Title : Sorry Seems to be the Hardest Word [Songfic]

Author : Kim Sun Ri

Genre : Romance, Hurt/Comfort, SliceofLife, HighSchoolLife

Rating : T

Length : Oneshot

Disclaimer : This fict is mine, but the casts aren't

Warning : Yaoi, BoyXBoy, BL, AU, OOC(?)

Pairing : Eunhae

.

Don't Like Don't Read!

A/N : Song titled 'Sorry Seems to be the Hardest Word', by Blue. Oldies, oldies, they never get old.

Enjoy!

.

.:Sorry Seems to be the Hardest Word:.

.


.

What I got to do to make you love me?

What I got to do to make you care?

What do I do when lightning strikes me?

And I wake to find that you're not there?

.


Donghae's POV

Aku menatap sosokmu dari balik tembok kaca ini. Kaca transparan yang memisahkan dance hall dengan lapangan sepak bola sekolah kita. Kau terlihat begitu berkonsentrasi, bergerak mengikuti alunan musik yang mengalir. Meski begitu wajahmu terlihat begitu kaku dan keras, berbeda dengan ekspresimu saat menari biasanya. Bukan wajah serius penuh dedikasi yang biasa, melainkan wajah yang menunjukkan perasaan kalut.

Perasaan bersalah kembali melingkupi hatiku. Ingin rasanya aku masuk kedalam sana, ikut menari bersamamu, atau meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Namun itu mustahil. Mengingat akulah yang menyebabkan kekalutan di wajahmu itu. Akulah yang menyebabkan konsentrasimu teralih. Akulah yang menimbulkan keraguan di hatimu.

Tiba-tiba kau berhenti di tengah tarianmu. Kulihat kau menggeleng keras sambil berdecih. Kemudian tubuhmu merosot begitu saja dalam posisi terduduk. Sebelah kakimu terselonjor kedepan sementara yang satu terlipat. Tanganmu mengepal, terbentur lemah dengan lantai kayu studio. Matamu terpejam, napasmu tersengal akibat lelah menari. Tapi kau lebih terlihat frustasi dibandingkan lelah.

Untuk sesaat, kau terlihat telah menyerah. Dan aku ingin menghukum diriku sendiri melihatnya.

.

.


.

.

Author's POV

Hyukjae menatap sendu kekasihnya yang sedang terduduk lunglai di bawah pohon di depan dance hall. Sedih rasanya melihat kekasihnya itu begitu lesu. Ia paham betul Donghae sedang melewati masa-masa tersulitnya, dan ia ingin terus bersamanya, mendukungnya menghadapi segala hal itu. Ia tau betapa berartinya appa sang brunette baginya. Ia tau betul hal itu.

Hyukjae menghampirinya, memeluk sang namja brunette dari belakang dengan begitu lembut, seakan takut menyakitinya. Ia mengecup surai brunette Donghae, sebelum membenamkan wajahnya di helaian rambut itu.

'Semua akan baik-baik saja, Hae… Aku janji…' bisiknya lembut.

'Kau tidak mengerti, Hyukkie… Semua tidak akan baik-baik saja…' balas Donghae. Keputusasaan terdengar jelas pada suaranya.

Hyukjae terdiam, ia hanya dapat mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Donghae. Ia ingin menyangkal kalimat itu. Ia ingin mengatakan, walau mungkin ia tidak berada di posisi Donghae, ia ingin menyampaikan bahwa ia akan selalu ada disana bersamanya. Ia ingin menyampaikan bahwa semua pasti akan baik-baik saja jika mereka lalui bersama dengan tegar. Tapi ia tau betapa keras kepalanya Donghae. Bila ia bersikeras sekarang, mungkin ia hanya akan menambah beban pikirannya.

'Appa sudah tidak ada sekarang… Aku… aku…'

Pelukan Hyukjae semakin mengerat. Ia terus menghujani Donghae dengan kecupan-kecupan penuh sayang yang menenangkan. Meski begitu sepertinya Donghae tak juga merasa lebih baik.

'Aku tidak tau untuk apa lagi aku masih ada di tempat ini…'

Hati Hyukjae terasa terhujam begitu berat rasanya. Sakit mendengarkan kata-kata itu dari mulut Donghae.

'Apa maksudmu…?'

'Untuk apa aku masih ada di Seoul? Aku tak memiliki alasan lagi kesini. Aku hanya menyusahkan eomma dengan biaya yang berat disini. Lebih baik aku pulang, kembali ke sisi eomma…'

Lalu aku ini… apa?

Tapi kata-kata tersebut tak ia keluarkan dari hatinya. Hyukjae menghiraukan rasa sakit di hatinya dan memutuskan untuk kembali berusaha menenangkan Donghae.

'Sudah kuduga… Ke Seoul hanyalah kesalahan besar… Bahkan aku tidak ada disana saat appa membutuhkanku. Sekarang aku hanya bisa menyesal…' lirih Donghae dengan tangan terkepal.

Apa artinya… Aku juga hanya sebuah kesalahan…? Apa artinya kau menyesal bertemu denganku…?

'Jangan katakan… itu…' Hyukjae menarik napas panjang, mencoba meredam sakit di hatinya. Namun Donghae sepertinya tak juga menyadari bahwa ia telah menyakiti kekasihnya itu. 'Bukankah appamulah salah satu alasanmu berada disini? Alasan terbesarmu berada disini? Kau kesini untuk mewujudkan impiannya bukan?'

'Itu sudah tidak ada artinya lagi sekarang…'

'Bagaimana mungkin itu tak berarti lagi?'

Donghae menoleh, menyadari nada suara Hyukjae yang sedikit berubah. 'Mimpi itu sudah tak berarti lagi karena appa… appa sudah…'

Hyukjae meletakkan jemarinya di bibir Donghae dengan lembut. 'Justru bukankah itu menjadi alasan yang semakin kuat untuk mewujudkannya untuknya? Kau ingat betapa bahagianya ia saat kau memberitaunya kau diterima di sekolah ini? Di tempat yang mendukung impian menjadi seorang penari, penyanyi, seperti keinginan appamu.'

'Kau tidak mengerti! Ini tidak semudah yang kau bayangkan!' sentak Donghae keras.

Hyukjae terbelalak menghadapi luapan emosi yang tiba-tiba itu. Tanpa ia sadari pelukannya mengendur.

'Aku hanya menjadi beban eomma dengan berada disini! Menjadi penyanyi? Itu omong kosong! Aku tidak akan pernah mencapainya!'

'Apanya yang omong kosong? Itu sama sekali tidak percuma, Hae… Kau hanya perlu-'

'Berhasil masuk ke sekolah ini tidak berarti aku pasti akan menjadi seorang penyanyi nantinya! Impian itu hanyalah impian kanak-kanak biasa! Semua tidak akan bisa dicapai semudah itu! Sehebat apapun, hal ini tidak akan bisa dicapai!'

'… Jadi menurutmu, impianku hanyalah omong kosong belaka…? Impian kanak-kanak?'

'Dewasalah, Hyukjae! Ini realita! Semua tidak akan berjalan sesuai keinginanmu! Menjadi seorang penari profesional tidak semudah yang kau bayangkan!'

'… Begitu.'

Saat itulah Donghae baru menyadari pelukan Hyukjae yang telah lama terlepas. Saat itulah ia baru menyadari wajah Hyukjae yang tertunduk, suaranya yang turun beberapa oktaf.

'… Aku mengerti kau sedang berada di situasi yang sulit… Aku tau, Donghae… Tapi apa itu berarti kau juga melupakan keberadaanku… perasaanku? Aku ingin membantumu, aku ingin menyokongmu disaat kau lemah. Tapi sepertinya itu mustahil. Karena bagimu, aku hanyalah seorang anak kecil dengan impian kosong yang tak berarti…'

Perlahan wajah Hyukjae terangkat untuk menatap Donghae.

'Dan disini kukira… Kau akan selalu mendukungku mengejar impianku… Seperti bagaimana aku selalu mendukungmu… Apa selama ini, semua sorakan dan semangat itu juga omong kosong belaka…? Kalau iya… Terimakasih… Dan kau tak perlu melakukannya lagi…'

Saat Donghae tidak berusaha membalas maupun menyangkalnya, Hyukjae akhirnya berbalik dan berjalan pergi.

.

.


.

What do I do to make you want me?

What have I got to do to be heard?

What do I say when it's all over?

And sorry seems to be the hardest word?

.


Donghae's POV

Kali ini aku tau aku telah melewati batas. Karena sejak hari itu kita tak lagi berbicara. Kau akan selalu berpaling jika melihatku. Dan itu sama sekali bukan hal sepele.

Kau tak pernah bersikap demikian kepadaku. Selama ini, kalaupun kita bertengkar, kau tidak pernah meninggalkanku sendiri. Entah bagaimana, kau selalu berhasil meyakinkanku dengan segala kelembutanmu, membuatku luluh dan kembali terjatuh ke dalam pelukan hangatmu. Namun kali ini kau tidak ada disisiku. Dan daripada terlihat marah, sorot matamu saat itu lebih menggambarkan kekecewaan.

Aku tidak tau apa yang merasuki pikiranku hari itu hingga mengatakan semua kata-kata tak berperasaan itu padamu. Aku telah begitu egois. Aku sama sekali tidak memikirkanmu yang selalu berada disisiku.

Setelah pertengkaran kita di hari itu, aku menelepon eommaku. Banyak kata-kata dan tangisan yang kukeluarkan. Namun akhirnya setelah aku menjadi lebih tenang, eomma berhasil menghantamkan akal sehat ke benakku. Akal sehat yang sempat menghilang entah kemana. Kau benar. Appa akan kecewa jika aku berhenti disini. Dan seharusnya aku meneruskan impiannya, yang juga telah menjadi impianku.

Aku menatap sosokmu yang masih terjatuh terduduk di dalam sana dengan perasaan bersalah menyelimutiku. Aku baru teringat kau harus mengikuti kompetisi sebentar lagi. Dan bukannya mendukungmu, aku malah mengacaukanmu. Itulah balasanku atas segala dukunganmu.

Aku ingin meminta maaf. Sungguh ingin meminta maaf.

Aku ingin menarik kembali semua kata-kata tidak berperasaanku padaku. Tapi mengapa, di saat yang begitu penting, kata itu tak juga kunjung terucap? Mengapa disaat aku mengerjaimu, menyembunyikan susu strawberry kesukaanmu membuatmu merajuk kecil padaku, aku dengan mudah mengatakannya? Tapi disaat kata itu begitu kebutuhkan, kakiku tak sanggup melangkah kepadamu. Mulutku tak sanggup mengucapkan satu kata singkat itu padamu.

Aku malah semakin membuatmu terluka.

Tapi tiba-tiba, kepalamu yang sebelumnya tertunduk kembali terangkat naik. Matamu yang semula terpejam kini menatap lurus kearah cermin di sepanjang dinding ruang latihan. Tak lama, mata itu kembali mengilatkan kegigihan yang besar. Kau bangkit berdiri, kemudian berjalan kearah pemutar lagu di ruangan itu. Kau mengganti lagu yang mengalun, sebelum kembali ke tengah ruangan.

Kau mulai menari, sekali lagi. Kali ini wajahmu berubah. Terlihat jauh lebih rileks dari sebelumnya. Tarianmu juga berubah menjadi lebih sederhana, terlihat mudah dan ringan. Saat itulah aku menyadari kau tengah menarikan lagu itu.

Itu adalah lagu pertama yang tariannya berhasil kau hapal, jauh bertahun-tahun lalu. Tarian pertama yang kau kuasai. Kau selalu menceritakannya padaku, bagaimana sebuah tarian sederhana membuatmu terpukau dan menarikmu masuk ke dalam dunia tari. Bagaimana tarian sederhana itu menumbuhkan impian yang begitu besar. Aku ingat bagaimana matamu berbinar cerah setiap kali menceritakannya.

Perlahan, aku melihat senyuman mengembang di wajahmu. Dan aku dapat melihat gummy smile lebar itu saat tarianmu telah selesai. Keringat menetes dari pelipismu. Napasmu tersengal. Meski begitu kau terlihat puas dan senang. Saat itulah aku kembali teringat satu hal yang amat penting, paling penting.

Kau begitu cinta menari.

Dan itulah yang selalu membuat matamu berkilat akan dedikasi yang penuh. Itulah yang membuat impianmu terlihat begitu cerah.

Itulah yang membuatku selalu bersorak mendukungmu.

Kau tau? Tanpa melakukan apapun secara langsung terhadapku, kau selalu bisa membangkitkan semangatku. Sebesar itulah peranmu dalam hidupku. Kau kembali mengingatkanku bahwa impian itulah yang membuatmu begitu kuat sekarang. Walau banyak rintangan menghadangmu, walau keluargamu sempat menentangnya, kau tak pernah menyerah. Dan aku sangat mengagumimu untuk hal itu.

Walau ada perasaan bangga melihatmu tersenyum seperti itu, ada perasaan sedih juga timbul dihatiku. Karena sepertinya, tanpaku, kau bisa terus tegar seperti itu. Sedangkan aku? Tanpa kau yang menopangku, aku tak ada bedanya dari seorang anak kecil yang tersesat.

.

.

.:Sorry Seems to be the Hardest Word:.

.

.

Hari kembali berganti. Kini aku sedang berada di bawah pohon itu. Pohon tempat kita biasa saling bercerita tentang impian-impian kita, yang ironisnya juga pohon tempat kita bertengkar.

Aku suka menyanyi, sangat suka.

Mungkin hampir sebesar kau menyukai menari.

Tapi masih sulit bagiku untuk bangkit berdiri dan meneruskan impianku dalam keadaan ini. Walau akhirnya semua kegelisahanku terjawab, bukan berarti kesedihanku telah meninggalkanku. Aku masih merindukan appa. Dan tanpamu disisiku, rasa rindu itu terasa semakin menyakitkan.

Lagi-lagi aku berhasil menemukan sosokmu dari kejauhan. Aku dapat melihatmu walau kau berada di tengah kerumunan beberapa temanmu, dan banyak murid-murid berlalu lalang di sekitarmu. Ingin aku menghampirimu. Namun keberanian belum juga kudapatkan. Aneh rasanya, kita terasa begitu asing sekarang.

Kulihat kau tersenyum kepada teman-temanmu. Senyuman yang kurindukan, menyambutku di setiap aku merasa sedih. Dan aku tak dapat mengembalikan senyuman itu agar tertuju padaku, hanya karena kata maaf belum mau terucap dari bibirku.


.

It's sad, so sad… It's a sad, sad situation

And it's getting more and more absurd

It's sad, so sad… Why can't we talk it over?

Oh it seems to me

That sorry seems to be the hardest word

.


Author's POV

Donghae kembali tertunduk, tak menyadari tatapan Hyukjae yang kini teralih padanya. Hyukjae menatapnya dengan begitu sendu.

Beberapa hari ini, tidak bisa ia pungkiri bahwa ia begitu merindukan sang namja brunette. Pikirannya tak terlepas dari Donghae. Apa ia baik-baik saja? Apa ia sudah merasa baikan? Tapi pertanyaan yang paling mendominasi benaknya, membuatnya merasa kalut belakangan ini hanya satu.

Apa Donghae masih membutuhkannya?

Keraguan itulah yang membuatnya tanpa sadar menjauhkan diri dari sang brunette. Namun kemudian ia melihat Donghae mengangkat wajahnya sedikit, menoleh kearahnya. Tatapan mereka bertemu.

Dan Hyukjae mengerti.

Langkahnya membawanya semakin mendekat kearah sang namja brunette. Hyukjae melihat bagaimana mata bening Donghae yang begitu ia sukai mulai terlihat basah. Itu membuatnya semakin mempercepat langkah kakinya. Tatapan keduanya tak terputus barang sedetikpun.

*tep…*

Hyukjae berhenti tepat di depan Donghae. Kemudian keheningan melingkupi keduanya. Seolah semua di sekitar mereka menghilang dari pandangan di saat itu. Hanya saling menatap tanpa kata-kata. Donghae berkelut dengan pikirannya sendiri. Ingin mengucapkan begitu banyak kata, menjelaskan begitu banyak hal, namun ia tidak tau harus memulai dari mana.

"A-aku…!" Donghae berusaha memulai, suaranya terdengar goyah.

Hyukjae terdiam, menatap Donghae dengan tatapan yang sulit ia mengerti.

Mengapa… sulit sekali diucapkan?

"A-aku… m-ma-"

*grep!*

Kata singkat yang begitu sulit terucap itu terhenti, saat Hyukjae tiba-tiba menariknya kedalam pelukan yang begitu erat.


.

What do I do to make you love me?

What have I got to do to be heard?

What do I do when lightning strikes me?

.


Hyukjae memeluknya dengan begitu erat, tak menyisakan sedikitpun jarak diantara mereka. Rengkuhannya pada helaian rambut brunette Donghae dan pinggangnya seolah mengatakan bahwa ia tidak sanggup bila pelukan tersebut dilepaskan. Ia memejamkan matanya, membenamkan wajahnya pada helaian rambut brunette yang halus itu.

"Aku mengerti…"

Hanya dua kata itu yang ia ucapkan, begitu lembut. Mata Donghae membulat, kata-kata itu perlahan memasuki benaknya.

"Aku mengerti, Hae…" ulang Hyukjae bagai sebuah mantra. "Aku mengerti…"

Kelembutan Hyukjae lagi-lagi menyentuhnya. Air mata perlahan merembes keluar dari matanya. Dengan gemetar, tangannya membalas pelukan Hyukjae, mencengkram erat bagian punggung kemejanya. Ia membenamkan wajahnya di dada Hyukjae. Hyukjae dapat mendengar suara isakan yang kini keluar dari bibir namja brunette itu, membuatnya semakin mengeratkan rengkuhannya.

"H-Hyukkie… Hyukkie…"

"Jangan menangis lagi, Hae… Aku disini…"

Ia terus membisikkan dengan lembut kata-kata untuk menenangkan Donghae. Sementara namja brunette itu tak henti-hentinya membisikkan namanya dengan lirih, berulang kali. Seolah ia takut Hyukjae akan menghilang. Hyukjae terus mengelus helaian rambut Donghae dengan lembut, membisikannya kata-kata yang manis.

Setelah beberapa saat, isakan Donghae mereda. Gemetar pada tubuhnya menghilang, dan Hyukjaepun bisa bernapas lega. Ia terus memeluk Donghae dalam rengkuhan hangatnya. Dan Donghae tau ia merasa begitu aman dan tenang, terlindungi dalam pelukan yang paling ia sukai. Diantara tangan orang yang paling mengerti dirinya.

Lagi-lagi Hyukjae tak membutuhkan kata-kata itu. Hyukjae sangat mengertinya, terlalu mengerti dirinya hingga kata-kata tak lagi dibutuhkan. Meski begitu kali ini saja. Kali ini saja Donghae ingin menyampaikan kata itu. Satu kata singkat yang begitu sulit ia ucapkan sebelumnya. Karena Hyukjae berhak mendapatkannya, atas luka yang telah ia torehkan. Ia tidak ingin menjadi egois. Dan ini adalah langkah pertama untuk meninggalkan keegoisannya.

Donghae menarik diri sedikit dari pelukan erat itu, mengangkat wajahnya untuk menatap Hyukjae lurus-lurus. Hyukjae terlihat bingung dengan tatapan itu. Kedua tangan Donghae mencengkeram bagian depan kemeja Hyukjae, tempat dimana sebelumnya ia membenamkan wajahnya.


.

What have I got to do?

What have I got to do?

When sorry seems to be the hardest words

.


"A-aku…" Ia menarik napasnya sejenak. "m-mianhae…" selesainya.

Akhirnya kata itu berhasil ia ucapkan. Wajah bingung Hyukjae digantikan oleh seulas senyuman yang begitu lembut. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya, menghapus bekas air mata Donghae menggunakan ibu jarinya dengan lembut. Ia mengecup kening Donghae. Kemudian kedua matanya, ujung hidungnya, sebelum mengecup bibir tipis itu lama.

"… Saranghae…" bisiknya setelah kecupan itu ia lepas.

Mata Donghae masih terpejam saat satu kata itu terucap. Kata sederhana, yang menyimpan sejuta arti. Kata magis yang bisa mencerahkan segalanya. Terutama jika itu terucap oleh orang yang paling berarti baginya ini, dengan begitu lembut dan tulus. Senyuman angelic segera terulas. Tanpa membuka matanya, ia kembali memeluk Hyukjae. Bersandar pada dadanya, mendengarkan degup jantung yang halus. Ritme yang begitu menenangkannya.

"Nado… jeongmal saranghae…" balasnya akhirnya.

Hyukjae kembali mengecup rambutnya dengan lembut.

"Semua akan baik-baik saja, Hae… Semua pasti akan baik-baik saja… Percayalah padaku… Apapun yang terjadi mulai sekarang, kita akan melaluinya bersama. Kau dan aku."

Donghae tersenyum. Ia menemukan jawabannya, dan ia tak pernah merasa lebih yakin lagi dari saat ini.

Ia akan terus mengejar impiannya. Tak perlu memikirkan hasilnya nanti. Yang perlu ia lakukan sekarang adalah terus mengejar masa depannya sekuat tenaga. Mungkin akan ada rintangan yang menghalaunya nanti. Tapi jika itu terjadi, ia tau mereka pasti akan melewatinya, bersama. Karena ia tak pernah lagi sendiri.

"Ne, Hyukkie…"

Karena bersama Hyukjae, ia pasti dapat menggapai impian sebesar apapun.

.

.

.

-Fin-

.

"I blame Angie Miller for this weird Songfic. #bricked.

Padahal aku cukup ngefans sama dia. Lol. Bercanda kok.

Jadi yah, aku lagi nonton rerun American Idol tiga besar… Dan jagoanku itu nyanyi lagu ini. Biasa, plot bunny. Ugh. If only there's a way to stop plot bunny from randomly appearing! Sometimes it's frustrating -_-

Dulu aku suka banget lagu ini ahaha. (gapenting)"

That is what I typed when I wrote this fic, like, a year ago lol. Sayangnya aku gak pernah sempet post fic ini disini. Tapi fic ini sudah pernah ku post di wordpressku, jadi mungkin ada yang sudah baca.

Jadi pertanyaanya... Kenapa sekarang tiba-tiba ku post?

Well, aku mendadak mendapat plot bunny untuk sequelnya setelah mendengar sebuah lagu, yang akan kalian lihat sendiri nanti hehe. Jadi aku baru saja selesai menulis sequel untuk cerita ini. Yap, sudah selesai 100% tinggal post. Tapi kupikir karena mungkin masih ada yang belum pernah membaca cerita yang ini sebelumnya, maka akan ku pisah saja postnya.

Sequel oneshot ini, 'Take Flight', akan ku post hari sabtu, 13 Juni, jam 10 pagi. Dan aku sudah memasang alarm jam 9 untuk itu ahaha. Semoga bisa bangun ya /plak. Dan ya judul sequelnya sudah bisa jadi clue untuk lagu yang akan kugunakan. Oh iya, sequelnya berwujud (?) semi-songfic. Yang bisa menebak dengan tepat lagu dan versi yang akan kugunakan akan dapat virtual hug (penting banget -_-).

Untuk final chapter Beast Master, mohon ditunggu sebentar lagi ya

Last but not least, mind to RnR? ^^

-Rey