December
Hari itu aku menonton pertandingan basket antara Rakuzan dengan Seirin. Meskipun aku bersekolah di Rakuzan, aku sebenarnya malas mendukung tim basket sekolahku. Tapi sahabatku terus-terusan memaksaku untuk menemaninya untuk pergi nonton pertandingan itu bersamanya, makanya aku berada disini.
Dan aku tidak tahu harus merasa takjub, senang atau bagaimana saat Seirin memenangkan pertandingan melawan Rakuzan dengan selisih skor sangat tipis. Tapi yang aku tahu, tim basket sekolahku kalah dan Akashi yang terkenal tidak bisa dikalahkan akhirnya kalah juga.
"Ah, kuharap Akashi tidak akan melaksanakan perkataannya waktu itu." perkataan sahabatku membuatku menoleh ke arahnya dan memasang wajah kebingungan.
"Maksudnya?"
"Apa kau tidak pernah mendengar jika sampai Akashi kalah, dia akan keluar dari tim basket dan mencungkil matanya?"
Hah? Ada orang seekstrim itu didunia? Tidak bisakah dia menerima jika manusia tidak selamanya akan selalu menang?
"Kuharap dia tidak akan sebodoh itu untuk melakukan keduanya. Terutama opsi kedua itu." komentarku dan entah bagaimana bisa, tatapanku bertemu dengan Akashi. Jarak kami bukanlah dekat dan aku merasa tatapan itu tepat kepadaku.
Akashi menatapku seperti itu bukan karena mendengar ucapanku yang jauhnya lebih dari lima puluh meter darinya bukan?
.
.
Fourteen
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
School life, lil OOC, typos. Tidak mengambil keuntungan profit dalam pembuatan fanfic ini. Saya tidak sanggup memasangkan Akashi dengan chara perempuan di fandom ini karena saya cinta Akashi sepenuh hati #nak
Akashi Seijuuro x YOU (terserah bagaimana interpresentasi kalian dengan ini, yang jelas saya pakai first POV)
Fourteen © tsaforite
.
.
Aku berjalan-jalan disekitar gymnasium yang digunakan untuk pertandingan basket. Sahabatku bilang dia ingin bertemu dengan Akashi dan berusaha menghiburnya. Ah aku lupa, tujuannya membawaku selain karena ingin menonton basket, juga karena ingin menemui Akashi. Pantas saja tadi aku melihat banyak anak perempuan dari sekolahku saat menonton pertandingan. Jangan bilang mereka juga jauh-jauh dari Kyoto ke Tokyo hanya demi Akashi.
Jadi kalau aku berkeliaran sendirian itu adalah hal yang wajar. Lagipula aku bukan fans Akashi dan aku merasa baik-baik saja melakukan hal ini. Lalu saat aku hendak menaiki tangga untuk menuju tempat lain, aku melihat Akashi sedang memegang gunting. Awalnya aku tidak mengerti untuk apa dan berniat mengabaikannya saja.
Namun teringat jika Akashi akan mencongkel matanya jika kalah membuatku melebarkan mataku. Dia— dia tidak akan sebodoh itu melakukan itu bukan? Namun saat gunting itu berada di depan wajahnya, aku sudah tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tahu-tahu aku sudah berada di depan Akashi dan mengenggam gunting itu dengan keras. Dia menatapku tajam dan tanpa ekspreasi dan aku mengabaikannya saja.
"Jangan melakukannya bodoh! Kau pikir matamu itu tidak berharga?! Kau pikir berapa orang di dunia ini berharap jika dirinya bisa memiliki mata untuk melihat?!" hardikku yang membuat Akashi memandangku heran. Hei, jangan memasang ekspresi itu sementara kau mau melakukan hal yang tidak-tidak pada tubuhmu!
"Apa mak—"
"Maksudku? Kau tidak mendengarnya dengan jelas atau bagaimana, Akashi Seijuuro?! Kau memiliki mata yang sempurna serta unik dan karena kau kalah dalam pertandingan hari ini kau mau menyakiti dirimu dengan membuang matamu dari dirimu?!"
"Tapi ka—"
"Aku tahu aku harusnya tidak ikut campur urusanmu. Tapi aku merasa tidak bisa membiarkan seseorang melakukan hal bodoh pada dirinya sendiri karena kalah dari sesuatu. Asal kau tahu, manusia diciptakan memang untuk menerima kemenangan dan kekalahan."
"Tanganmu berdarah." Akhirnya Akashi bisa menghentikanku memarahinya dan membuatku memandangi tanganku yang menggenggam gunting. Cairan merah menetesi jaket Akashi dan aku baru menyadari rasa sakit menjalari telapak tanganku. Astaga, apa yang tadi aku lakukan? Memarahi Akashi seperti aku benar-benar mengenalnya dan sekarang tanganku berdarah karena menggenggam gunting terlalu kuat.
Apa ada hal yang lebih buruk akan terjadi padaku?
"Ikut aku." Akashi menarikku untuk mengikutinya dan aku mengekorinya. Berusaha mati-matian tidak meringis kesakitan itu adalah suatu penderitaan tersendiri karena aku terbiasa mengatakan apapun yang ada dipikiranku.
"Cuci tanganmu dulu." Nada perintahnya itu tidak bisa aku protes dan aku menurutinya. Aku tahu dia pergi meninggalkanku dan aku hanya menghela nafas.
Kenapa juga Akashi harus peduli denganku? Luka ini juga aku yang membuatnya dan aku tadi dengan seenaknya ikut campur pada masalahnya, jadi wajar saja aku ditinggalkan sendirian. Dan aku menatap telapak tanganku yang sudah tidak lagi mengeluarkan darah yang membuatu mematikan keran.
Dan saat berbalik, Akashi dengan nafas terengah berada didepanku. Sebelum aku bertanya kenapa, dia sudah menarik tanganku dan mengeluarkan perban serta handsaplas yang ada dikantong plastik yang dipegangnya.
"Eh, itu. tidak usah, Akashi. Aku bisa melakukannya sendiri kok," aku berusaha menarik tanganku, namun dia tidak mau melepaskannya dan mengikat perban pada tanganku.
Akhirnya tanganku bebas dan aku menatapnya dengan kikuk. Mataku menangkap ujung jaketnya berwarna merah karena darahku dan itu adalah salahku. "Terima kasih. Dan maaf jaketmu jadi begitu."
"Hm."
Aku baru saja mau beranjak dari hadapan Akashi saat salju mulai turun. Ini belum tanggal 25 dan seharusnya belum turuh salju. Apakah global warming membuat siklus salju turun lebih cepat?
Sejenak aku melupakan tujuanku untuk pergi dan menadahkan tanganku yang tidak tertutup perban untuk merasakan dinginnya salju pertama. Ini memang kebiasaanku sejak dahulu dan aku tidak tahu kenapa. Yang aku tahu, aku harus menyentuh salju pertama yang turun. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat gumpalan-gumpalan putih itu turun dari langit
"Eh? Untuk apa?" tanyaku shock saat Akashi menaruh sepasang sarung tangan pada tanganku yang tengah menikmati salju.
"Tanganmu pucat."
Aku ingin bilang tidak usah karena tanganku pucat adalah hal yang biasa terjadi, namun Akashi sudah meninggalkanku begitu saja. Dan saat aku hendak berlari menyusulnya, sahabatku memelukku dari belakang dan mengomeli karena aku menghilang begitu saja serta tidak mengangkat teleponnya.
"Tunggu, kenapa tanganmu? Kau terluka?" tanyanya saat melihat tanganku yang dibalut perban.
"Anggap saja aku telah melakukan sesuatu yang baik." Jawabku seadanya dan berjalan mendahului sahabatku. Aku merasa mengantuk dan besok masih banyak hal yang harus aku lakukan sebelum sorenya pulang ke Kyoto dengan naik pesawat.
Terima kasih pada sahabatku yang mau membelikanku tiket pesawat alih-alih tiket kereta. Jadi aku tidak mempunyai hak apapun untuk memarahinya karena mengeluh tidak bisa bertemu dengan Akashi.
Sebenarnya aku mau bilang kalau tadi aku bertemu dengan Akashi dan lukaku ini karena bertemu dengan Akashi. Tapi sepertinya untuk yang satu ini, aku lebih baik menyimpan semuanya sendirian.
Fourteen Prologue : End
Aslinya sih saya tidak mau nulis fanfic baru lagi. Tapi berhubung saya lagi kehabisan ide dan saya lagi senang dengan angka 14, jadilah fanfic ini =)) #youdontsay
Ini hanya prolog dan setiap chapter saya akan menuliskan apa yang terjadi dengan tanggal 14. Mungkin kalian semua tidak banyak yang tahu, tapi setiap tanggal 14 disetiap bulan itu mengandung makna. Dan itulah yang saya coba angkat pada fanfic ini.
Mind to review?
tsaforite
13/03/2014
