahwa ia sebenarnya adalah agen ganda. Lucius tak tahu siapa yang harus ia percayai saat ini. Tapi dibandingkan Voldemort, ia memilih mempercayai Severus. Sahabatnya itulah yang meyakinkan dirinya bahwa hanya Harry Potter yang akan menghabisi nyawa si brengsek itu.

"Dark Lord tak lama lagi akan menghabisi nyawaku, Lucius" gumam Severus lemah tersirat nada pasrah didalamnya.

"Apa maksudmu?"

"Elder Wand. Begitu ia menyadari bahwa elder wand milik Dumbledore tak berfungsi padanya, maka ia akan membunuhku. Di saat itu aku meminta bantuanmu—kau sahabatku. Posisi kita berdua sangat riskan, berjanjilah padaku, Lucius"

Lucius termenung memandang Severus dengan binggung. Pria berambut hitam legam itu hanya menganggukkan kepalanya meyakinkan penyihir pirang itu.

"Kau tak mungkin dibunuh olehnya" ujarnya.

"Percayalah padaku. Dark Lord hanya menginginkan kekuasaan dan kekuatan, tidak ada satupun yang bisa mencegah dan menghalanginya. Dunia kita akan semakin gelap, Lucius. Kau paham maksudku, ia telah mencederai kepercayaan kita, kita telah salah memilih jalan. Kau dan aku—jika kita bersama-sama, maka semuanya akan berubah"

Lucius membutuhkan waktu lama untuk berpikir dan kemudian "My friend, I trust you. I will help you" mata Lucius memancarkan keyakinan dan disambut dengan senyum pahit Snape.

"We will survive. I hope. Now I shall leave and figure our next move" ujar Snape.

Lucius tidaklah bodoh, ia hanya harus berstrategi dan melakukan intrik, ia tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Lucius memandang kaku perapian yang berderak liar mengeluarkan lidah api yang menyala merah kala Severus pergi meninggalkannya.

.

.

.

"Apa anak itu mati?" tanya Bellatrix menatap sosok Harry yang terbujur kaku membelakangi Voldemort dan pengikutnya di hutan terlarang.

Lucius segera mendatangi Harry memeriksa kondisi anak itu. Lucius menyadari bahwa the-boys-who-live itu masih bernyawa. Akal sehatnya segera bekerja—ia dengan sekuat tenaga menggunakan occlumency.

"Draco?—apa dia masih hidup?" gumam Lucius pelan.

Harry mengangguk lemah.

"Tongkatmu aman bersamaku" lanjut Lucius amat sangat pelan.

"HE'S DEAD!" seru Lucius memproklamirkan kematian Harry Potter.

.

.

.

"Potter!" seru Draco melemparkan tongkat sihir pada Harry yang melompat dari gendongan Hagrid. Harry menangkapnya dengan baik.

Kemudian Lucius segera meraih lengan Draco ber-apparate bersamaan meninggalkan rombongan Voldemort dan berdiri di pihak lawan bersama-sama anggota Hogwarts lainnya melawan pengikut Voldemort lainnya. Dia tahu kali ini, ia melakukan sesuatu yang benar.

Bersama Draco, Lucius memutuskan melawan Voldemort.

.

.

.

5 bulan kemudian...

"Granger!" panggil Draco ketika melihat gadis itu berjalan di koridor hendak meninggalkan ruang pengadilan wizengamot.

Hermione menoleh dan melihat Draco bersama Lucius berjalan menghampirinya. Dia menghentikan langkahnya dan melihat Draco tersenyum penuh terima kasih kepadanya sedangkan Lucius berusaha tersenyum tipis, sepanjang penglihatan Hermione, Lucius memang jarang memperlihatkan emosi hangatnya, tampang arogansinya masih terpasang kuat disana.

"Aku sungguh berterima kasih padamu atas pembelaan Potter dan kau tadi di pengadilan" ucap Draco canggung.

"Sudah seharusnya kalian mendapatkan kesempatan kedua" jawab Hermione. Ia melirik ke arah Lucius yang sedang menatapinya. Wajah pria senior Malfoy itu tampak tegang. Hermione seolah menunggu sepatah kata terima kasih dari Lucius—tokoh utama pelahap maut yang berbalik menjadi sekutu anggota orde.

"Miss Granger, how very brave you are" kata Lucius dengan tulus. Lucius kini dapat bernafas lega karena Draco diberikan kebebasan murni mengingat kesalahan yang ia lakukan belum sebanyak dirinya.

Ia tidak menyangka sama sekali bahwa hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada dirinya—sangatlah ringan, mengingat reputasi Lucius sebagai death eater fanatik dan terkenal dengan ideologinya sebagai pemegang supremasi pride and prejudice-nya dahulu, sempat membuat dia patah harapan. Ia sudah menyangka bahwa dirinya akan berakhir di Azkaban selama bertahun-tahun. Tapi dengan lugas, gadis yang sedang berdiri dihadapannya membantah segala macam tuduhan dengan argumentasi yang mengesankan—seolah-olah Lucius Malfoy termasuk salah satu pahlawan perang. Dan mematahkan prasangka bahwa ia adalah seorang kriminal perang. Gadis ini malah membelanya bahwa Lucius layak diberikan kesempatan kedua untuk memberikan kesan bahwa seorang Death Eater yang fanatik-pun dapat bertobat dan memilih kembali ke jalan yang benar. Awalnya para juri pengadilan wizengamot tidak sependapat dengan opini gadis ini—mengingat kesalahan Lucius di masa lalu, tapi untunglah Harry Potter—the chosen one, menguatkan pendapat Hermione. Tidak ada seorangpun yang membantah penyataan The Potter boy—siapa yang berani berargumentasi dengan pahlawan perang mereka? Bahkan seorang Lucius Malfoy pun mengakui dalam hati bahwa Potter boy dan Granger girl adalah penyelamat hidupnya, penyelamat putranya dan penyelamat keluarganya.

This is an even. A little lie can saved their viability.

Ia sangat puas bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya hanya berupa menjalani tahanan rumah selama 2 tahun dan didenda sebesar 10 juta Galleon. Uang denda sebesar itu tentu tidak ada masalah untuknya, keluarga Malfoy mempunyai harta lebih banyak dari itu dan tidak akan membuat tumpukan Galleon di berangkasnya menyusut. Lucius Malfoy masih mempunyai beberapa brangkas lain di Gringgots—bahkan Lucius rela memberikan setengah dari beberapa berangkasnya hanya untuk kebebasan Draco dan dirinya—jika uang memang diperlukan untuk membeli hukuman.

Akhirnya ia merasa dirinya beruntung dan merasa hidup kembali, setidaknya Draco bebas dari segala hukuman. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia bukanlah Lucius Malfoy seorang death eater yang kejam. Janjinya dibuat demi Draco dan mendiang Narcissa.

"Aku hanya berkata sesuai dengan yang kulihat dan kupikirkan, Mr. Malfoy. Dan pada akhirnya, kau berani mengambil keputusan besar untuk berdiri di pihak kami—bersama-sama mengalahkan Voldemort. Sungguh sesuatu yang diluar dugaan kami, terutama aku" Hermione sempat tak percaya, Draco dan ayahnya berpindah pihak di saat-saat terakhir. Kehadiran pengikut setia Voldemort di barisan orde seakan-akan memberikan suntikan semangat kepada pejuang Hogwarts lainnya hingga perang bisa mereka menangkan. Dan Hermione sangat mensyukuri hal itu.

Lucius sedikit berjengit mendengar Hermione menyebutkan nama mantan Tuannya itu, dulu ia merasa bangga menjadi bagian dari kelompok Voldemort dan ia akui bahwa ia sangat takut akan kekuatan Voldemort—dengan menyebut namanya laksana memanggil dia kembali lagi dan Lucius harus menyakinkan dirinya berulang-ulang bahwa Tuannya sudah hancur lebur di tangan Harry Potter.

"Fear of a name increases fear of the thing itself" gumam Lucius mengingat kata-kata Hermione saat pertama kali mereka bertemu. Lucius berdecak pelan mengingat kejadian itu. Anak perempuan itu sekarang sudah berubah menjadi gadis muda yang cemerlang, Lucius dapat melihat di matanya yang berkilat tanda haus akan segala ilmu—persis Narcissa.

"Right, Mr. Malfoy—mengingat dia tidak mungkin bangkit lagi menyebar teror jadi kukira tak masalah dengan memanggil namanya"gurau Hermione melihat ekspresi Lucius yang masih terlihat tegang kala nama Voldemort disebut.

"Ah...yes, Miss Granger. Aku seharusnya berlatih untuk terbiasa dengan hal itu. I should be foolish my self, am I?" gumam Lucius mendengus pelan mengejek dirinya sendiri, membuat Hermione tersenyum sedikit lebar.

"I'm just suggesting that you get used to it" timpal Hermione sambil menganggukkan kepalanya.

Lucius hanya tersenyum datar sambil mengamati Hermione, gadis ini memang istimewa. Perang dan perjuangannya membuat ia dipaksa bersikap dewasa dan berpikir kritis, tak heran apabila gadis ini sanggup mengalahkan kemampuan putranya di segala bidang. Tak hanya pintar tapi dia juga cantik, dia bukan lagi gadis belia ingusan berumur belasan tahun tapi nyaris menjadi wanita, kebeliaan umurnya tak sanggup menutupi kedewasaannya dalam berpikir.

She's grown up girl to a woman—beautiful woman.

Enggan terus-menerus memikirkan transformasi Hermione, ia mengalihkan pembicaraan, menoleh ke arah Draco "Come Draco, kita tidak bisa menahan lebih lama Miss Granger disini. Kita dipanggil ke kantor auror untuk menandatangai berkas-berkas keputusan pengadilan"

"Yes, Father" Draco menyetujui.

"Have a nice day, Miss Granger" pamit Lucius mengerdik hormat dan tersenyum tipis pada Hermione.

"Oh..Draco! Jika Hogwarts kembali dibuka, kau akan kembali kan?" tanya Hermione.

"We'll see about that. Bye now Granger" sahut Draco sambil mengangguk dan tersenyum tipis mirip Lucius.

Kedua pria itu berjalan menuju lift didampingi auror yang mengawal mereka.

Hermione masih menatapi punggung kedua pria Malfoy itu sampai menghilang di belokan ujung koridor. Tiba-tiba sesuatu yang aneh menyergap perasaan Hermione—entahlah, ia merasa menaruh harapan besar terhadap kedua Malfoy itu. Keputusannya untuk membela mereka bukan saja karena permintaan Harry tapi Hermione merasa sudah menjadi kewajibannya untuk membela mereka—dengan menyampingkan sikap arogan, menyebalkan dan semua kesalahan yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Hermione hanya berpikir sederhana hanya berharap bahwa mereka menjalani hidup dengan lebih baik dan tak melakukan kesalahan lagi.

Sungguh disayangkan bila wajah-wajah mereka yang enak dipandang tercoreng oleh kelakuan mereka yang kembali salah langkah. Well...jangan salahkan Hermione jika memang benar bahwa kedua Malfoy tersebut mempunyai tampang yang menarik, baik Malfoy senior atau Malfoy junior—keduanya memiliki pesona yang berbeda dan sekali lagi—menarik.

.

.

.

2 tahun kemudian...

"Lucius" sapa Severus ketika melihat penyihir yang berpenampilan elegan itu datang ke ruang tamu rumahnya, lengkap dengan walking cane berkepala ular.

"Getting better now, old friend?" tanya Lucius tersenyum tipis melihat sahabatnya semakin sehat.

Lucius berhasil menyelamatkan Severus dari kematian karena serangan Nagini—beberapa saat setelah Harry mengambil memorinya, untung saja Lucius cepat memantrai Severus dengan mantra penyembuh dan menghentikan racun ular mencapai jantungnya. Telat beberapa detik saja maka nyawa Severus tidak akan tertolong. Setelah mengirim sahabatnya ini ke St. Mungo melalui apparate, Lucius segera kembali ke Hogwarts untuk ikut bergabung dengan kelompok Voldemort di hutan terlarang, demi menghindari kecurigaan Tuannya itu.

Lucius hanya berharap para healer St. Mungo mampu menyelamatkan nyawa Severus yang sekarat, dia tidak berharap lebih karena Severus benar-benar terluka parah, ia mengantungkan harapannya pada kemampuan healer disana.

Setelah perang berakhir dengan kemenangan pihak orde dan memastikan keluarganya selamat, ia kembali ke rumah sakit, para healer sempat menyangsikan kemungkinan Severus dapat sembuh secara total mengingat luka dan racunnya telah menggerogoti organ vitalnya. Kondisi Severus berada di ambang kematian, tidak ada obat untuk menyembuhkan lukanya. Ia bertahan hidup dengan alat-alat medis yang menopang jantungnya untuk dapat berdenyut tapi otaknya sebagian telah mati. Ia mengalami koma. Hal ini membuat Lucius merasa terpukul—setidaknya Lucius merasa berhutang budi pada pria ini karena pria ini telah menyelamatkan dan membuktikan bahwa perkataannya benar, bahwa Voldemort akan mengalami kekalahan dan Lucius bersyukur berada di pihak yang benar saat perang karena pengaruh dan keyakinan Severus.

Awalnya ia ragu memberitahukan kondisi Severus pada anggota orde lainnya karena bagaimanapun Severus-lah yang membunuh Dumbledore, ia khawatir jika anggota orde menginginkan kematian sahabatnya. Namun hal itu berubah ketika ia melihat Potter-boy yang gusar dan tampak sedih ketika mengetahui bahwa tubuh Severus menghilang di tempat kejadian. Sejak saat itu, ia berusaha mencari informasi—apakah Harry membenci Severus atau tidak. Ia memancing Harry untuk mencari jawaban, apa alasan anak itu mencari mayat Severus? ketika Harry mengatakan bahwa ia harus menguburkan secara layak dan memberikan penghormatan terakhir pada pria itu, akhirnya Lucius menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Severus yang membuat Harry menghormatinya. Ia merasa aman jika mengatakan pada Harry bahwa Severus masih hidup dan berada dalam kondisi koma di St. Mungo.

Reaksi Harry mengagetkannya—ia berulangkali mengucapkan terima kasih karena Lucius menyelamatkan pria itu. Akhirnya Lucius diberitahu mengenai memori Severus di pensieve oleh Harry, Lucius memahami perasaan Harry terhadap sabahatnya. Anak itu nyaris setiap hari menengok Severus di rumah sakit.

Selama 2 tahun lebih diantara kesibukannya dengan masalah pasca perang dan semasa menjadi tahanan rumah, Lucius mencari jalan agar dapat menyembuhkan Severus seperti sedia kala. Melalui riset dan membaca referensi hanya ada satu metoda penyembuhan untuk kasus Severus yaitu racun Vampire Venom.

Dengan berbagai pertimbangan dan kemungkinan baik buruknya, akhirnya Lucius memberanikan diri memberikan racun ini. Dia memindahkan Severus untuk dirawat di rumahnya sendiri di Spinner End, ia memberi tugas khusus kepada dua peri rumah untuk merawatnya—untuk menghindari kecurigaan para healer. Harry mengetahui perbuatan Lucius, dan dia tidak bisa menolaknya. Ia menginginkan pria yang mencintai ibunya agar tetap hidup untuk menebus kesalahpahamannya selama ini dan Lucius merasa harus menyelamatkan sahabatnya karena ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Draco—begitu banyak kehilangan orang terdekat yang ia percayai, sehingga Lucius berani menerima resiko apapun yang terjadi nanti.

"Unless you turn me into a monster—I guess, I'm better" jawab Severus dengan nada getir.

"You are still human—that's so relief"

"Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Remus ketika venom monster itu bekerja. Ketika rasa haus itu datang, aku merasa seluruh tubuhku terbakar"

"Kau harus mampu melawannya, Severus. Jika kau merasakan darah manusia maka kau benar-benar berubah jadi monster sama dengan yang lainnya"

"Ha..." Severus tertawa sarkas "Aku menjadi predator binatang saat ini, I love animals eagerly"

"Ada kemajuan mengenai hasil risetmu?" Lucius mengalihkan pembicaraan karena ia tahu Severus akan terus menerus menyindirnya. Ia tahu Severus tidak setuju dengan metoda penyembuhan yang Lucius berikan, ia bahkan mengamuk kala mengetahui venom telah mengaliri darahnya. Lucius dibantu Harry berusaha menenangkannya dan memberikan pria berambut hitam licin ini pengertian terus menerus.

Tidak mudah untuk mengendalikan efek venom di tubuh Severus tapi Harry dan Lucius bahu membahu mengatasinya, mereka masih merahasiakan kondisi Severus yang sebenarnya pada yang lain termasuk pada Hermione, Ron dan Draco.

"Hasil riset yang akan membunuhku?" jawab Severus memandang Lucius sinis.

"Come on, Sev. Aku mulai lelah dengan sikap sarkas, sinis dan nyinyir-mu. Aku mencegah kejatuhan dunia kita ke tangan para monster. Kau ingin seluruh Eropa mengalami kegelapan yang sesungguhnya? Dark Lord sendiri tak menyadari bahwa ancaman yang besar telah mengintai, ambisi dia hanya Pureblood—Pureblood—Pureblood, dia bagaikan memberikan umpan makanan kepada para monster tanpa disadari"

"Bersyukurlah karena aku adalah half blood dan masih manusia. Kau menjadikan aku sebagai bahan percobaan dan mengetahui kelemahan mereka"

Lucius mengangkat tangannya—lelah menanggapi sikap nyinyir Severus.

"Oh..baiklah, Lucius" Severus menyeringai, ia tampaknya menikmati ekspresi Lucius yang kesal. "Selain perak, air suci, tombak kayu, memenggal kepala dan matahari. Tidak ada cara lain untuk membunuh mereka, kecuali kita mempunyai mantra yang menggabungkan semuanya dalam satu kutukan"

"Hmm..." Lucius mengusap dagunya.

"Lucius..." desis Severus yang segera berada di depannya—membuat Lucius terkejut.

"What?"

"I need muggleborn blood. Aku menganalisa sesuatu yang mungkin akan menjadi jalan keluar dan mengetesnya"

"Maksudmu?"

"Muggleborn adalah darah penyihir yang tidak terkontaminasi Pureblood, dan disinilah kekuatannya. Aku merasa venom tidak bereaksi dan mati ketika bercampur dengan darah muggleborn—ini akan sangat menarik, Lucius. Tapi aku harus menyelidikinya lebih lanjut, apa sebabnya darah muggleborn begitu istimewa, ward alami apa yang mereka punya sehingga aku bisa mengembangkannya menjadi satu ramuan"

"Kau tahu pasca perang tak banyak jumlah muggleborn yang tersisa, kebanyakan mereka tewas saat Voldemort berkuasa dan sebagian menghilang karena ketakutan dan memilih melepaskan sihir mereka lalu hidup bersama muggle"

"Kurasa kau harus bekerja sama dengan muggleborn yang fenomenal untuk mengatasi hal ini, Lucius"

"Who?"

"Hermione Granger"

Lucius tampak terkejut mendengar nama itu disebut lalu dia diam termenung dan berpikir.

"Hanya dia solusinya, Lucius. Pikirkan tentang hal ini, siapa muggleborn yang dengan senang hati dijadikan kelinci percobaan dan kau harus ingat dia salah satu war hero yang punya pengaruh besar di dunia sihir kita"

"You are right, Severus. Mengapa hal ini tidak terpikirkan olehku" mata Lucius berbinar seakan-akan otaknya dipenuhi ide cemerlang.

Severus menarik ujung bibirnya seolah menampilkan senyum mencemooh dan berkata 'aku selalu pintar darimu, Lucius'

"Hermione Granger" gumam Lucius sambil mengetuk-ngetuk bibirnya. "Ceritakan tentang apa yang kau ketahui tentang dia, Severus" pinta Lucius, wajahnya menampilkan senyuman menyeringai lebar penuh rencana.

.

.

.

xxxxxxxxxxxxxxxxxx

Weird ga sih?

Tell me what do you think?

xxxxxxxxxxxxxxxxxx